My 500 Words

Jumat, 26 November 2010

Menyimak Prestasi Andrea Hirata (Harian Analisa, 26 Nopember 2010)

Oleh : Jannerson Girsang

Sejak menerbitkan novel pertamanya Laskar Pelangi (2006), Andrea Hirata melejit bagai meteor. Karya-karyanya Tetralogi Laskar Pelangi dan Dwilogi Padang Bulan laku keras.

Tiga bukunya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, masing-masing dengan judul Rainbow Troops, Dreamer dan Edensor.
Bahkan awal 2010, Andrea sudah merintis sejarah baru pemasaran buku karya-karyanya melalui global marketing. Novel produksi Indonesia tidak hanya dipasarkan di tanah air tapi juga di manca negara. Andrea Hirata menjadi icon penulis best seller Indonesia awal abad ke-21.

Andrea Hirata baru saja kembali pertengahan Nopember lalu, setelah sejak Agustus 2010 mengikuti International Writing Program, University of Iowa, USA. Selain mengikuti training dia juga mengadakan serangkaian diskusi buku di berbagai tempat di Amerika.

The Jakarta Globe, sebuah harian ibu kota berbahasa Inggeris pada edisinya 19 Nopember 2010 mempublikasikan sebuah interview dengan Andrea Hirata di New York, berjudul Exporting Indonesia’s Written Word. Kepada The Jakarta Global Andrea Hirata mengungkapkan akan meluncurkan dua novel barunya. "Yes, I actually have a new novel, and I’m saying this to the Jakarta Globe for the first time. The book has two titles: "Two Trees" in English and "Ayah" ("Father") in Indonesian,"ujarnya.

Artinya, selama empat tahun, Andrea baru belajar sastra tahun 2010 telah meluncurkan sedikitnya delapan novel best seller. Luar biasa!.

Sukses seorang penulis adalah pada kualitas tulisannya. "Tidak di negeri sendiri, tidak pula di negeri orang. Karya berkualitas selalu akan mendapatkan perhatian yang besar bagi semua kalangan. Laskar Pelangi yang telah di terjemahkan ke banyak bahasa mendapatkan pujian dari Christopher Merril, akademisi sastra di University of Iowa Amerika Serikat serta direktur International Writing Program di University of Iowa Amerika Serikat,". Sebuah pesan berharga dan memotivasi para penulis Indonesia.

Saat mengunjungi beberapa toko buku di sana, Andrea bangga buku-bukunya di pajang di toko-toko buku yang dikunjunginya. "Di toko terkenal Prairie Lights di Midwest, sebagai contoh, novel saya dijual. Di San Francisco, beberapa toko buku menjual buku saya," katanya seperti dikutip The Jakarta Globe.

***

Bagi para pencinta novel Laskar Pelangi serta penonton film dengan judul sama yang diadaptasi dari novel itu pasti kenal nama Andrea Hirata!. Tetapi jangan harap anda menemukan nama Andrea Hirata pada buku pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Dia belum terdaftar sebagai penulis dalam khasanah persastraan di Indonesia sebelum tahun 2006, saat pertama kali publik mengenalnya melalui novelnya Laskar Pelangi.

Andrea Hirata termasuk orang yang sangat pelit mengutarakan jati dirinya. Kalau anda melakukan search di internet, anda tidak akan banyak mendapatkan informasi tentang biografi penulis satu ini. Biografinya yang paling lengkap kami temukan pada novel Edensor yang ditulisnya sendiri dan masuk dalam Nominasi Literary Award 2007.

Pria yang memiliki nama lengkap Andrea Hirata Seman Said Harun, lahir di Belitong, Bangka, atau sekarang dikenal Provinsi Bangka Belitung (Babel). Merantau ke Jawa setelah menyelesaikan SMA Negeri di Belitong, Andrea Hirata pernah bekerja sebagai pegawai pos di Bogor. Dalam novelnya Edensor dia sangat terkesan ketika berhasil mengatasi kiriman uang wesel pos anak-anak mahasiswa IPB Bogor yang bermasalah.

Andrea kemudian mengambil mata kuliah ekonomi di salah satu universitas di Indonesia. Meskipun studi mayornya ekonomi, ia amat menggemari sains-fisika, kimia, biologi, astronomi-dan tentu saja sastra. Andrea Hirata berpendidikan ekonomi. Ia mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Université de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.

Tesis Andrea Hirata di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan lulus cum laude. Tesisnya telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis orang Indonesia. Mungkin tidak banyak yang tau kalau Andrea Hirata yang bertempat tinggal di Bandung itu adalah karyawan kantor pusat PT Telkom.

