My 500 Words

Rabu, 16 Oktober 2013

Tak Berbuat Apa-apa.

 
 
Kau seorang yang pandai membual
bahwa sesuatu yang hebat kan kau capai,
pada suatu saat nanti.

Tapi sebenarnya kau hanya mau pamer,
betapa luas pengetahuanmu,
betapa jauh jalan yang mau kau tempuh

Setahun sudah kita lewatkan,
Adakah gagasan baru keluar dari otakmu?
Dua belas bulan waktu telah kau genggam,
Adakah hal nyata yang telah kau lakukan?

Kuperiksa daftar orang berhasil; namamu tidak tercatat,
Jelaskan mengapa?
Bukan peluang yang tak kau punya!
Seperti biasa: Kau tidak berbuat apa-apa.

(Herbert Kauffman)
Dikopi dari : facebook Guru Etos Jansen Sinamo

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (4)


Sambungan dari Bagian 3
“Tadi malam juga saya susah tidur,”katanya berbohong.

Ibunya percaya saja kepada kisah bohong anaknya.Dia masih yakin anaknya tidak akan melanggar aturannya. “Tidak boleh makan ikan lebih dari satu potong”.

Selesai memasak,  ibunya menyiapkan makanan siang untuk  Sarioto.  Nasi, sayur dan sepotong ikan mujahir.

Pagi itu, mereka berdua tetap sarapan dengan ubi jalar yang direbus.Minumnya air putih yang dimasak sendiri oleh ibunya.

Ibu Sarioto berangkat menuju ladang tempatnya memburuh berjalan kaki selama setengah jam. 

Ia bekerja seharian untuk mempertahankan hidupnya dan anaknya semata wayang itu dan meninggalkan Sarioto sendirian di rumah.

Melanggar Aturan Ibu, Jadi Kera

Sepeninggal ibunya, Sarioto berpikir keras cara melaksanakan niat jahatnya melanggar aturan ibunya demi memenuhi nafsunya: makan sepuasnya ikan yang di dalam periuk tanah.

Dengan wajah lemas, dia mengamati piring berisi nasi, sayur dan ikan sepotong.Dia teringat ketika ayahnya masih hidup.

“Waktu ayahku hidup, saya pernah memakan daging hingga berhari-hari, kini ibu hanya mampu menyediakan sepotong ikan setiap kali makan,” keluhnya dalam hati.

Jam demi jam berlalu. Angin berhembus menerpa pohon beringin di atas rumahnya membuat hatinya bukannya tambah lembut melainkan makin gusar.Pikirannya hanya tertuju pada nafsunya melahap ikan simpanan ibunya.

Dia mondar mandir di rumah kecil itu, sesekali melihat tempat ikan dimana ibunya menyimpanya dengan rapi.Para-para itu cukup jauh dari jangkauannya.

Tengah hari menjelang waktu makan siang tiba, Sarioto  baru mendapatkan ilham bagaimana caranya mengambil periuk tanah yang berisi penuh  ikan mujahir itu.

Dia mencuri sebuah tangga bambu milik tetangganya.Tidak terlalu panjang, sehingga bisa memasukkannya dari pintu rumahnya dan tidak sampai menyentuh langit-langit yang kurang dari empat meter itu.

Syarat lainnya, tidak boleh ada orang lain yang tau. Sarioto menunggu hingga anak-anak tidak ada yang bermain di pekarangannya.

Saat anak-anak yang lain diam di rumahya makan siang, perlahan-lahan Sarioto menyeret tangga dan memasukkannya ke rumah. Dia berhasil meletakkan tangga ke salah satu kayu penahan para-para.Tangga sudah siap!

Kemudian Sarioto menaiki tangga hingga mencapai para-para dan mengambil periuk itu dengan susah payah. Maklum masih anak kecil.

Hampir saja dia terjatuh.Karena kakinya tiba-tiba menginjak penahan yang tangga sudah lapuk.

Setelah semua aman dia mengembalikan tangga tetangganya dengan cara mengendap endap.Setelah berhasil mengembalikan tangga, dia kembali ke rumah dengan senyum-senyum seperti orang gila.Tanggannya gemetar, jantungnya berdegup cepat.Sarioto bersiap-siap melanggar aturan ibunya.

Satu gangguan lagi, seekor kucing tiba-tiba masuk dan ingin mencicipi ikan itu, sesaat setelah Sarioto meletakkannya di lantai. Dia buru-buru mengusirnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kembali Sarioto ke tempat makanan siang yang disediakan ibunya. Dia mulai melahapnya. Sepotong ikan mujahir tidak cukup untuk menghabiskan nasi dan sayur dan membuka periuk tanah yang berisi ikan mujahir yang bagi Sarioto sangat lezat rasanya.

