My 500 Words

Minggu, 21 Juni 2009

Melongok Upacara Ritual Acara Pemakaman: Toping-toping dan Huda-huda dari Simalungun


Oleh Jannerson Girsang

Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas dalam acara ritual pemakaman. Peninggalan budaya ini sungguh menarik untuk dipelajari dan dimaknai, khususnya para generasi saat ini. Salah satunya adalah Toping-toping dan Huda-huda.


Cerita berikut ini adalah laporan perjalanan kami. Pandangan mata dan sedikit keterangan dari tokoh desa dimana kami memperoleh ceritanya. Bagi yang mengetahui secara rinci, silakan diberi masukan!.
 
Alkisah, 7 Juni 2009 kami berkunjung ke Hampung, sebuah desa kira-kira 1 kilometer dari Negeri Dolok di Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa berpenduduk mayoritas suku Simalungun ini terletak sekitar 100 kilometer dari Medan. Dari Pematangsiantar, jaraknya hampir sama. Sayang, ketika kami ke sana jalan menuju ke sana  rusak dan harus menempuhnya lebih dari tiga jam. Saat kami berkunjung, upacara pemakaman seorang tokoh desa yang meninggal empat hari sebelumnya sedang berlangsung. Suasana berduka nampak di desa bependuk sekitar 100 Kepala Keluarga itu.

Memasuki pekarangan rumah duka, kami menyaksikan puluhan papan-papan bunga dari berbagai kalangan. Berjajar mulai dari jalan raya dan beberapa diantaranya di pajang halaman gereja di desa itu. Papan bunga itu berasal dari dari perangkat desa, para anggota legislatif Kabupaten, para pejabat kecamatan dan kabupaten dan keluarga besar berjajar rapi. Ungkapan duka yang marak menyusul pemilihan langsung pilkada dan pemilu ini.

Di tengah-tengah ucapan duka bergaya modern tersebut, berlangsung juga gaya orang Simalungun menghormati seseorang yang meninggal ”sayur matua”. Sebuah pesta besar dan menggelar berbagai upacara adat. Dari serangkaian acara yang digelar, Toping-toping dan Huda-huda menyedot perhatian kami. Upacara ritual ini merupakan sebuah bentuk Tari Topeng menyambut para pelayat dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Kecuali di desa ini, seumur hidup, kamibelum pernah menyaksikannya. Bahkan di kampung kami di Nagasaribu, Silimakuta, upacara seperti ini, dalam memori kami, penduduk desa dimana kami dilahirkan tidak pernah lagi digelar.

Secara umum toping-toping dan huda-huda terdiri dari tiga aktor, yakni mereka yang memainkan burung enggang dan dua topeng. Mengiringi penari topeng, digelar seperangkat alat musik tradisional Simalungun, gong kecil (panganak) dan lain-lain.

Musik tradisional mengawali pertunjukan. Bunyi musik dengan gendang dan gong bertalu-talu menggerakkan tiga orang penari mulai menari-nari di halaman rumah. Mereka berputar-putar dan  sesekali menghadap penonton seolah menyapa mereka. Mengamati dari dekat, ternyata ada tiga penari. Dua orang penari topeng berwajah manusia, ditutup kain berwarna biru dan topeng di masing-masing wajah mereka. Seorang lagi, dengan tubuh tertutup kain dan dikepalanya dikenakan paruh enggang.

Beberapa saat kemudian, setelah ketiganya melakukan gerakan-gerakan di halaman rumah, lantas mereka memasuki ”rumah duka”. Didahului patung yang berbentuk burung enggang, kemudian disusul dua pemakai topeng berwujud manusia. Ketiganya menari dan ”menyapa” satu persatu para keluarga yang sedang berduka.

Acara ritual tersebut hanya berlangsung beberapa menit, lantas ketiganya keluar dari rumah. Mereka lenyap begitu saja. Konon, tak seorangpun mengenal para pelakon. Dan tidak boleh seorangpun dibenarkan memberitahu identitas mereka.