Itulah Andrea Hirata. Jadi, tak perlu mempersoalkan latar belakang pendidikan untuk menjadi seorang penulis. Andrea Hirata telah membuktikan bahwa siapa saja bisa menjadi penulis terkenal. Dengan pengetahuan sains, kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya, kemampuannya mengkomunikasikannya kepada khalayak melalui tulisan mampu menyajikan karya yang luar biasa.

Andrea Hirata menulis novel sebelum belajar sastra. Latar belakang hidup dan pekerjaannya sulit bagi saya meyakininya sebagai penulis besar. Pasalnya, dia baru belajar sastra setelah menulis buku-buku best seller. Itulah pengakuannya. "Akhirnya, semoga sekolah sastra di Iowa ini-ini merupakan pendidikan sastra pertamaku- membuatku dapat menulis novel-novel yang baik untukmu Kawan. Untukmu, semuanya selalu untukmu," pesannya dalam blog pribadinya.

***

Andrea sedang memasuki kariernya sebagai penulis internasional. Novel-novelnya akan ditangani penerbit dan international agency. Sebagaimana diberitakan di berbagai media, 23 Maret 2010 lalu Penerbit Bentang Pustaka dengan Amer-Asia Books, Inc, Tucson, Arizona, USA. telah menandatangani Publisher Agreement. Peristiwa ini bukan hanya penting bagi Andrea Hirata, namun juga tonggak bagi perkembangan buku Indonesia.

Berbagai penerbit-penerbit luar negeri segera mendistribusikan Tetralogi Laskar Pelangi dalam bahasa masing-masing adalah Yillin Press (China), Nha Nam Publishing (Vietnam), Solo Press (Taiwan), Da Vinci Publishing (Korea), segera disusul kerja sama dengan Uni Agency, sebuah literary agent terkemuka di Jepang, dan penerbit-penerbit di Amerika, Australia, Jerman, Prancis, serta beberapa negara Asia dan Eropa lainnya. Novel The Rainbow Troops (edisi internasional Laskar Pelangi) sendiri mendapat sambutan hangat di berbagai festival di luar negeri (Fukuoka, Vancouver, Singapura, dan Wordstorm-Australia).

Andrea Hirata berhasil menorehkan sejarah, merintis penulis Indonesia direpresentasikan oleh agen buku komersial internasional sehingga karyanya dapat tersedia di luar Indonesia dan berkompetisi dalam industri buku global. Agreement itu sekaligus menempatkan Andrea Hirata di dalam peta novelis dunia.

Bisa dibayangkan berapa besar rupiah akan mengalir ke kocek Andrea Hirata dan betapa besar popularitasnya di masa yang akan datang. Satu hal, Andrea telah mengangkat nama tempat kelahirannya, mengekspor bahasa Indonesia ke kancah dunia.

Semoga kisah Andrea Hirata bisa mengukuhkan keyakinan para penulis di daerah. Menjadi penulis besar adalah keberanian memulai dan ketekunan melanjutkan karya yang sudah dimulai.

Anda masih minder sebagai penulis dari daerah?. Belajarlah dari Andrea Hirata!. Anda yang ingin belajar lebih mendalam kunjungi blognya: http://andrea-hirata.com/

Bisa diakses melalui http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76991:menyimak-prestasi-andrea-hirata&catid=78:umum&Itemid=131.

Selasa, 23 November 2010

Buku Favorit 10 Pemimpin Terkenal yang Inspiratif

Translated by: Jannerson Girsang

Tidak jadi soal jurusan apa yang diambil, Anda mungkin kurang terinspirasi oleh banyak buku pelajaran teks di kelas Anda. Tapi membaca adalah hal mendasar bagi proses belajar, baik berkaitan maupun tidak berkaitan dengan silabus kuliah Anda. Lihatlah daftar pemimpin inspiratif dan buku-buku yang membantu mereka menemukan kesuksesan dan menjadi guru mereka sendiri.

10 tokoh terkenal dunia memiliki buku bacaan yang berbeda-beda. John F. Kennedy memiliki bacaan favorit: From Russia With Love, karya Ian Fleming, Warren Buffett: Essays in Persuasion, karya John Maynard Keynes, Bill Clinton: One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marquez, Presiden Barack Obama: Song of Solomon (Kidung Agung), karya Toni Morrison: Bill Gates: The Catcher in the Rye, karya  JD Salinger, Laura Bush: The Brothers Karamazov, karya  Fydodor Dostoyevsky, Oprah Winfrey: To Kill a Mockingbird, karya Harper Lee, Ronald Reagan: The Adventures of Tom Sawyer karya Mark Twain, Rudolph Giuliani: Profiles in Courage, karya John F. Kennedy: Donald Trump: The Power of Positive Thinking, karya Norman Vincent Peale.

