My 500 Words

Kamis, 30 Agustus 2012

Menyimak Pidato Kenegaraan Presiden SBY

“Hepeng do Namangatur Negara On”


Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.hukum.kompasiana.com

Saya dan mungkin jutaan penduduk negeri ini sedikit merasa terkejut, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui hingga masa pemerintahannya saat ini, tindak pidana korupsi bukannya berkurang, tetapi justru cenderung meluas dan membesar. Padahal salah satu misi pemerintahannya adalah  pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Dalam pidatonya di sidang bersama DPR dan DPD RI di gedung kompleks DPR Senayan, Kamis, 16 Agustus 2012, Presiden SBY mengatakan: "Harus kita akui pula, dominasi tindak pidana korupsi cenderung meluas dan cenderung membesar ke daerah-daerah, mulai dari rekrutmen pegawai di kalangan birokrasi, proses pengadaan barang dan jasa, hingga di sejumlah pelayanan publik. Modusnya pun beragam, mulai dari yang sederhana berupa suap dan gratifikasi, hingga yang paling kompleks dan mengarah pada tindak pidana pencucian uang". Semakin parahnya korupsi, menurut Yudhoyono, sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan.

Pemberantasan korupsi ini menjadi perhatian utama artikel ini dari enam isu penting yang digarisbawahi secara khusus oleh Yudhoyono dalam pidato tersebut, disamping lima isu lainnya, reformasi birokrasi dan good governance, kekerasan dan benturan sosial, iklim investasi dan kepastian hukum, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan fiskal menghadapi krisis ekonomi 
global. Mari kita sejenak merenungkan poin yang menjadi perhatian Presiden.

Suara dari Kedai Kopi

Merenungkan pidato di atas, saya teringat kembali rekaman pembicaraan saya saat berkunjung ke sebuah kedai di pinggiran Selatan kota Medan beberapa waktu lalu. Waktu itu, kasus Nazaruddin, Angelina Sondakh sedang hangat-hangatnya.

Pendapat-pendapat mereka juga terkadang membuat lucu, karena dasar pemikirannya suka ngawur. Maklumlah mereka bukan orang-orang keren dan punya latar pendidikan yag baik seperti di Jakarta Lawyers Club di TVOne. Tapi, pendapat seperti ini tak gamang lagi dibicarakan orang dan sedikitnya mereka mewakili sebagian penduduk bangsa ini.

Di sebuah meja sedang berlangsung pembicaraan perilaku para koruptor muda yang sedang hangat di media. Mulai dari Gayus, pengadilan Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Setelah menyimak pembicaraan mereka, saya terkesima mendengarkan percakapan demi percakapan mereka selanjutnya:   

”Ai nungnga hudok sian na jolo lae, ai hepeng do mangatur negara on. Saya sudah bilang sejak dulu kawan, uang yang mengatur negara ini!,” ujar salah seorang mengomentari acara yang membahas korupsi di sebuah stasiun televisi.

Toho do i lae, alai boha ma dohonon!—Betul itu lae, tetapi apa yang mau kita bilang!,” sambut yang lain di tengah hiruk pikuknya pembicaraan dan bercampur dengan lantuan lagu ”Parmitu” yang dinyanyikan beramai-ramai dari sudut lain kedai itu. 

”I do asa pamasuk ma gellengta gabe pegawai negeri, nang pe targade saba tading-tading ni amanta di huta, Itulah makanya masukkan anak kita jadi pegawai negeri, biarpun harus menggadaikan sawah warisan orang tua di kampung,” ujar yang lain.

Bereng ma si Gayus i puang, miliaran boi dibuat golonganna pe 3A do. Molo holan Rp 100 juta do manogok tole ma!.!. Lihatlah Gayus, miliaran padahal golongannya Cuma 3A, kalau Cuma Rp 100 jutanya untuk sogok biarlah” ujar mereka mengomentari hebatnya Gayus karena bisa menerapkan : ”Hepeng do Namangatur Negara on”.

Ai ho pe nian lae, mancalon ma gabe anggota DPR. Berengma si Angelina Sondah dohot si Nazaruddin i. Molo 1 miliar do gabe anggota DPR, kecil ma i. Sada proyek pe nungga 5 miliar. Lae juga mencalonlah jadi anggota DPR. Lihat itu si Angelina Sondakh dan Nazaruddin. Kalau Cuma Rp 1 miliarnya untuk anggota DPR, kecil kalilah itu. Satu proyek aja sudah Rp 5 miliar,”ujar yang lain bercanda. 

Meski omongan-omongan di atas tampaknya seperti “mimpi tukang cendol”, tapi mereka tentu tidak mampu mengkhayalkannya kalau tidak pernah mendengar omongan-omongan di luaran.      

Sungguh memprihatinkan. Perilaku buruk para pejabat begitu lancar dikisahkan dan dikhayalkan para pengunjung kedai kopi yang kebanyakan supir, tukang becak atau pegawai rendahan di pemerintahan.

Mereka yang memerankan prinsip ”Hepeng do Namangatur Negara on” membuat sebagian masyarakat berkeinginan atau berkhayal menyisihkan modal untuk menyogok agar anaknya bisa menjadi pejabat untuk mengangkat harkat dan martabat orang tuanya.  Bah! Nungga rusak,  sega muse, rusak deh!

Hepeng Do Mangatur Negara On

Saya kemudian merenungkan pidato SBY dan kata-kata ”Hepeng do Namangatur Negara On”. Judul ini malah pernah diterbitkan sebuah harian besar di Lampung.

Fenomena Gayus Tambunan menarik perhatian saya. Gayus hanya seorang pegawai Golongan III A—pangkat terendah seorang lulusan S1. Sehari-harinya, pria yang kini mendekam di penjara cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak.

Entah siluman mana yang bisa mengispirasinya, hanya dalam waktu kurang dari lima tahun, rekeningnya sudah penuh dengan duit sebesar Rp 25 miliar, belum lagi seperti dilansir banyak media, pecahan dollar dan perhiasan batangan senilai Rp 74 miliar yang disimpan di safety box yang ditemukan di Amerika Serikat.

Dengan uang sebesar itu, Gayus menjadi orang penting, bahkan lebih penting dari Sri Mulyani. Tak heran, kalau pejabat setingkat Dirjen saja, pasti tak berdaya menghadapi Gayus.

Meski di penjara, Gayus, masih menjadi orang penting. Dia bisa mengatur bisnisnya dari penjara, seperti diberitakan berbagai media beberapa bulan yang lalu. Bahkan bisa menonton permainan tennis di Bali.

Denny Tewu (Ketua Partai Damai Sejahtera) pernah menjuluki Gayus sebagai ”ahli sogok”. Dia bisa memperdaya petingi-petinggi kepolisian, petinggi kejaksaan, petinggi kehakiman, menyogok pengacara senior. Bahkan”nyanyian”nya bisa membuat ”keder” orang-orang penting di negeri ini!.

Dia bisa mengecoh pejabat yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Ilmu manajemen apapun yang dimiliki seorang atasan, tidak akan mampu mengatur, apalagi menegor Gayus. Bisa-bisa copot atau paling tidak dipindahkannya dengan  kekuatan ”Hepeng”nya.

Perilaku seperti Gayus menyebar kepada pegawai negeri Indonesia yang masih berusia muda yang menganut paham ”Hepeng do Namangatur Negara on”. Setelah Gayus masuk penjara, muncul Gayus, Gayus lain. Patah tumbuh hilang berganti!. Sayangnya yang tumbuh bukan Semangat 45. Bahkan belakangan muncul issu rekening gendut para PNS muda.  

“Much money, stronger power”!. Wibawa atasan  menjadi luntur bila paham “Hepeng Do Mangatur Negara on” sudah menjalar dalam organisasi atau instansi. Pejabat setinggi apapun akan keder kalau bawahannya sekaliber Gayus, Nazaruddin atau Angelina Sondakh yang punya banyak uang.  