Menurut seorang tokoh desa, dulu, pagelaran acara ritual ini mengandung ”magis” dan para aktornya tidak jarang kerasukan roh orang meninggal. Tetapi, kini acara seperti ini hanya merupakan acara budaya yang tidak mempertunjukkan unsur magis lagi. Setidaknya, saat itu kami tidak menyaksikan adanya kerasukan roh.
Topingtoping dan Huda-huda, merupakansebuah kekayaan budaya yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.  Saat ini, peralatan tari topeng masih dipelihara dan dirawat oleh penduduk desa itu dan beberapa desa di sekitarnya. Untuk memainkan upacara ritual ini, keluarga yang berduka menyewanya dari pemilik.

Lebih lanjut tokoh desa itu meneritakan bahwa upacara Toping-toping dianugerahkan kepada mereka yang meninggal di usia lanjut, memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari masig-masing mereka (sayur matua). Selain itu, juga memperhatikan ketokohan orang yang meninggal.

Kisah Toping-toping dan Huda-huda

Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk.

Penghuni istana serta pendudukpun terusik dengan keadaan yang tidak nyaman itu dan ingin berbuat sesuatu membujuk sang permaisuri. Berbagai cara sudah dilakukan, namun permaisuri tidak mengindahkannya.

Hingga di suatu talun sekelompok laki-laki yang sedang ”martambul” turut prihatin. Talun adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan memasak air aren (tuak) untuk membuat gula merah atau gula aren. Saat itu, di talun sedang berlangsung acara memasak binatang hasil buruan mereka. Salah satu binatang buruan itu adalah burung enggang.

Masalah ketidaksediaan permaisuri melepas mayat anaknya untuk dikebumikan menjadi topik pembicaraan mereka. Intinya, bagaimana caranya agar sang putri mau melepas mayat anaknya yang sudah membusuk itu untuk dimakamkan.

Alhasil, salah seorang dari mereka memiliki ide. Membuat pertunjukan lucu di depan sang putri, hingga nantinya mayat anaknya terlepas dari tangannya. Lantas mereka mencurinya dan memakamkannya!.

Usai bersantap, salah seorang diantara mereka memperhatikan sisa-sisa peralatan dan makanan tadi. Sisa daging enggang (paruh dan tulang lehernya) dicoba dikenakan di kepala salah seorang dari mereka. Terlihat lucu!. Maka ide lainpun muncul. Pelepah pinang yang biasa mereka gunakan tempat cuci tangan diukir menjadi ”patung” manusia berwujud laki-laki dan dikenakan di muka seorang lagi. Terlihat lucu juga!. Lantas dibuat satu lagi ”patung” manusia berwujud perempuan.
Ide membuat patung ini selesai. Masalahnya, siapa yang akan melakonkannya di depan sang putri. Karena tidak ada seorangpun berani melakukannya. Alasannya, apabila ada orang yang tau maka mereka pasti dihukum.  Mereka mempersiapkan tiga orang memainkannya di depan permaisuri.
Kini, mereka memikirkan cara agar aktor-aktornya tidak dikenali siapapun. Lantas, muncullah ide menutup seluruh tubuh mereka dengan kain. Pelakon burung enggang tadi seluruh mukanya ditutup dengan kain,  dan dikepalanya dikenakan paruh dan kepala enggang. Dua pelakon patung manusia muka ditutup dengan topeng dan tubuhnya ditutup dengan kain.
Setelah semuanya dipersiapkan dan mereka yakin pertunjukkan itu akan menarik perhatian sang permaisuri, ketiganya diberangkatkan memasuki istana raja. Singkatnya, mereka masuk ke ruang sang permaisuri. Saat permaisuri melihat ketiga patung aneh itu, dan dia terkejut. Mayat bayi di pangkuannya lepas!. Para penari topeng itu merebut mayat anak tadi. Melarikannya ke hutan dan menguburkannya.

Sejak itu, persoalan mayat bayi membusuk dapat diselesaikan tanpa seorangpun mengetahui orang yang ”mencuri” dan menguburkan mayat itu. Demikian kisahnya.

