My 500 Words

Sabtu, 27 September 2014

Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumatera Utara Tahun 2014 Menciptakan Masyarakat Pembaca (Reading Society) Menuju Masyarakat Pembelajar (Learning Society)

Oleh: Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd

Pada hari Kamis, 25 September 2014 kemarin, telah diselenggarakan sebuah acara yang bertajuk Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara tahun 2014. Acara yang bertempat di hotel Soechi Medan ini, diprakarsai oleh Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) provinsi Sumatera Utara. Sekitar lima puluh undangan yang berasal dari kalangan penulis dan pembaca di wilayah Sumut memenuhi sebuah ruang pertemuan di lantai dua hotel yang terletak di jalan Cirebon tersebut. Baik penulis yang sudah terbilang cukup senior dan penulis pemula, bergabung tanpa ada sekat yang memisahkan. Sekedar sharing info atau pengalaman di bidang tulis menulis.

Saya sendiri hadir sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam lebih cepat sebelum acara pembukaan dimulai. Begitu memasuki ruangan, saya langsung menemukan tiga orang pria berbagai usia sedang berbincang serius. Tanpa malu-malu saya mendekati mereka dan berlagak ‘Sok Kenal Sok Dekat’, mendengarkan perbincangan dengan seksama. Ikut nimbrung sekali-sekali tanpa diminta. Dari curi-dengar pembicaraan tersebut, saya ketahui bahwa salah satu dari tiga pria yang mengaku telah berusia tujuh puluh tahun itu adalah penulis. Saya tidak menanyakan banyak mengenai tulisan-tulisannya, sebab saya takut, jangan-jangan ia orang hebat di Medan. Sehingga, tidak mengetahui siapa dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka daripada malu, saya hanya mendengarkan ceritanya saja.
Beliau mengatakan bahwa Medan dulu, sarangnya penulis hebat. Saya tak menyangkal sebab memang pernah membaca nama-nama penulis tersohor dengan karya melegenda, banyak yang berasal dari Medan atau wilayah Sumatera Utara. Sebut saja Chairil Anwar, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana (pelopor pujangga baru), Merari Siregar serta segudang nama-nama lain yang akrab di telinga masyarakat bahkan dalam skala nasional dan internasional. Karya-karya mereka yang bombastis telah mampu mewarnai bahkan sebagian memutar-mutar ‘kompas’ dunia sastra.

Bapak berumur tujuh puluh yang tak saya ketahui namanya tersebut—karena terlalu segan untuk bertanya—menyayangkan betapa prestasi itu sekarang hampir sirna. Banyak yang beranggapan, penulis merupakan kalangan marginal yang hanya dilakukan orang-orang tak punya pekerjaan. Atau yang lebih menyedihkan lagi ada yang menganggap bahwa penulis BUKAN pekerjaan—kecuali kalau anda sudah punya sebuah buku bestseller tentunya. Dan betapa ia menginginkan bahwa penulis-penulis lokal nun jauh di pelosok Sumut turut jua dihadirkan dalam acara serupa ini untuk membagikan pengalamannya. Sebab katanya ia kenal dengan banyak penulis hebat yang ‘tenggelam’ dalam dunianya sendiri dan tak diberi kesempatan untuk berbagi.

Perbincangan kami lerai saat undangan yang datang semakin ramai. Bapak yang bahkan hingga detik terakhir tak saya ketahui namanya tersebut—terkutuklah saya—bergabung dengan para penulis ‘senior’ lainnya. Sedangkan saya duduk dengan ‘teman baru’, beberapa mahasiswa IAIN yang juga merupakan peserta pertemuan.

Acara pun dimulai. Jangan ditanya, molor dari waktu yang tertera di undangan itu sudah pasti. Kata sambutan dari ketua panitia mengawali semuanya dengan beberapa laporan mengenai kegiatan tersebut. Segera saja acara dibuka secara resmi oleh yang mewakili Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumatera Utara. Ibu Suryanti, S. E, Kabag Layanan dan Teknologi BPAD Sumut selaku perwakilan memulai dengan pesan-pesan yang amat jelas. Bahwa penulis sebagai agent of knowledge adalah mitra perpustakaan. Ia mengajak agar penulis menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Baginya, tak ada penulis, maka tak ada perpustakaan.

Setelah rehat sejenak untuk sholat ashar dan coffee break, sesi pertama pun dimulai. Sesi ini memaparkan tema Peran Perpustakaan Daerah Sebagai Pusat Deposit. Yang menjadi pembicaranya tak lain tak bukan adalah Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumut, Bapak Hasangapan Tambunan, S. Pd, M. Si. Beliau mensosialisasikan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Salah satu butir dari undang-undang itu adalah ‘Setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia, wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan.’ Selain untuk menambah koleksi dan khasanah perpustakaan juga untuk barang bukti jika di belakangan hari terjadi plagiasi pada karya tersebut. Bapak Tambunan menambahkan bahwa dalam hal ini penerbit lah yang berkewajiban menyerahkan karya cetak tersebut, akan tetapi ia meminta agar penulis mengerti akan adanya UU tersebut dan membantu mensosialisasikannya. Karena tujuan sebenarnya adalah melindungi ‘karya’ para penulis itu sendiri.