Mereka merusak struktur organisasi di instansi, dan hasil kerja para pakar soal manajemen pemerintahan akan hancur lebur.  Dalam istilah SBY: korupsi sudah menjelma menjadi “kejahatan luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan”

Meski ditangkap atau di penjara, selama paham : Hepeng do Mangatur Negara on” berjalan, para koruptor dengan bangga berbicara kepada pers ”menembaki” orang-orang pernah diberinya uang, maju ke pengadilan dengan jas yang rapih, mobil mewah, pengacara kelas wahid dan pengawal yang kekar-kekar. Ada dugaan, dengan kekuatan uangnya, seperti diberitakan media, beberapa koruptor yang dijatuhi hukuman, malah mendapat grasi dari presiden dengan berbagai alasan.  

Renungan Bersama!

2012 adalah tahun ke tiga periode kedua pemerintahan SBY.  Kenyataannya, Presiden SBY sendiri mengatakan korupsi makin meluas. Pidatonya menyambut Kemerdekaan RI ke-67 membuat kita makin pesimis bahwa usaha pemberantasan korupsi bisa tercapai hingga periode Presiden berakhir pada 2014.

Korupsi menurut SBY adalah ”kejahatan luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan”.  Pemahaman inilah secara sistematis ditularkan kepada para pengunjung kedai di Selatan Medan, rakyat kebanyakan di negeri ini, serta di seluruh aras kepemimpinan.   

Paham ”Hepeng do Mangatur Negara On” mesti pupus dan tidak boleh diwariskan kepada generasi berikut.  ”Dalam bahasa terang dan gamblang pernah saya katakan, tidak boleh terjadi kongkalikong antara pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, aparat penegak hukum, dan dunia usaha yang menguras uang negara, baik APBN maupun APBD. Namun, harus saya akui, ternyata masih banyak pelaku tindak pidana korupsi, baik dari jajaran pemerintahan, pemerintah daerah, DPR dan DPRD, hingga aparat penegak hukum,”ujar SBY dalam pidato Kenegaraannya tahun ini.

Jika bangsa ini abai, maka beberapa tahun ke depan kita menuai pelayanan yang semakin buruk. Jalan-jalan desa yang sudah puluhan tahun rusak parah tak akan pernah terjamah. Listrik akan padam, air akan mati hidup, serta berbagai hal buruk lainnya akan terjadi. ”Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya meningkat pesat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas, menjadi terhambat karena praktik yang tidak terpuji ini,”lanjut SBY.

Buruknya lagi, dengan paham :Hepeng Do Mangatur Negara On”, negeri ini tidak mampu lagi menghargai putra-putri terbaik bangsa yang memiliki intelektualitas, integritas dan kejujuran. Mereka makin lama akan makin tenggelam. Tak ada lagi gunanya anak-anak seperti Harta Dinata, mahasiswa Indonesia yang meraih GPA 4.0 di Amerika Serikat, kalau dia lulus dan ingin kembali ke Indonesia. 

Sekedar mengingatkan, menghapus paham ”Hepeng do Mangatur Negara on”, bukan hal mudah.  SBY mengatakan: ”Memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa, harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula”. Oleh sebab itu, negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas, jujur, dapat dipercaya, memiliki karakter baik, dan pendirian yang tegas. Bukan justru melebarkan korupsi, seperti yang terjadi sekarang ini. Rakyat menunggu!

 (Dimuat di Harian Batak Pos, 29 dan 30 Agustus 2012)

Rabu, 29 Agustus 2012

Memaknai Sri Mulyani Peringkat 72 Orang Paling Berpengaruh di Dunia, Versi Forbes
(Foto/Int). Sri Mulyani
Oleh : Jannerson Girsang. 
Membaca laporan Majalah Forbes (http://www.forbes.com/profile/sri-mulyani-indrawati/), yang menempatkan Sri Mulyani—nama lengkap Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia, di urutan 72 dari peringkat 65 tahun lalu, muncul rasa bangga, sekaligus rasa sedih di hati kami.
Peringkat yang disandang perempuan kelahiran Bandar Lampung 26 Agustus 1962 itu diumumkan dua hari sebelum usianya genap 50 tahun, membuatnya menjadi oase di tengah prestasi anak bangsa yang menurun di berbagai bidang, ditambah lagi korupsinya yang dalam Pidato menyambut Kemerdekaaanya, SBY mengatakan "sudah makin menyebar ke daerah-daerah".

Di sisi lain, muncul rasa sedih, mengapa perempuan yang sejak 1 Juni 2010 lalu menjadi Managing Director Bank Dunia itu harus angkat kaki dari bumi pertiwi ini. Terlepas dari semua kelemahan yang dituduhakan kepadanya, kemampuan Sri Mulyani, sebagai seorang ibu rumah tangga dengan tiga putra putri ini, mengemban tanggungjawab yang besar dalam pekerjaannya, perlu menjadi pelajaran bagi bangsa ini, khususnya kaum perempuan di Indonesia.

Berapa orang diantara ibu rumah tangga Indonesia yang cerdas, dan populer seperti dia?. Dia teladan sebagai seorang perempuan yang cerdas dan tegar, meski diobok-obokpun tetap bersinar, tidak merengek-rengek. "Emas dimasukkan ke dalam lumpur sekalipun, akan tetap jadi emas," mengutip pepatah populer yang tak terlalu jauh menggambarkan sosok Sri Mulyani.

Mengenang Air Mata Sri Mulyani

Secara langsung penulis hanya pernah sekali bertemu dan melihat wajahnya dari dekat. Saat itu Sri Mulyani bersama pakar Marketing Indonesia, Hendrawan Kartajaya, memberi ceramah kepada para staf TELKOM Sumatra, rekan-rekan penulis semasa masih bertugas di KSO TELKOM Sumatra, di sebuah Hotel di Medan pasca Krisis 1998.

Sri Mulyani masih berusia 36 tahun ketika itu. Tetapi cara bicaranya, pengetahuannya, penampilannya luar biasa. Di usia semuda itu, Sri Mulyani tampil dengan sangat berwibawa, menarik, jauh di atas penampilan seusianya.

Itulah pertemuan pertama dan terakhir penulis, tetapi telah menambah kekaguman kami dan terus mengamatinya melalui media. Tragisnya, dua tahun lalu, Sri Mulyani harus mengalami nasib sedih. Saya, dan mungkin jutaan rakyat Indonesia masih bertanya-tanya hingga sekarang, mengapa Sri Mulyani yang kami kenal selama ini seorang yang luar biasa, tiba-tiba terjungkal!.

Dua tahun lalu, saya menyaksikan melalui layar televisi, peristiwa yang tragis, saat Sri Mulyani tiba-tiba melepaskan jabatannya sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Konon, peristiwa itu merespon desakan para penentangnya berkaitan dengan dugaan keterlibatannya dalam kasus Century yang heboh itu.

Sri Mulyani menangis dan tak mampu melanjutkan pidatonya. "Saya bisa menangis, karena bukan Menteri Keuangan lagi. Kalau masih menjabat Menteri Keuangan tidak boleh menangis. Rupiah bisa....", ujar Sri Mulyani terbata-bata dalam pidato perpisahannya dengan jajaran Departemen Keuangan Kamis sore 20 Mei 2010, dan kemudian menyerahkan jabatannya kepada Agus Martowardojo.

Hal yang lebih mengharukan lagi adalah di saat Sri Mulyani menghapus air matanya, dan diam sejenak. Para hadirin bertepuk tangan, seolah berkata "Kami mengetahui apa yang ada dalam benakmu. Ayo teruskan berbicara, kami mendukungmu, kami berterima kasih atas karyamu selama ini". Lakon ini membuat kami bertanya-tanya. Begitu banyak pendukung Sri Mulyani, kok?.

Sayang, televisi swasta yang kami tonton tidak menyorot raut wajah para hadirin, sehingga tidak bisa melihat reaksi mereka kecuali suara tepuk tangan. Penulis menyaksikan suasana tepuk tangan simpatik terdengar berkali-kali, saat Sri Mulyani tidak mampu mengeluarkan suaranya karena masih menangis.

Mengamati peristiwa di televise itu, saya berkesimpulan bahwa di mata staf Departemen Keuangan yang dipimpinnya, Sri Mulyani adalah seorang pahlawan yang berhasil. Keluarga besar Departemen Keuangan memandang wanita lulusan doktor ekonomi dari Illinois Amerika Serikat (1992) itu sebagai seorang intelektual handal yang telah membuat perubahan di Departemen itu. Buktinya, semasa menjabat, Sri Mulyani pernah dinobatkan menjadi Menteri Keuangan Terbaik di Asia.

