My 500 Words

Kamis, 25 Agustus 2011

Menyambut e-Procurement 2012

Oleh : Jannerson Girsang
 
Hati kami tergelitik membaca beberapa media yang membahas soal e-procurement, tender elektronik. Kok e-procurement itu katanya menghemat, tapi kenapa pelaksanaannya lambat? Rakyat harus menyadari bahwa e-procurement bukan hanya kemudahan pelaksanaan anggaran bagi pemerintah, tetapi kesempatan bagi rakyat menikmati anggaran bagi pembangunan di wilayahnya.
E-procurement sangat penting dan mendesak untuk diterapkan. "Pelaksanaan e-procurement mendesak untuk segera dilakukan karena akan mendukung pelaksanaan APBN," demikian Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia P. Nasution saat meresmikan Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di Jakarta 2009 lalu.

Masyarakat hendaknya tidak alpa mengawal penerapan e-procurement. Penerapan e-procurement ternyata memberi sumbangan signifikan dalam menghemat anggaran, dan pemerintah sudah menetapkan batas waktu 2012 melaksanakannya di seluruh kabupaten kota di Indonesia.

Menjanjikan Bagi Rakyat dan Good Governance

Menarik menyimak pernyataan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo di harian Analisa, 22 Juli 2011. Menurut Agus, saat ini e-procurement sudah diperkenalkan, tetapi baru diwajibkan penggunaannya pada tahun 2012.

Menurut Agus, hingga saat ini, proyek secara nasional yang sudah ditenderkan melalui e-procurement baru Rp 24 triliun. Kabar gembiranya, penerapan proses tender melalui e-procurement memberi sumbangan yang sangat signifikan. Sebab, menurut Agus, proses tender melalui e-procurement menghemat sekitar 17 persen anggaran belanja. Agus menyatakan sebelumnya, kebanyakan 17 persen anggaran tersebut habis dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang terkait tender.

Bahkan pengalaman di Kalimantan Timur, penerapan e-procurement menunjukkan angka penghematan yang lebih baik. Menurut Gubernur Kalimantan Timur, HM Aswin, Implementasi Elektronik Procuremen atau E-procurement (E-Proc) dapat menghemat anggaran hingga 25 persen, sekaligus mewujudkan terciptanya pemerintahan yang baik atau good governance.

Uraian di atas benar-benar memberi kesempatan besar bagi rakyat menikmati anggaran yang selama ini bocor di tengah jalan. Selain itu, dengan e-procurement memang akan memberi peluang penghematan anggaran, serta membatasi keleluasaan makelar-makelar proyek seperti Nazaruddin cs.

Sunggguh sebuah berita gembira bagi rakyat. Dalam bahasa rakyat, penghematan ini bisa membantu dana pembangunan berbagai infrastruktur yang kini banyak menunggu. Jalan-jalan di desa yang rusak, gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk, mengganti jembatan yang masih terbuat dari pohon kelapa dan lain-lain.

Penduduk beberapa desa tidak menunggu lama lagi menghirup abunya jalan di musim panas, atau kubangan kerbau di musim hujan, karena aspalnya dan batunya sudah lepas-lepas. Penduduk di desa Dolok Marawa, Negeri Dolok akan menikmati jalan mulus. Rumah orang tua Bupati Nias Barat, di desa yang kami kunjungi bulan lalu belum mendapat aliran listrik bisa dialiri listrik.

Penghematan anggaran dengan penerapan e-procurement tentu akan membantu mewujudkan tekad pemerintah yang diungkapkan SBY baru-baru ini. "Yang hendak kita tuju bukan sekedar growth (pertumbuhan). Tapi makin baiknya atau meningkatnya standar kehidupan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, equality of human life. Itu harus kita capai," tegas SBY saat membuka acara Indonesia International Focus on Indonesian Economy di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (21/7) (Analisa, 22 Juli 2011.

Sumut Tertinggal dari Jawa Barat

Anehnya, meski penerapan e-procurement dinilai sangat mengemat anggaran, namun pelaksanaannya di daerah ini masih memerlukan pengawalan dari masyarakat. Jangan sampai sistem yang dianggap menghemat ini, tidak dilaksanakan secara serius. Masyarakat harus mengawal tekad pemerintah menerapkan e-procurement pada 2012.

Melihat performansi pelaksanaan e-procurement di daerah ini, masyarakat Sumatera Utara belum saatnya berpuas hati. Sebagaimana diberitakan beberapa media baru-baru ini, pelaksanaan e-procurement di daerah ini dinilai sementara lambat. Sejak dilaunching pada 16 April 2009 yang lalu, baru 17 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di daerah ini yang menggunakan e-procurement. Di tingkat kabupaten dari 33 kabupaten/kota di Sumut, baru 9 yang telah memiliki SK Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Penerapan e-procurement di Sumut meski terus mengalami peningkatan tetapi jumlah proyeknya masih sedikit. Perkembangannya, 29 paket tahun 2009, 42 paket (2010) dan 97 paket tahun 2011 sehingga total ada168 paket per tanggal 15 Juni 2011.

Kita tentu iri melihat Provinsi Jawa Barat. Sumut masih kalah jauh dibanding provinsi itu yang sudah 100 persen persen kabupaten/kotanya menerapkan e-procurement. Jawa Barat juga merajai jumlah proyek yang ditender melalui e-procurement, mencapai 3.417 paket, bandingkan Sumut yang masih ratusan.

Masalah Teknis, Mindset dan Culturalset

Berbagai keluhan penerapan e-procurement di daerah ini masih terdengar, seperti belum maksimalnya pelayanan pengadaan atau tender secara elektronik, ketika melakukan download dokumen penawaran, kerap tidak dapat dilakukan menyusul sibuknya sistem informasi teknologi pengadaan elektronik itu sendiri (Analisa 14 Juli 2011).

Mulia P. Nasution, Sekjen Departemen Keuangan pernah mengungkapkan adanya persoalan mendasar dalam implementasi e-procurement di lingkungan instansi pemerintah yakni mewujudkan persamaan persepsi dan filosofi dalam rangka transformasi mindset dan cultural set di bidang pengadaan barang/jasa di lingkungan instansi pemerintah untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efektif, efisien, dan akuntabel.

Sebuah tugas berat tentunya. Tapi itu adalah janji dan tekad pemerintah yang sudah diungkapkan ke publik. Masyarakat harus turut aktif mengawal dan menyambut e-procurement 2012, agar harapan penghematan seperti yang dijanjikan di atas tidak hanya sekedar isapan jempol.

Mari kita kawal penerapannya sebagai sebuah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara konsisten mulai dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. ***

Penulis adalah Pegiat Sosial dan Kemasyarakatan, tinggal di Medan, juga penulis Biografi.

Artikel ini dimuat di Edisi Cetak Harian Analisa, 9 Agustus 2011.

Di Era Internet: Say No, to Plagiat!

Oleh : Jannerson Girsang

Berkembangnya mesin pencari (search engine) akan mempersempit persembunyian para plagiator khususnya mereka yang memasuki surat kabar atau koran online. Sayangnya aksi ini tidak pernah padam. Perlu kampanye: Say No more Plagiat di era internet!. Selain melanggar hukum, pekerjaan itu sungguh-sungguh tidak merepotkan penulis asli dan media.

Defenisi plagiat bisa dilihat di Kamus Bahasa Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta (2006). Plagiat, adalah mengambil atau pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat sendiri). Pelakunya disebut plagiator.

