My 500 Words

Selasa, 25 Agustus 2009

Belajar Demokrasi dan Membangun Bangsa

Oleh : Jannerson Girsang

Beberapa hari menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-64, bangsa Indonesia menerima kado demokrasi, sekaligus sebuah pembelajaran berdemokrasi dan kedewasaan menghadapi sebuah kekalahan. MK memutuskan menerima hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan menggugurkan gugatan dua pasangan Capres dan Cawapres. Keputusan ini sekaligus mengukuhkan SBY-Budiono melenggang maju menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang rencananya akan dilantik Oktober mendatang.

Jumat, 21 Agustus 2009

Toping-toping and Huda-Huda from Simalungun

By Jannerson Girsang


Entering 21th century, the Simalungun ethnic still performs ancient culture, called Toping-toping and Huda-Huda. It can be seen in few remote villages of Simalungun District, North Sumatra, Indonesia.  It is one of hundreds of different funeral rituals founded in the country.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Mbah Surip dan Artinya Bagi Kita

Oleh : Jannerson Girsang

Di tengah-tengah puncak suksesnya, di saat jutaan penonton menunggu penayangan lagu hitsnya  Tak Gendong di televisi atau diperdengarkan di radio, ketika dirinya sedang diberitakan dan diulas media, Mbah Surip tiba-tiba pergi untuk selamanya. Penggemarnya tidak pernah mendengar pria pujaannya itu sakit, atau dirawat di rumah sakit.

Pria bernama asli atau Urip Ahmad Aryanto menemui ajalnya pukul 10.30, Selasa 5 Agustus 2009.”Kita mengenalnya sebagai cahaya yang tiba-tiba melintas di langit industri hiburan, tetapi dalam sekejap mata ditelan kabut” (Kompas, 4 Agustus 2009), yang menggambarkan kemunculan dan kepergian Mbah Surip. Bak meteor!.

Orang-orang yang sedang nongkrong di kedai-kedai, restoran mewah, di kediamannya masing-masing, tempat kerja, menyaksikan dengan sedih kepergian ayah empat orang anak itu saat berita kematiannya tersiar. Bahkan pemimpin tertinggi negeri ini, Presiden SBY merasa perlu menggelar jumpa pers untuk menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Sama seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Obama saat kepergian bintang Pop Amerika, Michael Jackson bulan Juni lalu. Kelebihannya, kalau Michael Jackson sudah terkenal puluhan tahun sebelumnya.

Mbah Surip beristrahat dengan tenang di pekuburan Bengkel Teater Depok. Pada sebuah acara televisi, sehari sebelum Mbah Surip meninggal, seorang dedengkot musik Indonesia, Ahmad Dhani menempatkan Mbah Surip sebagai musikus Indonesia yang hebat. ”Dia unik dan punya gagasan yang bisa diterima masyarakat” ujarnya. Di kesempatan lain, Cak Nun, seorang Budayawan terkenal negeri ini, menggambarkan Mbah Surip sebagai ”Manusia Indonesia Sejati” yang tidak pernah merasa susah, tidak pernah gelisah, tidak pernah sedih dan selalu tertawa, meskipun seringkali di ledek orang, tidak pernah dendam.

Kepergian Mbah Surip tidak hanya meninggalkan lagu-lagunya yang sedang digandrungi jutaan penggemarnya, tetapi juga sebuah kisah kehidupan unik. Di balik ketenarannya, Mbah Surip memberikan pelajaran berharga bagi kita!

Sukses Bukan Tujuan Akhir!

Mbah Surip mengajarkan pentingnya ketekunan dan kesabaran menuju sukses. Puluhan tahun Mbah Surip berkelana. Selain itu, Mbah Surip menginspirasi kita, sukses bisa diraih kapan saja dan puncak sukses bukan segalanya. .

Mbah Surip meraih sukses setelah bertahun-tahun menyanyi dari panggung ke panggung tak mengenal lelah, tempat di berbagai tempat di Jakarta. Lagunya, Tak Gendong bahkan sudah dinyanyikan sejak 2002. Berbagai usaha mempromosikan diri dilakukannya sebelum ini. Mulai dari menjual album yang direkam sendiri sejak 1997. Menawarkan langsung satu demi satu kepada para pengunjung pasar seni di Ancol atau tempat lain. Bahkan, konon tak banyak laku, dan tak banyak membantu ekonominya. Namun, tidak menghentikan semangatnya menanyi terus, mencipta terus, menjual terus. Ironis memang, baru saja dia mulai dikenal luas di tengah-tengah masyarakat luas, Mbah harus pergi.

Dari kehidupannya kita bisa belajar bahwa sebuah sukses bukan tujuan akhir. Sukses Mbah Surip kemudian menuntutnya bekerja lebih keras lagi. Masa istirahat Mbah Surip berkurang. Belakangan hanya tidur 3 jam . Faktor usia dan menurunnya kondisi fisik seharusnya membutuhkan istirahat yang lebih banyak, justru sebaliknya. Sukses, memang tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan, hidup senang atau santai.

Keseimbangan di balik sukses sudah menjadi sebuah keharusan. Ada keseimbangan hidup yang perlu dijaga—tanpa mengabaikan keyakinan kita bahwa ajal di tangan Tuhan. Undangan manggung, tuntutan kesempurnaan penampilan dan berbagai harapan orang terhadap sebuah kesuksesan bisa membuat seseorang kelelahan, frustrasi dan gangguan lain Seorang di puncak kesuksesan harus mampu menjaga keseimbangan, bekerja menurut kemampuannya.

Ingatan kita masih segar dengan kisah Michael Jackson. Setelah mencapai sukses, bintang pop Amerika ini malah merasakan kesepian, kehilangan jati diri. Merubah wajahnya dengan operasi plastik sampai berkali-kali, supaya baik dipandang. Menggunakan bantuan obat-obatan mendukung saya tahan fisiknya yang menurun demi memenuhi tuntutan kerja yang meningkat. Obat-obatan yang justru merusak kesehatannya bahkan merenggut nyawanya sendiri .

Pahami Seniman dengan Benar!

Pada kesempatan ini, artikel ini ingin mengkritisi media khususnya dalam memberitakan seorang seniman. Kejelian media dalam mempublikasikan seorang seniman diakui sungguh-sungguh luar biasa mengangkat seorang seniman. Itu sebabnya, media dituntut melihat seorang seniman dengan data dan pemahaman yang benar. Kisah Mbah Surip mempertontonkan betapa media kita kurang jeli atas data pribadi seorang seniman.

Dari tangal lahir dan riwayat perjalanan Mbah Surip diberitakan dalam berbagai versi. Mulai dari 5 Mei 1949, 5 Mei 1959, dan beberapa versi lain. Tidak mungkin seseorang dilahirkan dengan tanggal yang berbeda! Riwayat hidupnya sebelum ia tenar juga disajikan dalam berbagai versi. Bukan mengatakan itu hal terpenting, tetapi hal ini menunjukkan media kita kurang jeli melihat riwayat seorang seniman. Media kurang kreatif menggali informasi tentang kehidupan seorang Mbah Surip.

Di sisi lain, kehidupan Mbah Surip menyadarkan kita kembali bagaimana seorang seniman menyampaikan gagasannya, pesan-pesannya. Mbah Surip memilih jalan yang unik. Mbah Surip menjadi sebuah contoh betapa gagasan seni itu banyak di luar kebiasaan. Bahkan dia menyebutnya”belajar salah”. Lagu-lagunya, penampilannya, suaranya, berbeda dari puitisnya lagu Ebiet G.Ade, berbeda dengan merdunya suara emas Bob Tutupoly. Mbah Surip memiliki ciri dan cara sendiri, namun bisa mampu menyejajarkan diri dengan penyanyi-penyanyi tenar itu.

Masyarakat kita acapkali mengekang seorang seniman dengan aturan-aturan yang kadang tidak mengakomodasi kreativitas. Mbah Surip menikmati kebebasan berkreasi sehingga menghasilkan karya yang unik. Seunik lagu Tak Gendong, yang tak ada dimana-mana, hanya ada pada Mbah Surip!

Jangan lihat kulitnya, jangan hanya lihat salahnya. Lihatlah makna yang ingin disampaikannya. Mbah Surip mencurahkan isi hatinya dengan sederhana, tapi membawa pesan kuat. Mengajak saling mengasihi, gotong royong dengan caranya sendiri. Pesan yang menembus seluruh lapisan masyarakat, tak membedakan agama, suku, dan golongan. Kadang masyarakat lupa, kritik yang sering mereka lontarkan kepada seniman hanya dari satu sisi, acapkali mengabaikan pesan utamanya.

Kesederhanaan dan Hidup Bagi Orang Lain

Di tengah-tengah suksesnya, Mbah Surip mempertontonkan kesederhanaan. Sebuah sikap yang menjadi impian masyarakat dalam dunia yang sangat konsumtif sekarang ini. Seorang bintang, lazimnya hidup glamour dan merubah penampilannya. Mbah Surip konsisten dalam memegang prinsip hidup kesederhanaan, Sikap yang tampak jelas dalam penampilannya di televisi, baik cerita yang kita baca melalui media. Bahkan diberitakan dia meninggal saat menumpang tidur di rumah temannya, permintaan terakhirnya burjo ”bubur kacang ijo”, makanan kesukaannya.