Hal menarik lainnya, suaminya Tonny Soemartono yang bagi orang yang tinggal di daerah seperti kami, hampir tak pernah terlihat tampil di media, sore itu bisa kami saksikan. Seorang pria berwibawa yang tampil dengan stelan jas, berambut putih, mendampingi ibu dari tiga anak-anak, Dewanta Illina, Adwin Haryo Indrawan dan Lukman Indra Pambudi ini.

Sebuah spanduk bertuliskan, "I’ll be Back", terpampang di salah satu sudut ruangan saat dia menyampaikan pidatonya. Entah apa maknanya hanya mereka yang memasangnya yang tau. Mungkinkah Sri Mulyani kembali ke tanah air, biarlah rumput yang bergoyang menjawabnya.

Wanita Pertama Indonesia Menjabat Managing Director World Bank

Sri Mulyani adalah salah satu tokoh terkemuka perempuan Indonesia yang mampu berkiprah dengan keahliannya dan dikenal luas di negerinya dan manca negara semasa usianya yang relatif muda. Kegiatannya mencakup dosen, peneliti, penulis kolom di berbagai media nasional maupun asing, bekerja di lembaga internasional, serta menjabat berbagai jabatan penting di pemerintahan.

Di usia tigapuluhan, lulusan Universitas Indonesia 1986 ini, diawali menjadi Dosen Asisten Pengajar Fakultas Ekonomi di almamaternya (1985-1986), Profesor, University of lllinois at Urbana, Champaign, USA, (1990 – 1992), Staf Ahli Bidang Analisis Kebijaksanaan OTO-BAPPENAS (1994 – 1995), Anggota Kelompak Kerja Mobilitas Penduduk Menteri Negara Kependudukan – BKKBN (1995), Anggota Kelompok Kerja Mobilitas Penduduk, Asisten IV Menteri Negara Kependudukan, BKKBN, (Mei – Desember 1995). Selain itu Sri Mulyani aktif dalam berbagai penelitian.

Dia kerap muncul di seminar-seminar. Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001), Sri Mulyani menjadi penasehat pemerintah bersama sejumlah ekonom terkemuka dalam wadah Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Bahkan pada 2001 sempat disebut-sebut sebagai seorang yang akan duduk sebagai Menteri, karena dekat dengan Megawati. Tetapi, dia hijrah ke Atlanta Amerika dan bekerja di lembaga bantuan milik Pemerintah AS, USAid dengan program otonomi daerah untuk perkuatan institusi di daerah. Tadinya hanya untuk satu tahun, tetapi diperpanjang dua tahun karena tenaganya masih diperlukan untuk konsultasi pengelolaan program USAid dalam bidang desentralisasi.

"Ia primadona yang cerdas, jelita dan populer. Analisisinya kritis, lugas dan jernih. Kiprahnya sudah teruji di birokrasi dan lembaga internasional. Kurang dari empat tahun tiga jabatan menteri disandangnya, setelah sebelumnya menjadi konsultan di USAID dan Executive Director IMF" demikian situs www.tokohindonesia.com memberi penilaian bagi Sri Mulyani.

Situs terkemuka yang mempublikasikan tokoh Indonesia itu menyebutnya disenangi banyak orang di dalam dan di luar negeri. Tak heran bila pada Oktober 2002, saat dirinya berusia 40 tahun, Sri Mulyani terpilih menjadi Executive Director Dana Moneter Indonesia (IMF) mewakili 12 negara Asia Tenggara (South East Asia/ SEA Group), menggantikan Djojosubroto. ini menjadi perempuan pertama Indonesia yan menduduki jabatan itu.

Kiprahnya di Kabinet dimulai saat Soesilo Bambang Ydhoyono menjabat Presiden Republik Indonesia periode pertama (Kabinet Bersatu Jilid I). dalam usia 42 tahun, Sri Mulyani diangkat menjadi Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Pada 5 Desember 2005, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan cabinet Bersatu Jilid I, Sri Mulyani dipindahkan menjadi Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Sejak tahun 2008, ia menjabat Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, karena Boediono menjadi Direktur Bank Indonesia.

Masa jabatan Presiden SBY kedua, Sri Mulyani kembali ditunjuk sebagai Menteri Keuangan, namun harus berhenti di tengah jalan.

Jangan Salah Menilai, dan Asal Membenci

 
Tahun lalu, saat merespons prestasi Sri Mulyani di peringkat 65 orang paling berpengaruh di dunia, Kompasiana menerbitkan artikel berjudul: "Sri Mulyani, di Dunia Dihargai di Indonesia Dikebiri".

Sejak 1 Juni 2012, Sri Mulyani, menjadi wanita pertama Indonesia yang menjabat Managing Director Bank Dunia. Sebagai Managing Director, dia mengawasi operasi Bang Dunia (World Bank) di Asia dan Afrika, Eropa, Amerika Latin dan Timur Tengah.

Tahun ini, Forbes memberi catatan tentang Sri Mulyani. "Sri Mulyani Indrawati has served as managing director and the most senior woman at the World Bank since May 2010, a constant in the organization’s leadership as Jim Young Kim assumed the presidency in July 2012. As managing director, she oversees the World Bank’s operations in Asia and Africa, Europe, Latin America and the Middle East. Indrawati’s ongoing attention at the World Bank to middle-income countries such as Indonesia and the BRIC nations as a source of power and needed reform draws from her experiences as the Indonesian Minister of Finance from 2005 to 2010. While minister, Indrawati cut Indonesia’s debt in half and helped the reserves reach an all time high of $50 billion".

Mari kita belajar berfikir jernih. Kalau Forbes memberikan Sri Mulyani ranking 72 manusia paling berpengaruh di dunia, bagaimana penilaian bangsanya sendiri? Bagi para penyelenggara negeri ini, tuntaskan segera kasus Century. Berikan penilain yang objektif kepada Sri Mulyani Kalau memang Sri Mulyani bersalah, silakan jatuhkan hukuman yang seberat-beratnya.

Sebagai rasa simpati, bagi Sri Mulyani, artikel ini menitipkan ungkapan Mother Theresia, wanita pekerja sosial yang terkenal di jagat ini. "Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud tersembunyi di balik perbuatan baik yang engkau lakukan itu. Tetapi tetaplah berbuat baik". Selamat buat Sri Mulyani dan teruslah berbuat baik.
Dimuat di Harian Analisa Cetak: 29 Agustus 2012 Halaman 25

Catatan: Artikel ini menjadi berita terpopuler di http://www.analisadaily.com. Kisah Sri Mulyani cukup menarik bagi pembaca Analisa Online. Berikut urutan ranking 15 berita terpopuler di situs itu. 


Artikel ini menjadi berita terpopuler di Analisa Online: (Selama kurang lebih 24 jam, sejak diposting menjelang tengah malam 28 Agustus, hingga pukul 23.48 WIB, 29 Agustus 2012):

Menpora Pastikan Tak Ada Penundaan PON (119)

Bacaan lanjutan:  http://www.dw.de/rahman-tolleng-menjadi-sosialis-dan-mendukung-sri-mulyani/a-16722666 (update 6 April 2013)

Selasa, 28 Agustus 2012

Menulis Kisah Masa Kecil
Mimpi Naik Kereta Api 

Oleh : Jannerson Girsang

 

Di sela-sela menulis artikel atau buku biografi orang lain, biasanya saya menulis hal-hal ringan. Kali ini kenangan-kenangan hidup saya di masa kecil soal naik kereta api.

Bagi saya, saat ini merangkai kisah masa kecil adalah latihan berkreasi untuk penulisan selepas berfikir tentang hal yang membosankan atau membahas  hal-hal yang berat.

Silakan dinikmati!

Rasa kecewa karena janji  naik kereta api tidak ditepati, masih membekas hingga sekarang. Pernahkah anda bermimpi naik kereta api, dan di usia berapa mimpi itu terwujud? Saya sudah bermimpi naik kereta api sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, tapi baru terwujud ketika saya berusia 17 tahun.