Di tengah kemajuan teknologi sekarang ini,  plagiator tidak perlu menunggu lama akan ketahuan. Barangkali hanya usai seminggu menikmati honor, kegiatannya sudah ketahuan!. Bahkan sebenarnya, sebelum naik cetak, hal tersebut bisa terdeteksi, kalau pengelola medianya jeli.

Aksi plagiat kini dengan mudah terdeteksi di internet, karena peralatan makin canggih. Misalkan anda mengcopy paste tulisan saya Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumatera Utara dari Jurnal Medan terbitan 29 Juli 2011, dan mempublikasikannya di media cetak yang memiliki media online. Anda tidak menyebut sumbernya, seolah itu karya Anda, maka anda tidak akan luput. Dunia ini menyebut anda plagiator. Para akademisi menyebutnya, “kegiatan tercela”.

Mencerahkan/Menghibur versus Mengejar Uang/Popularitas


Menciptakan karya tulis, berupa artikel, buku dll, merupakan kegiatan yang membutuhkan pengorbanan (keahlian, waktu, kesabaran, dan lain-lain). Menghasilkan sebuah tulisan seberapapun tinggi atau rendah kualitasnya, pasti melalui sebuah proses yang tidak sesingkat rasanya makan cabe, yang ces plang. Langsung terasa pedasnya, langsung dihasilkan tulisannya.. Butuh proses dan waktu!
Seperti diungkapkan Gunawan Muhammad, seorang penulis kawakan di negeri ini, para penulis mengawali kegiatan tulis menulis dari sebuah rasa resah atas keadaan di sekitarnya. Penulis terdorong menjembatani keresahannya itu. Jadi sebuah tulisan merupakan buah renungan seseorang yang berkeinginan mulia untuk menjelaskan, menawarkan solusi, atau hanya sekadar memperingatkan atas sesuatu bagi pembacanya.

Para penulis terdorong menulis karena keinginan mencerahkan dan menghibur sehingga berubah ke arah yang lebih baik. “Menulis tanpa berfikir hasil dalam arti sebuah hasil, tetapi memikirkan menulis dalam bentuk penemuan (discovery)”, pengalaman yang diungkapkan Gertrude Stein seorang penulis Amerika yang mempelopori perkembangan seni modern dan sastra Modernis.

Saya belum bisa membayangkan, kalau seorang penulis di daerah ini, menulis sambil membayangkan duit dan popularitas. Pengalaman kami, menulis untuk uang, belumlah rasional untuk kondisi saat ini sebagai pendorong orang menulis, apalagi di media lokal.

Mengingat keadaan itu, tentu perasaan miris akan menghingapi setiap penulis yang dengan susah payah, tapi seseorang sampai hati menjiplak karya, hanya dengan cara melakukan copy paste. Di atas keringat orang lain, mereka memperoleh popularitas.

Filter Makin Berlapis

Para ahli yang menjunjung tinggi nilai sebuah karya, semakin giat menciptakant alat yang bisa menangkal kegiatan para plagiator. Bahkan, saking canggihnya, sesama perusahaan mesin pencari sudah saling mengawasi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Google berhasil mencatat bukti-bukti bahwa Bing menjiplak data pencarian Google.

Caranya sangat sederhana sekali. Dengan memasukkan kata-kata kunci yang berhubungan dengan artikel di atas ke dalam mesin pencari Yahoo, Google, Bing dll, artikel itu akan muncul. Di era intenet ini, menggunakan mesin pencari (search engine)  Yahoo, Google atau search engine lainnya bisa mendeteksi seluruh tulisan yang masuk di media online.

Kini, para penanggungjawab media lokal seperti Analisa, Medan Bisnis, Waspada, Berita Sore, Jurnal Medan, Sumut Pos, dan lain-lain bisa melakukannya sendiri.

Seorang penanggungjawab media yang jeli dan mau meluangkan sedikit waktu memasukkan isi artikel atau kata-kata penting ke kolom search di mesin pencari Google atau mesin pencari lainnya, maka menunggu beberapa setik, dengan cepat mampu menemukan apakah seseorang hanya mengutip, atau justru menjiplak secara utuh dari artikel aslinya.

Seorang editor akan dengan mudah mendeteksi seorang penulis yang memasukkan tulisannya di media yang terbit di Banda Aceh, Padang atau Palembang, sejauh artikel tersebut masuk di media online. .
Saringan deteksi aksi plagiat sudah semakin berlapis. Kalaupun seorang penulis asli atau penanggungjawab media tidak mendeteksinya, maka dengan akses yang luar biasa luasnya sekarang ini, ada saja orang yang menemukannya dan melaporkan dengan kesadaran sendiri.

Jadi, meski plagiator lolos dari pantauan pengelola media, masyarakat melalui surat pembaca masih saja bisa menyeleksinya. Masyarakat semakin aktif memantau sebuah artikel. Dari hasil pantauan mereka, tidak jarang surat protes  meluncur baik dari pembaca atau penulis aslinya.

Selain itu, sudah pula diciptakan alat mendeteksi tulisan jiplakan di internet. Sebut saja beberapa contoh seperti: http://www.plagiarismchecker.com, http://www.articlechecker.com/, http://www.plagiarism.org/, http://blogoscoped.com.

Kalau seseorang berlagak pintar dan menjiplak artikel dari The New York Time, Yomiouri Shimbun, Hsin Hua atau media utama dunia lainnya tanpa menyebut sumbernya dari media itu, maka pasti bisa dilacak dengan cepat, sebelum tulisan itu naik cetak.

Tidak hanya tulisan yang bersumber dari media, tulisan yang bersumber dari bukupun sama. Kini buku-buku sudah banyak yang online atau dikenal dengan e-book. Jadi seseorang yang menjiplak sebuah buku, bisa dilacak dengan judul buku dan isinya.

Plagiator Menikmati: Penulis Kecele, Media Meminta Maaf.Meskipun secara otomatis seluruh artikel atau tulisan yang masuk dalam media online tersambung dan dapat dibaca secara transparan di seluruh dunia, kegiatan plagiat masih terus berlangsung.

Tahun lalu, sebuah artikel saya berupa hasil pengamatan pelaksanaan upacara adat dengan judul “Huda-Huda dan Toping-toping” yang saya publikasi di blog saya sendiri, http://www.harangan-sitora.blogspot.com, dijiplak habis oleh sebuah lembaga kesenian terhormat di negeri ini tanpa menyebut sumbernya.

Setelah saya menyurati lembaga itu, mereka kemudian meminta maaf dan mencantumkan sumbernya dari blog saya. Saya tidak menuntut, karena lembaga itu melalui humasnya meminta maaf, dan saya tidak merasa dirugikan karena artikel saya tersebar luas. Hanya itulah upah seorang penulis—karyanya,pesannya bisa dibaca dan dinikmati orang lain.

Dari pengamatan kami di media-media internasional, nasional, regional kegiatan plagiat masih banyak ditemukan. Tidak sedikit artikel diterbitkan hanya dengan melakukan  copy paste dan memindahkan begitu saja sebuah artikel yang dipersiapkan susah payah oleh seorang penulis.

Peristiwa paling menggemparkan tahun lalu adalah ketika seorang guru besar menjiplak karya seseorang dan memuatnya di harian The Jakarta Post, harian berbahasa Inggeris terkemuka di negeri ini. Harian The Jakarta Pos harus memasang pengumuman di Media itu yang terbit Kamis 4 Februari 2010. Menarik sebuah artikel yang ditulis seorang profesor dari Universitas Parahyangan, Bandung yang dinilai menjiplak tulisan dari sebuah jurnal ilmiah Australia. (The Jakarta Post, 4 Februari 2010).