Mbah Surip hidup untuk orang lain. Sebagian hasil sukses adalah milik orang lain yang papa. Tidak semua jerih payahnya untuk diri sendiri. Dia senantiasa memikirkan amal kepada mereka yang papa. ”Uang itu sebagian akan saya simpan di bank, sebagian akan disumbangkan untuk amal,”, ungkapnya dalam sebuah wawancara. Ungkapan sederhana yang menunjukkan sikapnya atas orang tak berpunya.

Merokok, minum kopi 20 gelas sehari, itulah yang banyak dinikmati Mbah Surip dari hasil kerja kerasnya. Sisanya akan dinikmati anak-anaknya, keluargana Tentunya juga para orang papa, sesuai dengan cita-citanya seperti seringkali diungkapkannya di televisi. Dia pergi saat sedang berada di puncak sukses. Mbah Surip meninggalkan warisan yang tidak akan pernah dinikmatinya. Hasil kerjanya memberi kehidupan bagi banyak orang.


Selamat Jalan Mbah Surip : I Love You Full!

Mbah Surip sudah dimakamkan di pekuburan Bengkel Teater Selasa malam. Kita semua,para pencinta lagu-lagunya hanya bisa menahan sedih. Tetapi, sebuah pengalaman hidup, dan keunikan karya-karya Mbah Surip tidak akan lenyap. Kisah perjalanan dan prinsip hidupnya menjadi sesuatu yang abadi dan kenangan terindah dari seorang Mbah Surip. Selamat jalan Mbah Surip. I love you Full, jargon yang tidak akan kami lupakan. Semangatmu akan terpatri di hati para seniman Indonesia dan para penggemarmu. Semoga arwahmu diterima disisiNya. Amin!.

Sumber : Analisa, 7 Agustus 2009. Bisa juga diakses dengan mengunjungi: www.analisadaily.com




Selasa, 04 Agustus 2009

Selamat Jalan Pdt Dr Armencius Munthe MTh

In Memoriam Pdt Dr Armencius Munthe MTh
“Pelayanannya Menembus Semua Lapisan”

Oleh : Jannerson Girsang

Kepergiaan Pendeta Dr Armencius Munthe, mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) begitu tiba-tiba. Pagi itu, 18 Juli 2009, ia masih memberangkatkan istrinya menghadiri pesta perkawinan anak seorang warga GKPS, dan beberapa jam kemudian beliau terjatuh di rumahnya karena terserang stroke. Diangkut ke rumah sakit dan seminggu kemudian menghembuskan nafas terakhir.

GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun),  umat Kristen umumnya  kehilangan seorang tokoh yang cerdas, humoris dan pelayanannya menembus semua lapisan dan sekat-sekat denomimasi.

”Bapak sudah pergi bang,”demikian pemberitahuan singkat Ruth Munthe, putri bungsu Dr Armencius Munthe MTh, kepada penulis melalui telepon genggamnya beberapa saat setelah Mantan Ephorus GKPS itu meninggal di Rumah Sakit Herna, Medan Sabtu malam menjelang pukul 22.00 wib, 25 Juli 2009. Beliau meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit milik keluarga Dr TD Pardede itu.

Beberapa jam setelah pendeta yang pensiun dari GKPS pada 1999 ini dinyatakan meninggal, suasana Jalan Flamboyan I/1 No 12 berbeda dari sebelumnya. Beberapa menit memasuki 26 Juli 2009, rumah itu dipenuhi para pendeta, jemaat dan keluarga. Mereka bukan mengadakan kebaktian (partonggoan). Sebuah mobil ambulans dengan suara sirene yang meraung-raung memasuki halaman rumah sederhana itu. Di dalam ambulans terbujur kaku jenazah Pendeta Dr Armencius Munthe MTh.

Beberapa pendeta dan anggota keluarga mengangkat jenazahnya ke dalam rumah, kemudian membaringkannya di atas dipan di ruang tamu. Beliau telah menghadap sang Pencipta. Isak tangis memenuhi ruangan. Kesedihan menerpa seluruh penghuni rumah menyaksikan kepergiannya.

Berita meninggalnya Dr Armencius Munthe, begitu mengagetkan. Penulis sendiri masih berbicara sekitar tiga jam hari Kamis, 16 Juli (dua hari sebelum beliau diangkut ke rumah sakit, karena terkena stroke). Pria yang mengakhiri masa jabatan Sekjen GKPS pada 1995 ini, masih terlihat segar bugar.

Warga sekitar rumahnya tak menduga kepergiannya yang begitu cepat, karena beberapa hari sebelumnya masih sehat. “Kami masih jalan kaki bersama-sama, sebelum beliau masuk rumah sakit,”ujar Dr J.Raplan Hutauruk, sahabat akrabnya dan tinggal tidak jauh dari rumahnya.

Beberapa waktu sebelumnya, beliau masih memberikan ceramah atau khotbah di berbagai tempat. ”Beliau masih memberi ceramah di acara Gereja Methodis Indonesia (GMI) akhir bulan Juni lalu,”ujar Bishop GMI, Pendeta Dolok Saribu, terisak-isak, tak mampu menahan rasa sedihnya, saat melayatnya Senin, dua hari setelah beliau meninggal. Bahkan sesudah acara itu, beliau masih memimpin acara pengumpulan dana di GKPS Siantar Timur dan khotbah di Gereja GKPS Cikoko, Jakarta.

Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sudah pergi meninggalkan kita. Begitu panjang pengalaman melayani yang dijalaninya, begitu banyak orang yang dilayaninya, begitu beragam liku-liku hidup yang dialaminya.  Semuanya beliau maknai dengan sebuah kalimat "Aku bersykur kalau masih bisa melayani".

Tidak mudah menggambarkan secara lengkap seorang tokoh seperti ini, apalagi dalam tulisan singkat. Artikel ini hanya melihat sepintas dari sosoknya dari sisi kemampuan intelektual, komunikasinya, serta pelayananannya. Tulisan ini banyak bersumber dari ungkapan-ungkapan para pelayat dan ungkapan para tokoh yang sudah didokumentasikan dalam bentuk tulisan, serta observasi penulis sendiri.

Pelayanannya Menembus Semua Lapisan

Dr Armencius adalah teman satu angkatan dengan Pendeta PWT Simanjuntak (Mantan Ephorus HKBP) dan Pendeta RMG Marbun (mantan Bishop GKPI), yang lulus dari STT HKBP Nommensen pada 1958. Beliau adalah seorang anak desa dan hidup dalam kesederhanaan. ”Kami berdualah yang tidak pernah makan bakmi diantara mahasiswa, ketika kuliah karena tidak punya uang,”ujar RMG Marbun saat menjenguk rekannya itu di rumah duka. Kesederhanaan dilakonkan Dr Munthe sampai akhir hayatnya.

Kesederhanaan bukan berarti alasan untuk tidak menyenangkan orang lain. Beliau adalah orang yang mampu memberikan suasana menyenangkan bagi sekelilingnya. Dalam setiap perjumpaan atau pertemuan, Dr Armencius Munthe senantiasa membuat suasana segar. ”Kadang kami mendengar beliau berceramah sampai tiga jam, tanpa merasa capek. Beliau kaya dengan kata-kata humor disertai ekpresinya yang membuat orang ketawa,”ujar Pendeta Dr Dolok Saribu, Bishop Gereja Methodis Indonesia (GMI) saat melayatnya Senin 27 Juli 2009. .

Lulusan Master Theologia dari Fakultas Teologia, Universitas Hamburg 1965 ini adalah seorang intelektual yang bisa mengkomunikasikan ide-ide dan pikirannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Orang berkumpul kalau dia datang, orang mendengar kalau dia berbicara. ”Beliau adalah salah seorang pemimpin GKPS yang memiliki kemampuan intelektual sekaligus mampu berkomunikasi dengan segala lapisan masayarakat, sehingga kehadirannya sangat dirindukan semua jemaat,” demikian Prof Dr Bungaran Saragih, dalam biografinya Anugerah Tak Terhingga (2004).

Dalam kapasitasnya sebagai seorang dosen, pria yang selama dua tahun melayani sebagai dosen di Seminari BNKP Ombolata Nias (1966-1968) ini digambarkan oleh Dr H. Doloksaribu, sebagai seorang yang pintar, humoris, jujur, ramah, peduli. suka memberi dan rendah hati. Tentang kisah suka memberi, Dr H. Doloksaribu menceritakan sebuah pengalaman mahasiswa yang pernah di dengarnya. Beliau mengisahkan betapa sebagai dosen pembimbing mahasiswa Pasca Sarjana, mantan dosen STT Abdi Sabda dan STT HKBP Nommensen ini acapkali merogoh koceknya untuk uang transportasi mahasiswa pulang. ”Sulit dicari dosen pembimbing seperti pak Munthe,” ujarnya.