Guru Sekolah Dasar yang juga adalah ibu saya, mengajarkan Lagu ”Naik Kereta Api” di kelas 2 atau kelas 3, akhir 1960-an."Naik kereta api..tut...tut..tut. Siapa hendak turun. Ke Bandung Surabaya..".  

Syairnya sederhana, riang dan mudah dinyanyikan. Semua anak pasti mampu menyanyikan lagu itu. Bagi saya, lagu itu menginspirasi bermimpi naik kereta api.

Rasa penasaran naik kereta api begitu besar, setiap kali kami menyanyikan lagu berirama Andante itu. Maklum, Desa yang terletak 100 kilometer di Selatan Medan, hanya memiliki kereta yang ditarik lembu atau kerbau. Saya sendiri memiliki kereta kerbau. Setiap pagi saya gunakan mengangkut barang ke ladang, sebelum berangkat ke sekolah.

Bukan tidak pernah orang tuaku membawa jalan-jalan ke  Pematangsiantar atau Medan, dimana kereta api sudah beroperasi sejak abad ke-19, tetapi saya tidak pernah punya kesempatan naik kereta api. Paling-paling dari jauh melihat kereta api yang berhenti di stasion.

Mimpi naik kereta api hampir saja terwujud, ketika menginjak 12 tahun (1973), selepas ujian akhir dikelas  6 SD. Sekolah kami melakukan darma wisata dengan bus Simas, dari desa Nagasaribu berkeliling melintasi Brastagi-Medan-Pematangsiantar-kembali ke kampung kami, sejauh 300 kilometer lebih

Sebelum berangkat, guru kami menjanjikan akan mengusahakan agar kami bisa naik kereta api. Wow...!

Rasa kagum  muncul ketika pertama kali melhat kereta api berjalan di atas rel. Di beberapa ruas jalan Medan-Pematangsiantar, kami  menyaksikan kereta api melintas di atas rel yang kadang sejajar dengan bus yang kami tumpangi.  Suatu ketika kami harus berhenti saat kereta api lewat. Saat seperti itu kami bisa lebih dekat melihat kereta api, apalagi bus berhenti dekat palang kereta api.

Ingin rasanya berada di gerbong berbentuk kotak itu. Berjalan bersama ratusan penumpang.  Gerbongnya beberapa kali lebih besar dari gerobak kereta lembu/kerbau di kampung kami.

Puluhan gerbong  mengangkut ratusan  penumpang. Sesekali kami juga menyaksikan kereta barang yang mengangkut kelapa sawit. Pasti banyak sekali yang bisa diangkut. Jauh beda dengan di desa kami dimana hanya ada kereta ditarik dengan kerbau. Kapasitasnya paling-paling 300-400 kg barang. Hanya digunakan mengangkut keluarga 5-6 orang ketika pulang dari ladang.

Sama dengan perasaan saya, teman-teman juga kagum. ”Jam berapa kita naik kereta api,”ujar seorang teman menagih janji guru kami.

Tau nggak, janji guru membawa kami naik kereta api, ternyata tidak ditepati. Kita sangat kesal. Mungkin beliau hanya berjanji, tetapi bagi kami murid-murid sudah seperti mimpi. Bahkan hingga kami tiba di kampung malam hari, mimpi itu tidak pernah terwujud.

Sejak itu, guru kami diberi tambahan nama: Guru Janji Koling!.

Pelajaran bagi orang tua. Kita tidak boleh menjanjikan sesuatu kalau tidak ditepati. Rasa kesal itu membekas sampai waktu yang lama.

Buat anda tau mimpi itu baru terwujud, saat saya pindah sekolah ke SMA 22 Jakarta, sekitar 1978. Mimpi anak desa selama bertahun-tahun, ternyata sudah jadi kebiasaan bagi orang Jakarta.

Punya mimpi naik kereta api di masa kecil?. Masukkan dalam otobiografi anda!

Sabtu, 25 Agustus 2012

Lea Willsen: "Jangan Berdiri di Luar Pagar"


 
(Analisa/istimewa) Dari kiri ke kanan: Erlina Sari (istri penulis), penulis dan Lea Willsen.

Oleh: Jannerson Girsang. 

 "Selamat pagi, Pak. Saya Lea. Hari ini mau bertemu ya? Tapi sepertinya hari ini tidak bisa Pak. Hari Senin-Jumat biasanya keluarga kerja sampai malam dan tidak ada yang buka pintu. Bagaimana kalau hari Sabtu ini jam 10 pagi saja?". Itulah bunyi sms dari Lea Willsen saat memastikan pertemuan kami Sabtu 11 Agustus 2012.

Siapa tidak kenal laki-laki berusia 23 tahun itu. Seorang penulis buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif, menulis artikel, cerpen, membuat illustrasi gambar di berbagai media. Hati saya terharu karena Lea bukan orang seperti saya yang sehat walafiat. Dia adalah seorang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi memiliki prestasi luar biasa.

Dia tidak sempat mengenyam pendidikan formal walau di Sekolah Dasar sekalipun, apalagi lulusan perguruan tinggi. "Saya belajar dari kakak-kakak saya dan saudara-saudara dan selebihnya dengan membaca dan searching di internet," ujar Lea. Kisah Lea Willsen mengajarkan kita memaknai keterbatasan dengan bersyukur dan belajar terus menerus agar tidak berada di "luar pagar".

Illustrator, Desain Kaver dan Penulis


"Manusia dikenal bukan karena tubuhnya sehat atau sakit, cacat atau sempurna. Mereka dikenal dari karya-karya mereka yang bermanfaat bagi orang lain," kata Lea di awal pembicaraan kami di rumahnya di bilangan Jalan Duyung Medan.

Ungkapan di atas setidaknya memberi visi Lea yang sesungguhnya. Dia ingin dirinya dinilai dari karya-karyanya, bukan dikasihani karena kelemahan fisiknya. Dari ruang kerjanya di rumah Koppel, Lea bekerja dan meluncurkan pemikiran-pemikirannya kepada dunia sekelilingnya.

Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya Lea tidak mempunyai banyak pilihan pekerjaan. Tapi itu tidak membuatnya larut dalam kesedihan atau rasa putus asa akibat cacat yang dimilikinya.

Awalnya, Lea bekerja sebagai illustrator free lance berbagai media cetak dan desain kaver. Di luar pekerjaan sehari-harinya itu, saat memasuki usia enambelas tahun, yakni pada 2007, Lea menceburkan dirinya dalam dunia tulis menulis dan aktif menulis fiksi di berbagai media.

Karya-karyanya meluncur tahun demi tahun. Lea menerbitkan buku antologi puisi "Suara-suara Adam" bersama para sastrawan dari 4 negara Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam), awal 2010. Kemudian menyusul antologi puisi "Simfoni Imaji" (12 Mei 2010) dan antologi prosa dan puisi "Imagine of Souls" bersama para sastrawan Sumatera Utara (27 Juli 2010), antologi puisi solo "Apollo’s Tears" (Maret 2011).

Pada 2011, Lea, meluncurkan buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif yang diterbitkan Elex Media Komputindo, Jakarta. Tak banyak lelaki normal seusianya di Medan menulis buku tutorial teknologi oleh penerbit terkenal dari Jakarta, Elex Media Komputindo. Lea bukan lulusan perguruan tinggi, padahal buku yang ditulisnya adalah pengetahuan baru di era internet. Tutorial Blogspot!.

Secara rutin, Lea juga diminta mengisi sebuah majalah agama Buddha dengan keahliannya membuat illustrasi gambar dari sebuah cerita. "Saya membuat gambar-gambar untuk sebuah cerita yang sudah ada," ujarnya. Selain itu Lea aktif mengisi kolom remaja di Harian Analisa, serta menulis artikel di rubrik Opini.

Catatan kami yang terakhir, dalam menyambut Hari Ulang Tahun RI ke-67, 17 Agustus 2012, Lea menulis sebuah artikel berjudul: "Bersatu untuk Satu Tujuan" (Analisa, 16 Agustus 2012). "Kita semua memiliki jiwa dan kekuatan masing-masing. Jangan hanya mau menggerutu dan bergantung kepada ‘lokomotif’. Satukanlah jiwa dan kekuatan kita untuk tiba pada satu tujuan!"