The Jakarta Post harus meminta maaf, dan si guru besarnya menikmati popularitas dan honor. Walau hanya untuk sementara waktu, karena akhirnya dirinya harus merasakan malu yang tak terhingga dan mendapat hukuman dari universitas tempatnya bekerja.

Media-media lokal di daerah ini juga masih menghadapi masalah yang sama. Saya sering bertemu dengan para editor di daerah ini yang masih mengeluhkan soal artikel yang dijiplak asli dari media lain. Dari pengamatan saya sejauh ini, kalau ketahuan, maka plagiator akan mendapat sanksi berupa peringatan dan akhirnya bisa sampai hukuman black list—tidak lagi dibenarkan menulis di media bersangkutan. Media sumber tulisan awalnya juga melakukan hal yang sama.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca keberatan seorang penulis asli sebuah artikel di salah satu media lokal. Bayangkan, media itu sendiri harus meminta maaf, padahal yang melakukannya adalah seorang pemalas, seorang plagiator.

Kita memang tidak perlu berkecil hati, karena hal seperti ini tidak hanya terjadi di negara kita. Media-media asing juga acapkali masih memberitakan soal yang satu ini. Tidak hanya negara-negara yang terbelakang, tetapi juga terjadi di negara maju, bahkan orang-orang yang tingkat pendidikannya di atas rata-rata.  Bukan bermaksud memberikan pembenaran. Kita harus mengkampanyekan anti plagiat. Say no to Plagiat!.

Penutup

Jujur pada diri sendiri, jujur pada kemampuan sendiri, itulah kunci utama menulis di era internet sekarang ini. Tidak usah meniru-niru penulis yang hebat. Jadilah diri sendiri.

Menjadi penulis yang sukses tidaklah mudah. Mereka menjalani proses jangka panjang, untuk mendapatkan materi dan popularitas. Lihat Andrea Hirata, para penulis hebat lainnya seperti Arswendo Atmowiloto dll.

Program-program yang mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan mahalnya kreativitas dan apresiasi kepada penulis asli, perlu terus digalakkan. Kompetisi menulis buku, artikel, serta karya-karya kreatif yang selama ini terlupakan mungkin solusi yang jitu.!

Media, sebagai filter bagi para plagiator hendaknya memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menyaring setiap tulisan yang masuk ke meja redaksi. Say No More Plagiat in Internet Era!.

Artikel ini dimuat di edisi cetak Harian Jurnal Medan, 4 Agustus 2011

Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut

E-mail
Oleh: Jannerson Girsang   

Meski buku merupakan pengusung peradaban, produksi buku kita masih cukup rendah. Usaha-usaha mendorong produksi buku selayaknya mendapat apreasiasi. Sebuah catatan ringan mengikuti Bedah Buku dan Peluncuran Hasil Karya Pengarang Sumatera Utara, di Hotel Antares, Medan, 26 Juli 2011, kami sajikan bagi anda, sebagai sebuah bentuk apreasiasi.

Sekitar 75 orang peserta bedah buku yang dibuka Kepala Baperasda,Pemprovsu Nurdin Pane, SE, MAP, selama lebih kurang lima jam mendengar paparan, pembahasan dan diskusi tentang lima buku baru. Kelima buku itu adalah Ekstrak Sambiloto sebagai Anti Malaria (Dr Umar Zen), Mutiara Kota Kerang Tanjung Balai Asahan (Watni Marpaung MA), Langkat Mendai Tuah Berseri (Datuk OK Abdul Hamid), Adat dan Budata Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga (Syawal Pasaribu), Ramadhan di Hatiku (Muhammad Syukri Albani, MA).

Para penulis mempresentasikan bukunya, para pembahas menyampaikan saran dan kritiknya atas buku itu, lantas diskusi yang melibatkan para peserta. Demikian dilakukan secara bergantian oleh lima penulis tersebut.
Menarik, karena para penulis seperti Ali Murthado dan lain-lain yang juga dikenal sebagai penulis yang produktif di daerah ini, dan pesertanya yang terdiri dari para dosen, mahasiswa, para tkoh adat, agama dan masyarakat di daerah ini.

Memasuki ruang peradaban Sumatera Utara. Itulah perasaan saya berada di antara sekitar 70-an peserta, saat menghadiri acara Bedah Buku 5 Buku yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda), Pemprovsu itu.

Selama bedah buku berlangsung, saya kerap mendengar kata-kata “Bongak” dari Tanjungbalai, “Bulek Kato” dari Sibolga dan idiom-idiom daerah yang sungguh-sungguh lucu terdengar dan disambut gelak tawa dan riang para pengunjung. Pantun-pantun Melayu nan bermakna serta enak didengar membuat suasana segar. Rasanya beberapa jam terlepas dari pembahasan hiruk pikuknya berita korupsi di negara ini.

Buku yang ditampilkan cukup menarik. Meski tidak membahas seluruh budaya yang ada di daerah ini (karena hanya lima buku), tetapi rasanya di sana kita serasa berkaitan satu dengan yang lain. Ketika Watni Marpaung mempresentasikan bukunya tentang Tanjungbalai, maka dia tidak terlepas membahas penduduk Simalungun, Tapanuli, Karo, Mandailing dan berbagai suku lain.

Berbagai suku di Sumatera Utara sudah kawin-mawin dengan suku-suku di hampir seluruh wilayah ini. Hal ini mampu membangkitkan perasaan saya sebagai warga Sumatera Utara. “Kami berasal dari Tapanuli, tetapi sudah beberapa turunan tinggal di Tanjungbalai,ujar Watni.

Bedah buku seperti ini memberikan pemahaman asal usul, budaya, agama, adat serta potensi daerahnya. Bahkan peserta juga disuguhi dengan potensi obat-obat herbal yang banyak tumbuh di daerah ini, yakni Sambiloto. Melalui bedah buku seperti ini, peserta sedikitnya akan mendengar dan memahami secara umum budaya suku-suku di luar sukunya sendiri.

Sebuah pembelajaran berinteraksi dengan sesama warga Sumatera Utara—memahami perbedaan dan merasakannya sebagai sebuah kekayaan. Saya berfikir lebih jauh, andaikata bedah buku dan diskusi seperti ini bisa dikembangkan melibatkan lebih banyak masyarakat dan meningkatkan frekuensinya, alangkah indahnya provinsi ini.

Patut menjadi catatan, bahwa bedah lima buku berlangsung kurang dari  5 jam. Waktu memang menjadi pembatas untuk mendiskusikan beberapa hal yang memerlukan pembahasan secara lebih mendalam. Bayangkan, sebuah buku dipresentasi oleh penulisnya dalam waktu 15 menit, kemudian dibahas dua puluh menit dan kemudian dilakukan diskusi.

Terlepas dari soal di atas, hal menggembirakan adalah antusias para undangan yang terdiri dari para penulis, peminat buku, peminat perpustakaan, tokoh agama, sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara itu. Ternyata minat peserta atas pembahasan sejarah dan budayanya cukup tinggi.

Akibatnya, permintaan tambahan waktu dan dalam setiap sesi tak bisa dihindari. Bahkan peserta tidak kebagian waktu bertanya. “Waktunya habis dan kita masih membahas beberapa buku lagi,”demikian pembawa acara senantiasa mengingatkan.

