My 500 Words

Rabu, 01 Juni 2011

Hikayat Manao: Beban Moral Menurunkan Nilai Budaya

| |
 

NBC — Hikayat Manao yang di kalangan masyarakat Bawomataluo dikenal sebagai Panglima Kafalo Zaluya—jabatan yang diberikan para tetua adat di desanya, benar-benar menjadi bintang lapangan dalam Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011.

Selama pagelaran berlangsung, Hikayat tampil siang, sore dan malam hari. Ia memimpin Tari Kolosal yang terkenal itu di acara pembukaan, bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Usai tampil, para wartawan selalu mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya. Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. “Praktis saya hanya tidur hanya beberapa jam sehari,” ujarnya kepada NBC di sela-sela pagelaran yang mempromosikan budaya dan hasil kerajinan Nias Selatan tersebut.
Tapi Hikayat senantiasa terlihat segar dan sangat hangat menerima siapa saja. Salah satu cara yang ditempuh anak ketiga dari 7 bersaudara pasangan T Ana Tona Manao dan Ibu Kaena Wau ini agar terus bersemangat adalah menjaga suasana tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Untuk memberi semangat anak-anak buahnya, ia mengajarkan hal-hal besar yang akan dicapai dengan suka cita, lucu dan membangun semangat.

Menangani budaya adalah kehidupannya sejak kembali ke desanya sejak 1986. Kegiatan yang membuatnya bahagia dan mampu mendefinisikan kebahagiaan. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya.

Menurutnya banyak tarian sakral sudah tidak lagi dipertontonkan, seperti Fadolohia, sebuah tarian ucapan syukur yang di masa kecilnya sering digelar usai panen. “Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,”ujarnya.

Hikayat juga merasa terbeban untuk terus melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,”ujarnya kepada NBC, usai menggelar tari kreasi gerakan Faluya Zanokhe di depan Omo Sebua 15 Mei 2011.

Tarian kreasi dari gerakan Faluya Zanokhe ini dimainkan 20 orang pemuda, 6 orang remaja  dan sekitar 98 anak-anak yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di dalam tarian itu Hikayat menyelipkan dua buah lagu ciptaaannya sendiri yakni Famaedo Dano (julukan kebesaran Bawomataluo) dan Mameasu yang berarti berburu. Dua lagu itu masing-masing menggambarkan nilai-nilai persatuan sebagai sebuah kekuatan. “Bersatu mengepung musuh, bersatu dalam berburu,”ujarnya

Hikayat tidak hanya dikenal di desanya, tetapi aktivitasnya sudah merambah jauh ke luar dari pulau Nias. Dia akrab dengan para wartawan. Ayah empat orang anak ini dikenal sebagai orang yang mudah diajak diskusi dan selalu bersemangat saat berbicara tentang budaya Nias. Siap memberi penjelasan, kapan saja diperlukan, apakah bertemu langsung atau melalui telepon. Tak heran kalau komentar-komentarnya tentang budaya Nias senantiasa menghiasi media cetak atau televisi.

Untuk mengenal sisi lain kehidupan laki-laki gagah perkasa dengan pakaian kebesaran adat saat tampil di lapangan ini, NBC dalam berbagai kesempatan melakukan wawancara khusus di rumahnya, maupun mengamatinya selama beraksi di lapangan

Masa Kecil:  Cabut Melihat Pesawat Capung


Masa-masa SD hingga SMA nya adalah periode dimana Nias masih terbelakang. Di sekitar desanya belum ada SMP, sehingga setelah lulus SD Katolik Bawomataluo, Hikayat melanjutkan ke SMP Bintang Laut di Teluk Dalam dan tinggal di asrama sekolah itu. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya tertawa.

Melanjut setelah lulus SMP, Hikayat belum punya pilihan di Telukdalam yang saat itu belum memiliki Sekolah Lanjutan Atas. “Saat itu, lulusan SMP dari Telukdalam harus melanjutkan  sekolah ke STM, SPG atau SMA di Gunungsitoli,”ujarnya. Hikayat sendiri memilih SMA Negeri Gunung Sitoli. Dengan harapan bisa menjadi seorang arsitek, walau hingga sekarang cita-citanya itu tak pernah terwujud.

Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, menurutnya layaknya berangkat ke luar negeri. Transportasi masih sulit. “Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya dengan mimik serius mengenang masa sulit itu. Lama perjalanan bisa mencapai  9 jam.
Gunungsitoli bukanlah kota yang bisa dinikmatinya dengan santai. Di sana Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga. Berbekal beras dari Bawomataluo, untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya  Hikayat harus bekerja membuat batu-bata dengan upah Rp. 3 per buah. Jangankan untuk mengikuti tren saat itu, bahkan karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke Gereja.

Selain itu, komunikasinya dengan orang tua di Bawomataluo juga sulit. “Surat baru bisa mendapat balasan setelah tiga minggu. Jadi sulit sekali mengetahui berita. Kadang saya tidak punya uang membeli makan sekalipun,”ujarnya dengan suara melemah. Akhirnya, ia memutuskan berhenti sekolah saat memasuki kelas II SMA.

Satu hal yang tak bisa dilupakannya selama sekolah di Gunungsitoli adalah pembukaan penerbangan ke pulau yang terletak 125 kilometer dari garis pantai Sumatera itu. “Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya geli mengenang peristiwa 35 tahun lalu itu.

Merantau ke Daratan Sumatera

Setelah drop out dari SMA Negeri Gunungsitoli, Hikayat merantau ke daratan Sumatera. Menggapai harapan baru!. Hikayat menumpang KM Agape—semalaman mengarungi Samudera Hindia menuju Sibolga, kemudian menumpang Bus Opranto ke Balige. Tinggal di Balige dan bekerja selama dua bulan di sawah penduduk (mangombak), menggembalakan kerbau (marmahan). “Nebeng-nebenglah dengan orang-orang Batak di sana,”ujarnya. Atas bantuan beberapa temannya sesama orang Nias, Hikayat mendapat pekerjaan baru di Pematangsiantar—kota terbesar kedua terbesar di Sumatera Utara, berjarak seratus kilometer lebih dari Balige.


Hikayat Manao

Di Pematangsiantar Hikayat menjadi pelayan toko di Toko Sepatu 1001 dan berharap bisa melanjutkan sekolahnya. Tidak jauh dari toko tempatnya bekerja di Jalan Merdeka di kota itu, terdapat SMA Universitas Simalungun (USI). Mudah mendaftarnya, tetapi seminggu kemudian dia berhenti lagi. Pasalnya, “Saya tidak berhasil mendapatkan surat pindah,”ujarnya dengan raut muka sedih.

Sebuah peristiwa kemudian mengubah jalan hidupnya. Sedang asyik menjual sepatu, beberapa pembeli masuk ke tokonya. Mereka adalah Kepala Sekolah SMA Gunungsitoli, Pak Sitompul dan beberapa gurunya. Hikayat masih mengenal mereka dengan baik, demikian juga para tamunya. Sang Kepala Sekolahpun menaruh iba padanya. “Kau pulang saja ke Gunungsitoli dan mengikuti ujian di sana. Ada ujian Extraner,”ujarnya menirukan ucapan Kepala Sekolahnya itu.

Akhirnya dia kembali ke Bawomataluo dan mengurus administrasi persiapan ujian extraner ke Gunungsitoli. Hikayat harus menunggu enam bulan hingga tiba masa ujian. Masa menunggu itu, Hikayat bekerja pada Kosasih, seorang turunan Tionghoa di Jalan Ayam Teluk “Pagi membuka pintu, menyapu, mencas baterai, menimbang beras, membantu jual obat di apotik”ujarnya sambil menggigit afo, sirih yang baru diramu salah seorang anaknya..

Kosasih adalah orang yang baik di mata Hikayat. Setiap Sabtu ia diijinkan pulang ke Bawomataluo dan selalu dibekali kopi atau kebutuhan pokok yang langka di kampungnya. Hingga tiba masa ujian yang dijanjikan Pak Sitompul, kepala sekolahnya. Upah yang diterimanya tidaklah cukup membayar biaya ujian yang lumayan besar. “Kosasih memberi lebih dari apa yang seharusnya saya terima, dan ini tidak bisa saya lupakan,” katanya.  Hikayat menyelesaikan ujian extranernya dan lulus!.

Pengunjung: Merubah Kehidupan

Bagi Hikayat, kunjungan tamu ke Bawomataluo berarti menjanjikan perubahan. Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan, Soesilo Soedarman berkunjung ke desanya di Bawomataluo.

