My 500 Words

Sabtu, 16 April 2011

In Memoriam: Rosihan Anwar, Penulis Orbituari Handal

Oleh : Jannerson Girsang

Rosihan Anwar 

Oribituari! Itulah kesan pertama yang muncul di benak kami saat mendengar kepergian Rosihan Anwar menghadap khalikNya melalui televisi pada 14 April 2011, sekitar pukul 11.30 (beliau meninggal sekitar pukul 08.00 pagi).

Rosihan Anwar memiliki gaya penulisan orbituari—artikel untuk mengenang kepergian seorang tokoh yang meninggal yang digelutinya selama bertahun-tahun.

Merenung sejenak atas kepergiannya, kami melakukan penjelajahan (searching) di internet mencari informasi yang berkaitan dengan peristiwa kepergian tokoh pers lima zaman itu.

Dalam pencarian itu kami menemukan hasil wawancara seorang pemilik media besar, Dahlan Iskan. "Siapa nanti yang menulis Orbituari Rosihan Anwar?". Demikian pertanyaan dan judul wawancara bos Jawa Pos Grup itu seperti dikutip sebuah media online.

Pria kelahiran Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922 adalah penulis orbituari handal yang sudah digelutinya sejak 1960an. Kini, tokoh orbituari itu yang justru pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya!. Sebagaimana Dahlan yang berjanji akan menuliskan orbituari Rosihan, kami juga menuliskan catatan singkat tentang beliau untuk anda. Seorang yang banyak menginspirasi kami dalam menulis orbituari.

****

Bagi penulis sendiri, pria yang memulai kariernya sebagai reporter Asia Raya pada 1943 ini, adalah inspirasi menulis artikel orbituari, baik yang diterbitkan di media lain maupun Harian Analisa sendiri Terus terang, secara pribadi kami tidak mengenal beliau. Bahkan seumur hidup, kami hanya pernah melihatnya dari jauh ketika kampanye Presiden SBY 2004 di Medan.

Pengenalan kami tentang sosok yang istimewa ini hanya melalui televisi dan karya-karyanya. Secara lebih mendalam adalah melalui artikel-artikel orbituarinya yang khas. Artikel orbituari putra seorang Demang di Sumatera Barat ini bersumber dari ingatannya yang tajam yang memberi memberi kesan pribadi yang kuat—sesuatu yang belum banyak diungkap di media.

Dari berbagai sumber, penulis mengetahui bahwa pekerjaan ini sudah dimulainya sejak 1960-an, dan menerbitkan karya pertamanya di harian Pos Kota. Belakangan, beliau penulis banyak membaca orbituari tokoh-tokoh nasional yang ditulisnya di harian Kompas.

Alasannya memilih untuk menulis obituari itu sendiri memang cukup unik. Di era Orde Baru, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto. "Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari," kata Rosihan, sebagaimana dikutip dari Jawa Pos beberapa tahun lalu yang diposting di http://koyyak.blogspot.com/2008/06/rosihan-anwar-wartawan-senior-spesialis.html

Seunik alasannya menulis orbituari, membaca orbituari Rosihan memang memberi kesan cukup unik, baik dari isi tulisannya serta caranya menulis.

Dalam pengakuannya di berbagai media, Rosihan menulis dengan mesin tik tua kesayangannya yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Dan, laginya dia menulis hanya dengan ingatan, tanpa banyak referensi atau dokumen.

Pengalamannya yang menarik adalah kalau seorang tokoh meninggal sore hari dan besoknya sudah harus terbit. Dia hanya butuh dua jam untuk mempersiapkannya. Hanya seorang yang punya pengalaman dengan tokoh, daya ingat yang kuat, kemampuan menyusun outline yang baik, serta cara menulis secara cermat dan sistematis, yang mampu melakukannya. Apalagi, yang meninggal adalah seorang tokoh nasional.

Rosihan memang punya ingatan kuat dan menyimpan banyak kisah dari para pelaku sejarah. Dia menggali hal-hal yang belum banyak diketahui orang tentang tokoh tersebut.

Keistimewaan orbituari mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) (1968-1972) ini juga terlihat dari gaya berceritanya. Bagi anda yang pernah membaca orbituarinya, maka kesan pertama adalah orbituari dengan gaya bercerita (story dengan tekanan pada kesan personalnya atas seseorang tokoh yang ditulisnya semasa hidup.
Konon, ilmu menulis orbitari itu banyak diperolehnya ketika belajar selama dua bulan di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954.

Berbeda dengan seorang penulis orbituary di The New York Times, koran yang terkenal dengan kolom orbituarinya itu—para penulisnya sudah memiliki peralatan serba canggih dan bank data terlengkap di dunia. Para penulisnya banyak mengandalkan arsip-arsip artkel yang tentunya jauh dari kesan pribadi.