Banyak kritik yang dilontarkan kepada para penulis. Diantaranya soal desain, isi dan judul, editing yang belum dilakukan secara benar.

Ada hal yang cukup lucu. Semua buku didesain sendiri oleh penulisnya. Penulisnya merangkap disainer baik sampul maupun isinya. Mungkin juga karena mahalnya biaya desain.

Padahal, menurut Ali Murthado, sampul sangat menentukan sebuah buku agar diminati pembaca. ”Meski isinya bagus, tetapi kalau desain sampulnya tidak menarik, maka pembaca tidak akan tertarik,”ujarnya saat tampil sebagai pembahas buku Ramadhan di Hatiku.

Para pembahas dan peserta banyak mengritik kaidah-kaidah penulisan buku. Mulai dari judul yang belum mencerminkan isi buku. ”Buku ini bukan buku sejarah, karena sejarahnya hanya satu halaman dari sekian halaman buku,”ujar salah seorang dosen sejarah dari sebuah perguruan tinggi, saat mendiskusikan buku Mutiara Kerang Tanjung Balai Asahan: Mengungkap Sejarah Asal Usul Nama, Kesultanan, Adat Istiadat, Tradisi, Makanan Daerah, Kesenian, Pendidikan dan Sosial Budaya.

Cuma banyak hal-hal yang masih terlupa oleh penulis. Ada buku yang dikritik karena alpa menuliskan sumber tulisan, padahal penggalan kisah yang ditulisnya besumber dari tulisan orang lain. ”Kita bisa bingung nantinya, apakah kisah itu sudah ditulis orang lain atau baru pertama kali ditulis,”ujar seorang ahli sejarah dari sebuah perguruan tinggi di Medan.

Mendengar kritikan itu para penulispun tidak mau kalah. ”Saya memang belum penulis profesional, tetapi kalau tidak sekarang dimulai, kapan lagi tulisan saya bisa dinikmati pembaca,”ujar Datuk OK. Abdul Hamid, penulis buku Langkat Mendai, Tuah berseri.

Tulis, cetak, terbitkan dulu, soal kekurangan bisa diperbaiki. Demikian kira-kira pendapat sebagian besar penulis yang tampil kali ini. ”Kritik itu akan mendorong kami untuk memperbaiki penerbitan selanjutnya,”ujar kelima penulis menghargai semua kritikan para peserta dan pembahas.

Terlepas dari semua kekurangannya, penerbitan buku dan bedah buku yang disponsori oleh Baperasda ini diharapkan memberi dorongan para penulis menerbitkan buku dengan konten lokal yang ditulis penulis daerah ini. . “Kita memberi insentif kepada penulis dan biaya cetaknya,”ujar Chandra Silalahi menjelaskan bentuk dukungan yang dilakukan lembaganya.

Syawal Pasaribu, penulis buku Adat dan Budaya Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga, dalam kesempatan itu, mengaku tidak mungkin menerbitkan bukunya tanpa bantuan Baperasda. Bukunya sudah selesai dua tahun lalu, tetapi dia kesulitan mencai penerbit dan biaya mencetak bukunya.

Menurutnya belum banyak pihak yang mau mendukung penerbitan buku-buku konten lokal, apalagi budaya atau sejarah. Dia mengaku pergi kesana kemari meminta bantuan untuk menerbitkan dan mencetak bukunya. “Padahal, sebagai penulis, saya tidak memiliki cukup uang untuk biaya penerbitan dan cetaknya,” ujar Syawal.

Lima buku yang sudah dibedah itu sudah berada di tangan para peserta. Kisah tentang buku dan diskusi tersebut akan menyita sedikit waktu di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Ribuan buku akan dipajang di rak-rak buku perpustakaan yang terdapat di berbagai kota yang siap disantap para pengunjung perpustakaan atau sebagian dibagikan kepada masyarakat umum.

Bedah buku semacam ini akan memberikan dorongan kepada Pemda-pemda di seluruh provinsi ini untuk memperhatikan karya-karya penduduk yang selama ini terdokumentasi belum dalam bentuk buku. Usaha seperti ini akan mendongkrak jumlah buku yang siap saji bagi masyarakat yang saat ini masih sangat rendah. Memang, harus diakui bedah buku ini menambah jumlah buku yang belum signifikan, mengingat produksi buku secara nasional  yang cukup rendah. Meski jumlah penduduk kita 250 juta, setiap tahun buku yang diterbitkan baru mencapai 10.000 judul. Sekadar untuk perbandingan, Vietnam setiap tahun menerbitkan 15. 000 judul buku, Jepang 60.000 judul, China 140.000 judul buku pertahun.

Semoga usaha-usaha seperti ini bisa terus dilanjutkan di tahun mendatang dan mampu merangsang para penulis daerah ini menulis karya-karya dengan konten lokal yang akan memperkaya warisan budaya yang terdokumentasi dan memperkaya khasanah perbukuan di daerah ini.

Artikel ini dimuat di Edisi Cetak Harian Jurnal Medan, 30 Juli 2010.

Pemicu Ide Menulis

Oleh : Jannerson Girsang.  
 
Suatu ketika Anda pasti pernah kehilangan ide menulis artikel
dan membutuhkan alat-alat pemicu, layaknya jantung yang lemah butuh alat pacu.
Meski sudah menulis selama bertahun-tahun, tetapi saya masih tetap menghadapi kebuntuan memperoleh ide menulis, karena pemicu untuk menulis tidak kunjung muncul ke permukaan. Meski ide muncul, masalahnya tidak sampai memenuhi unsur-unsur yang layak dijadikan sebagai artikel—unsur kebaruan atau sedang hangat dibicarakan, mampu mencerdaskan dan menghibur, atau memberikan solusi memecahkan masalahnya sendiri serta lingkungan.

Apa yang harus dilakukan?. Banyak trik yang disodorkan para ahli. Berikut ini beberapa tips yang bisa memunculkan ide awal anda memulai menulis. Langkah-langkah ini kami sajikan berdasarkan pengalaman menulis selama delapan tahun terakhir. Semoga bisa memicu ide Anda menulis dan bila anda punya pengalaman lain tentu bisa saling melengkapi.

Membaca Buku

Membaca buku How To Run Writing Business, karya Herman Holtz memberi pengetahuan kepada saya tentang pengalaman seorang penulis terkenal. Bagaimana penulisnya seorang berlatar belakang teknik mampu menjadi penulis yang luar biasa. Saya terinspirasi idenya tentang peluang bisnis jasa penulisan cukup besar, namun baru sedikit penulis yang meraih sukses. Ada kontradiksi, dan pasti menarik!

Karena saya belum sukses, maka bersama pembaca ingin belajar dari penulis buku itu. Lantas saya mengembangkan ide di atas. Bagaimana menulis dan memasarkan tulisan. Saya berhasil menulis artikel: "Berguru dari Para Penulis Sukses (Harian Analisa, 11 Juni 2010)".

Anda bisa membaca buku dengan topik lain. Bisa saja anda membaca buku yang lain dengan topik yang lain. Masalah kesehatan misalnya. Kalau dalam sebuah buku anda mendapatkan data tentang kandungan pestisida yang berbahaya dalam kentang. Ide itu bisa dikembangkan menjadi "Awas, ternyata di dalam kentang ada pestisida yang mengandung banyak bahan kimia mematikan!".

Membaca Koran dan Majalah

Koran dan majalah merupakan ladang informasi. Anda bisa menemukan hal-hal baru yang up to date di sini. Misalnya, di koran ditulis berita terbaru mengenai Keong Racun. Dua orang mahasiswi yang mengunduh lypsinc di YouTube.

Ternyata dua orang itu menjadi sangat terkenal. Lalu muncul ide, ternyata di dunia internet sekarang ini orang yang tidak dikenal sebelumnya bisa dalam beberapa hari menjadi terkenal, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh jagad raya ini. Sesuatu yang baru dan menarik bagi pembaca. Kami akhirnya mengembangkannya menjadi sebuah artikel: "Keong Racun" dan Maknanya bagi Kita Analisa, 10 Agustus, 2010.

Jadilah sebuah artikel.

Mengunjungi Website

Di era gelombang baru (new wave era) ini, kita menemukan sumber informasi yang tidak terbatas. Bagi Anda yang ingin mencari berita dan penemuan-penemuan baru yang diterbitkan di suratkabar online, silakan mengunjungi website ini: http://www.onlinenewspapers.com/. Anda bisa mengunjungi The Wall Street Journal, Time, Asia Wall Street Journal, Bangkok Post, China Post dan puluhan ribu surat kabar online di seluruh dunia.

Secara rutin, saya mengakses website yang menyebut dirinya sebagai The No 1 Newspaper Directory itu. Melalui website ini, saya bisa menjelajah ribuan surat kabar di berbagai belahan dunia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia Pacifik, Asia Tenggara, Amerika Tengah, Afrika. Puluhan surat kabar dalam negeri bisa anda temukan melalui website ini. Anda bisa memperoleh informasi yang bisa menumbuhkan ide menulis di sana.

Mengunjungi website ini saya terinspirasi menulis artikel tentang surat kabar online, yang berjudul: Menyambut Hari Pers 9 Februari 2010: Media Online Dunia (Analisa, 9 Febrari 2010). Topiknya sendiri adalah tentang website itu. Bagaimana di era internet ini, kita bisa mengunjungi puluhan ribu surat kabar melalui satu website.

Banyak website lainnya yang bisa menggugah ide anda untuk menulis. Demikian juga Facebook, Twitter dan jejaring sosial lainnya merupakan sumber pemicu ide anda untuk menulis.

Menonton Televisi dan Mendengarkan Radio

Televisi dan radio merupakan sumber informasi yang melimpah, seperti berita, gosip artis, korupsi dan lain sebagainya. Anda bisa merangkumnya atau bahkan menggali informasi tersebut dari berbagai sumber lain di internet, lengkap dengan fotonya, lalu dirangkum jadi sebuah artikel yang wah…!

Menyaksikan televisi menyiarkan Gunung Sinabung meletus tengah malam 29 Agustus 2010 membuat kami terhenyak sejenak. Apa ya?. Saat itu kami sedang berkunjung ke tempat kos anak-anak kami di Depok, 1500 kilometer dari tempat kejadian.

Berita itu begitu menarik.Pasalnya, Gunung Sinabung tak jauh dari desa tempat saya dilahirkan. Muncul kekhawatiran. Bagaimana dengan orang tua saya di kampung?. Rasa khawatir, bisa menimbulkan ide setelah menonton sesuatu di televisi.Akhirnya, saya menulis artikel : Gunung Sinabung "Babak Baru" dan" Bukan Peristiwa Biasa" (Harian Sinar Indonesia Baru 4 September 2010).

Dengan menonton televisi saya bisa mendapatkan ide menulis tentang Pemilu dan Asian Idol dengan judul: Asian Idol dan Pemilu "Budaya Mengakui Kekalahan" (Analisa, 6 April 2009

Mengamati Sekeliling Kita

Di sekeliling kita banyak sekali ide yang bisa dijadikan bahan tulisan. Misalnya, saat saya berjalan-jalan ke museum Jayakarta di Jakarta. Saya sangat terkesan dengan minat anak-anak di Jakarta yang lebih menyukai berkunjung ke Plaza dari pada ke museum. Nah, kesan saya terhadap anak-anak tersebut bisa menjadi ide untuk menulis. Saya akhirnya menulis artikel: Bermain, Rekreasi dan Belajar Anak :Tidak Cukup Hanya ke Mall (Analisa, 20 Juli 2011).

Bertemu Orang-orang

"Ketika api semangat anda padam, maka pertemuan dengan orang-orang akan menyalakan kembali api semangat Anda!". Tinggalkan rumah atau kantor anda, bertemulah dengan orang-orang atau hadirilah pertemuan-pertemuan penting berhubungan dengan topik yang anda tulis. Ide menulis bisa dipicu oleh orang-orang yang kita temui, atau pertemuan yang kita hadiri. Dengar apa yang dibicarakan di tempat anda bertemu.

Pertemuan saya dengan tiga orang penulis, Muhammad TWH dari Medan memasuki usia 78 tahun, St Japiten Saragih dari Desa Pematangraya, Simalungun, berusia 74 tahun dan Haji Arifin 69 tahun dari Kota Tanjung Balai, menghasilkan ide menulis artikel tentang-orang-orang yang tidak berhenti menulis.Pertemuan itu sendiri saya tulis dengan judul: Catatan Ringan Pertemuan Penulis Pembaca Sumut: Menulis Sampai Uzur (Analisa, Sabtu 6 Nopember 2010 Hal 13).

Membuka Kembali Artikel yang Pernah Ditulis dan Arsip/Kliping

Dengan membaca kembali artikel Anda bisa mengundang ide baru muncul. Oleh sebab itu simpanlah artikel yang pernah ditulis di tempat yang mudah ditemukan. Ketika saya hendak menulis artikel Menyambut Hari Kartini 2009: "Kartini Baru dan Keterwakilan Perempuan" (Analisa 21 April 2009), saya harus membuka kembali beberapa data dari artikel saya sebelumnya, Selamat Datang 2008: "Tahun Kebangkitan Politik Perempuan" (Analisa 11 Januari 2008). Selain itu, arsip dan kliping koran sangat berguna untuk memicu ide, sekaligus menyediakan data yang diperlukan.

Penutup

Langkah-langkah di atas menolong anda memicu ide sekaligus sebagai bahan dasar menemukan perumusan masalah, bahan awal penulisan, membimbing anda untuk langkah penulisan artikel selanjutnya.

Buatlah komitmen untuk menulis satu artikel secara teratur (walau tidak langsung dimuat, mungkin untuk sementara konsumsi sendiri). Lakukan kombinasi alat pemicu di atas, niscaya tidak ada jalan buntu bagi Anda menulis artikel secara reguler. Semoga!***

Penulis adalah Penulis Biografi dan artikel di berbagai media.

Artikel ini dimuat di Harian Analisa Cetak, Jumat 29 Juli 2011.

Selasa, 23 Agustus 2011

Cara Adikku Mengatasi Single Parent

Menjadi single parent ternyata tidak menyenangkan dan tidak mudah menghadapi masalahnya. Hampir empat tahun adikku Parker menjalani hidupnya dengan single parent, selama itu dia mempertimbangkan memiliki istri, tetapi bukannya memperoleh pengganti istrinya yang sudah meninggal, malah menyusul istrinya tinggal bersama di Taman Pekuburan Umum Perwira Bekasi.

Sekitar April 2009, di rumahnya di Kompleks Perumahan Permata, Bekasi, saya berbicara dengan almarhum adikku Parker Girsang yang ketika itu sudah ditinggal istrinya sejak  Februari 2006. Tiga tahun sudah, dirinya mengurus tiga putri kami yang masih kecil-kecil, Christin, Hilary Valeria dan Trisha Melani.

