My 500 Words

Jumat, 28 Oktober 2011

In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011 Halaman 38)

Oleh: Jannerson Girsang
 Foto Titie Said. Nomor Foto: 001
Sumber foto: kapanlagi.com

Indonesia berduka!. Bangsa ini kehilangan Titi Said, seorang wanita yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya bagi penulisan, serta dunia perfilman Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel, wartawan dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).

Titi Said, meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 76 tahun di rumah sakit Medistra Jakarta, 24 Oktober lalu, setelah dirawat sejak 9 Oktober karena menderita stroke. Samadikun, suaminya, meninggal hanya berselang 13 hari dari dirinya, tepatnya 11 Oktober 2011 lalu.

Di kalangan perfiliman Titi dikenal sangat keibuan dan sangat teliti dalam menyeleksi film. “Sewaktu masih di LSF, kalau ada hal yang menurut beliau kurang jelas, beliau pasti memanggil sutradara atau produser filmnya," kenang aktor utama film Gie, seperti dikutip kantor berita Antara.

Menulis 25 Novel, Cerpen dan Essei

Bakat menulisnya sudah muncul saat duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen. Bahkan sejak kecil dia dijuluki pelamun kecil. Dia menyelesaikan SMA di Malang, Jawa Timur dan melanjutkan kuliahnya dan lulus Sarjana Muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1959. .

Wanita kelahiran Desa Kauman, Bojonegoro, 11 Juli 1937 ini sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil lantaran ayah ibunya, Mohammad Said dan Suwanti Hastuti, bercerai.

Usai kuliah di Universitas Indonesia, kemudian menjadi wartawan di Majalah Wanita. Selain itu, dia juga aktif menulis di Majalah Kartini dan Famili. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, prestasi Titi Said pantas diacungi jempol. Sepanjang hidupnya, Titi telah menulis 25 buah novel, cerita pendek dan essai di berbagai majalah dan surat kabar.

Diantara novel yang ditulisnya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen) (1962), serta Jangan Ambil Nyawaku, Reinkarnasi, Ke Ujung Dunia, Perasaan Perempuan, Tembang Pengantin, Fatima, Lembah Duka, Selamat Tinggal Jeanette, Dr Dewayani, Putri Bulan, .Bidadari. Dia juga menulis otobiografi Lenny Marlina, seorang bintang film terkenal di Indonesia pada era 70-an.

Novelnya  Jangan Ambil Nyawaku adalah best seller pada zamannya. Novel yang bercerita tentang seorang yang terserang penyakit kanker itu dikerjakannya setelah melakukan wawancara dengan puluhan dokter.

Sebagian novel-novelnya kemudian dijadikan film. Tahun 1977, Titi menerbitkan bukunya Jangan Ambil Nyawaku dan disusul tahun 1979 dengan Lembah Duka. Bersama tiga penulis wanita lainnya, Titie Said menghimpun cerita pendeknya dalam buku Empat Wajah Wanita (1979).

Kegiatannya dalam perfilman sejak 1973 (novel pertamanya difilmkan), membawa dirinya aktif di LSF (dulu Badan Sensor Film) .  Kemudian, dia dipercaya menjadi LSF pada 2000 dan sampai akhir hidupnya ia masih aktif sebagai anggota LSF.

Dengan posisi sebagai ketua LSF, wajahnya senantiasa muncul ketika sebuah film yang telah beredar memicu kontroversi dalam masyarakat.

Meski kesibukannya menjadi Ketua LSF, Titi Said menulis novel, seperti Diana dan menulis buku Prahara Cinta.

Tak Memaksakan Anak Jadi Penulis

Titi menikah dengan seorang anggota kepolisian yang berpindah-pindah tugas. Tak lama setelah menikah, pada 1965 Titie ikut suami pindah ke Bali. Di sana dia aktif di masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD di provinsi yang pendapatannya berasal dari industri pariwisata itu. Pada 1973 Titie ke Jakarta dan tinggal bersama lima anaknya.

tidak memaksakan anak-anaknya menjadi penulis. Dari lima anaknya, masing-masing yang tertua berprofesi sebagai pebisnis (lulusan ITB), kedua lulusan ITB, sekarang di Bappenas, ketiga di perminyakan, sekarang di Kuwait, keempat di Amerika, bekerja di perminyakan, dan anak bungsunya bekerja di Bank Mandiri.