Lea juga mengelola blog:

http://myartdimension.blogspot.com,tempatnya menuangkan pikiran-pikirannya. Artikel-artikel yang ditulisnya seputar tutorial blog dan karya-karya sastranya.

Meski keluar rumah merupakan barang mahal bagi Lea, tetapi kemampuannya memonitor perkembangan sungguh mendapat acungan jempol. Dia rajin mengikuti perlombaan-perlombaan. Pada 2012 Lea memenangkan tempat kedua penulisan program Opera 12.

Jangan di Luar Pagar dan Belajar Bertahap


Secara kreatif, Lea menempatkan diri dengan tepat dan memanfaatkan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Dia memanfaatkan peluang dari kemajuan teknologi yang dapat menghilangkan batas-batas yang menghalanginya berhubungan dengan dunia luar. Melalui internet—yang disebutnya sebagai "rumah mewah" Lea menemukan "kunci" dan membukanya menjadi sebuah sumber pengetahuan yang tak terbatas.

Kesabaran dan kejelian menilai potensi diri dan peluang yang ada merupakan kunci keberhasilan Lea. Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, dia tidak mungkin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan banyak perpindahan tubuh. Dia harus tinggal di rumah, tetapi bukan menjadi penonton di tengah kemajuan zaman.

Lea mengisahkan pengalamannya. "Jangan Berada di Luar Pagar dan Belajar Bertahap,"ujarnya

Lea menyebut berada di "luar pagar", ketika dirinya belum menguasai komputer dan internet. Kesadaran ini mendorongnya belajar secara bertahap hingga mampu berprestasi seperti sekarang ini.

Dia belajar dan menemukan talentanya, hal-hal yang bisa dikerjakannya. Awalnya dia membuat gambar atau ilustrasi secara manual. Itulah kondisnya sebelum 2007, saat dirinya belum menguasai teknologi komputer dan internet.

"2007 saya membeli sebuah komputer, 2008 belajar menggunakan apa yang disebut email, dan akhir 2010 coba belajar membuat blog, dan kemudian membuat tutorial tentang blog", ujarnya di buku Teknik Dasar Blogspot untuk Blogger Kreatif.

Tapi tunggu dulu. Lea punya pengalaman unik, ketika belajar komputer dan internet. Pengalaman yang mengajarkan kita bahwa belajar bukan instan, tetapi harus melalui tahap demi tahap.

Suatu ketika, saudara sepupunya dari Taiwan berkunjung ke rumahnya dengan mengajak seorang teman yang mahir menjalankan program Photoshop. Saat itu dirinya belum tau apa-apa tentang komputer, baru bisa menggambar secara manual.

"Dia mengajar saya untuk on-off komputer. Tapi baru belajar on-off, keinginan saya sudah mau buat desain gambar. Saat itu saya sampai tidak bisa tidur, ingin secepatnya mempraktekkan sesuatu. Padahal dasarnya saja saya belum tau"ujarnya.

Pengalaman itu memberinya pembelajaran bahwa belajar sesuatu harus tahap demi tahap. "Orang bisa belajar kalau melalui tahapan-tahapan yang benar. Kita semua mampu asal kita mau langsung memulai langkah-langkah pertama, kedua, dan seterusnya hingga tiba pada pencapaian yang diinginkan,"ujar Lea yang menyukai novel .

Kemauan kerasnya untuk mencapai sesuatu, belajar tahap demi tahap merupakan proses yang harus dijalaninya, sehingga Lea tidak menjadi penonton di tengah perkembangan zaman ini.

Kepahitan dan Rasa Syukur


Bagi Lea, pengalaman pahit akan menjadi indah, tergantung orang melihat kepahitan itu. "Semua orang punya pengalaman pahit.Hidup pasti ada yang pahit. Tetapi, tergantung kepada cara kita memaknai kepahitan itu. Orang yang pesimis akan melihat persoalan kecil sepertinya besar. Tetapi orang yang bersyukur selalu berdoa dan berserah kepada Tuhan," ujarnya.

Di balik sukses yang dicapainya, Lea mengalami sejumlah kisah pahit dalam hidupnya. Tak seorangpun menyangka kalau Lea harus mengalami cacat di tubuh bagian bawah. Pasalnya, sejak lahir sampai berusia beberapa bulan, Lea tumbuh sebagai anak yang normal.

"Awalnya, dia tumbuh sebagai bayi normal lainnya. Tapi setelah berusia beberapa bulan, kakinya tidak tumbuh normal dan kepalanya tidak bertenaga," ujar ibu Lea pagi itu.

Cobaan tidak berhenti pada kondisi kelainan fisik itu. Dalam keadaan butuh kasih sayang dari seorang ayah, justru Lea kehilangan lelaki yang sangat mencintainya itu dalam usia 49 tahun. Saat itu, usia Lea baru 10 tahun.

Dalam kondisi itu, Lea harus dirawat dan dididik seorang ibu yang single parent, disamping harus membesarkan kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven yang ketika itu masih dalam usia sekolah.

Bukan hal yang mudah merawat anak seperti Lea. "Kami harus terus menerus mengawasinya, memperhatikan waktu istirahat, dan merawat kesehatannya supaya tetap prima,"ujar Ibu Lea.

Di saat kariernya mulai bersinar, tragisnya, pada 2010 Lea jatuh sakit dan cukup parah. Padahal, saat itu dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. "Saya berdoa dan berharap supaya bisa melakukan sesuatu. Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain," ujar pencinta penulis novel Ilana Tan ini.

Dia tidak menutup diri, meski dalam keterbatasan. Secara tekun Lea belajar mengatasi persoalan akibat keterbatasan itu. "Saya punya sahabat-sahabat untuk berbagi. Saya punya hobbi yang sama dengan kakak saya Liven. Menulis dan membaca. Dia banyak mengajar saya. Sepupu-sepupu saya juga banyak berbagi pengetahuan," ujar Lea.

Lea beruntung karena ibunya dan ketiga kakaknya terus memberinya semangat dan bangga memiliki dirinya. "Saya bangga punya anak seperti Lea Willsen karena dia pintar. Saya tetap sabar, dan penuh harapan pada anak saya," ujarnya.

Sejak kecil Lea diasuh kakak-kakaknya Lilys, Liwis dan Liven. Mereka menjadi guru utama baginya. Mengingatkan kita pada guru Anne Sullivan yang mengajar Heller Keller yang buta dan tuli sejak usia 19 bulan, hingga akhirnya menjadi orang terkenal. Karena kondisi fisiknya, Lea tidak bisa mengikuti pendidikan formal dan hanya memperoleh pengetahuan dan bimbingan dari kakak-kakaknya atau saudara-saudaranya. "Kakak Liven adalah partner saya menulis. Dia juga banyak mengajar Matematika dan pengetahuan yang lain,"ujarnya. Liven Riawaty adalah seorang penulis yang karya-karyanya banyak dimuat di harian Analisa.

Bahkan sampai sekarang, kakaknya Liwis membuat agenda tersendiri untuk Lea. "Setiap minggu saya ke rumah mengunjunginya. Saya bangga punya adik seperti Lea. Dia pintar," ujar Liwis yang turut mendampingi Lea dalam pertemuan kami. Liwis adalah kakak Lea nomor dua, sudah berkeluarga dan tinggal di bilangan Gatot Subroto Medan.

Bersyukur adalah kata kunci bagi Lea untuk meraih prestasi dan rasa bahagia atas prestasinya. "Saya bersyukur karena mama saya dan ketiga kakak saya, keluarga dan teman-teman selalu memotivasi saya,"ujar Lea.

Di sebuah sudut blognya Lea menitip pesan dari kutipan Helen Keller: "Happiness cannot come from without. It must come from within. It is not what we see and touch or that which others do for us which makes us happy; it is that which we think and feel and do, first for the other fellow and then for ourselves. (Helen Keller)" Apa yang membuat kita bahagia adalah kalau kita melakukan sesuatu untuk orang lain lebih dahulu, baru untuk kita. Baca juga: Siapakah Lea Willsen? (Analisa, 21 Agustus 2011)***

1. Penulis Biografi, berdomisili di Medan
 (Dimuat di Harian Analisa, 25 Agustus 2012 Hal 26) 

Beberapa hari yang lalu di FB kakaknya Liven Rianawaty, saya membaca Lea Wilsen sakit. Semoga dia tetap bersemangat dan tegar menghadapi hidup. Teman-temanmu semua mendukungmu Lea. I pray for you tonight before I go to bed! 