Upacara ritual ini masih dilaksanakan penduduk hingga di abad globalisasi dan informasi ini. Termasuk di Hampung, Negeri Dolok. Menurut keterangan seorang tokoh penduduk desa ini, beberapa desa di wilayah Silau Kahean dan Raya Kahean masih melaksanakan upacara ritual ini.

Selain itu pada acara ritual pemakaman, Toping-toping dan Huda-huda acapkali digelar pada acara-acara budaya Simalungun seperti pada Pesta Rondang Bintang atau pagelaran budaya bersama di Sumatera Utara.

Sebuah peninggalan masa lalu Simalungun yang seharusnya tidak punah begitu saja. Perlu dipelajari para generasi muda!.


Kamis, 11 Juni 2009

Renungan Pribadi Menjelang Pilpres Juli 2009




Pemilu dalam Persaudaraan

Oleh Jannerson Girsang



Angin lembut dan segar berhembus dari Jakarta 9 Juni 2009. Melalui media elektronik  saya dan berjuta-juta penduduk Indonesia lainnya menyaksikan Pasangan Calon presiden-calon wakil presiden Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto, Soesilo Bambang Yudhoyono-Budiono, dan Yusuf Kalla-Wiranto bergandengan tangan usai mengucapkan Deklarasi Pemilu Damai 2009. Tak ada alasan bagi kami menolak bahwa merekalah putra-putra bangsa ”terpilih” dan memiliki catatan perjalanan hidup ”terunggul”. Karena alasan itulah mereka ditetapkan KPU sebagai kandidat presiden memimpin lebih dari 200 juta penduduk Indonesia lima tahun ke depan. KPU kami percayai menetapkan mereka sebagai calon pemimpin ke depan.

”Dengan semangat persatuan dan persaudaraan menyatakan siap menciptakan pemilu yang aman, tertib dan damai semi terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan bangsa serta terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, demikian bunyi Deklarasi Pemilu Damai 2009 yang diucapkan dengan semangat oleh seluruh Capres dan Cawapres Disaksikan ratusan pengunjung pada acara yang diselenggarakan KPU itu, tentunya deklarasi ini tidak hanya diucapkan sebagai sebuah kewajiban, atau hanya lip service, tetapi sebuah tanggungjawab yang memiliki konsekensi-konsekwensi.

Bagi warga negara seperti saya, yang tak masuk hitungan dalam pertarungan kepemimpinan nasional (kecuali terdaftar di DPT), deklarasi yang berbunyi sangat indah itu bak air yang disiram kepada penonton yang kepanasan di tengah pertunjukan band Peterpan di lapangan terbuka. Sebuah siraman segar atas panasnya ”suhu” politik sejak Pemilu Legislatif dan Pencalonan Capres dan Cawapres periode 2009-2014.

Tekad persaudaraan dan menciptakan damai sebelum masuk ke gelanggang pertarungan Capres dan Cawapres meemberikan harapan bagi rakyat pemilih tidak terulang lagi cara-cara tidak sehat dalam persaingan merebut kepemimpinan nasional. Sudah cukup banyak waktu, pikiran dan tenaga yang tersita percuma karena dagelan para pemimpin yang tidak cukup dewasa memahami kondisi rakyatnya.

Para pemimpin hendaknya menyadari kalau sebuah keluarga, ayah dan ibunya tidak rukun, maka anak-anaknya akan terpengaruh. Pada pemilu legislatif lalu rakyat seperti kami sering terganggu pikirannya, pekerjaannya dan bahkan ekonominya, demi mensukseskan pemilu. Berbulan-bulan kecewa, bahkan ketika para pemimpin ramai-ramai mengatakan  boikot Pilpres, ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan atau melegalkan cara-cara yang tidak etis menjatuhkan lawannya. Dengan deklarasi ini, rakyat berharap saling ”caci maki” atau saling cerca diantara para pemenang tidak terjadi lagi. Hingga pemerintahan yang terbentuk akan kuat dan mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.

Deklarasi ini  tidak memiliki kekuatan kalau para pengucapnya tidak melaksanakannya dengan konsisten. Dia harus disemaikan di hati rakyat serta seluruh pimpinan partai pendukung, penyelenggara pemilu serta aparat keamanan. Deklarasi ini menuntut para pemimpin memiliki jiwa besar dan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Semua harus menyadari bahwa Pilpres membutuhkan pengorbanan yang besar. Selain biaya yang sangat mahal  saya dan jutaan rakyat lainnya harus berkorban meluangkan waktu ke TPS. Harus meninggalkan kegiatan  memenuhi nafkah keluarga untuk hadir saat hari pemilihan ataupun menyaksikan penghitungan suara.

Untuk itu, rakyat berharap usai  Pilpres  tidak lagi menghadapi kekhawatiran baru.  Perlu diingatkan, tidak mungkin tiga calon menang. Yang pasti harus ada yang kalah. Masing-masing harus siap menang dan siap kalah. Yang kalah mengakui dan mendukung yang menang secara tulus. Tidak lagi mempersoalkan apakah sistem kita ini sudah jujur atau tidak. Bagaimana kalau rakyat ikut-ikutan menyatakan sistem kita tidak bagus. Mereka tidak mau memilih. Apakah mungkin para calon presiden terpilih jadi presiden?

Kita memiliki DPR,  KPU, MK yang seluruhnya dibiayai rakyat. Kita serahkan mereka menetapkan dan mengawasi proses berlangsung sesuai dengan aturan. Susahnya, para calon-calon pemimpin kami sering tidak jujur. Ketika "kalah" mencari alasan, tetapi kalau menang diam saja.

Semua telah sepakat melalui pemimpin-pemimpin, para founding father bahwa negara ini Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) dan hidup damai dibawah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, menuju masyarakat yang adil, makmur dan demokratis. Kita tentunya dihimbau jangan lagi mempertentangkan perbedan suku, agama, warna kulit. Justru itulah kekayaan kita dan para pemimpin hendaknya mengelola perbedaan itu menjadi kekuatan.

Deklarasi pemilu damai ini, bermakna lebih luas. Tidak hanya mewujudkan perdamaian dan persatuan dalam suasana menuju Pilpres saja, tetapi hendaknya dijadikan momentum untuk tidak mengulangi lagi kemunafikan kita. Bangsa dengan toleransi yang tinggi, ramah tamah, gotong royong, tentunya kami berharap rasa permusuhan di kalangan elit, konflik, kerusuhan dan serta berbagai pengalaman pahit lainnya tidak terjadi lagi.

Sebagai rakyat biasa kami sering merenung-renungkan kutipan yang pernah diucapkan mantan presiden Amerika Serikat, Benyamin Franklin lebih dari seratus tahun yang lalu. ”Hal terbaik diberikan kepada musuhmu adalah pengampunan, kepada penentangmu, toleransi, kepada sahabatmu, hatimu yang tulus, kepada anak-anakmu, keteladanan, kepada seorang ayah, rasa hormat, kepada ibumu, melakukan hal yang membuatnya bangga denganmu, kepadamu sendiri, rasa hormat, kepada semua orang, kemurahan hati. “The best thing to give to your enemy is forgiveness; to an opponent, tolerance; to a friend, your heart; to your child, a good example; to a father, deference; to your mother, conduct that will make her proud of you; to yourself, respect; to all men, charity”.

Ketertinggalan bangsa ini, menurut kami salah satunya adalah karena belum berhasil mewujudlan identitas bangsa kita yang cinta damai, kerukunan dalam praktek politik dan kehidupan sehari-hari. Bukan isapan jempol, kalau para pendiri negara ini menekankan persatuan dan kesatuan bangsa. Ingat, berkat tidak mengalir kepada bangsa  yang warganya atau pemimpinnya tidak rukun. ”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!.....Sebab kesanalah Tuhan akan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya”. Semoga!.

Medan 9 Juni 2009