Hidup baginya adalah menjadi orang yang berguna, dibutuhkan oleh manusia. ”Kita ini seperti angin. Angin dan air bisa menjadi angin yang baik, air yang sangat berguna. Tapi, angin juga bisa menjadi badai dan air juga bisa menjadi banjir. Jadilah angin dan air yang baik, yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Angin dan air adalah kesenangan saya,”ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Republika (2005).

Selamat jalan Titi Said, semoga dedikasimu untuk sastra dan perfilman di Indonesia menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam mengembangkan dunia tulis menulis dan perfilman Indonesia.

(Diolah dari Berbagai Sumber)

83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang. 

 Sumber foto: harunarcom.blogspot.com

Sebagai pemakai dan peminat bahasa Indonesia, saya cukup berbangga dengan perkembangan yang dicapai bahasa nasional kita. Saya bisa menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bisa dimengerti orang asing dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari perdagangan, diplomasi dan bahasa ilmiah, jurnalistik dan lain-lain.
Dengan perkembangan teknologi terjemahan online seperti Terjemahan Google, bangsa lain sudah mampu mengartikan artikel saya dalam bahasa Indonesia. Suatu ketika seorang teman saya dari Chekoslovakia merasa senang sekali, ketika berhasil menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Cheko, dengan menggunakan Google. "Understandable" katanya.

Sebagai bangsa berdaulat, kita beruntung Sumpah Pemuda 1928 mengikrarkan bahwa bangsa Indonesia berbahasa satu: Bahasa Indonesia. Selain dua sumpah lainnya Berbangsa Satu dan Bertanah Air Satu. Bahasa Indonesia, kini telah menjadi bahasa Dunia.

Ketika bekerja di sebuah kantor Konsulat Asing di Medan, era 1990-an, saya terkejut kemampuan staf asing yang semuanya mampu berbahasa Indonesia, meski hanya untuk komunikasi sederhana. Bahkan setiap saat mereka membuka kamus dan belajar perbendaharaan kata dan tatabahasa. "What is the meaning of this in Bahasa?," katanya. Bahasa adalah sapaan akrab mereka terhadap Bahasa Indonesia. Bangga dong, orang asing belajar bahasa Indonesia!

Sayang sekali, pengalaman saya saat belajar sekolah atau perguruan tinggi minat belajar bahwa Indonesia tidak sebesar sebelum saya mulai aktif bekerja di konsulat asing itu dan kemudian harus menulis dalam bahasa Indonesia. Anda jangan seperti saya, belajarlah bahasa Indonesia secara intensif sejak dini.

Menulis, Memacu Minat Belajar Bahasa Indonesia

Mungkin, banyak orang seperti saya, bergaul dengan orang asing dan menulis menjadi salah satu faktor pendorong saya belajar bahasa Indonesia kembali. Tetapi, menulis menjadi faktor terbesar mendorong saya belajar Bahasa Indonesia. Mungkin yang lain punya pengalaman lain—bisa menjadi bahan bagi para ahli bahasa mengajarkan dan menanamkan rasa cinta bangsa ini lepada bahasa nasionalnya.

Belajar Bahasa Indonesia, lucu?. Tidak kawan!. Meskipun sudah belajar bahasa Indonesia sejak Sekolah Dasar, saya tidak luput dari kesalahan tata bahasa dan ejaan ketika menulis.

Saya masih sering diejek ahli bahasa Indonesia, karena belum menggunakan ejaan dan tata bahasa yang baik. Kritikan itu wajar saja, karena saya bukan ahli bahasa. Memang seorang penulis—juga rekan saya sesama bangsa dengan profesi berbeda tidak bisa luput dari kesalahan dua hal penting di atas.

Farid Gaban, seorang mantan wartawan Tempo, misalnya mengatakan sewaktu menulis seseorang harus memperhatikan tata bahasa dan ejaan, menaati bahasa Indonesia yang baku dan benar. "Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip". Kesalahan menggunakan tanda baca, bisa merubah ide yang terkandung dalam pesan dimaknai secara tidak benar atau tidak bias.