Saqrioto mengambil satu potong. Ternyata tidak cukup. Potongan yang kedua dilahap, nafsunya makin bertambah. Tiga sampai empat potong, ternyata membuat dirinya makin merasa ketagihan meski ada rasa takut dimarahi ibunya.

Hingga sore hari, Sarioto sendirian di rumah dan terus melahap ikan-ikan di dalam periuk itu, hingga kosong.

Bahkan sisa berupa kuahpun masih ingin dicicipinya. Hingga kepalanya dimasukkannya ke lobang periuk untuk menjilatinya hingga tidak bersisa lagi.

Saat kepalanya masih dalam periuk tanah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu sambil memanggilnya.

“Sarioto…Sarioto….buka Nak. Ibu sudah pulang,”dengan teriakan  lemah ibunya menyapanya dari luar rumahdengan beban kayu api di kepalanya.

Dia kenal betul suara itu suara ibunya.Mendengar suara ibunya, Sarioto terkejut dan ketakutan.

Sarioto tidak tau berbuat apa-apa.Dia mencoba mengeluarkan kepalanya, tetapi tidak bisa.Dia hanya mampu memasukkan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kepalanya.Dia menyerah.Hanya berdiam diri di tepi tungku di bawah para-para rumahnya.

“Sarioto…Sarioto…..buka pintunya Nak!. Ibu sudah capek,”kembali ibunya yang sudah lelah seharian bekerja di ladang memanggil Sarioto.

Sarioto kemudian membalas dari dalam dengan suara yang agak aneh.“Uuuuuuuum,”suara Sarioto dari dalam periuk tanah.

Ibunya memanggil Sarioto beberapa kali, tetapi balasan suara yang aneh itu membuat dirinya merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.

Dia menurunkan beban kayu api dikepalanya, cangkul yang berada di pundaknya serta sayur mayur hasil petikannya dari ladang dan berada dalam gendongannya.

Tanpa pikir panjang ibunya mendobrak pintu.Alangkah terkejut ibu Sarioto melihat kepala anaknya dibungkus periuk tanah itu.

Lantas rasa geram dan marah yang memuncak menghinggapi perasaannya mengingat ikan yang disimpannya dengan rapi  untuk persiapan seminggu itu, ludes dimakan anaknya.

Ibunya kemudian lari ke samping tunggu. Melihat sendok nasi yang terbuat dari bambu dan memungutnya.Dia memegang ujungnya yang runcing dan memukul kepala anaknya dengan pangkal sendok yang tumpul itu.

Setelah memukul kepala anaknya yang terbungkus periuk tanah itu, ibunya Sarioto kaget  bukan main!. Kepala anaknya berubah jadi kepala kera.

Tapi bukan menghentikan aksinya, malah karena geramnya dia menusukkan ujung sendok yang tajam ke pantat anaknya.Anehnya, ujung sendok itupun berubah berubah menjadi ekor kera.

Sarioto yang telah menjadi kera itu meloncat melalui jendela rumahnya yang sempit ke luar rumah.

Ibunya tersadar dan mengejar Sarioto yang sudah jadi kera dan menyaksikannya memanjat dengan lincahnya diantara cabang pohon beringin di samping rumahya.

Sarioto terus memanjat hingga ke puncak pohon dan berpindah ke pohon yang lain, lantas menghilang.

Menyaksikan apa yang terjadi, ibu Sarioto menangis terisak-isak. Badannya terasa lemas,  kelelahan karena seharian bekerja di ladang. Lapar dan tak memiliki lauk untuk seminggu ke depan.
Dia sadarkan diri dan kemudian menyesali perbuatannya.

Ibu Sarioto tinggal sebatang kara. Dia ditinggal  suami dan anak semata wayangnya yang sudah menjadi kera.

Sejak itu, para anak di desa itu mematuhi perintah orang tua dan orang tua dilarang memukul kepala anaknya. (Habis)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (3)

Sambungan dari bagian 2
 
Oleh: Jannerson Girsang

Suatu hari, pagi-pagi sekali, ibunya pergi ke tiga.Semasa ayahnya hidup, ibunya membawa gula aren.

Kini, ibunya hanya membawa hasil pungutan ubi atau sayur dari ladang tempatnya bekerja atau sedikit beras untuk ditukar dengan ikan atau kebutuhan pokok lainnya.

Sepulang dari tiga,ibunya membawa beberapa ekor ikan mujahir serta bumbu jeruk asam, cabe, kemiri, kunyit dan garam.Demikian juga buah-buahan.Pisang Ambon adalah makanan kesukaan Sarioto.

Air liur Sarioto meleleh membayangkan malam itu dia akan menikmati ikan mujahir yang enak luar biasa.

Sebelum memasak, ibunya memberinya beberapa buah pisang Ambon yang membuat pipinya seperti bengkak karena kepenuhan.