Beberapa pimpinan gereja yang melayatnya hari Senin 27 Juli mengungkapkan betapa beliau sepanjang hidupnya mencurahkan diri untuk melayani, mengkomunikasikan ide-ide dan pemikirannya ke tengah-tengah masyarakat. ”Aku bersyukur kalau masih bisa melayani,”demikian mottonya yang dikutip Pendeta Belman Purba Dasuha, STh, Ephorus GKPS saat melayatnya hari itu. Dasuha mengatakan, meski sudah pensiun sebagai pendeta, sepanjang hidupnya Pendeta Munthe terus memenuhi undangan berkhotbah ke berbagai gereja di Medan ataupun di Jakarta dan tempat-tempat lainnya di Sumatera.

Di luar tugasnya sebagai gembala rohani dan dosen, pria yang pernah aktif sebagai pengurus berbagai organisasi gereja dunia maupun nasional ini, adalah seorang penasehat sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun kepada para tamu-tamunya dari luar negeri. ”Ephorus Munthe menjadi penasehat yang berharga bagi saya secara khusus dalam hal sejarah, adat dan tradisi orang Simalungun. Dalam waktu yang tidak berapa lama orang dapat berhubungan dengan beliau secara terbuka dan bersahabat,:ujar Pendeta Clem Schmidt, Gereja Lutheran, Australia.

Kemampuannya berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat membuat pelayanannnya dirindukan banyak orang. Tidak hanya sebatas jemaat dan para majelis dan pendeta di gerejanya di GKPS, tetapi juga berbagai denominasi. Dr Armencius Munthe MTh acapkali berkhotbah di Gereja HKBP, GKPI, GBKP, BNKP Nias, HKI, Gereja Methodist dan gereja lainnya, persekutuan-persekutuan di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan dan kebaktian-kebaktian rumah tangga..

Peduli Kualiatas Pelayanan

Suami Floriana Tobing ini, tidak hanya berkomunikasi lewat khotbah langsung kepada jemaat. Sejak awal beliau memikirkan komunikasi khotbah lewat media dan buku-buku. Sebuah kegiatan yang hingga akhir hayatnya terus beliau lanjutkan.

Buletin Ambilan pakon Barita (AB), yang bulan Juli 2009 ini memasuki No 424, diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1970. Saat itu adalah tahun-tahun pertama beliau menjabat sebagai Sekjen GKPS, mendampingi Ephorus Pendeta Lesman Purba (1970-1972). Perlu diketahui, beliau juga mendampingi Ephorus Pendeta SP Dasuha, mantan Ephorus GKPS (1972-1977), dan Ephorus Pendeta JAS Damanik, STh (1990-1995). Sebelumnya saat menjabat Ephorus (1977-1990), beliau didampingi Sekjen Pendeta HM Girsang. .

Semasa kepemimpinannya baik sebagai Sekjen maupun sebagai Ephorus, mertua Rebecca br Situmeang, Kurniaty br Purba, Darty br Purba dan Lamsihar Pasaribu ini, peduli pada penerbitan bahan-bahan pelayanan. Sebut saja beberapa diantaranya, seperti penyediaan buku-buku bahan khotbah, penerbitan Bibel berbahasa Simalungun (yang diterjemahkan Pendeta Petrus Purba), Parmahan Na Madear, Buku Doding Haleluya, buku-buku tentang pengaturan organisasi gereja, kursus-kursus peningkatan kemampuan menulis bagi para pendeta dan mejelis jemaat, garis besar kebijakan umum gereja dan lain-lain, dan pengembangan Kolportase GKPS.

Selain itu, beliau sendiri tidak henti-hentinya menulis buku-buku bacaan baik bagi para pendeta maupun jemaat. Pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam puluhan buku akan menjadi warisan emas bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, diantaranya Kamus Teologia yang ditulisnya bersama pendeta D. Tappenbeck dan Pendeta J.Wismar Saragih, Pargamon: Parlajaran Parguru Manaksihon, Marthin Luther, Limbaga Pasal Harajaon ni Naibata, Injil dan Orang-orang Miskin, Homeletika, Firman Hidup 45, Kabar Baik dalam Perumpamaan Yesus, Tema-tema Perjanjian Baru, Jalan Menuju Tahta, Perjanjian Baru versi Mudah dibaca, serta beberapa buku lainnya. Buku Back to Bible dan Terjemahan Perjanjian Lama yang belum sempat diterbitkan akan menjadi warisan berharga darinya.

Bersinar Terus!

Ayah dari Elisa Munthe, Markus Munthe, Paul Munthe dan Ruth Munthe ini mendapat simpati dari berbagai pihak. Penghormatan berupa deretan karangan bunga yang berjajar mulai dari jalan besar ke arah Pajak Melati dan jalan masuk ke Kompleks Perumahan Pemda II, kemudian bersambung ke jalan Flamboyan, menunjukkan besarnya simpati bagi pendeta yang rajin melayani ke berbagai lapisan masyarakat dan berbagai denominasi gereja ini.

Lebih dari 1500 orang yang melayatnya di tengah guyuran hujan adalah bukti kecintaan mereka atas pria pemegang gelar Doktor Honoris Causa dari Academy of Ecumenical Indian Theology, Chennai, India 1997 ini. Mereka—yang berasal dari warga GKPS di Medan, dan luar Medan, warga dari gereja berbagai denominasi, bersempit-sempit untuk sekedar melihatnya terakhir kalinya, menghibur keluarga yang ditinggalkannya.

Pendeta Dr Armencius Munthe, dilahirkan 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, Kabupaten Karo. Lokasinya persis di perbatasan Kabupaten Karo dan Simalungun. Penduduknya memiliki adat kebiasaan yang sedikit berbeda dengan kedua suku di atas. Adat Sipitu Huta, demikian mereka menyebutnya, mewarnai upacara pemberangkatan pria yang pernah satu tahun tinggal bersama neneknya di daerah Lehu, Dairi ini.

Para lelaki memakai ”bulang” berwarna merah-kuning—berbeda dengan ”bulang” yang dipakai di Simalungun dan Karo. Serangkaian upacara berlangsung, mulai dari ”Pamasuk hu Rumah na Baru”, acara khusus keluarga dan manortor dari Tondong, Sanina/Pariban, boru dan rekan-rekan sejawat, maupun teman sekampung (hasoman sahuta).

Acara manortor membuat suasana pekarangan dan rumah sempit jadi penuh sesak. Puluhan orang dalam satu rombongan menyebabkan lokasi yang hanya berukuran 4 meter kali delapan meter yang dibatasi pagar dan hanya satu pintu keluar itu terasa sesak dan panas. Ditambah lagi panas terik di pagi hingga siang itu membuat orang-orang berkeringat.
.
Sebuah penghormatan adat bagi seorang pemimpin pelayan (Servant Leader), meski gereja masih sering mempersoalkannya sebagai sebuah kegiatan yang memerlukan penyederhanaan. Acara adat memang cukup lama, bahkan sesudah makan siang masih tersisa beberapa rombongan boru. Acara adat memang menyita waktu hingga beberapa acara lainnya harus terpotong, karena acara di gereja harus dilaksanakan pukul 16.00 di di Gereja GKPS Maranatha.

Di gereja itulah beliau terdaftar sebagai anggota jemaat, sejak bermukim di Medan pada 1995. Meski di tengah hujan deras tak mengurungkan para pemimpin gereja dan tokoh-tokoh masyarakat mengikuti kebaktian yang dilaksanakan sore hari 28 Juli 2009. Hampir separuh ruangan terisi oleh para pendeta dari berbagai denominasi. Kebaktian pemberangkatan dipimpin oleh Ephorus GKPS, Pdt Belman Purba Dasuha, STh, didampingi Sekjen GKPS, Pendeta Rumanja Purba, STh, Msi.

Pada acara pemberangkatan tersebut, Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI), mewakili gereja tetangga, menyampaikan ucapan belasungkawa, pesan dan kesan. Selain itu, perwakilan dari GKPS Resort Medan Selatan, St Japitah Sinaga, SE menyampaikan ungkapan duka yang mendalam.

Ijon do Marsaran!

Di Taman Pemakaman Simalingkar B—yang berjarak sekitar 10-15 menit perjalanan dengan kenderaan dari GKPS Maranatha, dilakukan acara pemakaman dan disaksikan para pendeta GKPS dan gereja lainnya dan keluarga yang mengantar anak tertua dari enam bersaudara itu. Di tengah guyuran hujan dengan menggunakan payung, Ephorus GKPS memimpin acara pemakaman. Keharuan merebak, saat menurunkan peti jenazah anak tertua enam bersaudara buah perkawinan almarhum Jalias Munthe dan Honim br Gisang, ke liang lahat berukuran panjang 220 centimeter dan lebar 90 centimeter. Tangis tanda kesedihan perpisahanpun tak tertahankan.

Dr Armencius Munthe diberangkatkan dalam sebuah peti yang hanya berisi seperangkat pakaian yang melekat ditubuhnya dan barang-barang tak berharga lainnya. Beliau tidak membawa serta mas, uang, berlian, mobil atau rumah sederhana miliknya.

Pimpinan Pusat menjatuhkan bongkahan tanah kecil sebanyak tiga kali. ”Dari tanah, kembali ke tanah!”. Disusul oleh keluarga dan para pengantar lainnya. Lobang yang berisi peti itu kemudian ditimbun dengan tanah urukan dari lobang yang sama, hingga seluruhnya tertutup.