John F. Kennedy: From Russia With Love, karya Ian Fleming: Selain reputasi politik dan sosialnya yang liberal, Presiden John F. Kennedy dikenal sebagai seorang pria gagah dan digemari digemari wanita, seseorang yang mungkin ya atau mungkin tidak punya urusan dengan perempuan terkenal seperti Marilyn Monroe. Kelemahan hidupnya yang terkenal dengan luar biasa cepat terlihat dari daftar buku favoritnya, juga, yang meliputi ”1957 James Bond”, From Russia with Love, oleh Ian Fleming. Novel ini merupakan yang kelima dalam serial James Bond dan melibatkan kontra intelijen antara Inggris dan Rusia.

Warren Buffett: Essays in Persuasion, karya John Maynard Keynes:Bisnis Amerika dan guru keuangan Warren Buffett dianggap sebagai salah seorang investor yang paling pemberani dan menguntungkan di dunia, tapi ia menemui John Maynard Keynes saat ingin mendapat nasihat. Ekonom Keynes Inggris masih dikenal sebagai salah seorang pemimpin bisnis dan ekonomi modern, dan Essays in Persuasion membahas perlunya intervensi pemerintah dalam ekonomi.

Bill Clinton: One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marquez: novel Gabriel Garcia Marquez ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967, sering diajarkan di sekolah dan secara luas dianggap sebagai salah satu yang terbaik sastra modern, serta sebagai salah satu yang paling populer. Mantan Presiden Bill Clinton mendaftarkan Solitude sebagai salah satu buku favoritnya, juga, menikmati epik, symbol kisah keluarga Buendia.

Barack Obama: Song of Salomon (Kidung Agung), karya  Toni Morrison: Presiden Barack Obama telah mendaftarkan Song of Salomo sebagai salah satu dari tiga buku teratas yang benar-benar memberinya inspirasi. Novel ini disebut-sebut sebagai novel laris yang menggabungkan puisi dan lagu serta prosa tradisional untuk menceritakan kisah tentang Milkman (Tukang Susu) serta budaya kulit hitam di Amerika Selatan.

Bill Gates: The Catcher in the Rye, karya JD Salinger: Meskipun pernah dilarang setelah publikasi pertamanya pada 1951, Buku Salinger The Catcher in the Rye saat ini merupakan salah satu buku paling banyak dibaca dan sukses secara komersial di seluruh dunia. Pionir perangkat lunak (Software) dan salah satu orang terkaya di dunia Bill Gates juga seperti dikatakan seorang penggemarnya, telah "membacanya berkali-kali bahwa [dia] bisa mengutip sebagian besar isi buku melalui ingatannya"

Laura Bush: The Brothers Karamazov, karya Fydodor Dostoyevsky: Mantan First Lady dan Pustakawan Laura Bush memperjuangkan aksara anak-anak, sementara suaminya di kantor, tapi salah satu buku favoritnya adalah kegegelapan dan kompleksitas buku Brothers Karamazov oleh Dostoyevsky. Karya Rusia adalah potret mengejutkan realitas kehidupan di Rusia dan sifat dan spiritual manusia.

Oprah Winfrey: To Kill a Mockingbird, karya  Harper Lee: Jutaan orang Amerika telah mengikuti klub buku Oprah Winfrey selama bertahun-tahun, namun buku favorit tokoh terkemuka media sepanjang masa itu adalah novel klasik “To Kill a Mockingbird”, dimana siswa banyak membanya saat duduk di bangku SMP. Novel sosial yang signifikan - yang juga diangkat menjadi sebuah film layer lebar pemenang Academy Award yang dibintangi Gregory Peck - bercerita tentang sebuah kota Bagian Selatan dibagi atas kasus pengadilan menghukum orang hitam memperkosa seorang wanita kulit putih.

Ronald Reagan: The Adventures of Tom Sawyer karya Mark Twain: Presiden Ronald Reagan meninggalkan warisan kekuatan ekonomi dan kemajuan diplomatik yang penting, tapi mantan bintang film ini membantu anak-anak—penggemar apresiasi petualangan dan kegembiraan, menyebut The Adventures of Tom Sawyer sebagai salah satu buku favoritnya sepanjang masa. Novel Twain tentunya lebih dari sekedar cerita anak-anak. Buku ini juga merupakan komentar sosial, komentar politik dan budaya yang pintar dalam kehidupan Amerika di Selatan yang mewah.