Biasanya Sarito tidak merasa cukup dari pemberian ibunya.Sambil mengunyah-ngunyah pisang yang satu sudah mau habis, dia merengek minta lagi, sampai ibunya marah.

Jangan Lebih Sepotong Ikan

Sore itu Sarioto dengan setia mendampingi ibunya yang baru pulang dari tiga mempersiapkan lauk untuk memasak ikan mujahir.

Dia memperhatikan ibunya memotong jeruk nipis.Sesekali dia disuruh ibunya mengambil air ke pancuran yang tidak jauh dari rumahnya.Pulangnya, ikannya belum masak.

Sarioto tidak sabar menunggu.Sekali-sekali dia meninggalkan ibunya dan bermain dengan teman-temannya di halaman rumahnya.

Capek bermain, dia kembali lagi ke rumah karena diciumnya bau masakan  yang mengundang air liurnya.

Sore itu dia memang sudah lapar, karena sejak siang tidak makan.Ditambah lagi, sejak sehari sebelum tiga, mereka hanya memakan nasi dan sayur rebus, tanpa ikan.  Pasalnya, ibunya hanya berbelanja sekali seminggu.Lauk ikan selama seminggu dimasak hanya satu kali di dalam periuk tanah.Itulah lauk mereka hingga tiga berikutnya

Setelah lelah bermain di luar, Sarioto kembali masuk ke rumah.

“Sudah masak ikannya Bu?,”ujarnya, sambil menyeka keringatnya.

“Sebentar lagi Nak, main dulu dengan teman-temanmu, nanti Ibu panggil kalau sudah masak,” bujuk ibunya dengan sabar anak semata wayangnya itu. Ibunya merasa kasihan melihat anaknya yang sudah kelaparan, namun apa boleh  buat, bahan bakar kayu api tidak bisa memasak dengan cepat.

Setelah bermain beberapa lama, Sarioto dipanggil ibunya.

“Sarioto….Sarioto…..!. Mari Nak ikannya sudah masak.Mari makan……,” terdengar suara ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Jalotup, aku permisi dulu ya.Kami mau makan,”pintanya kepada teman-temannya dan pamit meninggalkan mereka sedang margala. (main petak umpat yang diberi garis segi empat sebanyak empat petak)

Mendengar panggilan ibunya, Sarioto langsung memikirkan lezatnya makanan dan tanpa pikir panjang langsung meninggalkan teman-temannya. Permainanpun  bubar.

“Uuuu…h,”gerutu teman-temannya yang ingin terus bermain dengan Sarito.Merekapun bubar karena satu anggotanya sudah pergi.

Sarioto berlari cepat menuju rumahnya, tanpa menghiraukan ocehan teman-temannya. Hampir saja dia menabrak pintu karena cepatnya berlari. Dari depan pintu dia sudah mencium bau sambal dari dapur rumahnya. Dibukanya pintu rumah yang sudah hampir rubuh itu, lalu masuk dan disambut ibunya dengan hangat.

”Mari Nak, ibu sudah siapkan makan malam,”ujar ibunya, sambil menuangkan kuah ikan mujahir ke piringnya. 

Meski dibawah sinar lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, mata Sarioto begitu tajam memilih daging ikan, tanpa kena durinya. Pertunya yang sudah lapar segera dipenuhi oleh makanan lezat di depannya.

Sayangnya, seenak apapun ikan yang dimasak ibunya, Sarioto hanya boleh memakan sepotong saja. Aturan keras dari ibunya, karena ibunya hanya mampu menyediakan sepotong ikan bagi anak dan dirinya setiap kali makan.

Tetapi malam itu, Sarioto tidak mau turut aturan.“Bu, aku tidak cukup satu potong ikan malamini.Dua potong ya Bu,”ujarnya.

Dengan berat hati, ibunya meluluskan permohonan anaknya.

“Ya, boleh.TapI hanya malam ini.Besok harus sepotong sekali makan,”perintah ibunya.

Malam itu, Sarioto makan dengan  lahapnya. Tiga piring nasi dan dua potong ikan mujahir yang cukup besar.Mulutnya penuh dan sebelah pipinya terlihat bengkak.

Tapi, setelah selesai makan dan dua potong ikan sudah habis, Sarioto masih meminta tambah.

Kali ini Sarioto harus mengigit jari.Ibunya melarangnya sambil marah.Dia tidak diizinkan lagi memakan ikan tambahan.

“Ini ikan kita seminggu Nak. Kalau dimakan lebih dari satu potong, ikan kita tidak cukup,”ujar ibunya geram, karena dengan memberinya dua potong malam itu, berarti malam sebelum tiga berikutnya dia akan makan tanpa ikan lagi.

