My 500 Words

Senin, 30 Desember 2013

Laila Sari: "Saya Jadi Oma Yatim"

Oleh: Jannerson Girsang

Trenyuh, sekaligus salut kala menyaksikan Leila Sari,  artis tiga zaman berusia 78 tahun tampil di sebuah stasion televisi swasta siang ini, 30 Desember 2013. 

Trenyuh, karena memasuki sisa usia tuanya dia hidup sendiri, dan salut karena di usia senjanya masih mampu memberikan kebaikan bagi sesama, menyumbangkan sesuatu menghibur banyak orang, termasuk para manula.

Bulan Nopember 2013, Leila Sari berusia 78 tahun. “Saya jadi oma-oma yatim, bukan anak yatim. Dulu saya menjadi tulang punggung keluarga, tetapi kini saya sendiri. Saya tidak punya anak, tidak punya apa-apa. Tapi saya tetap harus kuat-harus kuat,”ujarnya berlindang air mata tetapi berusaha tegar dengan mengepalkan tinjunya. 

Sebuah pemandangan yang mengharukan di sebuah stasion televisi yang menayangkan aktivitasnya menghibur para manula di sebuah panti jompo di Jakarta, Senin 30 Desember 2013.
 “Dosa apa ya Tuhan yang membuat orang bisa durhaka. Tanpa orang tua kita, kita tidak bisa melihat dunia ini,” ujarnya dengan linangan air mata. Dia mengaku bahwa dirinya kini ditinggal sendiri setelah tidak berdaya, setelah usianya tua. 

Padahal, dulunya aktris tiga zaman itu dengan tulus membantu keluarganya. Itulah hidup. Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang melayang.

Namun sikapnya tetap membanggakan,tetap mampu mensyukuri keberadaan dirinya. “Saya sangat bahagia kalau dapat bertemu dan menghibur para orang-orang tua yang berusia uzur,” katanya.

Pada kesempatan itu terlihat dirinya menyanyi dan bertegur sapa dengan para manula di lokasi itu.Seorang ibu berhidung mancung menyapanya. Lalu mereka terlihat pembicaraan singkat.

“Sudah berapa umur oma sekarang,”Tanya Leila Sari.

“Delapan puluh dua,”ujar wanita yang masih segar dalam usia setua itu.

“Sudah delapan puluhan, tetapi masih cantik,”ujar Leila Sari memuji.

Lantas para krew TV melanjutkan wawancara dengan Leila Sari. Air matanya senantiasa tak dapat dibendungnya bila dia mengucapkan sepatah dua patah kata.

“Udah ya. Jangan ditanyain lagi, nanti saya menangis,”ujar Lelia. Beritapun selesai dan beralih ke topik lain.

Di usianya ke 78 tahun, Leila memang lemah tidak semerbak harumnya ketika masih ngetop di masa lalu. Dia tidak lagi mampu menymbangkan materi kepada keluarganya, bahkan untuk menghidupi dirinya sendiripun kadang sudah tidak mampu.

Tetapi jangan salah. Leila Sari masih memiliki hal yang paling berharga. Dia masih mampu berbuat baik, menghibur sesamanya, membuat sesama yang lemah merasa kuat.

Bukankah Helen Keller, penulis, politikus ulung Amerika Serikat yang tidak bisa melihat dan mendengar sejak usia 19 bulan pernah mengatakan: ”Hal paling indah di dunia tak dapat dilihat dan bahkan tak bisa disentuh, hal tersebut hanya bisa dirasakan dengan hati". 

Leila Sari, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 4 November 1935, adalah aktris dan penyanyi Indonesia.

Ia mengawali karier sebagai pemain sandiwara dan penyanyi. kariernya dilanjutkan dengan bermain dalam film layar lebar. Ia juga bermain dalam sejumlah sinetron, ketika film layar lebar mengalami kemunduran.

Selama tiga zaman atau enam dekade lebih, Laila Sari telah berkecimpung di panggung hiburan Tanah Air. Namun, wanita berusia 78 tahun itu kini kondisi hidupnya amatlah memprihatinkan. Laila sekarang hidup di rumahnya yang sederhana di Tangkiwood, Jakarta Barat. Daerah itu dulu memang dikenal sebagai penghasil artis berbakat di eranya, diantaranya Aminah Cendrakasih dan (alm) Bing Slamet.
 