Sebuah salib dipancangkan dengan tuliskan : ”Ijon do Marsaran” (Rest in Peace) : Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh (Ompung Theofil Munthe). (*) 12 Februari 1934, (+) 25 Juli 2009”. Di tengah guyuran hujan, sore itu, para pengantar meninggalkan Pendeta Dr Armencius Munthe MTh sendirian. Sepi, dingin!

Peristirahatan terakhir Dr Armencius Munthe terletak di lokasi strategis--tidak jauh dari pinggir akses jalan masuk di dalam makam. Dikompleks pekuburuan yang menampung sekitar 9000 makam itulah tempat tinggalnya sementara menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya.

Di kompleks pekuburuan yang terawat dan bersih itu, puluhan orang setiap harinya bekerja menggali, membangun dan merawat makam. Mereka juga mengatur para pengunjung, mulai dari parkir dan serta para penjual bunga dan keperluan makam lainnya. Para pengelola yang berada di sekitarnyapun, meski seharian bersama-sama di satu tempat di sekitar makamnya, tetapi mereka hanya berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata-kata. Mereka akan merawat makam Dr Armencius Munthe, MTh sama seperti makam-makam lainnya.

Dr Armencius Munthe tidak merasakan apa-apa lagi, tidak ada senyum, tawa dan khotbah yang memukau. Dia tidak akan pernah kaget lagi seperti ketika dia menumpang mobil saya yang tiba-tiba kemasukan air hujan menerpanya karena angin kencang. Beliau tidak lagi berceramah, tidak lagi mengunjungi jemaat yang sedang mengalami masalah hidup, tak ada kiriman pulsa kepada orang-orang yang memerlukan, tak ada lagi pemberian buku-buku gratis kepada jemaat dan rekan-rekan yang lazim dilakukannya.!

Kamar khususnya di salah satu bagian rumahnya yang dipenuhi ribuan buku-bukunya, tak lagi dihuninya. Dari rumah sempit itulah beliau menghasilkan karya-karya gemilang, mempersiapkan khotbah-khotbahnya kepada ribuan jemaat, ceramah-cermah bagi para majelis gereja dan para pendeta dari berbagai denominasi.

Ruangan itu kini ditinggal kosong. Tidak ada lagi pria yang duduk di depan komputer mengerjakan naskah-naskah buku atau bahan khotbah. Beberapa file yang ditulisnya masih tersimpan di komputernya. Email-email yang masuk ke komputernya tidak akan pernah dibukanya lagi. Dia tidak pernah membalas kepada pengirimnya. Bukunya masih dibiarkan seperti sedia kala. Terpampang fotonya di salah satu sudut ruangan itu.

Kini, semua aktivitas fisik yang Dr Armencius Munthe berhenti, namun hasil pekerjaannya selama puluhan tahun tidak akan hilang dan akan terus bertumbuh. ”Harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”.

Idenya mengadakan operasi katarak gratis kepada penduduk di Simalungun dan Tapanuli Utara, seperti diungkapkan Andreas dari Yayasan Setia Bakti, Jakarta saat melayatnya tidak akan berhenti sebatas usulan. ”Kami akan mewujudkannya dan ini merupakan karya terakhir almarhum semasa hidupnya,” ujar Andreas mewakili yayasan itu.

Para petani peternak di Pangambatan yang baru saja memulai usahanya dengan dorongan Dr Munthe sebelum beliau pergi, hanya bisa sedih merelakan kepergian pria yang meski di usia tuanya senantiasa memperhatikan kemajuan kampungnya itu.

Meski Pendeta Armencius Munthe telah menyatu dengan tanah di Taman Pemakaman Simalingkar B, warisannya hidup ditengah-tengah keluarga, masyarakat GKPS, dan masyarakat gereja-gereja lainnya, teman-teman sejawatnya serta bagi siapa saja yang pernah bersama-sama dengan kakek dari Theofil Munthe, Cecilia Munthe, Tabitha Munthe, Kevin Munthe, Steven Munthe dan Samuel Pasaribu ini. .

Selamat jalan Pendeta Dr Armencius Munthe!.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)

Persahabatan Dipisahkan Kematian
Oleh : Jannerson Girsang


Beberapa hari setelah Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh meninggal, 25 Juli 2009 lalu, saya mencoba mencurahkan kesedihan dengan menuliskan tulisan, mengunjungi keluarga dan istrinya untuk menghalau perasaan galau.

22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, menjadikannya sebuah persahabatan sempurna hingga akhir hayat.

Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya--meski usia kami berbeda 26 tahun. Dalam kesehariannya, beliau sangat menghormati teman-temannya, sama halnya terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama.

Umumnya, orang Simalungun yang lebih tua memanggil nama kepada yang lebih muda. Beliau memperlakukan dirinya bukan sebagai seorang senior. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana istrinya pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.

Dalam setiap pertemuan, kami berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif.

Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat.

Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak pernah menggunakannya. Kadang beliau saya tempatkan Tondong, beliau tidak keberatan, atau suatu ketika saya menjadi Tondongnya dari satu sisi. Tidak melakonkan tutur satu arah, sehingga dua-duanya tidak merasa sungkan, dua-duanya sebagai pelayan. Tetapi kalau ada acara di rumahnya, kerap kami ikut tondong Girsang, karena ibunya boru Girsang.     
Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru.


Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat.

Sampai kemudian saya mendapat kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang pada awalnya banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya.  Masa-masa dimana saya begitu mendalami kehidupannya yang lengkap dengan penderitaan, kebahagiaan,  perjuangan,  penyerahan dan rasa syukur pada Tuhan atas pencapaiannya dalam hidup.

Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir.

Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain, berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung.

Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad. Saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong, malam hari usai acara penguburan dan adat dari Tondng Girsang di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”. Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan.

Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”

Mungkin, demikian eratnya persahabatan itu, hingga saya beruntung mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan sempurna yang dipisahkan oleh kematian.

Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”. Inilah sekilas persahabatan kami, sebuah kelengkapan dokumentasi ke depan. Mudah-mudahan ada gunanya.

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (8)

Guyuran Hujan : Memberangkatkan Dr Armencius Munthe

Oleh Jannerson Girsang

Kalau di pagi hari cuaca 28 Juli 2009 begitu cerah dan bahkan para pelayat tampak berkeringat dan sebagian diterpa panas matahari langsung karena tenda dan kursi yang tidak mampu menampung mereka, beberapa jam setelah makan siang hujan deras membasahi kota Medan. Pendeta A Munthe diberangkatkan di tengah guyuran hujan deras.


Memang seperti yang diperkirakan, pengunjung yang ingin menaksikan pemberangkatan terakhir pendeta pelayan itu di luar perkiraan. 1500 kursi disediakan di sebelah kiri dan kanan depan gerbang rumah Dr Armencius, jalan Flamboyan I/1 Perumahan Pemda II Medan.

Kursi terisi penuh dan masih ada beberapa ratus tambahan kursi. Belem lagi tamu-tamu yang datang dan kemudian pulang, tanpa sempat duduk, karena ada kepentingan lain. Tiga hari menyaksikan para pelayat yang datang ke rumah duka membuat saya makin mengerti siapa sebenarnya Armencius Munthe. Dia dikenal oleh berbagai kalangan Mereka merasakan perbuatan pak Munthe sesuai dengan ungkapan yang mereka  saat menyampaikan ucapakan rasa duka.

Munthe adalah seorang guru yang pintar, hangat dan bersahabat, pemurah, peduli, mencari kotak kitam bukan ”kambing hitam”. Seorang suaminya yang sangat mencintai istrinya dan ”bukan sitonggor jumbak”.  Dan banyak lagi.


Dalam kehidupan oikumene, beliau adalah seorang pendeta yang dirindukan oleh semua jemaat dan para pendeta dari berbagai denominasi. ”Beliau digaji GKPS, tetapi tenaganya banyak dignakan Gereja Methodis Indonesia,”ujar Pendeta Dolok Saribu, Bishop GKPI.

Acara pemberangkatan di rumah duka berjalan lancar, tetapi beberapa acara yang sudah dijadwalkan terpaksa terpotong karena memang waktu yang tidak mengijinkan. Kami memberangkatkan pak Munthe hanya sampai ke ambulance yang mengangkutnya ke gereja GKPS Maranatha.

Upacara pemberangkatan jenazah di GKPS Maranata berlangsung hikmat, meski dibawah guyuran hujan lebat. Gereja berkapasitas 400 orang jemaat itu penuh sesak. Acara dipimpin langsung oleh Pendeta Belman Purba Dasuha, Ephorus GKPS didampingi Pendeta Rumanja Purba, Sekjen GKPS dan para pendeta GKPS dan pendeta dari berbagai denominasi.Dari gereja tetangga Pendeta Dr MSE Simorangkir (Bishop GKPI) mewakili gereja tetangga menyampaikan ucapan belasungkawa.

Usai acara kebaktian pemberangkatan dari gereja, hujan terus mengguyur kota Medan. Hanya beberapa pendeta dan sekitar kurang dari seratusan orang anggota keluarga yang turut meghantarkannya ke Taman Pemakaman Simalingkar B, yang ditempuh sekitar 15 menit dari GKPS Maranatha. Acara pemakaman dipimpin langsung Ephorus GKPS didampingi Sekjen dan beberapa pendeta

Peci itu Dikenakan di Kepala Elisa


Elisa Munthe anak tertua pak Munthe menerima ”peci” dari Pak Munthe yang diserahkan Tondong Girsang. ”On ma ambia tanggkuluk ni lae on. Ipakehon hanami ma on hubam, ase ho ma panggantih ni lae na dob borhat i rumah nami. Sonai pambahen ni sadokah on, sonai ma tiru hanima,”kata Tondong Girsang dari Pangambatan.

Acara malam itu juga disaksikan oleh beberapa keluarga Tondong Tobing, sanina Munthe dan boru Munthe.

Tondong Tobing juga mengadakan acara ”menyalam” Floriana—ito (boto) dari keluarga Tobing baginya yang sedang berduka karena ditinggal suami. Semoga saudara mereka bisa melupakan kesedihan dan datanglah kebahagiaan.


Selamat Jalan Dr Armencius Munthe!.

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (7)

Persiapan Martonggo Raja

Oleh : Jannerson Girsang

Sebagaimana kebiasaan di GKPS pada umumnya, seorang tokoh gereja yang meninggal diberikan penghormatan adat dan upacara pemberangkatan dari gereja. Demikian halnya dengan Pendeta Dr Armencius Munthe.

Dr Armencius Munthe meninggal sayur matua-memiliki putra dan putri dan sudah memiliki cucu dari putra-putrinya.  Acara pemakamanannya dilaksanakan adat sayur matua. Mengingat desa kelahirannya adalah di Pangambatan, sebuah desa di perbatasan Tanah Karo dan Simalungun, maka adat yang dilaksanakan adalah adat Sipitu Huta. Adat yang sedikit berbeda dengan adat Simalungun maupun Karo.  Semua sepakat untuk menghormatinya dengan adat yang berlaku di kampungnya dan yang umum dilaksanakan keluarganya.  

Konsep pelaksanannyapun didiskusikan dengan matang dengan seluruh perwakilan keluarga. Perwakilan keluarga membuat rancangan dan akan disepakati dalam rapat Martonggo Raja--yang dihadiri seluruh unsur mulai dari tondong, boru, sanina dan hasoman sahuta dan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan acara 28 Juli 2009.  

Pak Silalahi (sebagai boru) dan pak Munthe sebagai sanina jabu keluarga Armencius Munthe bekerja keras untuk menemukan kesepakatan. Hingga konsep acara yang akan dilaksanakan dapat dirampungkan dan akan diajukan pada acara Martonggo Raja pada malam hari pukul 20.00 WIB. 

Rencana semula, acara ”Pamasuk hu Rumah na Baru” dilaksanakan pagi-pagi hari Selasa, demikian juga acara khusus keluarga, dipercepat menjadi hari Senin. Alasannya, daftar acara yang sudah masuk untuk dilaksanakan hari Selasa, sangat padat. 

Dalam rapat keluarga Senin Pagi, diputuskan acara ”Pamasuk hu Rumah-rumahni” pukul 16.00 WIB, mengingat padatnya acara yang akan dilaksanakan besoknya. Perubahan ini bukan hal mudah. Diperlukan koordinasi dengan pendeta yang memimpin acara kebaktian dan tondong Girsang sebagai pelaksana utama. Demikian juga tondong Tobing dan hasoman sahuta. 

Acara ”Mambahen hu rumah Nabaru” berlangsung dengan baik, sesuai dengan jadwal. Dihadiri Tondong Girsang, Tobing, Hasoman Sahuta dan keluarga yang berduka. Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan seperti itu dalam waktu yang singkat, seandainya ada pihak tidak memiliki rasa pengertian. Sebuah contoh demokrasi yang dilandasi dengan kasih (holong). Sesama keluarga yang rukun, memang senantiasa diberikan berkat. 

Malamnya diadakan acara Martonggo Raja yang dihadiri semua pihak yang terlibat pada acara pemberangkatan ke peristrahatannya yang terakhir yang akan dilaksanakan sejak malam Selasa, hingga besoknya. 

Sesudah itu, keluarga mengadakan acara khusus dan diakhiri dengan manortor bersama dalam keluarga inti.

Sesudah acara khusus keluarga, maka acara manortor dilanjutkan kepada Tondong, Sanina, Boro dan hasoman Sahuta!.  

 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (6)

Memberitakan Duka Cita
Oleh : Jannerson Girsang
Minggu 26 Juli 2009. Pagi-pagi sepulang dari rumah duka, saya mengirimkan iklan yang dikonsep keluarga ke harian Sinar Indonesia Baru. Tidur sebentar dan berangkat ke gereja. Saat acara kebaktian di gereja, beberapa teman mengirimkan sms menanyakan alamat dan arah rumah. Kapan dikubur dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus saya balas melalui sms.

Usai acara kebaktian, saya memimpin pertemuan pemuda GKPS Simalingkar sampai jam 16.00. ”Tugas di gereja jangan ditinggalkan,” demikian Munthe senantiasa mengingatkan kami.

Setelah menuangkan kesedihan dengan menuliskannya di komputer, saya dan istri berangkat ke rumah duka! Aku begitu trenyuh melihat situasi saat itu. Rumah kecil itu dipadati pengunjung. Malam itu pelayat dari berbagai denominasi gereja, masyarakat sekitar, berebut ingin masuk dan mengadakan acara penghiburan. Mereka berjajar dan terkadang ada yang saling mendahuli. Pintu masuk menjadi sesak. Jalan keluar yang sempit membuat orang yang berada di dalam rumah terlihat mengipas-ngipas mukanya karena kepanasan.  Taratak yang menampung sekitar 500 orang sudah terpasang di jalan depan rumah.

Haryanson dan beberapa anggota keluarga meminta saya supaya mengatur acara agar bisa berjalan dengan baik dan hikmat. ”Anggo lang iatur on bang, kacau do holi halani bahat tumang na sihol mambahen acara,”kata Haryanson, salah seorang putra adik pak Munthe.
Dengan segala senang hati saya menerima tawaran ini. Untuk pak Munthe saya rela memberikan  yang terbaik, di hari-hari terakhirnya. Saya meminta seseorang memberikan saya buku dan pulpen. Para rombongan pelayat didaftar lebih dahulu agar mereka bisa melaksanakan acara dengan hikmat, demikian juga keluarga.
Meski diatur, tetapi tetap saja kurang teratur karena banyaknya orang yang ingin mengungkapkan rasa duka kepada pak Munthe, sementara kapasitas rumah yang tidak mengijinkan. Sayangnya ada saja yang tak memperdulikan kepentingan orang lain. Tidak mematuhi disiplin waktu, sehingga kesempatan bagi yang lainnya hilang. Malam itu ada beberapa acara yang sudah terjadwal, tidak bisa dilaksanakan karena sudah larut malam.
Sampai larut malam di hari Minggu itu, ratusan orang secara bergantian masuk ke rumah. Walau hanya sekedar bersalaman tanda ucapan rasa duka. Untungnya, hujan yang turun membuat sebagian para pelayat beranjak pulang dan mengurangi jumlah orang yang antri. Mereka mengurungkan niatnya melaksanakan acara malam itu dan mengadakan acara esok harinya.
Setelah semua acara selesai, beberapa orang keluarga dekat masih tinggal di rumah duka. Keluarga berembuk soal rencana acara yang akan dilaksanakan pada hari Senin dan Selasa. Saya sangat bersyukur karena pembicaraan di tengah-tengah keluarga berlangsung dengan baik dan draft kasar acara sudah tersusun. Keluarga dan orang-orang yang bertugas berjanji akan bertemu jam 11.00 hari Senin, merampungkan rencana acara final.

Kemudian saya menyusun konsep berita meninggalnya pak Munthe di Sinar Indonesia Baru dan Analisa, setelah konsultasi dengan Paul Munthe, salah seorang anak almarhum. Berita meninggalnya Armencius Munthe dipublikasikan 28 Juli 2008 di Sinar Indonesia Baru dan harian Analisa, dua harian terbesar di Sumatera Utara.

Tidak sedikit tamu mengetahui meninggalnya Dr A Munthe dari membaca koran, termasuk Ny JP Silitonga istri teman dekat almarhum yang datang tanpa pemberitahuan dari siapa-siapa. ”Saya datang karena membaca koran tadi pagi,”ujarnya. Itulah rupanya sebuah peristiwa penting seperti ini dipublikasikan di media cetak.

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (5)

Armencius Munthe sudah Tiada!

Oleh : Jannerson Girsang

Sabtu 25 Juli 2009. Seharian saya di rumah menulis. Perbaikan-perbaikan dan tambahan informasi penulisan buku Floriana dari putrinya Ruth yang dikirimkan Jumat. Istri saya mengajak ke rumah sakit menjenguk pak Munthe. Tapi, aku menampiknya. Ada niat, tetapi aku lebih memilih menulis. Aku bilang besok aja hari Minggu. Seharian bisa di rumah sakit. Entah kenapa!. Hingga malam hari, sekitar jam 20, aku masih menulis. 