Rudolph Giuliani: Profiles in Courage, karya  John F. Kennedy: Meskipun John F. Kennedy adalah penggemar Ian Fleming penulis novel James Bond, dia juga adalah seorang penulis yang dihormati. Buku ini menginspirasi pemimpin terkenal dalam politik Amerika, mantan walikota New York City dan calon presiden dari Partai Republik Rudolph Giuliani. Buku ini ditulis ketika Kennedy masih seorang senator, dan biografi itu menceritakan kisah kepahlawanan delapan senator - termasuk John Quincy Adams, Sam Houston dan Lucius Lamar - yang teguh karena keyakinan mereka meskipun kecaman keras dari rekan-rekan mereka serta masyarakat umum. Buku ini memenangkan hadiah Pulitzer.

Donald Trump: The Power of Positive Thinking, karya Norman Vincent Peale: Sulit untuk memperdebatkan pengusaha, bintang realitas TV, dan dan pengusaha properti yang handal seperti Donald Trump menderita karena harga diri yang rendah, dan hal itulah yang menjadi nilai lebih bagi buku Norman Vincent Peale, The Power of Positive Thinking. Terdaftar sebagai salah satu bacaan yang paling inspiratif bagi Trump, buku ini telah terjual lebih dari 7 juta kopi sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2007. Pelajaran yang paling kuat dari buku itu adalah membantu pembaca menemukan kembali iman dalam diri mereka.

Sources: http://www.onlinecollege.org/2010/04/14/10-famous-inspirational-leaders-and-their-favorite-books/. Original Title : 10 Famous, Inspirational Leaders and Their Favorite Books, April 14th, 2010

Sabtu, 13 November 2010

In Memoriam: Edward HP Sinaga (1955-2010) Analis Media dan Fotografer Idealis


Oleh : Jannerson Girsang

 
Karya Foto Edward Sinaga (2003)
Pagi hari, Senin 8 Nopember lalu, tak lama setelah bangkit dari peraduan, sebuah pesan pendek masuk ke telepon genggam saya. Pengirimnya J.Anto, Direktur Kippas, Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Surat Kabar, sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang penelitian, pendidikan dan penerbitan.

"Telah meninggal dunia kawan kami tercinta Edward HP Sinaga (Edu KIPPAS), hari Minggu Malam sekitar pukul 21.00 WIB". Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Berdoa menenangkan pikiran sejenak, saya berseru dalam hati: "Oh Tuhan mengapa demikian cepat Edu dipanggil?"

Edu yang dikenal luas di kalangan jurnalis, mahasiswa, para fotografer, sebagai fotografer andalan daerah ini serta fasilitator berbagai training di bidang media dan jurnalisitik. Dia pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya secara tiba-tiba akibat serangan jantung di Rumah Sakit Elizabeth 7 Nopember 2010. Karya fotonya menghiasi beberapa buku, dan media yang beredar luas di tengah-tengah masyarakat.

Penyelenggaraan "Seminar Hasil Riset Berita Utama dan Berita Kasus-kasus Korupsi di surat kabar Analisa, Waspada, Sumut Pos, Sinar Indonesia Baru dan Serambi Indonesia" yang digelar KIPPAS di Garuda Plaza, 27 Oktober lalu, adalah pengabdian terakhir baginya. Bagi para peserta, itulah pertemuan mereka yang terakhir kalinya. Seyogianya Senin itu, menurut J.Anto, mereka akan menggelar rapat membahas sebuah rencana penelitan dimana Edward terlibat di dalamnya.

***

Di tempat bekerjanya KIPPAS, pria yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta (1977-1981) ini adalah analis media, serta fotografer andalan. Sebelum bergabung dengan KIPPAS pada 1999, Edu pernah bekerja sebagai wartawan harian ibu kota Pos Kota. Dia juga terlibar di berbagai kegiatan pencita alam dan fotografi.

Keluarga besar KIPPAS, tempatnya berkiprah selama sebelas tahun terakhir dikenal memiliki kemampuan human relation yang baik. J.Anto mengungkapkan, dalam pelaksanaan program seminar atau training yang memakan waktu berhari-hari, Edu selalu ditempatkan sebagai fasilitator. "Edu mampu memperlakukan peserta sebagai anak-anaknya sendiri, sehingga mereka tidak bosan mengikuti program hingga selesai", ujar J.Anto dalam perbincangan di kantor KIPPAS. J. Anto, usai melayat Senin itu, dan menambahkan: "Edu adalah teman yang menyenangkan dan memiliki human relation yang baik".