Leila Sati memang sudah tua dan lemah, tetapi dia memiliki hal yang paling indah di dunia. Banyak orang bisa merasakan dengan hati, apa yang dilakukannya.

Rabu, 18 Desember 2013

Curriculum Vitae Jannerson Girsang


Born on January, 14 Januari 1961 at Nagasaribu Village, Simalungun District, North Sumatra, Indonesia. 

Four Children: oldest (working on National Television, 28 married with a grand son), second (lawyer at noticed company office in Jakarta, married), third, 22 (technicians at Steam Power Plant Project in North Sumatra), fourth (student of President University in Jakarta). 

Graduated from Bogor Agriculture University (1985)

From 1985-2001. Worked at various offices.   I only mention my experiences, related to writing  and training journalistic for reporters and Christian Youth. 

Writing Experiences

1990-1992. Reporter for Jakarta-based economic magazine PROSPEK. 

2005. Information Officer for Action by Churches Together (ACT International).  I write weekly field report for ACT International  Website. The reports were also posted at Web Relief, Reuter and www.ytbindonesia.org. 

I have written more than ten biographies of North Sumatra church leaders, the governor of North Sumatra, and others.  Followings are biographies and autobiographies  I have written since 2002. 

Bagaikan Rel Kereta Api (2011), Hanya Karena Kasih Kristus (Simply of Christ Love, 2009. Biography of Rev HM Girsang, a former Secretary of VEM, Wuppertal, German), Berdoa dan Menabur Kasih (Pray and Sharing Love, 2009), Haholongon, (Love of a Real Women, 2008), Perjuangan Tiada Akhir (Never Ending Struggle, 2007). Berkarya di Tengah Gelombang (Run in the Mids of Wave, 2007. Biography of Rudolf Pardede, the former North Sumatera Governor, Berbicaralah, Hambamu Mendengarkan (Speak to Me Your Slave, 2006),  Setia Sampai Akhir (Lifetime Commitment, 2006). Hanya Oleh Karena Anugerahnya (Simply Under His Grace, 2005, Biography of Prof Dr Sutan Hutagalung, a former Secretary General of Indonesian Protestant Christian Church), Ketegaran Seorang Ibu (Obduracy of a Woman, 2005), Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga (The Unlimited Grace, 2004, Biography of Rev Dr Armencius Munthe MTh, the former Bishop of GKPS, Simalungun Christian Church). Dari Penjara ke Legislatif (From Jail to Legislative, 2003), Bukan Harta Duniawi (Not Simply the World Wealth, 2002)

Since 2007, I have been free lance writer at main local daily in Medan such  Analisa, Medan Bisnis, Sinar Indonesia Baru, Jurnal Medan (closed 2012). I have published more than 200 articles in the last five years, including pluralism and religion issues.   

Trainer for Writing Experiences

I gave journalistic training for North Sumatra Christian Youth, reporters  of Sinar Indonesia Baru Batak oriented daily (2011),  reporters of a remote area mediaonline of Nias Island, North Sumatra province, Indonesia (www.nias-bangkit.com).

Training Experiences in Journalistic

I have attended  some cources in writing and jusnalistic training i.e: Prosepek Magazine Jurnalistic Training, Jakarta (1992), Journalistic Training at University of Indonesia, Jakarta (2004), Information Management Training (ACT International, 2004). I obtained most of writing knowledge from Books and autodidact.

Award

I was awarded as a biographer and book contributor to library by the Governor of North Sumatra (2007). 

Others

I also one of jury at annual North Sumatran story telling at North Sumatra Library Office.   
Now, I am the head a congregation (voorhanger)  of Simalingkar GKPS church in Medan, with  175 families (approximately 700  people) members in Medan, North Sumatra capital city. Previously, I was a Grand Synod member of my church, Simalungun Christian Protestant Church, GKPS—with a total members of more than 200 people in more than 20 provinces of 33 provinces in Indonesia).  

Concerned.

I am concerned of the lack of ability and will of church youth and others to write. Informally, I taught writing and jurnalistic to youths. I also encourage youth to write at local media through Facebook.  I would like to have more knowledge in motivating people to write.    

Contact: girsangjannerson@gmail.com

Senin, 16 Desember 2013

Pelajaran dari Musibah Bintaro (Dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru, 16 Desember 2013)



Oleh: Jannerson Girsang

Displin masyarakat pelintas rel kereta api dan penanganan keamanan di perlintasan kereta api di Indonesia sungguh memprihatinkan. 

Yang membuat lebih memprihatinkan lagi, ternyata,  Jawa dan Sumatera, dua wilayah yang memiliki jalur kereta api, masih memiliki ratusan perlintasan tidak resmi. Karena tidak resmi, perlintasan itu tidak dijaga atau disediakan rambu-rambu. Sudah ada palangpun, masih dilabrak, apalagi tidak ada sama sekali.

Bangsa ini perlu belajar dari tragedi-tragedi yang sudah terjadi.. Tragedi yang sama terulang lagi. Nyawa berjatuhan, isak tangis dan air mata tumpah!. Kehilangan ratusan nyawa setiap tahun, kerugian miliaran rupiah, seharusnya mampu mengundang rasa peduli.

Ironisnya, kalau kecelakaan di perlintasan kereta api-jalan raya, yang terjadi adalah silang pendapat, tentang siapa yang bertanggungjawab? Pemda, PT KAI, Kepolisian, atau masyarakat pengguna jalan?. Sibuk mencari “Kambing Hitam.

Sialnya, palang pintu rel kereta tetap tidak terpasang, jalan di atas rel (fly over) atau jalan di bawah rel (under pass) hanya ada dalam khayalan! 

Isak Tangis Kesekian Kali

Rachmawati Soekarnoputri—Ketua Yayasan Universitas Bung Karno tak mampu menahan air matanya saat pemakaman Natalia Naibaho, mahasiswi universitas tersebut dan menjadi korban tabrakan kereta KRL dengan truk tangki di persimpangan rel Bintaro, Jakarta, 9 Desember 2013 lalu. .

Rasa sedih mendalam dialami ibu kandung Natalia, keluarga masinis kereta api dan dua rekannya, serta keluarga korban tewas dan keluarga yang anggota keluarganya yang mengalami luka-luka. Seluruh bangsa ini berduka atas kealpaan kita semua menyikapi keamanan di perlintasan kereta api.

Disamping kesedihan mendalam, gerbong kereta api rusak, dan bahkan gerbong bagian depan hangus terbakar, beserta kenderaan yang berada di sekitarnya. Artinya semua mengalami kerugian, termasuk pihak perusahaan kereta api sendiri—perusahaan milik negeri ini, milik rakyat.

Isak tangis kesekian kalinya akibat kecelakaan kereta api bukan hanya terjadi di Jakarta, Jawa Timur,  juga di Sumatera Utara, cuma gaungnya tidak sebesar Bintaro. Simaklah ungkapan jeritan rakyat  yang disampaikan seorang aktivis berikut ini. 

“Nyawa warga sering menjadi tumbal kereta api. Sering kali pada malam hari warga tertabrak kereta karena tidak ada penjaga perlintasan, tidak ada portal keamanan dan penerangan sekitar perlintasan rel juga tidak ada," kata Farid Abdillah, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Demokrasi dan Kemanusiaan (LSM PuDaK), ketika memimpin rakyat dari beberapa desa di Kecamatan Duduksampean, Gresik yang dilewati rel kereta api, yaitu Desa Sumari, Setrohadi, Tambakrejo dan Tumapel, meminta palang perlintasan KA untuk menjaga keselamatan kepada PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daops VIII Surabaya, Sabtu 9 September 2013. Disebutkan warga yang melintas dan menjadi korban kereta api setiap tahunnya rata-rata 10 orang lebih. (Harian Tribun News, 12 Desember 2013).

Jeritan seperti ini mengancam provinsi ini juga. Di wilayah layanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre I Sumut,  sampai saat ini masih ada 136 titik perlintasan kereta api resmi di Sumut rawan dengan kecelakaan. Hal itu dikarenakan 39 titik perlintasan tersebut belum memiliki penjaga.(Tribun News, Rabu 12/12).Sepanjang tahun 2013 jumlah kecelakaan yang terjadi di perlintasan kereta api sebanyak 34 kasus.
Catatan kecelakaan tabrakan kereta api dengan kenderaan bermotor, masih jelas dalam ingatan kita. Hari Minggu, 1 Desember 2013, beberapa hari sebelum tragedy Bintaro, sekitar pukul 08.30 WIB sebuah mobil Kijang biru yang bernomor polisi BK 1306 VG ditabrak kereta api di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dua orang tewas dan tiga orang lainnya mengalami luka-luka. http://kereta-api.info.
Nyawa itu mahal bro!. Jangan disia-siakan!.

Tidak Lagi Mencari “Kambing Hitam”

UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan perkeretaapian. UU ini seharusnya menjadi acuan dalam penyelenggaraan transportasi kereta api, khususnya penanggungjawab persimpangan kereta api dengan jalan raya. Semua pihak harus mematuhinya.

Dalam sebuah ulasan di kolom Tajuk Rencana harian Padang Ekspress (12 Desember 2013) dengan judul  “Anomali Perlintasan Kereta Api” cukup menarik disimak. Tajuk itu membahas tentang banyaknya  kesalahpahaman dalam perkeretaapian di Indonesia.

“Kereta api bukan milik PT Ke­reta Api Indonesia. PT KAI hanyalah operator ke­reta. Di luar itu, tanggung jawab pemerintah untuk me­nye­diakan stasiun, jalur perjalanan kereta, per­si­nyalan, pengamanan, hingga mengurusi per­lintasan ke­reta yang sebidang dengan jalan. Untuk tugas ter­akhir, UU Perkeretaapian telah mengatur hal tersebut me­rupakan kewajiban pemerintah daerah, termasuk di antaranya menertibkan pintu perlintasan liar”.

Namun sangat disayangkan, anomali kerap terjadi. Persinyalan yang se­harusnya menjadi tanggung jawab negara dalam prak­tiknya dibebankan kepada operator kereta api. Ne­gara kerap alpa memberi public service obligation (PSO) untuk memperbaiki persinyalan, apalagi me­ngu­rusi perlintasan sebidang. Di wilayah per­lin­ta­san ker­eta api ini, PT KAI dan pemda kerap silang pen­da­pat. Satu sama lain saling melempar tanggung ja­wab.

Belajar dari Pengalaman

Negeri ini sudah memiliki pengalaman lebih dari 100 tahun mengelola kereta api. Kita bangga dengan prestasi yang diraih, khususnya PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Perusahaan ini bukanlah perusahaan kacangan..   

Membaca berita yang dilansir website BUMN, : http://www.bumn.go.id, kita bisa optimis.  5 Desember lalu, beberapa hari sebelum peristiwa Bintaro yang sangat memilukan itu terjadi, perusahaan ini meraih Juara II BUMN Jasa Non Keuangan Berdaya Saing Terbaik, Anugerah BUMN 2013, sebelumnya Dirut PT KAI Raih Penghargaan The Best In Leading Change, CEO Pilihan SPS 2013 dan Direktur Logistik dan Railway Aset PT KAI, menerima penghargaan Korporasi Pilhan SPS 2013. Perusahaan ini pasti mampu bekerja sama dengan pemerintah memberi solusi!. Kejarlah penghargaan baru: Zero Accident 2014!

Rakyat saatnya juga belajar berdisiplin. Menurut data Mabes POLRI, lebih dari 65 % penyebab kecelakaan lalu lintas adalah karena kelalaian manusia. Masyarakat masih perlu terus menerus diberi penyuluhan kesadaran berlalulintas. Kita melihat bagaimana orang berkendara seenaknya menerobos, tidak mengindahkan palang, mengabaikan pengguna jalan lain, dan berbagai perilaku tidak aman.

Kepolisian yang bertanggungjawab soal keamanan lalu lintas, tentu juga harus berfikir agar para pengendara bisa mematuhi rambu-rambu dan memberi perhatian atau membantu penjagaan pada perlintasan-perlintasan kereta api. Selain itu, polisi jangan bosan-bosan terus meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya tentang kereta api yang jelas belum seintensif seperti penyuluhan lalulintas kenderaan bermotor lainnya.  

Pemda, khususnya Pemprovsu tentu tidak boleh lagi mengabaikan begitu saja jeritan rakyatnya soal kereta api. Sebagai provinsi satu-satunya di luar Jawa yang memiliki transportasi penumpang kereta api, Gubernur sudah saatnya membuat kebijakan yang operasional untuk membantu keamanan jalur kereta api.

Sudahkah Pemprovsu atau Pemda Deli Serdang belajar dari peristiwa kecelakaan 1 Desember 2013 di Deli Serang. Bagaimana dengan persimpangan-persimpangan jalur kereta api-Jalan raya yang belum memiliki palang? Kapan Sumatera Utara memiliki jalan di atas rel (fly over) atau  jalan di bawah rel (under pass)?.

Saatnya Gubernur atau Bupati yang wilayahnya dilintasi kereta api, peka dan paling tidak membawanya dalam rapat atau hanya sekedar memasukkannya dalam otak, sehingga lima atau sepuluh tahun mendatang bisa diwujudkan dan korban bisa ditekan!

Peristiwa Bintaro mengingatkan kita semua agar tidak lagi belajar mencari “kambing hitam”, tetapi belajar menemukan solusi sehingga korban-korban kecelakaan seperti Bintaro dan baru-baru ini di Deli Serdang tidak terulang lagi. Rakyat tidak sanggup lagi protes, tetapi hanya berharap!.

Penulis adalah pengamat sosial dan pengguna kereta api, Tinggal di Medan.

Beban Orang Tua Makin Berat Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (Dimuat di Harian Analisa, 14 Desember 2013)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Memutar memori pengalaman membiayai kuliah anak-anak di Perguruan Tinggi Negeri sejak 2003, ternyata dari tahun ke tahun, beban orang tua makin berat. Perubahan demi perubahan kebijakan saringan masuk perguruan tinggi di negeri ini, membuat orang tua hanya menikmati rasa gembira diterima di PTN hanya berlangsung sesaat.

Pengalaman kami menyekolahkan tiga mahasiswa di PTN ini mungkin berguna bagi orang tua lain serta bahan bagi pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan pendidikan sejak sepuluh tahun terakhir ini.

Tiga Anak, Tiga Perlakuan

Saya memiliki empat orang anak. Tiga diantaranya menjalani pendidikan dan sudah lulus dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ”terbaik” di Indonesia yang berlokasi di Depok. 

Perkembangan sejak 2003, saat anak pertama saya masuk di Universitas Indonesia ternyata hingga anak saya yang ketiga, pertambahan beban itu cukup signifikan. Saat anak pertama saya masuk, saya hanya membayar uang kuliah, sebesar Rp 1.250.000, serta membayar uang asrama Rp 100 ribu per bulan. Tidak ada yang namannya uang ”pembangunan” atau ”sumbangan”.

Tapi saya merasa aneh, karena anak teman saya di USU dengan jurusan yang sama, uang kuliahnya lebih rendah. Apa bedanya ya USU dengan UI, tokh sama-sama PTN. Tiap PTN memiliki kebijakan yang berbeda soal uang kuliah. 

Tiga tahun kemudian (2006), putri kedua saya lolos ujian masuk di UI di kelompok sosial. Sama dengan anak saya yang pertama. Kita senang dan memperhitungkan belanja yang relatif sama dengan anak pertama.

Ternyata, setelah pengumuman keluar, selain membayar uang kuliah yang naik menjadi Rp 1.350.000 per semester (naik Rp 100 ribu), saya harus menanggung uang ”pembangunan”. sebesar Rp 9 juta. Meski akhirnya, dapat keringanan membayarnya dengan tiga kali cicilan.  

Artinya, hanya berselang tiga tahun dari anak pertama, saya harus menanggung beban yang naik hingga 800 persen. Logikanya, pemerintah seharusnya memberi keringanan kepada biaya anak kedua, tetapi justru sebaliknya, malah semakin besar. Logikanya, uang sudah terkuras membiayai anak pertama.

Jujur saja, karena kesulitan keuangan, putri saya kedua ini harus rela bekerja di tata usaha perpustakaan Indonesia untuk melepaskan sebagian beban berat itu. Kasihan benar dia!. (Untungnya, dia sudah lulus dan bekerja di Jakarta).

Pada 2008, lima tahun setelah anak saya pertama menginjak PTN, putra saya (anak kami yang ke tiga) masuk di Politeknik Negeri Jakarta. Lokasinya masih satu kompleks dengan Universitas Indonesia di Depok.

Saat pengumuman, banyak orang mengatakan saya beruntung. Tapi, jangan salah. Uang kuliah di Politeknik, hampir dua kali lipat besarnya dari yang kuliah di kelompok sosial di UI. Besarnya tidak mungkin dijangkau oleh orang tua yang bekerja hanya sebagai penulis, yang masih dihargai dengan pekerja ”upahan” di pabrik.

Di saat kemampuan ekonomi menurun, justru saya harus menanggung beban yang lebih berat. Saat itu saya harus menjual aset yang paling saya butuhkan. Mobil terjual. Demi ”Anakkon hi do hamoraon di ahu, anakku harta paling berharga”. Anak-anak harus memperoleh pendidikan agar masa depannya lebih cerah.   

Syukur ketiga-tiganya bisa lulus tepat waktu, meski dengan kehidupan yang pas-pasan. Belakangan, informasi yang saya peroleh dari teman-teman anak saya yang masuk sesudah mereka, ternyata terus meroket. Uang kuliah dan pembangunan terus merangkak naik. Semoga rekan-rekan orang tua berikutnya mampu membiayai anak-anaknya dengan beban yang makin meningkat itu. 

Anak Keempat Masuk Swasta

Pada 2011, anak saya keempat tidak lolos ke PTN. Tidak ada perasaan yang mengganjal meski dia tidak masuk PTN.”Masuk Perguruan Tinggi Swasta aja nak, karena di negeripun biayanya mahal,” demikian saya menghiburnya. Kebetulan, bulan Maret tahun itu anak saya sudah lulus pada sebuah perguruan tinggi swasta yang pengantar kuliahnya berbahasa Inggeris di Cikarang, Jakarta.

Ungkapan seperti ini mungkin belum pernah saya dengar dari orang tua saya, yang di masa saya mahasiswa. Mereka selalu berusaha agar anaknya masuk PTN, walau harus berkorban setahun menunggu UMPTN berikutnya.

Uang kuliahnya memang tiga kali lipat dari uang kuliah anak saya yang di Politeknik. Meski saya menjerit, masih bersyukur karena tidak perlu membayar uang pembangunan. Dengan membayar Rp 10 juta di semester pertama, ditambah uang asrama Rp 3 juta per 4 bulan (mahasiswa bebas mengambil kos di luar asrama setelah setahun kuliah). Dengan uang Rp 13 juta dia bisa kuliah.

Tapi saya hitung-hitung, masih rasional, ketimbang beberapa teman yang anaknya masuk ke PTN melalui jalur Mandiri. Uang kuliah dan uang pembangunannya cukup mencekik juga. Saya punya keluarga yang masuk melalui jalur Mandiri di program Diploma Universitas Indonesia pada tahun yang sama, membayar uang kuliah Rp 5 juta per semester dan uang pembangunannya di atas Rp 20 juta.   

Kebanggaan masuk PTN, jauh dari kebanggaan saya ketika masuk di IPB pada 1980. Saat itu tidak ada uang yang namanya uang pembangunan, bahkan uang kuliahpun relatif rendah. Ayah saya yang hanya guru SD tidak begitu sulit membiayai saya di perguruan tinggi, biayanya sangat murah, hanya Rp 12 ribu per semester. Padahal, honor saya saja sebagai asisten dosen mata kuliah Foto Udara ketika itu, Rp 18 ribu per semester. Saya masih beruntung Rp 6000 per semester. Dan, selama empat tahun saya kuliah, tidak pernah ada kenaikan uang kuliah.

Saya kira kisah di atas adalah sebuah ironi. Saat kita menjalani abad ke-21, abad informasi dan ilmu pengetahuan, ketika negeri ini sedang membutuhkan orang-orang terdidik, masyarakat semakin sulit membiayai anaknya kuliah di perguruan tinggi.

Ironisnya lagi, justru di tengah-tengah beban seperti ini, muncul pula berita para pejabat di Perguruan Tinggi Negeri diperiksa KPK karena dugaan korupsi. Lha, bagaimana kita percaya uang kuliah yang terus meningkat, bisa dinikmati mahasiswa? ***