MediaOnline dan Pelajaran Bahasa Indonesia

Tidak ada usaha memperbaikinya selain terus belajar menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dimana, dan siapa mengajar anda? Tak perlu takut, mediaonline memberi peluang besar dan praktis bagi kita belajar bahasa Indonesia.

Saat menulis di komputer yang tersambung dengan Internet, saya lebih sering menggunakan referensi bahasa Indonesia secara online dan mengusahakan sedapat mungkin dari referensi yang sudah standar.

Untuk mencari kata-kata sulit atau persamaan kata, saya menggunakan http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/, situs yang berisi Kamus Besar Bahasa Indonesia online, yang dikenal dengan sebutan KBBI terbit pertama 28 Oktober 1988 saat Pembukaan Kongres V Bahasa Indonesia. Ini merupakan rujukan yang dipercaya baik di kalangan pengguna di dalam maupun di luar negeri. Setiap ada permasalahan tentang kata, KBBI selalu dianggap sebagai jalan keluar penyelesaiannya.

Andaikata saya ingin menulis bahasa yang benar, saya kerap mengunjungi http://www.editorbahasa.blogspot.com/. Website ini mengajarkan cara menempatkan tanda baca, dan lain-lain. Blog ini menyebut dirinya "Sekadar teman dalam mencari berbagai jawaban kebahasaan". Selain itu, http://www.bahtera.org/kateglo/ mengajarkan saya Kamus, Glosarium Peribahasa, Singkatan dalam bahasa Indonesia.

Saat merasa penting melihat perkembangan bahasa, saya mengunjungi situs http://rubrikbahasa.wordpress.com/. Blog ini adalah koleksi artikel tentang berbagai aspek tentang bahasa Indonesia yang diambil dari berbagai media massa arus utama.

Tersedia ratusan artikel yang membahas Bahasa Indonesia.

Karena saya sering membaca sumber dari bahasa asing, maka saya mengunjungi http://www.kamus.net/. Situs yang menyebut dirinya the world’s largest and most popular Indonesian dictionary, menyediakan terjemahan kata-kata dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan sebaliknya. Saya menggunakan situs ini untuk melihat kata-kata sulit terjemahannya.

Di sudut kanan ada pilihan Click on "English - Indonesia" yang menterjemahkan kata bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan, Click on "Indonesia - English" menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggeris. Praktis dan tidak usah capek buka-buka kamus.

Tentu, saya juga harus belajar dari berbagai bahan dalam bentuk buku-buku cetak yang sudah baku.

Beberapa terbitan yang saya gunakan adalah Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku? (Dirgo Sabaryanto), buku yang membimbing saya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tentu banyak lagi yang lain seperti Menulis Populer, karya Ismail Marahimin (2005).

Apa yang ingin saya kemukakan adalah bahwa saat ini tidak ada masalah bagi mereka yang ingin belajar bahasa Indonesia meski dilakukan secara otodidak. Bahannya tersedia, tinggal memilih mana yang paling menarik dan menyediakan informasi yang lebih lengkap dan memenuhi syarat-syarat standar.

Penutup

Tingkatkan kemampuan anda dan kecintaan anda terhadap bahasa Indonesia. Jangan kecil hati menulis dalam nasional sendiri.

Menulis artikel dalam bahasa Indonesia sudah bisa dimengerti orang asing. Perkembangan teknologi terjemahan Google misalnya, sudah mampu menerjemahkan Bahasa Indonesia (meski belum sempurna betul) ke dalam puluhan bahasa dunia.

Sebagai bangsa, sepantasnya kita bangga memiliki bahasa sendiri. Jika kita ingin Indonesia eksis dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia ini, maka masyarakat Indonesia harus mencintainya, mengembangkannya dengan dilandasi semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dirgahayu Sumpah Pemuda ke 83. ***

Senin, 24 Oktober 2011

Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)


Oleh : Jannerson Girsang.