Lewat sedikit jan 20.00, istri saya mengajak ke laundry mengambil baju yang akan dipakainya ke gereja hari Minggu besoknya ke laundry boru Tampubolon di jalan Tembakau Raya, Simalingkar. Kemudian kami membeli makan malam. Ketika kami kembali ke rumah, Devi anak bungsu saya, sudah tertidur, mungkin capek setelah seharian belajar di sekolahnya SMA Methodist Medan.  

Usai makan malam, handphone saya berdering. Dr Sukarman Purba mengundang saya ke rumah teman saya Sy Edi Sahman Purba, yang berjarak hanya empat puluh meter dari rumah saya atau dua gang dari rumah saya. Ada acara arisan Saragih di sana.  

Hujan sejak sore sudah mulai reda. Tiba-tiba, sekitar jam 22.00, Vorhanger mengatakan Pendeta Armencius Munthe sudah meninggal. Tak lama sms dari St Daud Purba dan St Sudiaman Sinaga masuk memberitakan hal yang sama. Beberapa sms kemudian masuk lagi dan berita yang sama. Berita yang sangat menyedihkan. ”Pendeta Dr A. Munthe sudah meninggal sepuluh menit yang lalu”. Tuhan! 

Beberapa saat kemudian, saya secara resmi menerima telepon dari keluarga. Ruth, putri satu-satunya Pak Munthe menelepon saya. ”Bang bapak udah pergi,”ujarnya sambil terisak-isak sedih. Oh, Tuhan, beginikah akhir perjalanan seorang yang mengerjakan kebaikan tanpa pernah menyebut-nyebut dirinya baik. Good works no name. 

Saya mengajak beberapa teman saya di rumah Edi Sahman ke rumahnya untuk melayat, tetapi mereka manyarankan supaya bersama-sama ke sana usai kebaktian Minggu besok. 

Tetapi, aku kemudian menghidupkan mobil. Istri saya sudah tertidur lelap. Kubangunkan tetapi beliau menyarankan besok pagi saja. Setelah panas mobil cukup, saya mengeluarkannya dari garasi dan terus tancap ke Tanjung sari. Dini hari sekitar jam 03, Minggu 26 Juli itu begitu sepi. Hanya satu dua mobil yang berpapasan dengan saya. Simpang Simalingkar yang biasa macet, aku bisa melenggang menuju rumah pak Munthe melalui Simpang Selayang.  

Tidak banyak lagi kutemukan orang di rumah. Para tamu yang menyertai beliau dari rumah sakit sebagian besar sudah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dekat. Kumasuki rumah pak Munthe, melalui pintu yang sebelumnya senantiasa berdiri seorang pria yang ramah dan menyenangkan. Kumasuki ruang tamu yang biasanya terpasang beberapa kursi tamu, sudah kosong. 

Ruangan itu diganti dengan sosok mayat seorang pria yang sangat kukagumi. Beliau terbaring di atas dipan dengan berpakaian Toga Pendeta dan dilapis dengan ulos Batak (saya lupa nama ulos itu). Pak Munthe sudah terbaring kaku persis di tempat dimana kami bertiga, aku, pak Munthe dan istrinya berbincang pada 16 Juli. Tak ada lagi canda tawa. 

Ruangan tempat kami bercanda, dini hari itu diisi suara isak tangis. Adik perempuannya Berkelina Munthe yang datang dari kampung berselang hanya beberapa menit, menangis sejadi-jadinya dan memeluk saya. Beberapa hari sebelumnya, kami bertemu saat menjenguk pak Munthe di rumah sakit.

Tak ada suara, canda dan ekspresi yang bisa diungkapkan Pak Munthr. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya tertutup rapat, tangannya terlipat dalam sikap berdoa. Pak Munthe meninggalkan kami semua. Meningalkan sejuta kenangan indah!

Aku menyalami tamu di sekitar jasadnya yang sudah membeku. Merenung sejenak memperhatikan jasad yang sudah membeku. Aku mengelus keningnya. Selamat jalan kawan!

Aku menemui ibu Floriana di kamarnya. Beliau menangis dan aku memeluknya. Beliau terus menangis dan aku menasehatinya. ”Inang sudah mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat dari malam ini. Inang harus kuat,”aku mengingatkannya, seraya menghapus air matanya dan mencium keningnya. 

Aku sangat iba melihat ibu yang sangat polos dan baik ini. Selama ini beliaulah yang sakit. Kadang kami harus menunda wawancara karena mempertimbangkan kondisi kesehatannya. Justru dalam kondisi seperti ini beliau harus menghadapi situasi berat. 

Disaksikan cucunya Theofil yang tiduran di sampingnya duduk, akhirnya Floriana bisa tenang ”Yah, saya bisa terima kok. Beliau tidak menyusahkan saya, beliau mengerti situasi,” demikian ibu yang tangguh ini memaknai perginya pak Munthe. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (4)

Pak Munthe Terbaring Lemah

Oleh : Jannerson Girsang

Salah satu ruangan menghadap taman, berjarak hanya beberapa meter dari sebuah ruang operasi di rumah sakit Herna, Medan. Di depan pintu ruangan tertulis ”Dilarang bertamu lebih dari dua orang”. Menunjukkan penyakitnya serius dan tidak boleh terganggu oleh pengunjung. 

Dua orang pria, Elisa dan salah seorang Saudara pak Munthe sedang berada di dalam ruangan menjaganya. Beliau sedang ”tertidur”, tetapi mendengar suara saya, beliau langsung memutar mukanya ke arahku. Tabung oksigen membantu pernafasannya terpasang. ”Ai ise do on”katanya. (Siapa ini?). Aku sangat sedih. Hari Kamis, lima hari sebelumnya, pria yang sangat kukagumi ini masih tegar dan tidak ada menunjukkan sakit apapun. Bercerita dengan lancar dan penuh rasa humor. ”Kini beliau tidak mengenalku lagi”. 

Barangkali sensor syarafnya sudah tidak secepat dulu lagi. Setelah saya mendekat dan membisikkan: ”Ini Jannerson”, beliau meneteskan air mata. Aku berdoa disamping telinganya sambil mengusap keningnya. ”Ya...a.....ah”, hanya itu yang keluar dari mulut yang selama ini menjadi sumber kata-kata bernas diselingi senyum dan tawa yang bisa membuatku melupakan segala kepenatan hidup. 

Di akhir doa aku berkata: “Amen”. Beberapa saat kemudian kesadarannya makin bertumbuh. “Bukutta pe lape sae,”katanya. (Buku kita belum selesai). Khayalan burukku hilang dan kembali menemukan Munthe sahabatku yang sebenarnya. Beliau mulai ingat pekerjaan kami yang terakhir. Membuat buku kenangan bagi seorang istri yang sangat disayanginya, Floriana Tobing. Hadiah Ulang Tahunnya ke 78, yang jatuh pada 16 September 2009 mendatang. 

Tapi, aku kembali sedih, setelah memeriksa tangan dan kaki kirinya. ”Badannya sebelah kiri lumpuh,”kata Elisa. Aku cubit, memang tidak ada reaksi. ”Tuhan, mengapa ini terjadi,” demikian jeritku dalam hati dengan tangis yang tertahan. Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua pertolongan ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani. 

Aku mengambil gambarnya dengan kamera beberapa kali. Mungkin ini kenang-kenangan bersejarah di kemudian hari. Beliau sangat senang ketika itu. Beliau bahkan mengatur posisi orang-orang di sekitarnya. ”Kau disini, kau di sana,”katanya. 

Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani. 

Kondisinya memang tidak labil. Kemudian beliau beberapa kali menanyakan siapa saya, saiapa istri saya. Kemudian beliau katakan kepada Elisa supaya Vorhanger Pekanbaru ditelepon. Hanya sekitar 20 menit saya berada di ruangan. ”Saya hanya berfikir, andaikata beliau tidak bisa berbicara lagi. Begitu banyak cerita dari mulut pak Munthe yang belum sempat terekam, begitu banyak kata-kata indah yang belum kudengar”. 

Aku sempat memperhatikan daftar orang di buku tulis tiga puluh dua halaman--buku tamu, yang disediakan istrinya. Aku mengetahui ada sekitar 20-an orang yang bertamu sejak hari Sabtu. Mungkin ada beberapa lain yang tidak terdaftar. Tak perlu kusebutkan bagaimana perasaanku melihat buku tamu itu!

Aku keluar dengan seribu perasaan cemas dan sedih. Kawanku selama 22 tahun, harus menderita penyakit seperti ini. Beliau merasa sepi, tidak bisa mengunjungi jemaatnya. Karena beliau hanya bisa besyukur, kalau bisa melayani. Kini beliau dilayani seratus persen!

Tidak ada terbetik dalam hati, kalau Armencius akan segera meninggalkan kami. 