Ibunya kemudian menyimpan semua ikan yang dimasaknya dalam periuk tanah dan menyimpannya di atas para-para.

Tamak: Awal Menipu

Malam itu Sarioto tidur gelisah.  Dia memikirkan enaknya ikan mujahir yang disimpan ibunya di dalam  periuk tanah. Sementara ibunya hanya mengizinkannya satu potong setiap kali makan.Matanya tidak bisa terpejam walau tengah malam sudah menjelang.

“Ah…bagaimana caranya agar saya bisa makan ikan-ikan itu?,” pikirnya, sambil melirik ibunya yang sudah mulai lelap disertai dengkuran yang memecah kesunyian di rumah itu.

Keinginan Sarioto untuk melahap ikan yang tersisa untuk persiapan seminggu itu diurungkannya untuk sementara.Diapun tertidur di atas tikar beralas tanah di samping ibunya.

Pagi-pagi sekali Sarioto sudah bangun. Tidak seperti biasanya, dia membangunkan ibunya waktunya tiba untuk memasak makanan mereka hari itu.

“Bu…Bu. Bangun Bu…masak!,”katanya sambil menggoyang-goyang tubuh ibunya.

Ibunya terbangun dan heran biasanya dia yang membangunkan anaknya, justru sebaliknya. Tetapi dia senang karena anaknya memberi perhatian padanya.

“Kamu makin besar anakku, makin pintar,”ujarnya sambil mencubit pipi Sarioto. Sarioto tersipu dan menunduk malu. Dia sebenarnya berpura-pura baik. Padahal dalam hatinya tersimpan sebuah rencana jahat.

Ibunya tidak mengetahui niat jahat anaknya.Saat itu Sarioto sedang mencari alasan tidak ikut ibunya ke ladang.Sarioto sudah mengatur alasannya semalaman.

“Bu, saya hari ini tidak ikut ke ladang ya.Badan saya tidak enak, karena kena hujan semalam,”katanya.

Sarioto juga menceritakan mengapa dia tidak bisa tidur malam sebelumnya.

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (2)

 (Sambungan dari bagian 1) 

Oleh: Ir Jannerson Girsang

“Bu, bapak lagi maragat (mengambil air nira dari pohon enau),” kata Sarioto kepada Ibunya, kala ibunya sedang memasak makan malam.

Setelah kegiatan memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.

Hari sudah mulai gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.

Baru melangkah ke bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir,  hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak lobang. Lalu  tangannya terlepas karena beban air nira yang cukup berat.

Malam senyap dan suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun bebas ke tanah.

“Ras………..,” bunyi tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.

Di rumah gubuknya, Sarioto dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.

Malam itu memang berbeda dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan  bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.

Ibunya curiga sudah terjadi sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar rumah  menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).

Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya belum pulang dari “pargulaan” (tempat memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu memukul mong-mong dan berkeliling desa.

“Mong….mong….mong,”bunyi pukulan mong-mong--sejenis alat gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki berkumpul di depan kedai. 

Seluruh penduduk kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua pemuda kampung dan beberapa orang tua  ditugaskan mencari ayah Sarioto.

Puluhan pemuda dan orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.

Setibanya di tempat itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki bertubuh kekar itu.

Satu regu menemukan ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.

“Tubuh manusia!,”teriaknya kaget.

“Apa….?,” kata yang lain terkejut.

Setelah seseorang mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah Sarioto.

Tubuhnya tergeletak di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.

Beberapa laki-laki mengusungnya ke pargulaon dan di sana mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.

Seluruh penduduk kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah Sarioto.

Tinggallah Sarioto yang masih kecil bersama ibunya.

Merindukan Makanan Enak

Setelah ayahnya meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.

Penghasilan ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.

Sarioto tumbuh menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya, ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika ayahnya masih hidup.

Semasa  hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya  sering  berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan lain-lain.

Ayahnya juga  memasangsiding (perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini, burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar  ladang di desa tempat tinggal Sarioto

Sarioto sangat senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa menikmati  daging sepuasnya.

Sebagian daging tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet  selama beberapa hari. Daging seperti ini disebut sale-sale dan rasanya sangat nikmat.

Sehingga berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.

Kini menjelang usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain.  Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat sedikit imbalan.

Dia sering disuruh ibunya membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang  kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.

Ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk Sarioto.

Sarapan ubi jalar, makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.

Sarioto sangat merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.

Sarioto tinggal di sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.

Jarak itu ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa penduduk  pergi ke tiga yang berjalan kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali melintasi hutan.

Penduduk desa yang status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.

Sarioto hanya diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia diperbolehkan ikut ke tiga  ketika menjelang  robu-robu (atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari tigadia dibelikan ibunya sarung atau baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut).