My 500 Words

Selasa, 17 September 2013

Peruntukan Danau Toba

Oleh: Manosor Panjaitan.

Pengantar. Artikel ini adalah sebuah tanggapan terhadap artikel saya berjudul: Mencari "Laskar Pelangi untuk Danau Toba". Terima kasih atas tanggapannya.  Pesan artikel saya adalah bagaimana agar penuturan tentang Danau Toba bermanfaat untuk semua. Tidak mematikan yang satu menghidupkan yang lain. Kiranya memperkaya pemahaman tentang promosi Danau Toba.

Ada nasehat bijak berbunyi, “kita tak akan mungkin mengabdi pada dua tuan dalam waktu yang bersamaan”. Nasehat bijak ini disodorkan lewat artikel ini dengan harapan dapat menuntun setiap pihak yang selama ini bekerja keras untuk mencari dan menemukan solusi jitu untuk membangkitkan hasrat banyak orang untuk datang mengunjungi Danau Toba yang sesungguhnya memiliki banyak sisi menarik.

Sisi menarik tersebut sesungguhnya dapat membangkitkan hasrat orang berkunjung ke Danau Toba untuk mengenalnya lebih dekat lagi atau berhadapan face to face. Misalkan saja, legenda terjadinya Danau Toba, yang mengisahkan pernikahan bersyarat seorang pemuda dengan seorang puteri cantik jelita penjelmaan seekor ikan. Legenda ini seharusnya membangkitkan niat banyak orang untuk mengetahui apa dan dimana itu Danau Toba. Sebab, legenda menyajikan sesuatu yang sakral yang dapat memancing rasa ingin tahu banyak orang tentang objek yang diceritakan.

Ada lagi sisi ilmiah tentang letusan dahsyat gunung Toba berjuta tahun. Ada teori yang menyebut bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan gunung berapi yang sangat dahsyat (supereruption) yang melalui setidaknya empat fase letusan besar, tiga kali diantaranya terjadi dalam 1 juta tahun terakhir. Letusan terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT), adalah yang terdahsyat dan membentuk danau seperti sekarang.

Adalah geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelem, ilmuwan pertama yang memperkenalkan ke dunia bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan gunung api. Daya tarik yang lain adalah keberadaan Pulau Samosir di tengah-tengah Danau Toba. Pulau Samosir terkenal dengan julukannya “pulau di dalam pulau”.

Masalahnya kemudian ketika muncul aktifitas manusia yang mengurangi kesakralan seputar Danau Toba. Menjamur kerambah ikan di danau milik investor (asing) atau juga milik warga setempat dengan restu pemerintah setempat, serta dugaan terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem seputar Danau Toba. Sementara di sisi lain pemerintah terus berinovasi melakukan berbagai upaya meningkatkan angka kunjungan turis lokal atau mancanegara ke Danau Toba. Yang terbaru adalah dilaksanakannya Festival Danau Toba (FDT) 2013 yang dibuka secara resmi oleh Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa, Minggu (8/9).

Dengan mencermati dua kejadian di atas yakni, rekomendasi pemerintah menjadikan danau sebagai ajang bisnis lewat kerambah ikan, sementara di sisi lain pemerintah terus memutar otak mencari cara meningkatkan angka statistik kunjungan wisatawan ke Danau Toba maka pertanyaannya adalah: “Peruntukan Danau Toba diarahkan ke mana?” Untuk dilestarikan sebagai monumen agung ciptaan Tuhan Pencipta Alam Semesta, untuk memberi kepuasan bagi semua lewat fasilitas pariwisata. Atau, pemerintah akan menyulapnya menjadi area kerambah ikan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi investor asing dan para kaum the have?

Kolam Renang Buatan

Sekarang ini banyak bermunculan tempat rekreasi di Tanah Air yang menjanjikan kepuasan bagi setiap pengunjungnya. Kolam renang selalu menjadi menu utama dari setiap tempat rekreasi. Tempat rekreasi itu ada yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, swasta nasional atau asing. Di Sumatera Utara misalnya, maka tempat rekreasi tersebut ada di Pantai Cermin, Padang Bulan, Berastagi atau tempat lainnya. Tiket masuk bervariasi mulai Rp 10.000 hingga Rp 80.000 per orang sekali masuk.

Kenapa setiap pengunjung selalu tertarik dengan kolam renang? Jawabannya adalah, air bening dan tampilan-tampilan sedemikian rupa yang disodorkan pengelola tempat rekreasi yang mengingatkan semua orang tentang lingkungan natural yang boleh jadi saat ini banyak yang hilang ditelan modernisasi. Air bening mengobati kerinduan kita tentang banyaknya sungai dan kali yang berobah menjadi aliran limbah industri. Sungai Deli dan ada banyak sungai lainnya yang berobah menjadi tempat tumpukan sampah dan limbah lainnya.

Selanjutnya pancuran air menggiring hayalan semua orang tentang bukit-bukit yang ditumbuhi aneka tanaman hijau dan disana ada bambu yang mengalirkan air dari bukit ke tempat pemandian penduduk desa. Kondisi natural inilah yang menjadi magnet, memacu gairah setiap orang untuk betah berlama-lama di kolam renang, dan di sana ada ditemukan banyak kepuasan.

Ada benang merah yang bisa ditarik dari setiap keceriaan yang terpancar dari setiap pribadi-pribadi yang mengunjungi kolam renang yakni: setiap manusia punya kerinduan untuk bersentuhan dengan lingkungan natural, karena disana setiap orang masih bisa merasakan kelembutan sentuhan karya agung Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Sekitar tahun 1980-an, ketika penulis masih bermukim di Balige yang terletatak sekitar 100 meter dari Danau Toba, masih merasakan kelembutan sosok natural danau.

Sekitar pukul 05.00 WIB, beberapa pelajar memulai rutinitas, menuju danau untuk mandi. Terasa dingin, dan terlihat kabut tipis melayang-layang di atas permukaan air.

Airnya bening bagaikan kaca sehingga pasir di dasar danau masih terlihat hingga 3 meter dari bibir pantai. Kelihatan dengan jelas ada banyak mulut ikan mujahir yang muncul ke permukaan air seperti menyanyikan lagu. Keindahan ini membuat setiap orang lupa bahwa pagi itu masih terasa dingin.

Satu per satu menceburkan diri ke danau, mandi, lalu pulang untuk berangkat ke sekolah. Beberapa gadis mengisi ember dengan air danau yang bening untuk keperluan masak di rumah. Itulah rutinitas warga yang bermukim di pinggiran danau, dan penulis masih melakoninya hingga penghujung tahun 1986.

Jarum jam terus berputar, dan sosok natural danau pelan tapi pasti berobah. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Namun sayang, nun jauh di sana beberapa titik Danau Toba malah dikuasai oleh beberapa investor dan beberapa warga masyarakat dengan kerambah ikannya.

Tudingan pencemaran lingkungan dan beberapa pihak yang “memohon” agar danau steril dari kerambah ikan tidak diperdulikan. Ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Beberapa titik danau menjadi area terlarang, dan hanya bisa masuk ke sana dengan seijin investor. Inilah sebuah ironi yang memilukan.

Danau Toba yang hingga tahun 1986-an masih perawan, kini ibarat wanita dengan dandanan menor. Di sana ada kerambah ikan, ada pencemaran, dan ada banyak daerah terlarang. Akhirnya orang lari ke danau buatan yang ada di tempat-tempat rekreasi.

Yang ada di tempat rekreasi itu adalah asli orang-orang Indonesia. Lalu, buat apa kita garuk-garuk kepala hingga botak memikirkan cara agar turis mancanegara berkenan merendam tubuhnya di air Danau Toba sementara kita sendiri sudah sungkan mengunjungi danau yang tidak lagi alami.

Laskar Pelangi

Artikel ini juga mengomentari pernyataan miring Jannerson Girsang terhadap kritik bisnis perairan danau lewat artikelnya “Mencari “Laskar Pelangi” Untuk Danau Toba” (Analisa, 10/9/2013). Ada pernyataan Jannerson yang ditanggapi yakni

“Banyak artikel yang lebih suka mengisahkan Danau Toba dari sisi negatifnya, kisah kerambah ikan yang hampir setiap hari menghiasi media dan menjadi salah satu top story, tanpa memperdulikan dampak cerita bagi wisatawan” Lalu Jannerson menantang para penulis daerah untuk menonjolkan keunggulan yang masih tersisa, ketimbang terus mewartakan hal-hal buruk”.

Atas statement subjekjektif Jannerson maka disini penting untuk diingatkan bahwa setiap tulisan tentang pencemaran Danau Toba harus disikapi dengan jiwa besar agar kita mampu menerimanya sebagai sebuah kritik membangun yang tujuannya semata-mata agar Danau Toba dilestarikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak. Jangan diterjemahkan sebagai tindakan mewartakan hal-hal buruk.

Kritik itu menyodorkan fakta, bahwa ada kerambah ikan, ada dugaan kuat telah terjadi pencemaran, dan ini harus dibenahi bersama! Ini adalah aspirasi, keinginan yang dilindungi konstitusi. Tidak seorang pun boleh mencemoohnya. Danau Toba bukanlah Belitung. Lain ladang lain belalangnya.

Solusi yang disodorkan Jannerson untuk Danau Toba cenderung menyepelekan kerinduan banyak orang tentang Danau Toba yang steril dari pencemaran lingkungan, tapi lebih tertarik memikirkan kepuasan turis mancanegara. Disebutkan bahwa “urusan kerambah serahkan kepada yang berwenang menanganinya, munculkan kreatifitas anak muda bangsa, khususnya penulis.

Menurut hemat saya, kalau kita ingin memancing banyak orang berkunjung ke Danau Toba maka harus ada daya tarik khas yang dimiliki yang membuat banyak orang lebih tertarik berkunjung ke sana daripada mengunjungi lokasi wisata lainnya. Ciptakan ciri khusus, jadi bukan dengan cara menulis di artikel. Apa hubungannya?

Agar Danau Toba bisa menjadi memiliki daya tarik bagi semua orang maka sikapilah dengan bijaksana saat ketika semua orang menjadikan kolam renang sebagai tempat favorit untuk rekreasi.

Benang merahnya adalah semua rindu akan lingkungan natural, maka disain Danau Toba harus mencerminkan itu! Danau Toba harus kembali seperti era 1980-an,ada air bening, para nelayan bebas mencari ikan di setiap sudut danau. Sosok natural Danau Toba harus ditonjolkan untuk membangkitkan hasrat setiap orang berkunjung dan merasakan kebahagiaan di sana, sesudah itu baru kita bicara tentang turis mancanegara.

Daya tarik Danau Toba ada dalam dirinya sendiri, bukan pada fasilitas penunjang semisal jalan tol atau prasarana lainnya. Kalau lekuk-lekuk Danau Toba sudah menggairahkan orang dan berita ini menyebar dari mulut ke mulut maka seandainya Danau Toba dikelilingi hutan belukar sekalipun maka tetap akan diterobos orang asal bisa sampai ke sana. Demi sebuah kepuasan diri.

Sebaliknya kalau yang didengar banyak orang adalah kerambah ikan di tengah danau, adanya pencemaran maka ditawari untuk digendong ke Danau Toba pun orang masih mikir-mikir. Apa mungkin turis mancanegara jauh-jauh berkunjung ke Danau Toba untuk menyaksikan kerambah ikan?

Sejak sekarang harus ditentukan, Danau Toba akan didisain menjadi objek alamiah yang steril dari pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai daya tarik pengunjung.

Atau, menjadi area pengembangbiakan ikan oleh beberapa orang warga atau investor yang ingin menambah tumpukan uangnya? *** 

Penulis, besar di pinggiran Danau Toba, pemerhati lingkungan hidup

Selasa, 10 September 2013

Mencari "Laskar Pelangi" untuk Danau Toba (Analisa, 10 September 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Pesta Danau Toba sedang berlangsung dari 8-14 September 2014. Inspirasi Novel Laskar Pelangi yang mengangkat nama pulau Belitung mungkin berguna untuk kita simak bersama. Pesta ini jangan melupakan peran penulis dan sutradara yang mampu menghasilkan novel dan film yang memiliki kekuatan yang sungguh luarbiasa mengundang wisatawan kesebuah kawasan wisata.

Belajar Dari Belitung

Sukses pariwisata pulau Belitung dipicu seorang penulis bernama Andrea Hirata dengan karyanya Tetralogi Laskar Pelangi yang terjual jutaan eksemplar dan diterbitkan dalam berbagai bahasa dunia.

Terakhir, buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Vietnam yang menjadi bahasa ke-30 terjemahan Laskar Pelangikarya Andrea Hirata. Prestasi ini menempatkannya sebagai penulis Indonesia kedua yang karyanya mendunia.

Buku-buku Andrea Hirata berdampak pada minat wisatawan mengunjungi lokasi-lokasi yang terdapat dalam novel itu bahkan ada tour Lasykar Pelangi. Terjadi peningkatan kunjungan wisatawan lebih dari 350 persen sejak novel dan film ini dirilis (www.tempo co.id, 17 Oktober 2012).

Meski hanya sebuah wacana, artikel ini mencoba menawarkan cara berfikir lain untuk mencitrakan Danau Toba yang jumlah wisatawannya tak terdongkrak meski berbagai usaha terus dilakukan.

Kita mungkin alpa kepada para penulis hebat dari daerah ini. Mereka sangat berperan dalam mencitrakan lokasi sebuah wilayah. Pengalaman pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung membuktikannya.

Novel Lasykar Pelangi karya Andrea Hirata yang terjual hingga limabelas juta dan kemudian diangkat kelayar lebar, telah mengekspos pulau itu kesegala penjuru dunia. Pulau Belitung yang selama ini hanya diketahui dari peta, menjadi pembicaraan orang dimana-mana.

Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Tanjung Kelayang, latar lokasi-lokasi dalam novel Laskar Pelangi muncul di berbagai media, melekat di hati pembaca. Keunikan keunikan dan keindahan pantai-pantainya yang dihampari ribuan batu-batu granit raksasa mempesona jutaan penonton. Film Lasykar Pelangi juga mengeskpos berbagai sisi keindahan Belitung lain. Kawah-kawah bekas penambangan timah, savana, denyut nadi kota Manggar, mercusuar Pulau Lengkuas yang legendaris, dan kehidupan kuliner Belitung yang terkenal dengan aneka masakan mie dengan julukan kota ‘seribu kedai kopi.’

Kisah Laskar Pelangi tidak rumit. Novel ini berkisah tentang persahabatan sekelompok anak-anak Belitung dari sejak sekolah dasar hingga dewasa dengan latar belakang alam dan budaya setempat. “Adegan Ibu Muslimah, Ikal, Lintang, Akiong, dan teman-temannya menunggu pemandangan matahari tenggelam di antara batu-batu granit raksasa di PantaiTanjung Tinggi, Belitung, menjadi adegan terindah film Laskar Pelangi. Cuplikan itu sukses menginspirasi banyak orang datang wisata ke Pulau Belitung. Padahal pulau ini sebelumnya tidak banyak dikenal sebagai tempat tujuan wisata,” (Tempo.co.id, 17 Oktober 2012).

Penulis, sutradara film besar terbukti sangat efektif untuk mempopulerkan pulau Belitung, dari yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tanah tandus bekas penambangan timah.

Kisah Danau Toba

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan Danau Toba dan budayanya. Banyak orang yang sudah mencobanya, dengan memperkenalkan budayanya, penduduknya, serta keindahan alamnya.

Bahkan usaha yang menelan biaya besar, Pesta Danau Toba yang sebentar lagi digelar merupakan salah satu diantaranya. Tetapi nyatanya, wisatawan tidak kunjung menanjak.

Bahkan dari laporan harian Bisnis Indonesia (27 Agustus 2013), pelaksanaan PDT 2012 yang digelar di Parapat, Kabupaten Simalungun, pada 29-31 Desember 2012, diperkirakan hanya menggaet sekitar 10.000 wisatawan lokal.

Di tengah usaha meningkatkan citra danau terbesar di Asia Tenggara itu, sayangnya kisah-kisah menyedihkan justru lebih banyak muncul di mata wisatawan. Menjamurnya pengusaha dan petani karamba yang mengotori danau, demi “dollar” yang mereka dambakan menjadi salah satu top story tentang Danau Toba.

Banyak artikel yang lebih suka mengisahkan Danau Toba dari sisi negatifnya, kisah karamba yang hamper setiap hari menghiasi media dan menjadi salah satu top story, tanpa mempedulikan dampak cerita itu bagi wisatawan. Citra keindahan Danau bukannya semakin baik, tetapi semakin terpuruk.

Syukurlah masih ada karya-karya lagu yang menyejukkan bias kita dengar. Dalam lagu-lagu, kisah keindahan Danau Toba digubah para musisi. “Danau Toba, Oh Danau Toba, Danau Indah dan Permai,” demikian Julius Sitanggang, seorang penyanyi asal Batak yang popular di tahun 80-an. Penggubah lagu-lagu Batak Dakka Hutagalung, Nahum Situmorang menyajikan pujian dan kekagumannya pada Danau Toba. Mereka bercerita tentang bawang, gadis-gadis Batak yang mempesona, dekkenaniura, serta banyak lagi yang mengundang rasa ingin tau pembaca untuk mengunjungi daerah itu.

Barangkali kita harus berfikir bahwa di abad ke-21, mengisahkan Danau ini hanya bentuk pujaan, tidaklah cukup. Saatnya kita bercerita dari lokasi tentang Danau ini dengan kisah dengan metode menunjukkan (show).

Kisah-kisah yang kuat kesannya untuk menarik di kunjungi. Indah, menyejukkan, bukan metod yang tepat, tetapi harus bercerita seolah pembaca berada di tempat itu dan ingin mengunjunginya.

Tidak bermaksud mengecilkan usah-usaha pencinta lingkungan, sekedar mengingatkan bahwa cara mengisahkan karamba yang hanya menunjukkan kotornya Danau, tanpa dibarengi secara seimbang dengan kisah keunggulan danau, jelas akan mengaburkan pembaca atas keunggulan-keunggulan Danau yang masih tersisa.

Padahal, wisatawan dating ke Danau Toba tidak sekedar menyaksikan jernihnya air danau, tetapi alam dan kehidupan penduduknya yang unik, serta kenyamanan transportasi dan akomodasinya. Danau Toba unik dan jauh lebih unik dari pulau Belitung, kenapa tidak bias digali lebih jauh?.

Sebuah Tantangan Besar

Kisah tentang keindahan Danau terbesar di Asia Tenggara itu saatnya menantang para penulis daerah ini untuk menonjolkan keunggulan-keunggulan yang masih tersisa, ketimbang terus mewartakan hal-hal buruk.

Mari belajar dari tempat lain. Pulau Belitung adalah bekas tambang timah, yang jelas-jelas meninggalkan sisa tambang yang membuat tanahnya gersang dan tak ada indahnya untuk dikunjungi. Novel Lasykar Pelangi begitu jelinya mengisahkan keunggulan pulau itu melalu sebuah ksah sepuluh anak sekolah yang tergabung dalam Lasykar Pelangi.

Asyik menulis kotornya danau, menyalahkan pengusaha, pemerintah, masyarakat tanpa mampu menawarkan solusi yang praktis, tentu tidak bias dihentikan juga. Tetapi menulis tentang keindahan danau— kehidupan penduduk, indahnya alam janga ndilupakan. Masih banyak keunggulan danau ini selain dari air yang kotor.

Bertahun-tahun usaha mengusir para pengusaha dan petani karamba dari Danau itu, tapi tokh tidak ada hasilnya. Suara para pencinta lingkungan makin nyaring, pengusaha karamba makin menjamur.

Kita tidak boleh hanya berhenti mengutuk, menyalahkan. Marilah kita mencari solusi bersama secara kreatif, tanpa terus menuding dan menyalahkan satu sama lain. Urusan karamba serahkan kepada yang berwenang menanganinya, munculkan kreativitas anak-anak muda bangsa ini, khususnya para penulis.

Tidakkah mungkin karya-karya kreatif bisa memunculkan ksah-kisah menarik dari karamba dan menjadikannya menjadi sebuah obyek wisata?. Bukankah Annette Horchmann melihat keburukan Danau Toba, tetapi masih mampu secara kreatif mengisahkan Danau ini ke Berlin sana?. Beliau tidak hanya mengutuk, tetapi turut mengumpulkan sampah yang bertebaran, mendirikan bisnis wisata.

Kita mesti bertapakur sejenak. Kenapa Lasykar Pelangi bias mengekspos bekas-bekas tambang menjadi kawasan wisata yang menarik. Tidak hanya mencari-cari kambing hitam kesalahan penambang yang di masalalu mengeruk timah dari perut bumi Belitung.

Mari dukung lomba menulis tentang Danau Toba dengan berbagai topik dan sudut pandang, yang digelar saat pesta Danau Toba berlangsung dengan tulisan yang lebih berkualitas. Mari memacu potensi para penulis untuk menggali kisah yang menarik wisatawan. Perhatikanlah mereka, lengkapi mereka semangat dan fasilitas. Pengusaha wisata maupun pemerintah jangan sebelah mata memandang mereka. Berikan pembinaan dan dukungan.

Para penulis di provinsi ini dihimbau untuk mencari dan menulis secara kreatif keunggulan-keunggulan danau yang masih tersisa. Kisahkanlah tentang keunggulan Danau Toba, dan keburukan secara seimbang, sehingga citra

Danau Toba, bukan sebuah neraka. Danau Toba adalah surga bagi wisatawan. Belajarlah dari Pulau Belitung. Dicari, penulis novel Laskar Pelangi untuk Danau Toba! ***

Penulis adalah kolomnis, penulis biografi berdomisili di Medan.