Menulis tidak sekedar menulis tanpa memikirkan kebutuhan pembacanya. Melalui sebuah tulisan, pembaca bisa mempelajari teladan untuk sebuah cara nyaman mencapai impiannya, mengatasi kegelisahan menuju impian. Itulah salah satu kunci penting yang harus diingat agar seseorang tergerak untuk membaca.

Buku produksi Mark Plus: "Anxieties and Desires: 90 Insights Marketing to Youth, Women and Nitizen to Indonesia", mengatakan bahwa di era new wave (gelombang baru) ini, seorang marketer harus bisa memahami tidak saja ekspektasi dan persepsi seperti di era transisi, tetapi dituntut bisa menangkap apa yang menjadi kegelisahan (anxiety) sekaligus impian (desire) pelanggan (customer)-nya.

Konsumen seorang penulis adalah "Pembaca". Pembaca harus merasa berdialog dengan sang guru yang mampu menangkap masalah mereka, sekaligus menawarkan cara keluar dari masalah dan menawarkan impian. Makin dalam pemahaman penulis atas kegelisahan dan tawaran impian yang konkrit, pembaca makin meminati produk tulisannya.

Impian manusia secara umum adalah memiliki pekerjaan/usaha/aktivitas mengisi waktu, merasa nyaman di dalam pekerjaan atau usahanya, berguna bagi sekelilingnya. Dalam perjalanan mencapai impian itu manusia tidak luput mengalami kegelisahan yang menurut pendapat para ahli bersumber dari empat hal yakni: gelisah terhadap dosa-dosa dan pelanggaran (yang telah dilakukan); gelisah terhadap hasil kerja (tidak memenuhi kepuasan spiritual), takut akan kehilangan milik (harta dan jabatan) dan takut menghadapi keadaan masa depan (yang tidak disukai).

Kisah-kisah yang membawa manusia merasa nyaman menjalani impiannya dan mengurangi rasa gelisah dalam hidupnya, merupakan topik-topik yang memiliki pembaca yang sangat luas dan tidak lekang waktu.

Membaca Impian dan Kegelisahan Pembaca
Banyak orang berpendapat, "Menulis itu mudah, tulis sajalah apa yang ada di benakmu!. Jangan terlalu kaku". Pernyataan ini tidak salah. Dan sangat benar bagi orang yang memulai menulis.

Tetapi tidak seluruhnya benar kalau seseorang ingin menjadi penulis yang memiliki pembaca secara luas. Puisi-puisi Chairil Anwar, Shoe Hok Gie begitu diminati masyarakat luas karena mereka mampu menangkap kegelisahan dan impian pembacanya. Tulisan bukan sekedar merangkai kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf yang kosong makna. Dia harus mengandung impian dan kegelisahan, kesenjangan antara yang seharusnya dan yang terjadi.

Coba simak kesaksian seorang pengagum Chairil Anwar: "Saya, yang sejak kecil sangat gemar membaca buku-buku filsafat dan sastra, tanpa sadar mengagumi sosok penyair yang mati muda : Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang singkat, tak punya riwayat pendidikan tinggi, Chairil Anwar bisa jadi legenda sastra Indonesia. Barangkali hidup yang tak mudah itulah yang membuatnya lebih peka terhadap sekitar. Barangkali kegelisahannya, rasa kecewanya, rasa tertekannya-lah yang kemudian menjadikan karyanya "bernyawa". (http://rosepr1ncess.blogspot.com/2010/12/yang-ku-kagumi-setengah-mati.html).

Para penulis memiliki multi-tasking: menulis, memilih topik yang dibutuhkan pembaca—memahami kategori pembacanya.

Anda tentu pernah mendengar komentar seperti ini. "Artikel anda sangat inspiratif, dan mendorong saya melakukan............ Saya menunggu artikel Anda berikutnya". Itu adalah bukti bahwa artikel yang menawarkan impian dan kegelisahan dibutuhkan setiap saat.

Tulisan seharusnya mampu menggerakkan orang lain berpindah dari suasana dirinya sebelum membaca, kepada kondisi yang ditawarkan penulisnya. Para pembacanya larut dalam pikiran penulis dan mengikuti alur pikirannya yang benar, lebih mudah dan mengerakkan tindakannya ke arah yang lebih baik.