Edu adalah salah seorang pendiri KIPPAS bersama rekan-rekannya yang lain seperti Ned R Poerba, Sofyan Tan, Stanley Adi Prasetyo, Veven Sp, Wardhana dan Janto, Hasby Ansyori. (http://kippas.wordpress.com/about/). Menurut J. Anto, selama menjadi partnernya sejak 1999, pria yang masih melajang sampai akhir hidupnya itu, terlibat dalam berbagai program KIPPAS di antaranya Workshop Pelatihan Pelaksana Pengawasan Media (Media Watch) yang diadakan LP3Y (1999), Pelatihan Analisis Media Metode Kuantitatif yang diadakan LP3Y (2000); Penanggungjawab workshop Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai kerjasama dengan Yayasan TIFA Penanggungjawab workshop Peningkatan Kapasitas Profesionalisme Jurnalis Radio di Aceh dan Sumut kerjasama dengan Internwes cabang Indonesia (2004-2005). Penanggungjawab workshop Jurnalisme Damai untuk Liputan Reintegrasi Aceh kerjasama dengan Uni Eropa (program EIDHR Micro Project) (2006), Riset berita Pilkada Sumut 2008 pada lima surat kabar Medan (2008) dan Asisten Trainer Pelatihan Jurnalisme Radio Dasar dan Lanjutan yang diadakan IOM di Takengon (2009).

J Anto mengatakan bahwa Edu telah berperan besar dalam memperkenalkan KIPPAS ke berbagai kalangan melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi fotografi serta pencita alam, serta kedekatannya dengan kalangan mahasiswa.

"Dia sangat banyak berperan dalam mendorong etnis China mengenal politik, setelah memfasilitasi beberapa pertemuan," ujar J.Anto.

***

Di kalangan fotografer, Edu dikenal sebagai guru dan fotografer kawakan yang banyak mengabadikan berbagai latar belakang kehidupan , budaya dan alam.

Tarmizi Harva, seorang fotografer free lance untuk media asing mengaku Edu sebagai guru fotografinya. Tarmizi Harva adalah pemegang Mention Honorable, World Press Photo, Holland, 2004, Honorable Prize dan berbagai penghargaan internasional lainnya,

"Menjelang akhir 1996, seorang teman Tarmizy menjual kamera Pentax K1000. Harga barang second itu sekitar Rp 250 ribu. Ini salah satu kamera yang direkomendasikan Edu. Namun Tarmizy tak gegabah. Sebelum membelinya, ia mesti memeriksa kualitas barang itu lebih dulu. Apalagi, ia masih awam soal kamera. Tarmizy kembali mendatangi rumah Edu dan menunjukkan kamera bekas itu. Setelah mendengar komentar kamera kaleng cebok, Tarmizy menganggap Edu seperti dokter kamera baginya," seperti dikutip dari http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/03/31/profil-tarmizi-harva, situs pribadi Tarmizi Harva,

Meski Edu memiliki kemampuan dalam fotografi, tetapi dia hanya menganggap profesi itu sebagai penyaluran hobby. J.Anto mengaku telah mengusulkan beberapa kali agar Edu menjadi fotografer profesional. Tetapi bagi Edu keahliannya itu hanya diabdikan untuk seni. "Edu adalah fotografer idealis. Menghasilkan foto hanya untuk seni," ujarnya.

Satu hal lain yang perlu ditiru dari Edu menurut Anto adalah kejujurannya. "Edu adalah orang yang sangat jujur, khususnya dalam hal keuangan. Dia tidak pernah mengharapkan lebih dari haknya," ujarnya. Sesuatu yang perlu ditiru para koruptor yang kini marak di Indonesia.

Beberapa foto-foto yang dihasilkannya menghiasi kalender Fund Rising, Lions Club Medan, 2010. Kini beberapa karyanya bisa disaksikan di situs: http://banuafoto.multiply.com/Edward. Berbagai tema dari berbagai tempat menunjukkan perhatiannya atas berbagai kehidupan yang diabadikan melalui foto. Kini anda bisa menyaksikan melalui situs itu sebagian foto-foto pilihannya. Panguni Utiram, Satwa, Chinese Opera, Rawa Singkil, Ikan Asin Desa Patek, Budaya Deli, Sipaha Lima, Kabut Toba, Kuta, Banjir Lumpur di Tamiang, Kerbau di Pantai Manggeng, Kejurnas Spirit-Rally, Operas Danau Toba, Istana Maimoon Medan, Kota Semarang Lama, Bursa Ayam, Sawah, Lansekap, Sejuta Pelita. Berbagai hasi karyanya pernah dimuat di berbagai media lokal maupun dalam publikasi-publikasi internasional.