Saat itu aku hanya berfikir, beliau akan mengalami sakit yang lama. Kami sempat berbincang dengan Berkelina Munthe (adik perempuan satu-satunya dari pak Munthe) yang tiba beberapa saat di belakang kami. Bicara soal usaha yang mungkin bisa menolongnya. Tapi, itu hanya basa basi saja. Yang menentukan perawatan adalah dokter yang merawatnya. 

Aku meninggalkan rumah sakit bersama ayah dan ibu saya. Sesampainya di rumah kami beberapa saat mendiskusikan kejadian yang menimpa pak Munthe. Semua merasa sedih. Ayah saya yang baru berulang tahun ke-72, 5 Juli lalu merasa terpukul. ”Saya mendapat hadiah pulsa Rp 50.000,” katanya ketika itu. Itu dari pak Munthe. Beliau tidak hanya memperhatikan orang-orang besar. Orang kecil di pelosok, masuk dalam doanya, masuk dalam pelayanannya. 

Hari-hari berikutnya aku hanya mendapat informasi melalui telepon dari inang. ”Tidak ada perubahan. Kondisinya sama seperti ketika masuk ke rumah sakit,”ujarnya, ketika kuhubungi besoknya. 

Jumat 24 Juli. Saya menjenguknya ke rumah sakit bersama istri saya, St Lerpin Girsang dan anaknya Melisa, dan Hendra Girsang. Saat itu dua orang teman kami Lae Tarihoran dan Romi Junover Girsang dirawat di rumah Sakit Herna. 

Aku bertambah pesismis melhat pak Munthe, kondisnya tidak berubah. Beliau tidak mengenalku lagi. Tak ada kata-kata yang bisa kuingat keluar dari mulutnya. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Sekali-sekali beliau menarik nafas panjang. Kepalanya digerak-gerakkan mulutnya bicara tanpa bisa kmengerti dengan jelas.

Istri saya menyerahkan serantang makan siang kepada inang Floriana Tobing. ”Hanya ini yang bisa kami bawa nang”ujar istriku. Inang yang baik hati itu menyambutnya dengan senyum. ”Serantang nasi bagi penjaga pak Munthe”, untuk kebaikan pak Munthe. Disaksikan pak Tjipta Sitepu dan pendeta Aruan yang saat itu berada di ruangan tiga kali tiga meter itu. Tjipta Sitepu nama yang sering disebut-sebut pak Munthe dan Aruan adalah asisten pribadinya di rumah dalam penulisan buku-bukunya. 

Tak ada tanda-tanda beliau akan pulih secepatnya, tetapi tidak ada firasatku beliau akan pergi. Kami meninggalkannya di rumah sakit. Beliau ditemani istri tercintanya dan beberapa teman dekatnya. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (3)

”Iboto ho do pak Munthe i RS?”. 

Oleh : Jannerson Girsang

Pagi-pagi hari Senin, 20 Juli 2009 di gereja GKPS Padang Bulan Medan. Saya menghadiri upacara pemberkatan Rina br Girsang anak bapa anggi almarhum Sudiman Girsang dari Pasar I. Salah seorang keluarga namboru Berkelina br Munthe (saudara perempuan satu-satunya dari Dr Armencius Munthe) mendekati saya dan berkata: “Ai ibotoh ho do lae Armencius Munthe sedang irawat di RS Herna. Nina terkena stroke ringan” katanya. Apakah anda tidak tau ipar saya Armencius Munthe dirawat di RS Herna. Katanya kena stroke ringan.  

Saya diam sejenak. Tak menjawab. Ada rasa malu, karena saya memang tidak tau apa-apa. Bahkan beliau menimpalinya lagi, ”Seharusnya kau yang lebih tau, malah kau tidak tau,”. 

Aku memang harusnya lebih tau dari beliau. Tetapi begitulah terkadang. Tidak semua informasi bisa kita lebih dulu tau, walau kita lebih dekat dengan seseorang. Saluran informasi bisa tertutup atau hal-hal lain yang membuat informasi tidak mengalir. .  

Wah, pak Munthe steoke. Tidak mungkin!. Langsung saya telepon inang Floriana, istri pak Munthe. ”Ya memang benar, bapak dirawat di Herna. Madabuh ia ari Sabtu, sanggah i pesta au”, katanya dengan suara lemah dan serak. 

Saat itu, kami hanya komunikasi lewat handphone. Saya mengatakan kami sedang di pesta. ”Oh pesta boru Girsang itu ya. Nasiam homa suhut tene”katanya mengaminkan alasan saya tidak menjenguk pak Munthe hari Senin itu. . 

Pesta itu adalah pesta Rina boru Girsang anak almarhum Saridin Girsang dari pasar I. Saya menjadi salah seorang wakil suhut dan tidak bisa meninggalkan pesta itu sampai selesai, sekitar jam 18,00 WIB. Saya memutuskan menjenguknya ke rumah sakit besoknya. Malamnya saya mengirim sms kepada teman-teman dekat.  

Selasa 19 Juli 2009. Sekitar jam 07 saya berangkat ke Rumah Sakit Herna. Kebetulan ayah dan ibu saya sedang berada di Medan, merekapun saya ajak ke sana. Tiba di rumah sakit, saya bertemu Elisa, anak tertuanya dan salah seorang saudara pak Munthe yang tinggal di Pematangsiantar. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (2)

Kaget Terima Pulsa 500 Ribu, Menyesal Tolak Tawaran Makan Siang 

Oleh : Jannerson Girsang

14 Juni 2009, Pesta Syukuran Ulang Tahuun ke 21 GKPS Simalingkar dan Pengumpulan Dana Pembangunan baru saja usai. Sebagian Panitia masih berkumpul di gereja. Bercengkerama minum kopi dan sebagian masih sibuk dengan perhitungan-perhitungan uang yang masuk dan keluar. Beberapa orang panitia, termasuk pendeta Jonesman Saragih, seorang pendeta pembantu di Resort Medan Selatan kebetulan berbincang dalam satu kelompok dengan saya. 


Tiba-tiba, sekitar pukul 19.20. WIB, handphone saya berbunyi, ada sms masuk. Alangkah kagetnya saya, ketika saya membukanya. ”Nomor handphone anda berhasil ditopup sebesar Rp 500 ribu”. Pertama kali dalam hidup saya mendapat kiriman sebesar itu. Bahkan pengisian pulsa paling banyak yang pernah saya lakukan one saya, hanya sebatas Rp 200 ribu. Tak lebih. Sms itu saya tunjukkan kepada teman-teman saya berbincang, termasuk pendeta Jonesman Saragih STh. 

Mereka terheran-heran bahkan ada yang berseloro minta dibagi. Kebetulan kami menggunakan handphone yang berbeda operator, jadi tidak bisa dibagi. Memang, ada seseorang yang sering mengirim saya pulsa akhir-akhir ini. Beliau bukan orang yang berkelebihan. Saya tidak yakin kali ini, pulsa itu berasal dari orang yang sama. Jumlahnya itu yang membuat saya tidak yakin. Tapi, siapa?

Beberapa jam kemudian, saya penasaran juga menelepon kepada orang yang biasa mengirim pulsa itu. Ternyata benar, pengirimnya adalah Pendeta Dr Armencius Munthe.Walaupun beliau tidak mengaku, tetapi saya yakin 100 persen pulsa itu berasal dari pria yang baik ini. 

Besoknya, 15 Juni 2009, telepon di rumah saya berdering. Yang menelepon adalah orang yang sama. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Termasuk kiriman sms hari sebelumnya. Ketika kiriman sms itu saya singgung, beliau tidak menanggapi, malah beliau mengatakan. ”Boi do ham roh hu rumah, laho mangan siang hita hu luar,”katanya. Saat itu sekitar pukul 11.00 WIB. Jadi kami disuruh datang jam 13.00. Awalnya saya setuju dan beliau memang serius menunggu.  

Tetapi oleh sesuatu hal, kami tidak bisa menepati janji itu dan dari nada suaranya, saya menduga beliau kecewa berat. Saat itu, istri saya pergi keluar rumah dan saya tidak tau waktunya kembali. Handphonenya mati. Akhirnya, saya menelepon pak Munthe supaya makan siangnya dibatalkan. ”Nantilah, kan masih banyak waktu,” demikian saya memghiburnya. Tapi jawaban dari seberang bernada kecewa berat. Namun, saya berfikir, terlalu banyak perbuatan baik pak Munthe akhir-akhir yang bagi saya terasa sebagai beban. Karena beliau tidak pernah mau dibayarin. 

(Beberapa bulan yang lalu, beliau mengajak kami makan bersama di salah satu restoran di Medan. Istri saya, saya dan pak Munthe. Ketika itu, istrinya tidak ikut. Kami baru pulang melakukan penghiburan dari rumah pak Washington Sipayung, yang beberapa hari sebelumnya mengalami musibah. Rumahnya dimasuk perampok).  

Undangan yang tidak saya penuhi ternyata membuat Pak Munthe sangat kecewa. ”Saya sudah membatalkan semua acara saya siang itu, tetapi kalian tidak datang,”ujarnya tetapi tidak menunjukkan raut wajah marah atau emosi. Beliau tidak pernah mau menyakiti hati. Menurut istri saya, yang beberapa hari kemudian bercerita dengan istrinya Floriana, pria berusia 75 tahun itu, begitu kecewa. 