"Tuhan saat ini Lea sedang berbaring lemah. Saya tidak tau keadaannya, tetapi Tuhan pasti akan tetap memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Ya Bapa, lindungilah temanku yang baik dan pintar ini. Dengan segala kelemahan yang Tuhan berikan kepadanya, dia mampu bersyukur. Hanya satu permintaannya. "Setelah saya sembuh, saya kembali bisa melakukan banyak hal yang berguna bagi orang lain,", seperti diucapkannya dalam pertemuan kami yang terakhir. Tuhan kami sangat membutuhkan dia sebagai teladan seorang yang senantiasa bersyukur, apapun yang Tuhan berikan kepadanya. Kami serahkan seluruh keberadaannya, kami memohon yang terbaik untuknya. Amen!".  (01.00 dinihari, 6 Peberuari 2014)  

Kamis, 16 Agustus 2012


Cagubsu Harus Siapkan Rp 150 Miliar?
"Jangan Takut! Perbesar Jumlah Penyumbang Anda"
Oleh : Jannerson Girsang

Sumber foto: truenewsthebund.blogspot.com.
Dalam sebuah acara buka puasa beberapa hari yang lalu, Abdul Wahab Dalimunthe, Anggota DPR-RI dan mantan Calon Gubsu (2008-2013) mengungkapkan bahwa kalau ingin jadi Gubernur Sumatera Utara diperkirakan harus menyediakan Rp 150 miliar. (Analisa, 6 Agustus 2012).

Menurutnya, uang itu digunakan untuk beli perahu partai (kecuali calon independen), biaya kampanye dan banyak biaya lainnya. Abdul Wahab adalah mantan Calon Gubsu 2008-2013 dan perhitungannya tentu bukan tanpa dasar. Kita tidak heran mendengar pernyataan ini. Bahkan angka itu jauh di bawah biaya-biaya yang pernah terungkap di media. Lihat misalnya berita di http://news.okezone.com. (Jum"at, 27 April 2012)

Ketua Tim Penjaringan Pilgub DPD Gerindra Jawa Barat, Sunatra, mengatakan bahwa modal yang harus dimiliki para bakal calon untuk dapat mengikuti sebuah ajang pemilihan gubernur sebesar Rp430 miliar. Hal itu dia katakan berdasarkan data Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FKIP Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Jawa Barat. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan sasaran berdasarkan pemilih. "Angka itu untuk sosialisasi, survei, atribut, kampanye, dan lain-lain," katanya.

Pasti setiap orang akan "keder" mendengar angka yang gila ini. Tentu tidak bisa dibayar dengan pendapatan seorang gubernur di Indonesia. Berdasarkan perhitungan pak Abdul Wahab diatas, seorang calon gubernur Sumut yang menang akan mengalami defisit sebesar Rp 144 miliar di akhir masa jabatannya. Pasalnya, pendapatan per bulan (gaji, insentif dan tunjangan) seorang gubernur DKI hanya di bawah Rp 100 juta, atau maksimum Rp 6 miliar per lima tahun.

Tapi, perhitungan seperti ini adalah kalau calon gubernurnya orang bodoh dan tidak mau berfikir beda. Seorang calon gubernur bukan hanya mencalonkan dirinya sendiri tetapi benar-benar mendapat dukungan rakyat. Biaya yang diperlukan juga didukung oleh pendukungnya. Rakyat banyak, bukan segelintir orang.

Jadi gubernur itu memang tidak mudah!. Calon gubernur yang hebat tentu tidak bodoh dan hanya mengikuti alur pikiran orang kebanyakan. Dia adalah seorang yang mampu berfikir out box thinking!.

Biaya Minimum Rp 150 Miliar

Sistem pemilihan gubernur langsung seperti sekarang ini memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Sementara dengan pola penggajian yang berlaku, tidak mungkin seorang gubernur mampu tanpa melakukan korupsi.

Itulah tantangannya. Tapi, seorang gubernur seharusnya tidak berfikir konvensional. Dia harus memiliki pemikiran-pemikiran yang kreatif.

Coba kita simak dulu gambaran pendapatan seorang Gubernur yang tanpa korupsi.

Mediaonline Majalah Tempo (Tempo.co.id) Maret 2012 lalu membuat perhitungan soal penghasilan gubernur DKI. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68/2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, gaji pokok kepala daerah "hanya" Rp 3 juta. Adapun tunjangan jabatan diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2003 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Di Lingkungan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi, gaji total Rp 8,4 juta.

Tempo menambahkan, Gubernur memiliki sejumlah "pintu" yang menambah penghasilannya, seperti fasilitas rumah, kendaraan, insentif rapat, dan kunjungan dinas. Gubernur juga berhak mendapat insentif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Hitung-hitungannya, Gubernur DKI akan mendapat tambahan paling tidak Rp 80 juta di luar gaji. Andaikan sama. Maka seorang gubernur Sumatera Utara maksimal mendapat penghasilan dari gaji Rp 8.4 juta dan tambahan penghasilan di luar gaji Rp 80 juta.

Jadi, kalau berfikirnya konvensional, maka gubernur yang mengeluarkan biaya kampanye Rp 150 miliar dan menjabat selama lima tahun (enampuluh bulan), maka dia akan defisit sebanyak Rp 144 miliar di akhir jabatannya. Karena pendapatannya selama lima tahun hanya Rp 100 juta per bulan atau Rp 6 miliar selama periode itu.

Maka dengan logika di atas, dan pengalaman-pengalaman yang kita saksikan di era zaman "korupsi" ini, kita percaya seorang yang turut mencalon dan memenangkan gubernur ternyata tidak rela "modalnya" tidak kembali. Buktinya, begitu banyak gubernur yang masuk penjara.

Perbesar Jumlah Penyumbang Anda!

Menjadi gubernur, masuk penjara?. Tidak dong. Ngapain jadi gubernur kalau untuk masuk penjara!.

Gubernur harus mencitrakan dirinya seorang yang kaya akan kreasi memimpin, termasuk meyakinkan pendukungnya untuk membangun tim dan mengumpulkan dana bagi kampanyenya. Orang banyak mengatakan belajar dari Obama, tapi sering lupa strateginya, dan keterbukaan pertanggungjawabannya.

Seorang calon gubernur harus betul-betul ada di hati masyarakat karena memang sudah berbuat di tengah-tengah masyarakat dan akan bersama mereka lima tahun ke depan.

Dengan demikian, melakukan sosialisasi bukan menawarkan "bantuan", tetapi meminta "bantuan". Gila ya. Tapi tidak asal meminta! Tentu dibarengi dengan pengalaman dan kemampuan calon itu sendiri di masa lalu dan meyakinkannya di saat-saat sosialisasi.

Di media-media cetak, elektronik atau media online saat ini kita menyaksikan puluhan tokoh yang menyebut dirinya sebagai calon gubernur Sumatera Utara sedang melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Mereka juga melakukan survey dukungan masyarakat.

Di kantor masing-masing mereka melakukan evaluasi dan kajian untuk nantinya bisa memutuskan apakah maju atau tidak. Salah satu hal yang dilupakan adalah menjawab pertanyaaan: mengapa seseorang maju menjadi calon gubernur dan bagaimana caranya menjadi gubernur.

Apakah pernah dilakukan penghitungan mereka yang berpotensi memberi sumbangan yang riel itu?. Berapa yang kita punya pendukung dan sekaligus mau mendukung dana sekarang?. Jangan abaikan memperhitungkan pendukung yang riel. Karena untuk itulah indikator kinerja sosialisasi dilakukan.

Jadi, biaya pemenangan seorang gubernur bukan "modal pribadi" sang calon. Angka Rp 150 miliar bisa diperoleh dari 2 juta kali Rp 75 ribu atau 3 juta kali Rp 50 ribu atau 4 juta kali Rp 37.500 atau 5 juta kali Rp 30 ribu, 6 juta kali Rp 25.000.