Edward juga dikenal di kalangan mahasiswa pencinta alam di Sumatera Utara. Berbagai kegiatan pencinta alam diabadikannya dalam beberapa koleksi fotonya.

***

Secara pribadi, kami mengenal Edu sejak awal 1990-an, saat bersama-sama menjadi wartawan. Saat bertemu di loby-loby hotel, kantor-kantor pemerintah, di kedai-kedai atau kantin, Edu suka berdebat soal hal-hal yang diyakininya benar. Terbayang kritikan-kritikannya tentang keadaan atas otoriternya penguasa Orde Baru dalam beberapa pertemuan-pertemuan saat masih sama-sama menjadi wartawan di awal 1990-an. Saat itu dia menjadi wartawan Pos Kota, sebuah harian ibukota.

Sejak 2004, Edu menjadi fotografer beberapa buku biografi yang saya tulis. Terkenang wajahnya yang begitu ceria tatkala mengamati foto tokoh hasil jepretannya dalam buku "Berkarya di Tengah Gelombang", biografi Rudolf Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara. Foto itu menjadi illustrasi di setiap bab buku itu. Saya mengamati foto di sampul buku "Anugerah Tuan yang Tak Terhingga" yang selalu terletak di atas mejaku. Di sana terbayang wajah Edu, ketika suatu siang saya mendampinginya melakukan pemotretan untuk cover sebuah buku enam tahun yang lalu. Dia menghasilkan foto seorang pria gembala rohani berkaca mata yang tersenyum lebar. Edward puas kalau hasil karyanya membuat orang lain senang. Foto-fotonya memiliki karakter yang kuat.

Keindahan adalah kepuasannya, tanpa pernah mempertimbangkan jasa atas atas karya-karyanya. Tarmizi Harva, seorang fotografer free lance untuk media asing mengaku Edward adalah guru fotonya.

***

Bargabung dengan rekan-rekan dari KIPPAS, Pesada, dan beberapa rekan Edu sesama fotografer dalam acara penghiburan terasa kesedihan atas perginya Edu. Air mata dan isak tangis kemudian mewarnai suasana rumah duka.

"Hari Jumat abang Edu masih masuk kantor, dan kami tinggalkan sendirian di kantor," ujar Pily Pardede, yang didampingi Dian Butar-butar dan J.Anto. J Anto sendiri yang beberapa waktu lalu kesehatannya terganggu, dengan terbata-bata mengungkapkan rasa sedih kehilangan teman andalan mereka.

Lagu kesayangan Edu "Tiap Langkahku diatur Oleh Tuhan" yang mengumandang dalam acara, menambah kesedihan hingga J.Anto, Pily Pardede, dan hadirin lainnya tak kuasa menahan linangan air mata. Belasan keluarga hanyut dalam kesedihan.

Berkunjung ke kantor KIPPAS di bilangan Jalan Serayu Medan sepeninggal Edu, rasanya ada yang hilang. Di ruangan itu, biasanya ada Edu yag menyambut dengan hangat dan bau asap rokoknya yang mengepul, kini hanya diisi komputer yang menyimpan ribuan foto hasil jepretannya, bersih tanpa asap rokok. Kursinya sudah kosong. Di dinding ruang kerjanya terpampang sebuah foto besar hasil karyanya. Tidak ada lagi pria yang suka berada di kantor sampai larut malam itu.

"Saya sangat sedih. Edu adalah teman yang baik dan salah seorang staf andalan kami," ujar Muhammad Yazid, mantan ketua PWI Sumut yang juga pembina KIPPAS dalam perbincangan melalui telepon.

Edward telah mengabdikan dirinya sebagai fotografer, sebagai trainer, advisor bagi banyak orang dalam bidangnya. Hidup memang bukan miliknya, tetapi Dia sang Pencipta, yang bisa berakhir kapan dan dimana saja. Selamat jalan Edward, semangat dan karya-karyamu akan menginspirasi kami semua

Dimuat di Harian Analisa Medan, 13 Nopember 2010 hal 29.

(Note: Foto saya yang tampil di blog ini (saya ganti tanggal 23 November 2010) adalah hasil jepretan Edward Sinaga, Desember 2006).

Sabtu, 06 November 2010

Catatan Ringan Pertemuan Penulis Pembaca Sumut: Menulis Sampai Uzur

Oleh: Jannerson Girsang

Sampai kapan dan apa yang mendorong para penulis usia lanjut menulis? Di sela-sela acara pertemuan penulis dan pembaca Sumatera Utara yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Sumatera Utara di Hotel Antares, 26 Oktober 2010 lalu, kami tertarik mengamati dan berbincang dengan tiga penulis Sumatera Utara yang berusia antara 60-78 tahun.