Pasalnya, 15 Juni adalah hari bersejarah bagi mereka berdua. Hari perkawinan sekaligus pentahbisan Pak Munthe sebagai pendeta. Inilah kekecewaan pertama dan terakhir kali dari seorang teman, guru dan tempat saya curhat selama 22 tahun ini.  

17 Juli 2009, penasaran saya dan istri berkunjung ke rumahnya. Basa-basi sebentar, kemudian saya mengalihkan pembicaraan. ”Saya terima pulsa Rp 500 ribu, apakah pak Munthe yang mengirimnya,” demikian saya mencoba menghilangkan rasa penasaran itu. Tau apa jawabnya : ”Saya biasa mengirim pulsa untuk orang yang mau melakukan tugas-tugas sosial dan penulisan,” katanya enteng sambil tertawa. 

Di rumah, saya bercerita kepada istri saya, bagaimana saya membalas budi baiknya pak Munthe selama ini. Saya bingung menerima semua kebaikannya. Lantas muncul di benak saya, ide untuk mengerjakan biografi istrinya. Saya menelepon pak Munthe, beliau sangat senang. Itu akan menjadi hadiah bagi istrinya Floriana Tobing, yang akan merayakan Ulang Tahunnya yang ke-78, 16 September mendatang. 

Sepakat, akan mengadakan wawancara pada 29 Juni 2009. Kami bertemu di rumahnya usai makan siang. Wawancara berlangsung sampai sore hari. Kedua pasangan ini kelihatannya begitu gembira. Mereka kembali teringat masa-masa lalu mereka yang indah. Kadang pak Munthe dengan gayanya membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Inang Floriana kadang tersenyum simpul pada kisah-kisah yang lucu dan kadang muka sedikit emosi pada kisah-kisah yang menyedihkan. 

Saat wawancara pak Munthe menemani kami sebentar dan permisi, karena harus mengantarkan Theo cucunya ke Polonia. Theo berlibur di Jakarta di tempat tantenya. Usai wawancara, pak Munthe Pulang. Kami melanjutkan lagi pembicaraan sampai jam 19.00 WIB. Saya tidak memenuhi tawaran makan malam karena harus mengikuti sermón di GKPS Simalingkar. 

30 Juni 2009. Saya tiba di rumah sekitar pukul 10 pagi. Wawancara berlangsung dengan ditemani penuh oleh pak Munthe. Kami makan siang bersama. Saat itu kebetulan saya membawa kamera dan moment mereka bedua makan menjadi dokumen penting kehidupan pak Munthe. 

2 Juli 2009. Wawancara melanjutkan materi penulisan. Inang terlihat banyak batuk di sela-sela pembicaraan. Pak Munthe mendampinginya dan membuat suasana begitu bersemangat dan diiringi gelak tawa. Ketika beliau membaca tanggapan istrinya bahwa beliau adalah seorang pria yang ideal, beliau hanya senyum-senyum saja. Tanpa komentar.  

3 Juli 2009. Wawancara lanjutan dan pak Munthe begitu bersemangat. ”Tenang ma nasiam, ganupan beres do holi in. Ulang pala gobir nasiam,”. Kalian tenang semuanya akan beres. Jangan khawatir. Inilah pernyataanya, yang aku tidak tau apa maksudnya saya tidak tau sampai sekarang!. 

15 Juli 2009. Setelah Minggu sebelumnya tertunda karena ibu kurang sehat, wawancara lanjutan berlangsung dengan baik. Pak Munthe sepanjang pembicaraan mendampingi kami. 

16 Juli 2009. Sebagaimana sudah dijadwalkan, saya tiba di rumah sekitar pukul 10.20. Pak Munthe menyambut saya di depan pintu rumahnya. Seperti biasa kami bersalaman, sapaan akrab dan senyumnya yang tak terlupakan. 

Rumah begitu sepi. Hanya ada seorang pembantu, di luar kami bertiga. Kami duduk di ruang tamu. Pak Munthe duduk di kursi dekat pintu, saya di kursi membelakangi dinding rumah sebelah garasi dan Floriana di kursi sebelah kananku. Betul-betul ideal sebagai posisi wawancara. Berkali-kali pak Munthe bolak balik ke kamar mengambil foto. 

Beliau memberikan satu foto yang bekesan baginya. Keluarga Dr Kayser. ”Tidak ada yang memiliki foto ini, kecuali di rumah ini,”katanya bangga.

Wawancara hanya berlangsung sekitar 1.5 jam. Hari itu kami banyak membicarakan rencana teknis penyelesaikan buku. Pak Munthe akan mengerjakan koleksi foto dan percetakan buku. ”Saya punya teman yang memiliki percetakan di Jakarta,”katanya. 

Tiba waktunya makan siang. Pak Munthe mengatakan : ”Hari ini kita harus makan siang disini”. ”Oh, kali ini saya tidak menolak karena lebih sakit ditolak memberi daripada ditolak meminta,” saya bercnada. Pak Munthe tertawa. ”Baen...baen..baen. Lang boi lang mangan siang hita. Domma loja ham,”katanya. 

Usai makan siang, saya bercerita bahwa orang tua Bendahara Jemaat kami St JE Purba meninggal di Raya Humala. Saya akan ke sana Jumat sore dan Sabtu pagi baru tiba di Medan. ”Halani laho berangkat menjenguk na marujung do ham, hupaborhat do ongkos ni ham”, katanya sambil memasukkan amplop ke kantong saya.

Saya pamit pulang. Beberapa kali saya pamit, tetapi masih molor juga, karena pak Munthe masih ingin bercerita lebih banyak. Pak Munthe banyak bercerita tentang istrinya, Dokter Kayser, GKPS dan masalah operasi katarak yang gagal dilaksanakan pada bulan Juni lalu. Andaikata saya punya alat perekam ketika itu ya!. 

Karena alasan ayah saya sudah menunggu di rumah, maka beliau mengizinkan saya pulang. Sekitar pukul 13.30 saya pulang dan Markus Munthe, anak keduanya tiba di rumah. 

Pak Munthe mengantar saya sampai ke pintu gerbang rumahnya. Bahkan sampai ke luar gerbang, persis dipinggir jalan depan gerbang. Melalui kaca jendela mobil saya melambaikan tangan. ”Permisi ma au da pak Munthe, sampai ketemu Senin!”.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dalam kondisi badannya yang prima. Hari Sabtu, ketika saya sedang menulis hasil wawancara dengan istrinya, beliau mengalami musibah. ”Beliau terjatuh tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit,” demikian informasi yang kudengar beberapa hari kemudian. 

Tak kusangka kalau itu merupakan yang terakhir kalinya beliau menyertai saya dan istrinya Floriana wawancara. Andaipun penulisan buku itu dilanjutkan, tak ada lagi orang pintar dan bijak yang mendampingi kami, sebijak dan sepintar pak Munthe.  

Sebagaimana biasa, setiap minggu istri saya mengirimkan sms ucapan hari Minggu kepada Dr Armencius Munthe. Biasanya, tidak sampai lima menit sms seperti itu sudah dibalas. Inilah sms terakhir dari istri saya kepada pak Munthe. Ternyata saat itu beliau sudah berbaring di Rumah Sakit Herna, karena terkena stoke hari Sabtu sebelumnya. Tidak ada berita kepada kami.

Mungkin keluarga begitu panik dan tidak sempat memberitahukan. "Saya mengurus resep, mengurus rumah dan banyak lagi yang harus saya lakukan,"demikian Floriana istrinya mengakui banyak teman-teman dekat bahkan keluarga ang tidak terinformasi saat pak Munthe masuk Rumah Sakit.  

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)

Persahabatan Dipisahkan Kematian

Oleh : Jannerson Girsang

Usai upacara pemakaman Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh, yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, saya mencoba menuliskan kembali kenangan-kenangan di hari-hari terakhir dengan beliau sekaligus mencurahkan kesedihan.  Sama seperti kesedihan mendalam yang juga dirasakan ribuan orang yang mengasihinya.   

22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, membuatnya menjadi persahabatan sempurna hingga akhir hayat. 

Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya. Dalam setiap pertemuan, kami senantiasa berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif. Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat. 

Beliau sangat menghormati teman-temannya. Demikian juga terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama, sebagaimana biasanya orang Simalungun yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Meski usia kami berbeda hampir 26 tahun, tetapi beliau senantiasa menjaga dirinya bukan sebagai seorang senior. Kami berteman. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.  

Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak menggunakannya. Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru. 

Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat. 

Sampai kemudian saya diberi kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya. 

Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir. 

Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain. Kami selalu berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung. Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad.

Bahkan, secara tidak formal saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong pada malam hari usai acara penguburan di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”.  


Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Demikian persahabatan kami selama ini. Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”

Mungkin, persahabatan yang demikianlah hingga saya berkesempatan mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan yang dipisahkan oleh kematian yang tanpa cacad.  

Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”, bukan dengan rasio. Tak ada analisa, hanya sebuah pandangan sekilas untuk sebuah persahabatan,menghormati seorang sahabat. Mudah-mudahan ada gunanya bagi yang lain.