Pembicaraan kami begitu serius dan berlangsung lebih dari tiga jam. Topiknya adalah seputar masalah yang dihadapinya sebagai single parent. Ketika itu, keluarga berniat membujuk agar dirinya menikah kembali. Mengingat tiga putri kami saat itu masih membutuhkan perhatian dari seorang ibu, meskipun pengganti.

Dari pembicaraan itu, saya sedikit memahami masalah yang dihadapi seorang laki-laki menjadi single parent. "Semua harus diputuskan sendiri, tidak ada teman curhat dan diskusi. Susah mengusir kesepian" ujarnya ketika itu.

Dia sendiri merangkap sebagai tulang punggung ekonomi—saat itu dia memiliki perusahaan ekspedisi yang mengirim barang ke berbagai tempat di Jawa. Dia mengendalikan bisnisnya dari rumah dan hanya waktu-waktu tertentu saja ke luar rumah. Sehingga dia masih bisa mengurus anak-anak berangkat ke sekolah atau pulang sekolah. Mengantarnya ke less atau ke tempat latihan menyanyi. Kebetulan ketiga putri kami itu punya bakat menyanyi.

Usaha ekspedisi itu tak selamanya berjalan lancar. Kadang berbulan-bulan tidak memperoleh orderan. Ini yang membuatnya sering mengeluh. Sebaliknya suatu ketika banyak orderan sehingga menguras tenaga untuk memenuhinya. Kondisi seperti ini juga membuat tubuhnya capek dan lemah.

Masalah yang paling pelik dihadapinya adalah kalau ada urusan di luar rumah yang berhubungan dengan bisnisnya. Misalnya, godaan dari para gadis, apalagi mengetahui dirinya sudah duda. Menurutnya, ada yang bersedia menjadi istri, ada juga hanya sekedar sebagai teman curhat.

Selain itu, dia juga menghadapi masalah kalau bertamu ke rumah orang sendirian, apalagi yang di rumah hanya tinggal ibu rumah tangga. “Banyak gossip bisa berseliweran,”ujarnya.

Sementara bisnisnya memerlukannya melakukan lobby ke luar, di lain pihak anak-anaknya membutuhkannya berada di rumah, di saat anak-anaknya pulang sekolah. “Saya tidak bisa sebebas kalian yang memiliki istri,”katanya.

“Saya juga punya keinginan untuk menikah, tetapi pertimbangannya banyak. Tidak mudah mencari wanita yang saya dan anak-anak mencintainya,”ujarnya ketika itu. Terus terang, katanya, ada beberapa orang yang mau menjadi istrinya, bahkan rela membantu keuangan keluarga.

Masalahnya, ternyata tidak semudah itu. Uang atau materi dalam perkawinan bukan hal utama. Tetapi kasih sayang dan perhatian. “Saya takut menikah, karena takut anak-anak tidak mendapat kasih sayang seperti yang sekarang saya berikan,”ujarnya

Ketika itu saya mencoba agar dirinya tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya. Tetapi lebih berani menghadapi tantangan dan mengambil keputusan. Jawaban terakhirnya: “Ya saya akan menikah, tetapi bukan sekarang”.

Suatu ketika dia memberitahukan kepada kami keluarga bahwa dirinya sudah memiliki seorang pendamping, yang baik dan menurut anak-anaknya sudah cocok. Mereka sudah sering pergi bersama-sama dan tampaknya hanya soal waktu.

Akan tetapi, rencana manusia berbeda dengan rencanaNya. Sekitar Maret 2010, adik saya dinyatakan dokter terserang kanker nasofaring. Kata dokter penyakit itu merupakan tumor ganas berada di daerah belakang hidung dan esofagus. (http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/12/kanker-nasofaring-kenali-hindari-dan-obati).

Tiga bulan berikutnya, setelah dirawat di Rumah Sakit Cikini, dia tidak bisa bertahan dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya 17 Juni 2010, beberapa bulan menjelang usianya genap 48 tahun. Dia lahir 16 Agustus 1962. Sedihnya luar biasa.  Gelap sekali rasanya.

Inilah cara adikku mengatasi masalahnya sebagai seorang single parent. Kesulitannya berakhir dengan sendirinya. Masalahnya, tiga putri kami yang cantik-cantik Christin (kini kuliah di Universitas Indonesia, Hilari Valeria (SMA), Trischia Melani (SMP). Adikku menyerahkan Tuhan mengatasi masalahnya. Anak-anaknya kini memiliki ayah dan ibu mereka yang baru, dan lebih lengkap. Saya dan istri saya. Adik-adik saya dan beberapa keluarga turut membantu mereka. Kini mereka tinggal bersama namborunya Masdalinda Girsang di Bekasi.

Mereka juga mendapat dukungan finansial dari keluarga Juniverts Girsang, Junimart Girsang SH dan Dr Waldensius Girsang. Keluarga yang penuh perhatian.

Semoga kisah ini menginspirasi rekan-rekan saya yang kini sedang memilih atau terpaksa menjadi  single parent, baik sebagai ibu dan ayah, berjuanglah untuk anak-anak. Anda  sangat penting bagi mereka. Mereka tidak hanya membutuhkan materi, tetapi lebih dari itu. Tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang anda bagi mereka anak-anak anda!.

Kiranya teman-teman tidak lupa mendoakan kami, seluruh keluarga berjuang bagi mereka. Kami yakin, Tuhan tidak akan memberikan beban di luar kemampuan kami.

Bagi rekan-rekan yang masih memiliki pasangan yang utuh, sayangilah pasangan anda segenap hati. "Hanya berfungsi sebagai patung sekalipun istri anda, itu sangat berarti,"ujar adikku ketika itu.

Ketika mereka tidak ada, maka anda akan mengalami kesulitan yang luar biasa. Tidak mudah menggantikan  pasangan yang anda miliki sekarang.

Kepada anak-anakku Christin, Hilda Valeria, Trisha Melani, tetap semangat dan belajar dengan tekun. Christin akan menjadi sekretaris, Hilda bercita-cita jadi psikolog dan Trisha akan menjadi seorang dokter. Pertemuan kita 16-17 Agustus lalu di Jakarta membuatku bertambah semangat melihat kalian semua tegar.

"Kita sudah melewati masa-masa tersulit".  Mari terus saling menguatkan dan berkomunikasi dengan baik. It will be great when the time comes!. Salam manis dari bapatua di Medan.

Selasa, 02 Agustus 2011

Pelangkah



Pengantar dari Admin. 

Bagi masyarakat Batak, orang yang menikah mendahului kakak atau abangnya wajib membayar "uang pelangkah". Cerpen ini mengisahkan nasib seorang perempuan yang sudah tiga kali menerima "uang pelangkah". Artinya, sudah tiga kali adiknya menikah melangkahinya, sementara dirinya yang sudah berusia 33 tahun belum mau menikah. Dia tidak peduli dengan kondisi yang tidak membanggakan orang tuanya itu. Dengan sedikit imaginasi penulisnya, cerpen ini begitu menyentuh, ketika dirinya harus berbuat nekat. Kisahnya sangat menarik. Penulisnya Lucya Chriz berhasil meangkhiri cerita klimaksnya dengan imaginasi yang menyentuh. Silakan menikmatinya!