Tiga penulis itu adalah Muhammad TWH dari Medan memasuki usia 78 tahun, St Japiten Saragih dari Desa Pematangraya, Simalungun, berusia 74 tahun dan Haji Arifin 69 tahun dari Kota Tanjung Balai.

Ketiganya menulis dengan hati, berjuang tanpa mengenal lelah, apalagi memikirkan materi dari hasil tulisannya. Mereka menulis dengan tangan di atas kertas, memindahkannya ke mesin tik manual serta dari referensi-referensi yang terbatas.

Visi besar senantiasa membakar semangat mereka: "Jika tidak menulis, maka peradaban kami lama kelamaan akan hilang". Pengalaman dan keteladanan mereka seharusnya menjadi inspirasi bagi dunia tulis menulis, lebih-lebih di era teknologi informasi yang berkembang pesat. Penulisan sudah menggunakan komputer, referensi yang melimpah luar biasa untuk bahan tulisan.

***

Menjelang acara dimulai usai makan siang, 26 Oktober 2010, kami menemui Muhammad TWH. Duduk di sebuah kursi di ruang tunggu tempat pertemuan, dan sedang asyik membaca buku panduan acara dan sesekali membetulkan letak berkacamata minusnya. Beliau dikejutkan sapaan kami dan pria yang berwibawa dengan safari coklatnya dengan ramah melayani bincang-bincang selama lima belas menit.

Pria yang dikenal sebagai sejarawan veteran Sumut ini, senantiasa bersikap terbuka dan antusias dengan siapa saja, termasuk dengan kami siang itu. Kami merasakan sikap sosok seorang penulis idealis dan sikap kehangatannya seorang teladan yang bulan Nopember mendatang akan memasuki usia 78.

Puluhan tahun, tanpa kenal menyerah beliau konsisten menekuni dunia tulis menulis. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, pria kelahiran Aceh, 15 Nopember 1932 ini telah menghasilkan 23 buku yang membahas sejarah Sumatera Utara, olah raga, sejarah pers. Dalam sebuah kunjungan kami beberapa tahun lalu ke rumahnya di Jl. Sei Alas No. 06, pria ini tak henti-hentinya berkarya dan memelihara buku-buku dan dokumen penting yang dimiliknya.

"Saya baru menerbitkan buku tahun ini," ujar pria yang beberapa tahun lalu berkunjung ke Amerika Serikat itu bersemangat. Buku barunya berjudul Parada Harahap Berjuang dengan Pena, 2010 ini berkisah tentang kehidupan seorang tokoh Pers Nasional yang berasal dari Sumatera Utara.

Dalam pengamatannya, TWH melihat generasi sekarang ini bahkan wartawan-wartawan muda kurang mengenal kisah perjuangan Parada Harahap. Padahal, beliau berpendapat, pemahaman yang baik tentang sejarah perjuangan seseorang, akan membuat masyarakat menghargai perjuangan itu sendiri.

Di lain kesempatan dalam pertemuan itu, saya bertemu Haji Arifin. Saat itu, beliau baru tiba dari kota Tanjung Balai. Meski telah menempuh jarak selama 3-4 jam di atas bus yang ditumpanginya, beliau yang tampil dengan kopiah dan mengenakan baju batik menampilkan wajah yang cerah. Dengan santun dan ramah memperkenalkan dirinya kepada undangan yang sudah lebih dulu hadir dan sedang menikmati makan siang, sebelum acara berkangsung. "Saya senang sekali bertemu dan berdiskusi dengan para penulis," ujarnya.

"Saya sudah memasuki 69 tahun, tapi menulis adalah darah dan jiwa saya," lanjut pria penulis beberapa buku-buku tentang peradaban di daerahnya, antara lain Si Mardan Anak Durhaka, Asal Mula Tari Gebang, Legenda Pulau Pandan, Batu Bertengkar, Memuji Diri Jadi Mala Petaka, Kudopun Tau Lampu Merah dan lain-lain.

Bahkan pria bekas guru dan pernah menjuarai lomba penulisan tingkat nasional ini, juga merasa penting menuliskan pengalaman hidupnya. "Pengalaman hidup saya unik dan berguna bagi anak-anak saya dan para pembaca lainnya," ujarnya. Tahun 2005 lalu, mantan anggota DPRD Kota Tanjung Balai selama tiga periode ini merampungkan Otobiografinya berjudul : Napak Tilas Kehidupan Merintis Jalan Menembus Kegelapan.