Makin besar rakyat pendukung dan memberi sumbangan, makin besar peluang seorang calon akan menang. Jadi hal penting dan menjadi prestasi sang calon adalah memperbesar jumlah pendukung, sekaligus jumlah dana. Lebih baik 150 orang penyumbang dengan jumlah Rp 150 atau 350 perusahaan menyumbang Rp 350 juta dari pada hanya satu perusahaan menyumbang Rp 350 juta.

Memang, kalau persepsi masyarakat seorang calon hanya bermotivasi sekedar meraih kekuasaan dan uang di zaman edan ini, percuma menjadi calon gubernur!. Rakyat akan menirunya dengan menawarkan: "hayo beli kami!". Mereka juga sudah pintar bilang: "Terima uangnya, tapi jangan pilih orangnya".

Kalau benar-benar sudah di hati masyarakat pendukung, mintalah mereka mendanai Anda. Bilang, supaya saya tidak korupsi. Kalau mereka tidak mau, menyumbang hanya Rp 25 ribu saja, sebenarnya mereka bukan pendukung anda yang setia. Kalau anda tidak cukup pendukung, sebaiknya jangan teruskan. Jangan berjudi di tengah dunia yang edan ini. Taruhannya: Penjara!

Transparansi Pendanaan Kampanye

Satu hal penting adalah keterbukaan para calon kepada para pendukung tentang biaya yang dibutuhkan. Di masa lalu para calon hampir-hampir tidak pernah menghargai biaya-biaya kecil yang disumbangkan para pendukungnya.

Biaya yang terungkap hanya yang dikeluarkan calon gubernur dan beberapa donatur besar (yang kadang tertutup pula). Jasa pendukungnya yang kecil-kecil hampir terlupakan, termasuk mereka yang dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya.

Jangan pernah membuat tim di sekitar Anda kecewa. Kampanye Anda akan buruk. Mereka perlu dihargai dengan sebuah nilai tunai meski tak dibayar dengan tunai yang tercermin dalam laporan keuangan!.

Coba lihat laporan KPU pada periode Pilgubsu 2008-2013. Saat itu pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu tercatat memiliki dana kampanye terbesar, yakni Rp 6.713.150.000. Berikutnya pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak sebesar Rp 1.057.000.000. Pasangan RE Siahaan-Suherdi memiliki dana kampanye terbesar ketiga sebanyak Rp 940.000.000. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho berada di posisi keempat sebesar Rp 898.000.000. Pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii tercatat sebagai pasangan yang memiliki dana kampanye paling sedikit, Rp 152.000.000.

Menanggapi laporan ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) Irham Buana Nasution, KPU Sumut menangkap kesan calon gubernur tidak jujur dalam soal dana kampanye. (Analisa, 30 Maret 2008).

Keterbukaan memaparkan biaya kampanye dan sumber dana kampanye akan membantu mengumpulkan simpati serta citra baik dari calon. Disinilah keterbukaan kemampuan dan track record masa lalu terlihat. Tanpa keterbukaan, maka para pendukung tidak mengetahui berapa yang harus disumbangnya dan apakah sumbangannya tersebut bermanfaat.

Memang biaya kampanye itu mahal, tetapi bukan menjadi alasan bagi para pejabat nantinya untuk terus korupsi, karena menganggap semua pembiayaan menjadi tanggungan pribadinya. Dia harus menjadi seorang gubernur dukungan masyarakat, milik masyarakat dan membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. .

Kita berharap, pada calon gubernur Sumatera Utara (2013-2018) mampu menantang pendapat Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, yang pernah mengatakan bahwa tak seimbangnya modal kampanye dengan gaji yang akan diterima calon gubernur akan berpotensi terjadi korupsi. "Bila balik modal, bisa jadi itu korupsi," katanya kepada Okezone, 22 Maret 2012 lalu. Balik modal saja sudah korupsi, apalagi masih pengen bangun villa atau beli mobil mewah!.

Kita juga menghimbau KPU memfasilitasi para calon secara netral dan tidak memihak, serta mendidik para pemilih untuk turut dalam Pilgubsu, tidak menjadi orang yang "golput". Rakyat Sumatera Utara tidak mau anggaran biaya pilgubsu 2013-2018 sebesar Rp 700 miliar itu ibarat membuang garam ke laut.

Kita memilih gubernur yang punya "hutang pribadi" yang besar. Ketika tiba di puncak kekuasaan. Kembalikan modal dulu, sebagai awal tindakannya, baru membangun rakyat.

Calon gubernur itu adalah orang hebat. Dia bukan berfikir biasa. Dia mampu merubah keadaan yang edan ini. Tidak hanya mengeluh dan mengeluh soal system, serta mencari pembenaran tindakan yang tidak benar, bahkan lebih buruk lagi mengajak rakyatnya makin gila.

Ide gila tak selalu tidak baik! Terima kasih pak Abdul Wahab atas keberaniannya mengungkap biaya Calon Gubernur yang menginspirasi kami menuliskan artikel ini! ***

Diterbitkan di Harian Analisa, 15 Agustus 2012 Halaman 24, 29). 

Rabu, 08 Agustus 2012


Daur Ulang Senilai Manusia dari Tong Sampah
Oleh: Jannerson Girsang
  "Jika kita punya tenaga untuk mengumpulkan sampah, mengapa kita juga tidak mendaur ulang sesuatu yang seberharga manusia," (Lou Xiaoying, seorang pemulung di Cina yang berusia 88 tahun).
(foto/int)
 
Minggu-minggu ini nama Lou Xiaoying—seorang pemulung di jalanan kota Jinghua, Cina menghiasi media-media terkenal di duna maupun di tanah air, layaknya selebiriti terkenal. Media-media membahas kisahnya karena memenolong orang lain meskipun kemampuannya terbatas dan miskin, bukan karena dirinya selebriti atau penguasa besar.
 
Detik.com menulisnya dengan judul: Pemulung Tua Penyelamat Puluhan Bayi, Kompasiana.com dengan artikel berjudul:  Pemulung Mulia bernama Lou Xiao Ying, dan berbagai media cetak yang terbit di tanah air.

Bertahun-tahun bekerja di tempat yang kumuh, minggu-minggu terakhir ini Lou muncul di media-media terkenal di dunia dengan foto-foto dirinya yang terbaring di rumah sakit dalam berbagai pose. Profesi wanita yang kini tergeletak di sebuah rumah sakit di negeri Tirai Besi itu, adalah pemulung, Pekerjaan yang tidak pernah masuk daftar cita-cita siapapun, karena tidak memberi kehidupan yang layak atau menjanjikan. Lou bekerja di tempat kotor, bau menyengat, jauh dari ruang AC yang mewarh. Namun,  dari sanalah dirinya memancarkan kasih dan perhatian kepada sesamanya.


Lou—yang oleh sebuah mediaonline disebut sebagai  “a guardian angel that saved the lives of many”, membantu tanpa pamrih, kesabaran dan konsiten membantu bayi-bayi yang ditelantarkan karena hilangnya penghargaan manusia atas bayi yang seharusnya menjadi berkat, justru ditemukannya terlantar di tong sampah.

Dia tidak mengeluh dan meratapi nasibnya, bahkan sebaliknya, sepanjang melakoni profesinya sebagai pemulung, Lou membuka panggilan jiwanya menyikapi persoalan yang muncul di sekitarnya dengan tulus dan tanpa pamrih. .

Menolong Bayi-bayi Terlantar

Lou mengerjakan sesuatu di saat negerinya mengalami banyak kemajuan. Anehnya, dia sendiri tidak pernah menikmati kemajuan itu, tetapi justru menyelamatkan orang-orang tertindas akibat dampak kemajuan itu sendiri, tanpa pamrih, tanpa peduli dia akan dihargai atau tidak.

Menggambarkan keadaan bayi yang ditelantarkan itu, dalam postingannya 3 Agustus 2012, Daily Mail mengisahkan sebuah pemandangan yang menyedihkan di Cina. “Seorang bayi ditaruh di tas plastik dan dilemparkan ke tempat sampah di kota Anshan, provinsi  Liaoning, setelah tenggorokannya terpotong. Dia terlihat dan diselamatkan oleh seorang pria yang melemparkan sampah ke tempat sampah”. Bayi itu selamat, kehidupan baru tercipta. .