Peristiwa ini merubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. “Dalam hati saya, saya harus ikut menjadi pelompat batu dan menunjukkan kehebatan saya di depan Panglima,”ujarnya mengenang peristiwa istimewa itu.

Ternyata lompat batu itu mengundang rasa kagum Panglima melihat anak-anak muda seperti Hikayat. “Orang-orang Nias banyak yang hebat-hebat, ada ON Harefa di Bimas Kristen. Tapi di ABRI belum ada. Saya mau ada 3 orang dari desa ini yang mau dididik menjadi tentara,” demikianlah pidato Panglima yang membesarkan hati Hikayat dan dua orang temannya, Hadirat Manao dan Fanahatodo Manao.

Janji Panglima benar-benar memberi inpirasi baru bagi ketiga pemuda itu. Mereka bertiga berangkat dan melapor ke Asrama Kowilhan di Medan. “Saya  tinggal di rumah pak Soeripto, Asintel Kodam,”ujarnya.
Sayang, niatnya menjadi tentara itu urung terwujud. Majalah yang memberitakan nasib para tentara di Timor Timor membuatnya kecut dan memberitahu pembatalan dirinya menjadi tentara kepada pak Soeripto dan Agus. “Saya permisi, lantas diberi ongkos,” ujarnya.

Hikayat tidak kembali ke Nias, tetapi memilih berangkat ke Jakarta. Beruntung di Jakarta ia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Dari segi pendapatan yang lumayan dirinya bisa membelanjai kebutuhan sehari-hari dan  menutupi biaya kuliah. Sambil  bekerja dia mengikuti kuliah di Akademi Teknik Komputer di Matraman Jakarta. Menurutnya, sekolah itu adalah idola pemuda saat itu, karena  pengetahuan tentang komputer masih merupakan hal baru. “Tetapi beberapa bulan kuliah, saya tidak pernah memegang komputer, hanya teori melulu, akhirnya saya berhenti” ujarnya mengenang kuliahnya.

Perusahaannya tempat bekerjapun akhirnya tidak menjanjikan banyak bagi pemuda ini . Dia hanya sebagai pegawai honorer dan bekerja atas pengaruh seorang keluarga yang kebetulan menjadi pejabat senior di sana.


Pulang Kampung: Menjadi Panglima “Kafalo Zaluya”

Di perantauan, bakat seni Hikayat yang sudah muncul sejak kecil tidak bertumbuh sebagaimana layaknya. “Sewaktu masih di SD, saya sudah sering memimpin lagu, sebagai dirigen,” ujarnya. Ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desanya  membawanya kembali ke Bawomataluo pada 1986.



Setelah beberapa tahun menggeluti hidup di Bawomataluo, pada 1992, Hikayat dinobatkan sebagai ‘Kafalo Zaluaya’, sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya. Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).

Sang panglima, harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik, untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik diantara warga.

Hikayat mengemban tugas berat ke depan. Ia harus mampu memerankan dirinya sebagai seorang tokoh pembaharu, sekaligus pelestari budaya yang tentunya tidak mudah! [Jannerson Girsang / Ketjel Zagoto]


Tempat, tanggal lahir: Bawomataluo, 12 Juni 1958
  • Nama panggilan: Ama Gibson
  • Pendidikan terakhir: Akademi Teknik Komputer Jakarta (Tidak Tamat)
  • Pekerjaan: Koregrafer, Konduktor, Penyanyi dan Pencipta Lagu-lagu Nias
  • Prestasi/Penghargaan yang pernah diraih : Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan. Memimpin delegasi budaya ke berbagai even.
  • Nama anak: Rael Gibsonard Manao (semester 4 di salah satu PT di Medan), sementara tiga lainnya Bon Haston Manao (SMA Bintang Laut, Teluk Dalam), Meta Manao dan Lobtar Manao masing-masing duduk di kelas III dan kelas II SMP Bintang Laut di teluk Dalam
  • Nama istri: Munihati Manao [JG]
 Artikel ini juga dimuat di  http://oase.kompas.com/read/2011/06/01/18280116/Hikayat.Manao.Sang.Panglima.Bawomataluodan beberapa website lainnya.  
  •