Sebagai penulis tetap SKHU Kompas, Jakoeb mengakui keunggulan almarhum. "Selalu ada kerangka dengan dimensi lebih mendalam. Ditambah bakat sastranya yang bagus membuat tulisan semakin menarik," ujarnya kepada Metro TV.
Sebagai seorang wartawan, Rosihan hanya dibekali dengan pendidikan setara SMA (lulusan AMS Yogyakarta). Tapi, rekaman peristiwa yang melekat dalam memorinnya sungguh luar biasa. Tidak salah kalau Tasrif menjulukinya sebagai foot note history, salah satu kemampuan yang harus dimiliki seorang penulis orbituari.

Selain itu, Rosihan memiliki latar belakang sastra dan budaya yang kuat. Tidak heran, kalau karya orbituarinya memang khas dan mungkin sulit mencari tandingannya di bidang ini.

***

Di balik penulisan orbituari, tentu pengalaman Rosihan sebagai wartawan dan bidang-bidang lainnya menarik untuk disimak sebagai sebuah teladan bagi wartawan saat ini.

Setelah koran Pedomannya dibredidel Suharto pada 1974, pasa peristiwa Malari, Rosihan aktif sebagai penulis di media cetak. Selain menulis di media, Rosihan menulis artikel di berbagai media nasional maupun internasional serta memproduksi lebih dari 20 buku.

Kemampuan jurnalismenya tidak sebatas di harian nasional. Rosihan tercatat pernah menjadi koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong, The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur. Bahkan sejak tahun 1976. Sampai akhir khayatnya Rosihan Anwar adalah kolumnis di Asiaweek, yang berbasis Hong Kong. Juga kerap kami membaca tulisan-tulisannya di harian lokal yang berbasis di Medan.

Ayah dari tiga anak Dr. Aida Fathya Darwis, Omar Luthfi Anwar, MBA dan Dr. Naila Karima ini tidak hanya bersinar dalam karier jurnalistik. Sebagai jurnalis muda yang menikah dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada 1947 ini, sudah diperhitungkan kemampuan negosiasinya. Bersama tokoh-tokoh nasional lainnya, dia turut dalam delegasi Indonesia ke perundingan Meja Bundar yang menentukan nasib bangsanya pada Desember 1949.

Semasa menjadi wartawan dan mengelola Koran, kekaguman banyak orang atas Rosihan Anwar adalah keberaniannya menyatakan hal yang benar. Bahkan di zaman Orde Lama (1961) dan di zaman Orde Baru (1974) Koran Pedoman mendapat pembreidelan.

Pembereidelan pertama direhabilitasi pada 1968, setelah Soeharto berkuasa. Tetapi kemudian dibreidel lagi pada 1974, hanya satu tahun setelah Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputra III. Tentu, hanya bilangan jari orang yang mau korannya diberangus demi kebenaran.

Selain itu, pria yang di masa perjuangan pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta) ini, tidak tertarik pada kekuasaan, tetapi lebih pada pengembangan budaya di Negara ini.

Pria yang ditinggal istrinya Siti Zuraida pada 5 September 2010 lalu itu bersama Usmar Ismail, pada 1950 mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam Film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya.

***

Pada 2007, empat tahun sebelum kepergian pria yang selama ini menjadi tempat berguru Jakob Oetama (pendiri Kompas), serta para tokoh wartawan senior di negara ini, PWI Pusat menganugerahkan penghargaan ‘Life Time Achievement’ atau ‘Prestasi Sepanjang Hayat’ dari PWI Pusat kepada Rosihan Anwar dan Herawati Diah. Keduanya aldah orang yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946. Sejumlah penghargaan lain pernah diterimanya, baik sebagai tokoh pers dan tokoh di bidang pengembangan budaya dan film.
Haji Rosihan Anwar, adalah tokoh pers Indonesia, sejarawan, sastrawan, bahkan budayawan. Entah apapun kita menyebutnya, dia adalah tokoh besar yang mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini.

Bagi kita yang ditinggalkan khususnya bagi para penulis dan wartawan, kemampuan dan kemauan menulisnya, karya-karya besar yang tinggalkannya hendaknya tidak lekang oleh waktu. Tugas kita adalah menjadikannya sebagai teladan dan semangat berkarya, keberanian mengutarakan hal-hal yang benar.

Selamat Jalan Bung Rosihan, semoga jiwa kewartawanan dan kecintaan anda berbagi selama ini mampu dilanjutkan penerusmu!***

Penulis adalah penulis Biografi, tinggal di Medan.

Artikel di atas dimuat Harian Analisa, 16 April 2011.

Bisa juga di akses ke: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92490:in-memoriam-rosihan-anwar-penulis-orbituari-handal&catid=78:umum&Itemid=131

Selasa, 05 April 2011

Kisah di Balik Banjir di Simalingkar: Donny Purba: “Ingat Ulang Tahun Istri, Saya Terbangun!”

Oleh : Jannerson Girsang

Selain kisah sedih, setiap bencana menghasilkan  pelajaran bagi para korban dan mereka yang turut membantu dan membaca kisahnya. Kisah pasangan Donny dan Benna adalah salah satu diantaranya.