Oleh : Lucya Chriz


Entah sudah berapa menit waktu yang dibuang Martha hanya untuk mengamati ponsel di tangannya. Benda pintar itu telah terdiam sejak tadi, namun ucapan Mamaknya terasa masih berhamburan di sekelilingnya. Mamak memintanya untuk pulang lebih cepat hari ini. Hari ini saja.

Sudah tiga tahun belakangan Martha memang selalu pulang larut malam. Dokter berpostur tubuh mungil itu, lebih memilih untuk menunggui tempat praktek daripada harus menceburkan diri di tengah keluarganya. Tempat prakteknya hanya melayani pasien hingga pukul 21.00WIB, tapi Martha selalu punya alasan untuk pulang ke rumah ketika jarum jam telah beranjak dari angka tertinggi.

Telinga Martha sudah terlalu tebal untuk mendengarkan teriakan Mamaknya yang menohok, pun saat tetangga-tetangga mulai melihatnya dengan sorot mata penuh tuduhan. Mereka terang-terangan menyiratkan tanya "Dokter apa yang buka praktek hingga subuh?" Martha tak pernah perduli dengan penilaian orang lain. Dia lebih mengerti dengan dirinya sendiri.

Kebiasaan Martha yang selalu pulang larut malam sesungguhnya bukan tanpa alasan. Tidak ada yang gratis di muka bumi ini dan dia pun menyadarinya. Mau tidak mau dia harus berkorban. Membayar mahal demi sekelumit kebahagiaan, sekalipun kebahagiaan yang diperolehnya itu semu.

Malam ini, Mamak memintanya untuk pulang lebih awal. Menghindar selama tiga tahun, ternyata tak ada gunanya. Sekarang, dia harus berhadapan dengan kenyataan yang seolah menyongsongnya pulang untuk segera dipasung dan dikungkung dalam sebuah penjara bernama: adat-istiadat.

Martha melangkah gontai memasuki rumah. Seperti sudah diduganya sejak tadi, di ruang keluarga telah didapatinya Mamak, Ros adik perempuannya yang duduk berdempetan bersama suaminya, serta ito-nya, adik laki-lakinya yang bernama Ranto. Tanpa berucap sepatah kata pun Martha menghempaskan tubuh ringkihnya di atas sofa tepat di samping Mamak. Samar, diliriknya keempat wajah yang tengah mengamatinya.

"Martha, si Ranto mau kawin," tanpa basa-basi Mamak membuka pembicaraan. "Rencananya bulan depan," Martha tak menjawab. "Bagaimana denganmu?" tanya Mamak lagi karena Martha tak kunjung bersuara.

"Apa hubungannya denganku? Yang mau kawin itu, kan Ranto," suara Martha acuh.

"Apa hubungannya denganmu? Martha, si Ranto itu mau kawin bulan depan. Kau mau dilangkahi untuk kedua kalinya?" suara Mamak meninggi, marah. Tiga tahun yang lalu kejadian seperti ini telah pernah berlangsung. Ros menikah lebih dulu, melangkahi Martha kakaknya yang usianya lebih tua dua tahun.

"Enggak ada salahnya. Kalau Ranto memang mau kawin, ya kawin saja. Aku enggak ada masalah kok," Marta bersikukuh.

"Iya, kau enggak ada masalah. Tapi pernah kau pikirkan perasaan Mamakmu ini? Kau itu boru panggoaran, anak Mamak yang sulung. Apa kata orang melihat kau enggak kawin-kawin sampai umur 33 tahun, sampai-sampai dilangkahi dua orang adikmu?"

"Mamak jangan dengar semua apa kata inang-inang itu. Paling mengerti tentang diriku itu aku, bukan orang lain," Martha terus membantah.

"Kau itu boru panggoaran, Martha. Kau jangan egois cuma mikirin perasaanmu aja. Sesekali kau pikirkan jugalah rasa malu yang Mamak derita. Kalau bisa jangan sampai si Ranto melangkahimu. Kawinlah kau secepatnya."

"Mamak pikir kawin itu gampang? Ini menyangkut prinsip, Mak. Lagipula aku belum punya pacar."

"Jadi maksudmu harus berapa tahun lagi Mamak tunggu biar kau kawin?"

"Kalau mau, besok pun aku bisa kawin sama laki-laki yang pertama kutemui di jalan raya sana. Apa Mamak bisa kasih garansi kalau suamiku itu laki-laki yang baik? Banyak yang harus dipertimbangkan, Mak. Bukan cuma sekedar beranak-pinak saja," Suara Martha ikut meninggi. Dirasakannya darah mulai bermuara ke ubun-ubunnya.

"Aku enggak mau salah pilih suami kayak Mamak," Mendengar kalimat terakhir Martha, airmata mulai menetes dari pelupuk Mamak. Sebelum anak-anaknya sadar, wanita berusia 60 tahun itu berlari ke dalam kamar tidurnya.

"Apa-apaan kakak membuat Mamak menangis?" Ros mulai berang. "Kalau memang kakak enggak mau kawin, terserah. Jangan sakiti Mamak dengan mengungkit-ungkit perkawinannya." Ros beranjak dan menyelinap ke dalam kamar tidur Mamak.

"Martha ito-ku, lama-lama aku jadi curiga jangan-jangan ito enggak suka laki-laki ya?" kali ini Ranto bersuara. Martha terkesiap. Ditusuknya bola mata adik bungsunya itu dengan pandangan dingin. Tanpa berucap apa-apa lagi, Martha menghela langkah menuju kamar tidurnya.

Jarum jam menunjukkan pukul lima pagi, Martha belum bisa memicingkan mata sedetikpun. Kejadian malam tadi masih berputar jelas di benaknya, layaknya video disc yang tak memiliki tombol off.

Gadis manis berkulit putih bersih itu bolak-balik gelisah di atas kasurnya. Mungkin Ros memang benar, dia terlalu kasar pada Mamak dan tak sepantasnya mengungkit tentang perkawinan wanita itu. Mamak sudah cukup sakit dan terluka dengan sikap Bapak yang mudah meninggalkan Mamak dan ketiga anak-anaknya yang masih kecil-kecil, untuk pindah ke dalam kehidupan seorang janda kaya raya. Sejak itu Mamak harus banting tulang untuk bisa menghidupi anak-anaknya dan menyekolahkan mereka bertiga hingga ke jenjang yang paling tinggi.

Martha sebenarnya sama sekali tak berniat untuk membuat Mamak menangis. Sikapnya kemarin, wujud dari kekesalannya. Rasa marah yang telah membukit sejak tiga tahun, tepatnya ketika Ros memutuskan untuk menikah dan melangkahinya. Sebuah prosesi pelangkah diselenggarakan sebelum acara pemberkatan pernikahan. Martha diulosi sebelum kemudian sebuah cincin seberat 5 gram disematkan Ros di jarinya sebagai tanda melangkahi, permisi karena dirinya lebih dulu menikah dari sang kakak.

Menurut adat Batak, pelangkah itu merupakan usaha untuk manyonggoti tondi, yaitu membuang hangalan. Dimaksudkan dengan mangulosi seseorang yang dilangkahi, dirinya akan terbuang dari segala hangalan dan rintangan, sehingga ke depannya akan ringan dalam mendapatkan jodoh. Berhubung Martha perempuan, pada saat prosesi pelangkah, harus dihadiri dan disaksikan langsung oleh Tulang-saudara laki-laki Ibunya, Namboru-saudara perempuan Ayahnya, juga pariban-yaitu anak laki-laki dari Namboru. Kehadiran pariban ini bertujuan, apabila mereka saling suka, mereka bisa segera dinikahkan.