Keluar dari Kegelisahan Menggapai Impian

Tugas seorang penulis adalah mengungkap serta menjembatani kondisi yang seharusnya dan kenyataan yang terjadi. Para penulis harus memahami fakta dan impian, mengungkap kesenjangan dari cita-cita yang ingin dicapai. Misalnya. Fakta yang terjadi seperti kemajuan ekonomi menyebabkan jalan-jalan macet, kecelakaan meningkat, kriminalitas meningkat, korupsi meningkat, makin banyak penghuni rumah sakit jiwa. Padahal, kita menginginkan dengan kemajuan ekonomi hidup menjadi lebih nyaman dan aman.

Memasuki era new wave dengan segala macam perubahan yang terjadi membuat tidak sedikit anggota masyarakat moderen mengalami perasaan gelisah dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan gelisah yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan gangguan perilaku atau neurose. Konon saat ini di kota-kota besar, jumlah penderita neurose semakin meningkat.

Setiap orang memiliki impian dan cara mewujudkannya. Untuk mencapainya mereka menempuh proses dan waktu. Dalam perjalanan menuju impian, mereka memerlukan kisah-kisah atau cerita, ilmu pengetahuan untuk memahami cara melakukan sesuatu, memerlukan bacaan-bacaan yang dihasilkan seorang penulis. Mereka memerlukan cara sekaligus idola untuk menggambarkan impian itu, meski tidak selalu mencapai seperti apa yang mereka idolakan. Sebaliknya, tidak sedikit pembaca yang mampu melebihi idolanya itu.

Ada kesenjangan di dalamnya dan penulis menawarkan jalan keluar untuk mencapai impian. Bisa dari pengalaman penulisnya, bisa juga meramu pengalaman orang lain.

Life Without Limit

Soegianto Hartono, Pelatih dan Konsultan Citra Diri Sukses, Penulis Buku "Untuk Apa Hidup Susah" menawarkan empat cara menghilangkan kekhawatiran, yakni mempelajari semua data dan fakta, berfikir rasional, percaya kepada diri sendiri dan percaya kepada Tuhan.

Buku-buku atau tulisan yang membicarakan hal di atas sangat diperlukan pembaca!. Sekedar sebuah contoh. Sebuah buku best seller Life Without Limit yang ditulis oleh Nick Fujivic mengisahkan kisah sukses dirinya yang terlahir tanpa lengan dan tungkai, hingga menjadi seorang yang tidak hanya mampu mandiri, tetapi juga kaya, menjadi teladan bagi siapapun yang mencari kebahagiaan abadi.

Dia menulis kisah hidupnya sendiri atas suksesnya mengatasi kekhawatiran akibat cacat yang dimilikinya menuju impian. Nick menceritakan cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya saat berusaha mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja, dan menjelang dewasa muda. "Untuk waktu yang terasa sangat lama dan sepi, aku bertanya-tanya apakah ada orang lain di dunia yang seperti aku, serta apakah ada tujuan lain dalam kehidupanku selain rasa sakit dan terhina."

Saat ini Nick Fujivic merupakan pembicara motivasi yang sukses secara internasional. Pesan utamanya: tujuan terpenting siapa pun adalah menemukan tujuan hidup, terlepas dari kesulitan apa pun atau rintangan apa pun yang sepertinya mustahil dilalui.

Dia mengisahkan bagaimana imannya terhadap Tuhan menjadi sumber kekuatan utamanya dan menjelaskan bahwa begitu dia menemukan tujuan kehidupan—menginspirasi orang lain untuk menjadikan kehidupan mereka serta dunia lebih baik—dia mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun kehidupan tanpa batas yang produktif dan membawa berkah.

Kisah Nick hanya salah satu contoh. Beberapa penulis di Indonesia berhasil menggali kegelisahan dan impian para pembacanya. Coba simak, karya-karya Alberthiene Endah, Andrea Hirata, dengan buku-buku best seller mereka (Selebriti, Lasykar Pelangi) yang sarat dengan suara kegelisahan dan impian.