Buku sederhana setebal 85 halaman yang dicetak di percetakan lokal itu berkisah tentang perjalanan hidupnya sebagai guru, anggota DPRD tiga periode di Kota Tanjung Balai, serta kiprahnya sebagai penulis.

Dari sudut ruangan lain, mata saya tertuju kepada St Japiten Saragih. Dalam pertemuan itu dia berkali-kali mengacungkan tangannya untuk berbicara. "Jangan sampai, peristiwa di sekitar kita banyak ditulis orang asing dan kita memperoleh informasi tentang daerah kita dari orang lain. Budaya kita lebih dicintai negara lain".

Beliau dengan lantang melancarkan kritik atas sikap bangsa kita yang hanya pintar mengklaim hasil budayanya, tetapi di lapangan tidak memelihara dan menghargainya. Itulah salah satu langkah yang dilakukannya, menuliskan dan mendokumentasikan Adat Simalungun.

St Japiten Saragih adalah penulis buku-buku adat dan budaya Simalungun. Pria kelahiran Pematangraya 74 tahun silam ini selain menulis juga aktif mengembangkan dan memelihara adat Simalungun. Beliau adalah Ketua Bidang Adat Partuha Maujana Simalungun (PMS).

***

Tiga penulis usia lanjut di atas telah menunjukkan keteladanan mengabadikan peradaban melalui tulisan. Mereka menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dokumentasi peradaban daerah ini.

Dengan keterbatasannya dan semangat tidak mengenal lelah, tanpa banyak berharap imbalan atau penghargaan "Buku-buku sejarah dan dokumentasi yang saya tulis memang masih kurang mendapat apresiasi dari pembaca maupun penerbit di tanah air", ujar Muhammad TWH. Beliau sangat menyayangkan, sementara banyak orang asing yang meminta buku-buku yang ditulisnya sebagai referensi.

Bagi TWH, Haji Arifin, St Japiten, menulis adalah sebuah panggilan jiwa. Sebuah kewajiban untuk memberi pencerahan bagi masyarakat luas soal peristiwa yang disaksikannya.

"Kita tidak berharap apakah tulisan kita laku atau tidak. Yang penting, saya menulis apa yang saya saksikan dan saya anggap bermanfaat bagi masyarakat," ujar Muhammad TWH.

Masalah sulitnya mendapatkan penerbit, salah satu masalah bagi penulis, bukan halangan baginya untuk terus berkarya. Pengalaman Muhammad TWH adalah contoh yang pantas ditiru. Kini, di bawah Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan yang dipimpinnya sendiri, Muhammad TWH menerbitkan sendiri buku-buku yang ditulisnya.

Mereka menghimbau agar pemerintah memperhatikan pengembangan perpustakaan sebagai tempat menyimpan hasil-hasil karya mereka untuk bisa dinikmati masyarakat luas.

Haji Arifin, meski tinggal jauh di kota Tanjung Balai di sela-sela waktunya menulis, juga prihatin atas perhatian pemerintah pada pengembangan perpustakaan. Dengan lantang beliau mengritik ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan.

Menurutnya, sudah dua puluh tahun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam belum juga memiliki Peraturan Pemerintah. "Ini adalah bentuk ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan", ujar kakek 8 orang cucu ini.

Himbauan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah untuk menyerahkan hasil Karya ke Perpustakaan diperlihatkan St Japiten Saragih dalam acara itu. St Japiten secara spontan menyerahkan sebuah buku karyanya tentang adat Simalungun ke pihak Baperasda, usai mendengarkan ceramah Majda El Muhtaj menyampaikan makalahnya "Nol Kilometer Peradaban Sumut".

Kerelaan menyerahkan hasil karya seperti ini penting, mengingat catatan Drs Nurjani Msi, Kepala Bidang Pembinaan SDM dan Perpustakaan Baperasda Sumut, masih rendahnya hasil tulisan buku yang diserahkan kepada instansinya, dibanding dengan jumlah penulis di daerah ini.

***

Kiranya tiga sosok pria di atas menjadi inspirasi bagi para penulis-penulis muda dalam memajukan dunia tulis menulis di daerah ini. Semoga pertemuan seperti ini mampu menghasilkan semangat baru bagi penulis dan pembaca. Budaya tulis semakin berkembang dan mendorong meningkatkan minat baca masyarakat.

Penulis adalah penulis beberapa Buku Biografi, tinggal di Medan dan menjadi peserta dalam Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara, di Hotel Antares Medan, 26 Oktober 2010

Catatan: Artikel ini dimuat di Harian Analisa tanggal 6 Nopember 2010 Halaman 29. Dilengkapi dengan foto  ketiga tokoh.