Sejak 1978, pemerintah Cina mulai menerapkan  kebijakan menekan pertumbuhan penduduk dengan mewajibkan warganya membolehkan setiap keluarga hanya punya seorang anak. “Bayi perempuan yang selamat itu, diperkirakan menjadi korban dari kebijakan satu anak Cina,” tulis Daily Mail

Itulah kejadian di tong-tong sampah di Cina. Di balik gemerlapnya pembangunan ekonomi,teknologi dan berbagai prestasi lain yang dicapai negeri Cina  ternyata kisah-kisah bayi terlantar di tong sampah masih ditemukan.

Lou mulai menyelematkan bayi-bayi yang terlantar di tong sampah bersamaan dengan kebijakan itu. Bertahun-tahun Lou Xiaojing, disamping pekerjaannya sebagai pemulung, menyelamatkan 30 bayi yang dibuang ke tempat sampah di jalanan kota Jianhua, Cina.

Lou Xiaojing: Menolong Sesama dengan Panggilan Jiwa

Kisah Lou mengajarkan kita betapa setiap manusia memiliki kemampuan membantu sesamanya bagaimanapun kondisi ekonominya., sekaligus menepis hanya orang kaya dan berkuasa  dan memiliki uang untuk dibagi-bagi yang bisa menolong umat manusia. Orang miskin dan tidak punya kuasapun mampu menolong sesama

Lou Xiaoying (88 tahun) bukanlah seorang pengusaha kaya, atau seorang koruptor yang memiliki triliunan uang dan tiba-tiba menjadi seorang dermawan. Lou hanyalah seorang pemulung!.

Pemulung sama seperti yang saya temukan di bawah jembatan atau di pinggir rel kereta api di Jakarta. Hidupnya susah dan tinggal di tempat yang bau. Pasti keadaannya tidak lebih dari para pemulung yang tinggal di tempat sampah di Perumnas Simalingkar Medan dan hidup di pinggiran kota yang sepi, jauh dari segala kemewahan.

Dia menggunakan talentanya dan memaknai tindakannya menolong sesama sebagai sebuah panggilan jiwa. Tentu tindakannya itu berbeda dengan motivasi seorang koruptor yang membantu masyarakat untuk mencuci “pekerjaan kotornya” menjadi  “citra yang baik” di mata masyarakat. 

Dalam keadaan serba terbatas, Lou berhasil menyelamatkan 30 bayi, sejak pertama kali menyelamatkan bayi pertamanya pada 1978. Bersama suaminya (meninggal 17 tahun lalu), Lou membesarkan 4 orang bayi itu, disamping seorang bayi biologis mereka. Sedangkan 26 bayi lainnya diambil kemudian oleh rekan atau keluarga asuh untuk memulai hidup barunya.

Tindakan Lou didasarkan pada cinta dan kasih yang tulus, bahwa setiap orang berhak mendapat kasih dan perhatian.  "Anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian. Mereka semua adalah nyawa yang berharga. Saya tidak mengerti mengapa orang tega meninggalkan bayi yang rentan dan tak berdaya di jalanan".

Lou tidak peduli dengan kemampuannya sebagai pemulung dan tidak menunggu kelebihan pendapatannya baru bisa membantu sesamanya.

Kemampuannya mengumpul sampah menjadi motivasi bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang baik: menolong sesamanya. "Jika kita punya tenaga untuk mengumpulkan sampah, mengapa kita juga tidak mendaur ulang sesuatu yang seberharga manusia,"ujarnya, seperti dikutip Daily Mail, 3 Agustus 2012.

Baginya membantu sesama adalah panggilan jiwa, segenap jiwa dan raganya untuk menyelamatkan bayi-bayi yang ditelantarkan pasangan-pasangan yang tidak memiliki nurani.

Pekerjaan baik itu dilakukannya hingga di usia diatas delapan puluh tahun. Bahkan sampai berusia 82 tahun, Lou masih melakukan pekerjaan mulia ini.
 
Anaknya paling muda, berusia tujuh tahun,  Zhang Qilin, ditemukan ditempat sampah saat Lou berusia 82 tahun. Dia membawa anak itu ke rumahnya- sebuah rumah kecil  di wilayan pedesaan, dan merawatnya kembali sehat. "Walaupun saya sudah tua  saya tidak bisa begitu saja menelantarkan bayi itu dan meninggalkannya mati di tempat sampah. Dia tampak manis dan montok. Saya harus membawanya ke rumah" ujarnya, seperti dikutip berbagai media.
 
Lou Xiaojing   telah membuat kehidupan melalui daur ulang dari tong sampah!.

Orang Kecil dengan Kisah Besar

"Masyarakat sekitarnya mengenalnya dengan baik dan menghormatinya karena pekerjaanya dengan bayi yang terlantar itu.Dia melakukan yang terbaik. Dia adalah pahlawan lokal. Tetapi sayang, terlalu banyak bayi ditelantarkan di Cina yang tidak memiliki harapan untuk bertahan hidup,” tulis Daily Mail.

Kisah orang kecil seperti Lou Xiaoyiang memberi teladan kepada kita bahwa memberi tidak harus menunggu seseorang memiliki segalanya, dan lantas member sisanya kepada yang lain. Lou memberikan seluruh miliknya untuk menolong sesama. 

“Nah, Lou Xiaoying tidak menunggu kesempatan yang sempurna untuk menyelamatkan lebih dari 30 anak yang menghadapi kematian. Dia mengambil bagian bagi lebih dari 30 anak-anak yang dibiarkan mati dan mengangkat mereka sendiririan, meskipun dia memiliki sumber daya yang sangat terbatas dan miskin,” ujar mediaonline http://miakouna.hubpages.com.
 
Ia tidak berpikir tentang sumber daya yang terbatas, tidak berpikir tentang masa depan atau apa yang akan lakukan setelah ia menyelamatkan anak-anak yang dibuang di tempat sampah. Fokus satu-satunya adalah untuk menyelamatkan anak-anak bahwa ia menemukan sementara ia mencari uang untuk makanan dan memberi mereka cinta dan pengabdian.

Perbuatan mulia itu membuka mata dunia betapa sebuah kebijakan perlu memperhitungkan ekses  negatif dimana rasa kemanusiaan tersingkirkan. Setiap kebijakan membutuhkan orang-orang yang bijak juga dalam pelaksanaannya. 

Lou menjadi begitu kuat, terkenal,  menginspirasi penduduk dunia untuk sebuah kebaikan. Menurut berbagai media, kisah Lou mampu mengungkap kenyataan di Cina dimana begitu banyak bayi yang ditelantarkan. "Dia mempermalukan pemerintah, sekolah dan orang-orang yang berdiam diri dan tidak melakukan apapun," kata salah seorang  pendukung Lou.

Kini, di usia 88 tahun, Lou Xiaoying menderita gagal ginjal, terbaring lemah di rumah sakit.

Untungnya, tindakan kemurahan hati, bekerja sendirian dengan cinta dan tanpa pamrih, akan berlanjut kepada keluarganya dan teman-temannya. “Mudah-mudahan, masyarakat akan melihat bahwa membantu seseorang tidak berarti bahwa Anda perlu uang untuk membantu orang lain. Yang Anda butuhkan adalah kasih sayang. Kasih sayang bisa membuat perbedaan bagi kehidupan orang lain,” kata mediaonline http://miakouna.hubpages.com..

Lalu, mengapa kita harus menunggu kesempatan yang tepat, menjadi kaya baru bisa memberi? Lou mengajarkan kita melakukan hal kecil di sekitar kita. Tidak perlu terlihat wah, tetapi dirasakan orang lain dan membuatnya berubah menjadi lebih baik.

Terima kasih Mother Lou!. Anda telah membuka mata dunia bahwa setiap orang wajib menolong sesamanya, tanpa memperdulikan statusnya.  (Diolah dari Berbagai Sumber)

Harian Analisa, 8 Agustus 2012, Halaman 25 (Opini). Bisa juga diakses di:  
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/08/08/67587/daur_ulang_senilai_manusia_dari_tong_sampah/.

Koreksi: Kesalahan penulisan 24 bayi seharusnya 26 bayi.