Menulis kegelisahan dan impian adalah kebutuhan pembaca yang besar dalam era perubahan ini! Manusia memerlukan teladan dalam perjalanan menuju impian dengan sumber kegelisahan yang makin beragam. Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri! ***

 Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Selasa, 04 Oktober 2011

Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang.

 
 Sumber foto: etwien-budi.blogspot.com

Sadarlah para pemimpin negeri ini, bahwa bekerja setengah hati tidak akan membuat diri nyaman tetapi menyakitkan banyak orang. Sebaliknya bekerja sepenuh hati akan menyenangkan kita semua.

Pembicaraan dengan seorang tukang urut langganan saya sejak tiga tahun terakhir ini benar-benar menyentuh perasaan saya. Betapa pekerjaan yang setengah-setengah hati berdampak tidak baik bagi diri sendiri dan orang lain.

Dia seorang ayah dari dua anak berusia sekitar tiga puluhan. Yang tertua berusia 12 tahun. Orangnya sangat menyenangkan diajak bicara dan dia suka curhat saat mengurut saya.

Dalam kisahnya, beberapa waktu lalu dia bercita-cita menanam kopi di atas lahan satu hektar di kampungnya. Harapannya, bila kopinya sudah berbuah akan memberikan penghasilan tambahan baginya di samping penghasilannya sebagai tukang urut di kota. Dia terdorong menanam kopi karena menyadari, penghasilannya sebagai tukang urut ke depan tidak akan mampu membiayai keluarganya, khususnya kalau anak-anaknya nanti sudah semakin besar. Sementara dia ingin agar kedua anaknya bisa menginjak bangku kuliah seperti anak-anak lainnya.

Untuk itu dia mengumpul sejumlah uang. Ternyata sebagai tukang urut, dia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi kecil-kecilan di kampung. Memenuhi harapan itu, dia membuat rencana mulai dari pembersihan lahan, pengolahan, hingga penyediaan bibit dan pupuk, serta orang-orang yang akan mengerjakannya. Dia juga menghabiskan uang bolak-balik ke kampungnya untuk mengurus penanaman kopi itu.

Empat orang penduduk kampung dikerahkannya dalam persiapan untuk mewujudkan cita-citanya. Para pekerjanya itu terdiri dari orang tua dan anak-anak dari satu keluarga di kampungnya. Kebetulan tukang urut saya memiliki hubungan famili dengan mereka.

Keluarga ini sudah bersedia mengerjakan rencana penanaman kopi itu selama satu bulan penuh. Sebagai keluarga yang pekerjaannya memburuh di ladang orang, merekapun sudah menolak semua pekerjaan pada bulan itu. Janjinya, tukang urut saya akan menggaji mereka bekerja di ladangnya selama sebulan penuh.

Para pekerja itu tidak lagi menerima pekerjaan lain, kalau pekerjaan mereka belum selesai hingga penanaman kopi selesai. Kedua pihak sepakat dan pekerjaan dimulai. Tapi tentunya tidak pakai kontrak seperti di perusahaan-perusahaan besar.

Tugas pembersihan lahan berjalan dengan baik dan si pekerja yang digajinya itu bekerja sepenuh hati. Hanya dalam beberapa hari pembersihan lahan selesai.

Permasalahan justru terjadi pada tukang urut saya. Berbeda para pekerja yang digajinya, dia mengaku di tengah jalan dia berubah pikiran. "Saya ragu, kalau uang saya nanti tidak cukup untuk menutup biaya sampai kopi berbuah. Secara sepihak, saya menghentikan pekerjaan itu. "ujarnya.

Rasa ragunya juga membuatnya pusing, bahkan tidak berani segera memberitahukan perubahan pikirannya itu kepada pekerja yang digajinya. "Saya malah tidak mendatangi mereka, dan hanya berfikir-fikir saja" ujarnya.

Beberapa hari para pekerjanya menunggu dan menunggu. Selama itu mereka tidak bekerja dan tidak mendapat penghasilan. Hingga beberapa hari kemudian, tukang urut saya mendatangi mereka dan memberitahukan perubahan rencananya. Apa yang kemudian diperolehnya bukan sesuatu yang menyenangkan.

Ketidakseriusannya, membuat para pekerjanya merasa rugi dan marah. "Para pekerja saya marah besar dan sayapun merasa tidak nyaman. Uang habis, dapat cacian pula," ujar tukang urut saya sedih, sambil menyeka keringatnya dengan kain lap.

"Kalau sesuatu kita kerjakan tidak sepenuh hati, hasilnya seperti ini. Uang habis dan orang-orang sakit hati," ujarnya. Dia mengaku uang simpanannya beberapa tahun hilang begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa.

Ada pelajaran berharga dari kisahnya. "Dia mengerjakan sesuatu dengan setengah hati dan ragu-ragu, tidak hanya membuat dirinya susah dan kecewa, tetapi juga membuat orang lain sakit hati, khususnya pekerja-pekerja yang bekerja dengan dia"

Sayapun tidak ingin hanya kisah sepihak, kisah sedih dari sebuah pekerjaan yang dia kerjakan setengah hati. Lantas, pembicaraan informal itu saya alihkan tentang kisah dua orang anak muda yang berhasil menjadi pengusaha besar karena bekerja dengan sepenuh hati.

Meski dia tidak begitu paham, tapi saya yakin kisah saya juga bisa menguatkannya. Pasalnya kisah itu berasal dari sebuah buku yang mungkin belum pernah dibaca maupun didengarnya. Tokohnya adalah Sergei Brin dan Larry Page, pendiri perusahaan mesin pencari (searching machine) Google.

"Apa itu Google," tanyanya serius. Saya tidak begitu peduli pertanyaannya itu. Karena kalaupun saya jelaskan dia pasti tidak mengerti. Saya bercerita panjang lebar, bagaimana Sergei Brin dan Larry Page hingga berhasil.

Apa yang ingin saya nasehatkan kepadanya adalah bahwa kedua tokoh di atas bekerja dengan sepenuh hati, mengatasi masalah yang muncul di tengah perjalanan rencana mereka. Mulai dari permodalan, cara mengatasi masalah listrik, tenaga yang mereka butuhkan, serta dorongan semangat atas diri mereka serta orang-orang yang bekerja bersama mereka.

Diapun menghentikan sejenak pekerjaannya ketika saya bercerita soal penghasilan kedua orang itu.

"Sejak keduanya mendirikan Google pada 1998, perusahaan ini memperoleh penghasilan lebih dari USD 26 milyar per tahun. Tidak hanya itu, mereka mempekerjakan dan membuat bahagia ratusan ribu orang serta mencerahkan miliaran orang pengguna internet di seluruh dunia,"ujar saya.

Dia terpukau mendengar kisah ini dan mencoba menyimpulkan kisah yang saya ceritakan. Kesimpulannya kira-kira begini. "Orang yang bekerja sepenuh hati, akan menuai perasaan senang bagi dirinya sendiri, serta orang lain.

Sambil melanjutkan pekerjaannya mengurut di bagian kepala saya dia berujar: "Akh, kalau saya sudah cukup uang, saya akan mengerjakan kebun kopi dengan sepenuh hati. Saya pasti akan menyenangkan pekerja itu kembali".

Saya yakin, dia pulang dan hatinya dikenyangkan oleh prinsip. "Kalau mengerjakan pekerjaan dengan setengah hati tidak hanya mengecewakan diri sendiri, tetapi juga menyakiti orang lain. Sebaliknya, bekerja sepenuh hati, hasilnya akan menyenangkan diri sendiri dan orang lain".

Mudah-mudahan kisah kecil di atas mengingatkan para eksekutif, legislatif, yudikatif di setiap tingkatan di negara ini. Seriuslah menangani Kasus Century, Nazaruddin, Gayus dan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini.

Sadarlah bahwa ketidakseriusan anda, sikap ragu-ragu anda bekerja akan menyebabkan anda tidak nyaman, terlebih lagi masyarakat akan menderita. Bila anda bekerja serius dan sepenuh hati, maka rakyat akan senang, anda akan merasa nyaman. Kita semua akan berbahagia. ***

Penulis Biografi, Tinggal di Medan