Bagi Martha, ini merupakan bara menyulut rasa malu. Bagaimana tidak? Ketika prosesi itu, Martha bisa merasakan dan mendengar kasak-kusuk tetangga dan kerabat yang berpendapat semaunya saja. Mulai dari orang memandangnya dengan penuh rasa iba karena mengganggapnya perawan tua tak laku-laku, hingga tatapan penuh tuduhan yang dilapisi dengan tawa cemooh.

Dalam hati Martha menghujat habis-habisan adat-istiadat. Kenapa harus ada prosesi pemberian pelangkah dalam etnik Batak? Tidak ada tujuan di baliknya selain untuk mempermalukan orang yang dilangkahi. Setelah mencoba menyembuhkan luka hati selama tiga tahun, bulan depan dirinya harus siap dipermalukan untuk kedua kalinya. Ini pasti akan jauh lebih menyakitkan dan memuakkan, karena Martha berusia 33 tahun. Hujatan orang-orang pasti lebih tak berperikemanusiaan. Ranto, ito-nya sendiri pun mencap dia sebagai seseorang yang tidak menyukai laki-laki.

Martha mengusap wajahnya yang kusut masai. Siapa yang harus disalahkan dalam situasi ini? Apakah sikap Bapaknya yang tak terpuji, menumbuhkan rasa sakit dan memberinya gambaran sosok tidak ideal dari seorang suami? Ataukah Martha harus menyalahkan Parlin, kekasih yang didampinginya merajut hari-hari indah selama tujuh tahun, tanpa aba-aba mengangsurkan ke depan hidung Martha sehelai kartu undangan pernikahannya dengan mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul? Dua lelaki yang sangat dicintai sekaligus sangat dibencinya itu, menabur benih kemarahan di dalam hatinya, membiarkan akar pahit tumbuh, hingga kemudian tersemai buah-buah traumatik yang ranum.

Rasa kecewa berhasil membekukan hati Martha yang lembut. Memaksa wanita itu harus pura-pura kuat dan bisa berdiri sendiri tanpa membutuhkan uluran lengan dan bahu kokoh untuk tempatnya menyandarkan lelah. Sosok baru Martha menjelma menjadi wanita berhati baja, ternyata hanya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dia tak pernah lagi merasakan jatuh cinta. Pintu hatinya terkunci rapat dan anak kuncinya ditelan dan dibiarkan berkarat di dalam perutnya. Sudah terkikis segala angannya untuk memiliki pendamping hidup.

Merasa belum cukup, Martha harus membayar lebih mahal lagi. Demi menghindari tanya Mamak yang tak kunjung ada habisnya mengenai status lajangnya, Martha rela menghabiskan hari-harinya di tempat praktek. Acap kali Martha merasa sedih dan kesepian karena tak lagi mendengar canda tawa maupun gosip-gosip terhangat tentang tetangga yang mengalir dari bibir tipis Mamak. Martha menguatkan hati, demi memperoleh sekelumit ketenangan bathin. Dia tak ingin membiarkan daun telinganya semakin menebal mendengar tanya orang-orang kapan dirinya akan menikah. Kalau saja dirinya tidak dilahirkan dalam keluarga Batak yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat, mungkin semua akan jauh lebih mudah.

"Kau mau dikasih pelangkah apa?" suara Mamak lirih, bertanya pada Martha tanpa memandang wajahnya.

"Terserah," jawab Martha cepat. "Kalau enggak dikasih, justru lebih bagus."

"Enggak mungkinlah enggak dikasih. Nanti apa kata natua-tua ni huta?" sela Mamak. Martha menghela nafas. Lagi-lagi harus memikirkan apa kata natua-tua ni huta, para tetua adat. Apa urusannya masalah ini dengan mereka? Mereka hanya sekumpulan orang yang bersekongkol untuk menertawakannya yang berat jodoh.

"Kau kasih cincin sajalah, Ranto. Sama seperti Ros dulu," kata Mamak.

"Wah, harga emas lagi mahal, Mak. Aku kasih tiga gram saja ya?" Ranto memandang Mamak, meminta pendapat. Martha pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ekor matanya sempat menangkap Mamak yang melotot pada Ranto.

"Lima gram," Mamak bertitah.

"Pengeluaran untuk pesta perkawinan banyak, Mak. Nanti uangnya enggak cukup. Tiga gram saja ya? Atau gimana kalau bukan cincin? Hmm, mungkin sesuatu yang lebih murah?" Ranto menatap Martha, mencoba melakukan penawaran. Melihat Martha yang terus diam, Ranto tiba-tiba menghela nafas. "Coba kalau ito sudah kawin, enggak perlu aku mengeluarkan uang untuk beli pelangkah lagi."

"Siapa yang butuh pelangkah darimu? Kalau mau kawin, kawin saja sana," Martha meradang mendengar ucapan Ranto. Dengan penuh kemarahan Martha beranjak ke dalam kamar tidur dan membanting pintu hingga bergetar.

* * *

Ada sebaris senyum samar tergantung di bibir Martha yang ranum. Senyuman entah ditujukannya buat siapa. Pastinya, dia tengah merasakan kebahagiaan dan kelegaan. Bertahun-tahun tak pernah lagi hinggap di hatinya. Seusai prosesi hari ini, dirinya akan aman dari teror ‘pelangkah.’

Gaunnya yang hitam berkibar tertiup angin sepoi yang berhembus dari jendela. Dengan langkah anggun dan tenang, dihampirinya Ranto. Ito-nya yang terlihat tampan dalam balutan jas berwarna hitam, lengkap dengan dasi beraksen garis. Martha mengamati tiap inchi wajah Ranto. Tampak bersih, terlihat matang dan dewasa dengan segaris kumis tipis yang baru tumbuh dan semakin tampan dengan sebuah senyum yang tak lupa dihadiahkannya. Di sampingnya, Mamak dan Ros menitikkan airmata.

Martha terjaga dari lamunan ketika telinganya diterpa suara pendeta yang lembut dan berwibawa. Setelah dengan khusuk menyanyikan sebuah lagu yang dipimpin seorang penatua, Martha melihat beberapa pemuda berjalan ke arah Ranto membawa sesuatu yang sejak tadi disandarkan di dinding. Sekali lagi, Martha menyentuh bibir Ranto yang dingin sebelum dia beringsut dan memberikan ruang kepada sekelompok pemuda itu untuk menutup peti jenazah Ranto.

Martha memeluk Mamak dan Ros yang masih menangis histeris. Peti tempat peristirahatan Ranto aman di bawah tanah. Martha masih berdiri di ujung pusara Ranto ketika Mamak dan Ros dituntun para kerabat menuju mobil. Perlahan, Martha merogoh tas tangannya dan jemarinya mengelus lembut sebuah botol kecil yang telah kosong. Botol itu dibawanya dari tempat prakteknya beberapa hari lalu. Semua cairan arsenik di dalamnya telah habis dituangkan Martha ke dalam mangkuk soto yang dilahap Ranto hingga tandas kemarin sore.

"Selamat beristirahat, ito-ku. Mulai sekarang kau tak perlu pusing lagi memikirkan pelangkah untukku," Martha tersenyum, sembari melangkah ringan menyusul Mamak dan Ros yang berada di dalam mobil. Tak lupa, Martha melemparkan botol kosong itu ke dalam sebuah tong sampah yang menganga.

Medan, 03 Mei 2011
Sumber: Harian Analisa, 31 Juli 2011