Sesi pertama berakhir setelah pembicara menjawab pertanyaan dari beberapa peserta. Tanpa jeda, tepat pada pukul 17.30 WIB, sesi kedua pun dimulai. Dan pada hari itu juga saya baru tahu, bahwa Medan memiliki seorang penulis khusus biografi yang cukup produktif. Mulai tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menulis setidaknya lima belas buku biografi tentang beberapa tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Artikelnya juga sudah sering bertengger di koran-koran lokal Medan, salah satunya koran Analisa. Mungkin namanya sudah tak asing bagi pembaca Analisa, beliau bernama Bapak Ir. Jannerson Girsang. Pria berusia 53 tahun ini, bercita-cita akan menggenapkan buku biografinya menjadi dua puluh. Dan buku ke-dua puluh yang ingin ditulisnya adalah tentang perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang penulis biografi. Beliau memiliki sebuah quote yang menarik “Jika seseorang meninggal, dan kisahnya belum dituliskan, maka itu artinya sebuah perpustakaan telah terbakar.” Ia mengatakan bahwa semua orang harus menulis dan pasti bisa menulis. Beliau tidak percaya bahwa menulis itu bakat, menulis itu keterampilan yang bisa diasah. Kuncinya hanya tekun dan fokus. Setidaknya pasti bisa menuliskan tentang kejadian dalam hidupnya sendiri. Jika ternyata tulisan kita bisa menginspirasi kehidupan orang lain, tentu itu menjadi sebuah nilai tambah yang positif.

Tepat saat adzan maghrib berkumandang, pertanyaan terakhir dari peserta tuntas dijawab pembicara yang baru saya sadari blog-nya pernah saya buka sehari sebelumnya. Ketika itu saya ingin mencari informasi tentang Pertemuan Pembaca dan Penulis yang akan saya ikuti. Saya membaca artikel tentang pengalamannya bertemu penulis senior di ajang serupa empat tahun yang lalu. Di akhir sesi, saya mengikat banyak inspirasi dari orang hebat yang rendah hati ini. Salah satunya, pekerjaan yang tak pernah bisa dipecat dan tak memiliki masa pensiun adalah PENULIS. Maka, menulislah.

Selepas maghrib dan makan malam, sesi ketiga pun dimulai. Tanpa terlihat lelah dan tetap bersemangat para peserta antusias menyambut pembicara yang akan menyampaikan tema Gemar Membaca: Cikal Bakal Hasrat Menulis. Moderator memperkenalkannya dengan nama DR. Azhari Akmal Tarigan, M. A. Dan kembali saya tertegun, bahwa banyak penulis lokal yang namanya bahkan baru saya dengar hari ini. Tidak sefamiliar nama Andrea Hirata atau J. K. Rowling nun jauh di England sana memang. Akan tetapi kemampuannya dalam menulis mungkin bisa jadi sekaliber penulis-penulis terkenal itu, bahkan mungkin melampaui. Dengan rendah hati ia memperkenalkan buku-buku yang pernah ditulisnya. Hampir semua diterbitkan oleh penerbit lokal dan kebanyakan adalah buku mengenai Ekonomi Islam yang menjadi subjeknya saat mengajar mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Namun ada juga buku-buku bertema lain yang masih tak jauh dari dunianya. Yakni dunia pendidikan.

Sambil berkelakar pria berkumis yang tulisannya sering wara-wiri di koran Waspada ini menyampaikan, bahwa salah satu bukunya sudah ada yang terjual sebanyak empat ribu eksamplar lebih tapi tak jua menuai cap ‘bestseller’. Itu terjadi karena buku tersebut 'wajib' dibeli untuk pegangan santri di sebuah Pondok Pesantren. Semua orang tertawa. Dan saya berpikir, bahwa beginilah seyogianya pendidik itu. Bisa menulis buku sendiri sebagai buah pikirannya untuk dijadikan bahan mengajar.

Beliau menyampaikan banyak motivasi-motivasi agar menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya orang Indonesia. Meski perut t’lah kekenyangan dan malam semakin menua, namun tak ada peserta yang mengantuk. Semuanya larut dalam suasana penuh motivasi yang dikemas apik dalam canda oleh Pak Tarigan. Banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk membuat Negara dengan budaya ‘oral’ ini menjadi Negara berbudaya membaca dan menulis. Salah satunya, jangan malu untuk membaca di tempat-tempat umum. Dalam sebuah antrian di negara-negara maju, orang-orang akan menghabiskan waktunya dengan membaca. Di Indonesia orang lebih senang mengobrol ngalor ngidul atau mungkin memainkan gadget-nya daripada membaca. Mulailah dari orang-orang yang ngakunya komunitas pembaca atau penulis, kutipnya dari salah seorang peneliti.

Di akhir sesi tak ada lagi yang bisa beliau katakan selain membaca lalu menulis lah! Membaca lalu menulis lah! Jika anda datang ke toko buku, mulailah buat perhitungan. Seperti yang telah dilakukannya. Misalnya saat menemukan buku bagus seharga enam puluh ribu rupiah, mulailah membuat perhitungan. Dari buku ini kita bisa menuliskan review-nya, itu bernilai sekian. Dari buku ini kita bisa menuliskan sebuah artikel, itu bernilai sekian. Jika balik modal bahkan untung, maka beli! Itulah enaknya jadi PENULIS, tandasnya sambil tertawa. Memang kata-kata itu terlihat ringan dan bagi sebagian pandangan tendensius terkesan materialistik. Tapi ini bermakna sangat dalam bagi jiwa yang berpikir. Bahwa membaca itu bukan hanya menakluklan ejaan-ejaan aksara lalu memahami makna. Membaca itu adalah proses berpikir yang darinya kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran baru. Budayakanlah Membaca dan Menulis, hai orang Medan pada khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Jadikan masyarakat kita ini menjadi Reading Society, masyarakat pembaca untuk menuju Learning Society, masyarakat pembelajar. HORAS.

Medan, 26 September 2014
Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd
Peserta Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumut ‘14

Sumber:  http://m.kompasiana.com/post/read/676614/3/pertemuan-pembaca-dan-penulis-sumatera-utara-tahun-2014-menciptakan-masyarakat-pembaca-reading-society-menuju-masyarakat-pembelajar-learning-society.html,

Rabu, 24 September 2014

"Kaulah Hartaku Paling Berharga, Aku Tak Tega Membungkusmu"

Oleh: Jannerson Girsang

Malam itu adalah puncak dari segala kesabaran seorang istri, karena permainan judi suaminya sudah sangat menjengkelkan. Sang suami tidak peduli lagi dengan keadaan rumah tangganya. Bahkan malam Natal atau Tahun Barupun dia semalaman di tempat judi.

Menjelang tengah malam, suatu malam Tahun Baru, sang istri sedang menunggu di rumah. Karena berkali-kali di malam Tahun Baru suaminya tidak pernah lagi bersama keluarga. Malam itu, meski sudah dihubungi beberapa kali melalui handphone, suaminya tidak muncul-muncul.

Kebiasaan buruk ini sudah berlangsung tahun demi tahun selama mereka berkeluarga.

Suaminya merasa lebih asyik di meja judi, ketimbang merayakan perpisahan tahun dengan istri dan anak-anaknya.

Menunggu sang suami pulang, sang istri memegang sebilah  pisau parang yang sudah diasahnya sejak beberapa jam sebelumnya, dan ingin menghabisi suaminya, saking kesabaran sudah hilang. .

Begitu si suami tiba di rumah, lewat tengah malam dan acara kebaktian perpisahan tahun sudah selesai, pisau yang sudah dipersiapkannya langsung diarahkan menebas leher suaminya.

"Saik........" terdengar bunyi pisau yang sudah mengkilap itu.

Untungnya di masa mudanya sang suami  adalah jago karate, sehingga dengan sigap, dia bisa mengelak, dan hanya tergores sedikit, dan tentunya sang istri juga mulai menurun emosinya.

Tapi, emosi si istri tidak langsung padam. Tapi,amarahnya ditumpahkan dengan mengusir suaminya.   .

"Malam ini juga, bawa semua barang-barang berharga milikmu dan keluar dari rumah ini," katanya sambil menjatuhkan pisaunya.

Karena takut di "pisau" lagi dan tidak ingin ribut didengar tetangga si suami menurut saja perintah istrinya . Dia memasukkan ke goni besar, semua pakaiannya. Semua barang-barang berharga miliknya.

"Hayo cepat. Jijik aku melihat kelakukanmu, jijik aku melihat tampangmu, cepat keluar?"kata istri, sambil bertolak pinggang.

Si Bapak menunduk saja sambil mengangkat goninya ke depan pintu. Kemudian dia berdiri memandang istrinya.

"Hei, apa lagi. Kalau semua barang berhargamu sudah dimasukkan, silakan angkat kaki dari rumah ini!," perintah keras istrinya.

Si suami dengan muka memelas menghampiri istrinya.

"Satu lagi barang berharga yang kumiliki belum masuk dalam goni ini Ma," katanya
Sang istri langsung berteriak mengungkapkan kemarahannya.

"Jangan buat alasan macam-macam. Kalau ada, masukkan cepaaa....at!" balas istrinya dengan suara meninggi bercampur emosi.

Si suami dengan suara memelas, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah diduga sebelumnya oleh istrinya.

Dari hatinya yang terdalam dia sangat menyesali perbuatannya. Kesabaran istrinya disalah artikannya. Ternyata perbuatannya yang jahat menimbulkan kebencian di hati istrinya yang makin hari makin membatu.

Dengan berlinang air mata, dia lalu mendekati istrinya dan berkata:

"Kaulah sayangku, istriku. Kaulah hartaku paling berharga di dunia ini. Aku tidak tega membukusmu di dalam goni ini," katanya.

Anda tebak...kisahnya kemudian! Kalau Anda menjasdi seorang istri, apa yang Anda lakukan?

Medan, Menjelang Tengah Malam, 24 September 2014

(Dimodifikasi dari khotbah Syamas br Purba, dalam partonggoan malam ini di Sektor 1. Tentu saja kami berterima kasih kepada Pdt Masniari Damanik, yang mengajarkan kami sermon dengan contoh-contoh yang menginspirasi untuk berubah)

Suami Mau Dicintai Anak, Cintailah Istri

Oleh: Jannerson Girsang


"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya,"

Demikian kata Prof Dr Belferik Manullang, seorang pakar pendidikan karakter dari Unimed Medan, dalam ceramahnya berjudul "Membentuk Karakter Bangsa" Sabtu lalu, di Pardede Hotel.

Barusan saya membaca status FB putri tertua saya, Clara, tentang ibunya pagi ini.

"Emang paling enak kalo bareng mamak.. Subuh ini diberangkatin mamak, semua barang dicek.. Trus dimasukin barang2 yg sekiranya perlu untuk anaknya.. Dibuatin teh manis hangat".

Lantas, ibunya diminta menjaga anaknya, cucu pertama kami Andra. Clara akan bertugas ke luar kota seminggu. Buat pembantu tugas seperti itu pasti sebuah beban. Tapi buat neneknya itu pasti suka cita. Istri saya pasti menjaganya dengan penuh kasih sayang.

Kapan seorang bapak bisa melakukan hal seperti ini?

Kecil, sepele, tetapi sangat mendasar, dilakukan dengan hati, penuh kasih sayang.


Ibunya sudah berada di Jakarta beberapa minggu, dipesan tiga putri kami untuk tinggal sementara,  "melepas rindu", menjaga cucu dan mendampingi putri saya kedua yang sudah hamil empat bulan.

Tentu berat bagi saya di Medan, tapi ini semua demi anak-anak. Kasih sayang tidak cukup diberikan tanpa tatap muka, mengalami bersama keseharian, menciptakan kehangatan yang tak bisa diganti dengan apapun. Sulit melukiskannya. Kerinduan masa kecil  mereka yang tidak bisa dibayar dengan apapun. .

Dulu semasa masih kecil, dan masih tinggal bersama-sama di Medan, mereka selalu mencari mamanya. Kalau mamanya tidak ada dua jam aja, mereka akan sangat kehilangan.
"Mana Mama?". "Mana Mama?".

Itulah ungkapan anak-anak setibanya di rumah pulang sekolah atau dari tempat lain. Padahal, bapaknya sudah ada di rumah.

Anak laki-laki saya Bernard, setiap pulang dari Pangkalan Susu, selalu bertanya: "Kapan Mama Pulang, Pak".

Kadang saya iri juga padahal kita ada dan cari duit buat mamanya...he..he.

Memang, fakta sehari-hari, ibu sangat dekat dengan kebutuhan dasar anak-anak.

"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya," kata Professor Belferik. Main-main atau setengah hati mengasihi istri!. Risikonya: Anda tidak akan dicintai anak-anak. Suami akan selalu disalahkan anak-anak!.

Itu pengalaman saya juga. Mudah-mudahan jadi pelajaran buat teman-temanku para suami.Mari kita belajar dan belajar terus. Tidak ada suami yang sempurna, hingga ajal menjemput kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki kesalahan menuju kesempurnaan.

Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri.

Clara Girsang, selamat bertugas ke Sumbawa ya nang, Patricia Girsang, jaga mama baik-baik, Devee Girsang, target..target, target!, Bernard Patralison Girsang: keep good relation with your boss and partners, Yani Christin Girsang: semua akan indah pada waktunya, Hilda Valeria Girsang: keep quality, Trisha Melanie Girsang: I am proud of you. Frederick Simanjuntak: selamat bertugas di Riau, semoga bisa bertemu keluarga di sana dan titip salam buat semuanya. Anja Novalianto: bersyukur dengan apa yang sudah dicapai.

Tuhan memberkati kita semua. .

Medan, 24 September 2014

Selasa, 23 September 2014

Pisang Ambon, Kenangan Masa Kecilku

Oleh: Jannerson Girsang

Makanan "enak" di masa kecil tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Pisang Ambon, itulah salah satu makanan paling enak di masa kecilku, dan hingga kini menjadi buah yang selalu kurindukan. Rasanya, baunya dan suasana ketika memakannya di masa lalu, menjadi kenangan yang khas.

Suatu ketika, dalam perjalanan menuju Sibolga, rombingan kami makan di sebuah kedai nasi di Prapat. Saya melihat pisang Ambon dijual di sebelah kedai yang persis di pertigaan jalan ke Hotel Niagara.

Siang itu, saya membeli sesiir karena teringat masa kecilku. Tidak sempurna rasanya habis makan siang tidak makan pisang ukuran "jumbo" itu.

Pisang itu jadi sarapan sore di mobil, ketika melintasi kelokan-kelokan tajam Tarutung-Sibolga. Saya benar-benar puas makan pisang itu, entah hingga beberapa buah,.

Waktu saya masih anak-anak di kampung, pisang ini hanya bisa kumakan sekali seminggu, saat hari Pekan di Saribudolok, hari Rabu.

Menunggu ibu saya pulang dari pekan, rasanya sangat lama. Kadang orang tua temanku sudah datang, tapi ibu belum muncul. Sedih dan ngiler rasanya membayangkan teman-teman makan pisang Ambon.

Pemberhentian bus kebetulan tidak jauh dari rumah kami. Dari pintu rumah, saya dan adik-adikku semua mengamati apakah ibu kami sudah ada di dalam bus.

Kalau ibu datang, semua bersorak kegirangan dan langsung menjemputnya, membantu mengangkat barang bawaannya.

Bayangkan, berjam-jam menunggu di rumah merindukan pisang Ambon. Buahnya besar, manis dan bagi kami penduduk desa, tak terkatakan enaknya.

Di kampung kami di dataran tinggi 1400 meter di atas permukaan laut, pisang Ambon pernah dicoba ditanam, tapi tidak berbuah. Pisang Ambon cocok ditanam di pinggiran pantai Danau Toba, seperti Haranggaol, Tongging, dan daerah peisir pantai lainnya di Danau terbesar di Asia Tenggara itu.

Sayangnya, karena kami keluarga besar, setiap prang paling bisa dapat satu buah. Begitu ibu sampai, setiap orang mendapat satu. Pastilah kurang, Kadang kalau kebetulan tidak ada orang di rumah, saya sering mencuri, dari para-para tempat ibu menyimpannya.

Selain Pisang Ambon, mama saya juga membawa "rondang jagung" dan kembang gula. Kembang gula menjadi makanan favorit, selain Pisang Ambon.

Rabu malam merupakan malam "lezat" karena ada ikan mujahir yang diarsik, sehingga nasinyapun 3 piring. Sehabis makan malam kami mendapat pisang Ambon, satu seorang. Habis makan, dilanjut dengan makan pisang Ambon

Anak-anak makan tiga piring nasi "sigambiri", ditambah lagi pisang Ambon, perut jadi buncit, dan susah bermanfaat.

Sekarang saja, saya hanya mampu menghabiskan satu piring, untuk ukuran dulu.


Waktu kecil saya memang jago makan, karena pulang sekolah, harus ke ladang. Apalagi hari libur, pukul enam sudah berangkat dan bawa bekal seukuran tiga piring nasi merah "sigambiri". Kalau hari-hari biasa tidak akan ada lagi pisang Ambon, karena saat malam Rabu itu semua sudah habis.

Sedih juga ya kalau diingat-ingat. Sulitnya kehidupan masa lalu.

Puluhan tahun kemudian, ketika kami tinggal di Pematangsiantar, putri tertua saya Clara Girsangg, waktu kecil diberi pisang Ambon. Setelah dikuliti, dagingnya dikikis dengan sendok.
Ternyata pisang Ambon sangat cocok untuk bayi. Apalagi buburnya nasi "sigambiri:. Mungkin itu sebabnya Clara jadi gemuk, he..he..he

Pisang Ambon, kenangan manis masa kecilku.

Hayo, silakan dimakan!

Pagi yang Bersemangat

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini sekitar pukul 05.30, saya dan anak laki-laki saya Bernard berdoa berdua di kamar sebelum dia berangkat ke Pangkalan Susu, tempatnya bekerja.

Terima kasih Tuhan, betapa Tuhan sangat berkuasa dan memberi kami kekuatan dalam mengarungi kehidupan ini.

"Saya berangkat ya Pak,sendiri lagi nih" katanya.

Saya terharu mendengarnya, karena kebersamaan kami selama dua hari ini berdua di rumah, harus kembali lagi ke kesendirian masing-masing.

"Selamat jalan ya Pa, Bernard. Hati-hati di jalan," kataku dan memeluknya, melepasnya pergi dengan sepeda motornya yang akan menempuh jarak 120 kilometer.

"Semangat ya Pak. Nanti kalau saya udah sampai, langsung sms." katanya.

Ucapan yang sudah puluhan kali membesarkan hatiku, setiap memberangkatkannya sekali seminggu ke tempat kerjanya.

Saya memang beruntung, karena meski sendiri, saya merasa rame dengan kesibukan sehari-hari, di luar kantor. Banyak teman-teman yang bekerja sama sepanjang hari bahkan sepanjang Minggu,".

Pulang kantor, latihan koor dua kali seminggu, sermon, kebaktian di rumah-rumah kadang saya hadiri dua kali seminggu, menghadiri pertemuan-pertemuan, pesta atau kadang memberi pembekalan bagi para penulis, seperti yang kulakukan minggu lalu dan minggu ini..

Kembali ke rumah sebagai istanaku, mencicil pekerjaan menulis yang sudah menanti. Rumah sebagai tempat bekerja, sekaligus berteduh, mencari kekuatan baru untuk hari berikutnya.

Pagi-pagi membuat sarapan sendiri, makan siang dan malam selalu di luar dan kadang di rumah jemaat.
Semoga semua anak-anak, putriku bersuka cita di manapun mereka berada.

Salam buat istri tercinta, yang menemani anak-anak di Depok, dan semua anak-anakku, . Clara Girsang, Patricia Girsang, Devee Girsang, Bernard Patralison Girsang, Yani Christin Girsang, Hilda Valeria Girsang, Trisha Melanie Girsang. Menantu-menantuku yang baik : Anja Novalianto dan Frederick Simanjuntak.

Have a nice day. Clara, selamat menjalankan tugas besok ke Sumbawa, menantuku Erick, selamat bertugas hari ini ke Duri. Hadapi semua tugas dengan suka cita.

Medan, 23 September 2014

Senin, 22 September 2014

Cucuku Andra


Oleh: Jannerson Girsang


Cucu!. Terbayang sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan,
membuat impian jadi kenyataan, tersenyum lebih banyak dari sebelumnya.

Melihat foto Andra, cucu pertamaku berusia satu tahun  di tengah tante, ompungnya, udanya dan mama papanya, membuatku sukacita di pagi ini.

Benarlah kutipan yang kubaca, "No joy on earth brings greater pleasure than a grandchild to love and treasure".

Saya teringat ketika Ayah saya dulu suka memukul saya dan melarang banyak hal yang saya lakukan. Tetapi kepada cucunya--anak-anak dan putriku, dia tidak pernah memukul, bahkan kalau saya memarahi anak saya saja, dia pasti marah.

Kini saya paham!. Sikap kita berbeda kepada anak dan kepada cucu. Cucu adalah segalanya. Mereka adala cinta dan harta paling berharga. Sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan!

Pagi ini saya melihat gambarnya yang ceria dan serasa hadir dalam gambar itu, berada di sampingnya. Rinduku tak terhankan. Ingin menggendongnya, membawanya jalan-jalan di lapangan dekat rumahnya.

Sebuah berkat Tuhan bagi saya, meski saat ini sendiri di rumah. Wajah cucuku, setiap pagi memberiku kesejukan. Video dan gambar-gambarnya senantiasa menghibur, lebih dari suka cita yang lain.

Selamat pagi cucuku, Andra sampai jumpa!.

Terima kasih untuk menantuku Anja Novalianto, yang tela memberiku Andra dan Frederick Simanjuntak yang sedang menunggu kelahiran cucuku. You are great son in law!. Keep peace!

Salam untuk mama yang makin cantik..bersama cucunya .he..he. Tante kecilnya Andra, putri bungsuku Devi yang sedang mempersiapkan skripsinya..God Bless All.






Foto kiriman putriku Clara Girsang pagi ini.  Andra sedang makan malam bersama mama, papanya, udanya Frederick Simanjuntak, istriku, dan Devi (Putri bungsuku), di daerah Depok, Jakarta, 21 September 2014

Minggu, 21 September 2014

Sapangambei Manoktok Hite (1)

Oleh: Jannerson Girsang

Rumor (kabar burung), sms gelap akan mendatangkan kecurigaan, keresahan, bahkan berujung pada permusuhan.

Nilai-nilai yang baik mungkin akan terkubur. Orang yang menangguk di air keruh akan diuntungkan untuk sementara. .

Ujung-ujungnya tak ada yang bernilai, sebab semua akan hancur berantakan.Semua jadi hitam.

Rumor biasanya muncul karena kepentingan sesaat yang ingin dipaksakan oleh individu atau kelompok, bukan kepentingan bersama.

Marilah memberitakan yang benar untuk kepentingan bersama, jangan tebar kabar burung, apalagi pencitraan yang jelek bagi sesama untuk mencapai kemenangan sesaat. .

Menanam kebencian akan menuai kehancuran, menanam kebaikan akan menuai kedamaian, suka cita.

Marilah, "Sapangambei manoktok hitei: marsiurupan (saling bertolongtolongan), marsitogu-toguan (saling menopang), marsiarahan (saling mengajak ke kebaikan), sapangahapan (seperasaan)".

Terima kasih untuk Pdt YR Saragih yang telah menciptakan lagu yang sangat indah bagi kami.

Selamat Pagi! .

SUKSES: Haruskah Menghilangkan Hal yang Paling Hakiki?


Sebuah keluarga mendapat pujian di sebuah kampung karena ke delapan anaknya sukses. Ada yang menjadi doktor, master dan sedikitnya sarjana.

Pekerjaannyapun relatif bagus dan semua menghasilkan pendapatan yang memungkinkan mereka berwisata kemana saja di seantero dunia ini. Semua tinggal dengan jarak minimal dua jam, atau ada yang lebih dari 10 jam pesawat, dan lima jam perjalanan darat dari rumah orang tuanya.

Di masa tuanya, bertahun-tahun orang tua mereka di kampung hanya hidup berdua, setelah sekian tahun menyekolahkan, menikahkan dan juga mengunjungi cucu-cucunya baik yang berada di ibu kota maupun di luar negeri. Meski anak-anak sudah sukses, tetapi orang tua ini selalu memilih hidup di desanya.

Kalau dilihat dari kemampuan financial orang tuanya dulu, tidak ada orang di kampung itu yang menduga keadaan mereka seperti sekarang ini. Orang tua ini hanyalah seorang petani. Memang berada di atas rata-rata yang dicapai penduduk desa itu. Tapi sehebat-hebat orang kampung, bisa dihitung kemampuannya kalau kemudian mereka bisa berlibur ke Amerika. Semua karena "sukses" tadi.

Suatu ketika, sang ayah sakit keras. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan dan merindukan anak-anaknya bisa kumpul, layaknya Yakub yang ingin memberikan petuah-petuah dan ingin petuah terakhirnya itu disaksikan semua anak-anaknya.

"Saya rindu seperti kalian anak-anak dulu. Kita makan dan berdoa bersama saat makan malam. Itulah kerinduanku yang terakhir," demikian sang ayah berpesan kepada semua anak-anaknya.

Saat itu, hanya dua dari delapan orang anaknya yang bisa memenuhi keinginan sang ayah. Berbagai macam alasan mengejar sukses itu, menyebabkan mereka tidak bisa hadir. Kalau soal uang, semua anak-anaknya mampu menyediakan berapapun yang dibutuhkan ayahnya yang sedang sakit itu.

Ayahnya tidak membutuhkan materi. Semua sudah dia miliki. Dia hanya membutuhkan kehadiran anak-anaknya, dia ingin menumpahkan kasih sayangnya yang terakhir yang tak bisa dinilai dengan apapun. .

Sayangnya, untuk memenuhi permintaan sang ayah, keenam anak yang berada di luar negeri dan memiliki jadwal yang cukup padat itu, tidak bisa hadir.

Sang ayah kemudian meninggal dunia. Dengan terpaksa semua anak-anak datang dan menghadiri pemakaman sang ayah yang dilaksanakan secara besar-besaran. Maklum, mereka adalah orang yang terpandang.

Seorang anaknya menangis. "Ayah, ketika kami meminta belanja kuliah dahulu, ayah tidak pernah memiliki alasan untuk tidak memenuhi belanjaku. Ketika aku sakit waktu kuliah, ayah langsung meminjam uang untuk ongkos Tapi, cuma satu permintaanmu hadir beberapa hari sebelum ayah meninggal, saya tidak bisa. Ayaah..untuk apa semua ini kulakukan?. Maafkan aku ayah,"

Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya juga tidak mau meninggalkan kampungnya. Rasa sedihnya ditinggal suami membuatnya kadang sekali seminggu harus berziarah. Alasan yang masuk akal.

Usianya yang makin tua, dalam kesendiriannya di kampung, meski didampingi seorang baby sitter perawat, tak mampu menahan ketuaan dan daya tahan tubu yang makin melemah. Akhirnya suatu hari, dia jatuh sakit, dan sakitnya sangat serius

Mungkin instict seorang yang sudah uzur, seolah dia mengetahui ajalnya sudah dekat, dia kembali berpesan agar anak-anaknya kumpul. Sama seperti permintaan suaminya yang beberapa tahun sudah mendahuluinya, permintaan ibu inipun tidak dapat dipenuhi anak-anaknya.

Sibuk, dan tidak memiliki waktu kembali ke kampung adalah alasan dari anak-anaknya yang tidak bisa hadir. Ibunya ingin mengingat masa lalu mereka dimana makan malam adalah sebuah suasana paling indah. Dima kecil anak-anaknya, sang ibu sudah menyiapkan semua makanan dan minuman dan semuanya makan dan berdoa bersama.

Akhirnya sang ibu meninggal dunia. Dengan "terpaksa", semua harus hadir, termasuk cucu-cucunya. Putri bungsunya yang bekerja di Amerika menangis dan sedih bukan main.

"Mama.....aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang terakhir. Padahal Mama selalu siap sedia, bahkan ketika cucumu lahir, Mama kupaksa tinggal di rumahku sebulan lebih, sampai aku sehat betul. Semua permintaanku dipenuhi Mama. Untuk apa semua ini Mama. Maafkan aku mama, maafkan aku"

Semua pelayat yang disampingnya terharu dan tak sadar harus menghapus air matanya dengan Ulos Batak Berwarna Hitam itu.

Salah seorang pelayat berkata: "Sebenarnya apa yang kita cari di dunia ini yah?".

Sukses, apakah harus mengorbankan hal yang lebih penting?

Orang tua selalu memegang prinsip: Kasih sayangku jangan kau sangsikan!

Tapi, alasan-alasan sibuk, tidak bisa meninggalkan tugas, mengejar sukses, untuk memenuhi permintaan terakhir orang tua, sering dimaafkan.

(Terinspirasi dari Ceramah Prof Dr Belferik Manullang hari ini).

Medan, Malam Minggu 20 September 2014

Jumat, 19 September 2014

KARAKTER: Berapa Orang yang Merindukan Kita?

Oleh: Jannerson Girsang

“Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” (Helen Keller)

Ketika saya menulis biografi atau otobiografi, karakter tokoh sangat penting. Nilai seseorang terletak pada karakternya.

Salah satu cara menentukan karakter adalah dengan mengamati dan mencatat ucapan-ucapannya, ketika merespons sesuatu: tantangan, keberhasilannya, tanggapan orang lain terhadapnya.

Di FB semua orang yang memiliki akun, menuliskan responnya terhadap keadaan sekelilingnya, responsnya terhadap teman, dan responnya terhadap dirinya sendiri. Mereka menunjukkan karakternya masing-masing dan tentunya menerima upah dari karakternya sendiri, karena karakter itu berkekuatan mempengaruhi dan menimbulkan respon dari orang lain.

Ada yang merespon positif, karena dia merasa terinspirasi, termotivasi dll, atau ada juga merespon negatif karena merasa tersakiti, terlecehkan dll.

Karakter bisa menimbulkan dampak orang lain merasa senang, terinspirasi, mendapat pelajaran, tertawa karena lucu. Hidupnya menjadi lebih berharga, termotivasi.

Karakter yang muncul bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman, tersakiti, terlecehkan atau bahkan menangis karena sedih. Hidupnya menjadi demotivasi.

Pengalaman saya dari sekian banyak tokoh yang saya amati, menunjukkan bahwa seseorang berkarakter baik mampu : "menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa".

Dia memaknai orang lain sebagai penolong bagi dirinya dan memahami cara bertindak bagaimana orang lain merasa agar hidupnya LEBIH berharga.

Tugas kita adalah mencari dan menjadikan sebanyak mungkin manusia dimana kita bisa sama-sama tertawa dalam kebahagiaan dan sama-sama menangis dalam kedukaan menuju "Long Life Friendship", bukan persahabatan hanya karena kepentingan sesaat, b
ukan, "kalau menguntungkan lanjut besahabat, kalau tidak pisah saja"

Sudah berapa orangkah kita memiliki teman yang bisa berbagi seperti itu?. Sebab hidup di dunia ini adalah menjadi berbuah bagi orang lain. 

Buahnya, "Berapa orangkah yang kita doakan, dan sebaliknya mendoakan kita setiap hari". Berapa orang yang merindukan kita, atau lebih jauh, seorang ahli motivasi berkata:  "How many people will cry when you die?"

Sesuatu yang perlu menjadi perenungan setiapsaat, tidak mudah, karena harus melintasi berbagai pengalaman ujian dan penderitaan.

Pengalaman Helen Keller, buta dan tuli sejak usia 19 bulan, tapi mampu menjadi pembicara, politisi dan 18 orang berpengaruh dunia, perlu kita simak.

"Karakter tidak dapat dikembangkan dengan mudah dan suasana tenang. Hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa karakter dapat semakin diperkuat, visi dibersihkan, ambisi diilhami, dan keberhasilan dicapai"

Karakter dapat dibentuk, tapi ada prosesnya!  Mari kita bersama-sama berproses. Kita semua tidak sempuna. Proses perjalanan hidup akan menyempurnakannya.

Selamat Pagi!


Medan, 19 September 2014 

Kamis, 18 September 2014

Pengalaman Bahasa Oral dan Tulisan

Oleh: Jannerson Girsang


Pengalaman menggunakan bahasa Indonesia, menulis dalam bahasa Indonesia saya cukup unik.
Sampai usia 16 tahun saya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara oral, karena tinggal di desa dan hampir tidak ada lawan bicara.

Kalau sekali-sekali orang-orang kota datang, kami hanya diam-diam saja. Pernah saudara saya datang, selama tiga hari, tidak berkomunikasi. Bersama tapi tidak bicara. Baru dua hari, dia belajar bahasa di kampung dan kami berkomunikasi dalam bahasa kampung kami .

Kadang kami pergi kalau disapa dengan bahasa Indonesia. Mungkin malu

Kadang pakai bahasa tubuh, atau sekali-sekali menggunakan bahasa Indonesia yang "menggelikan". "Sudah rata semua", maksudnya, "Sudah hijau semua". Bahasa Simalungun "rata" artinya hijau.

Mirip, ketika saya berkunjung ke desa di pedalaman Nias pada 2005-2006, bahkan 2011. Lucu sekali kalau mengingatnya.

"Berapa anaknya Ibu," saya sapa seorang ibu di desa padalaman Nias.

"Ha..ha..ha..," katanya sambil memilin-milin sirihnya dan tidak ada jawaban atas pertanyaan saya. .

Saya baru menggunakan bahasa Indonesia saat sekolah di SMA. Setahun lebih, saya bergaul dengan teman-teman SMA di SMA 2 Pematangsiantar. Bahasa Indonesianya masih "berpasir-pasir".

Dengan bermodalkan kemampuan berbahasa seperti itu, belum fasih benar berbahasa Indonesia, kemudian tahun kedua saya hijrah ke SMA 22 Jakarta.

Pasti kang Ahmad Hilmi, teman satu kelas saya di SMA tersebut ketawa-ketawa kalau mengingat saat ketika pertama kali saya sapa di SMA 22 Jakarta..he..he.

Seorang siswa perempuan orang yang pertama saya temui dalam perjalanan dari halte Bea Cukai ke SMA 22 di Utankayu, langsung mengejek saya: "Orang Medan ya". Walau kemudian dia sangat suka menyapa saya di hari-hari berikutnya dan menjadi teman akrab selama SMA .

Awalnya sekolah di Jakarta, saya seringkali bingung mendengar teman-teman yang bicaranya cepat sekali. Layaknya saya mendengar percakapan bahasa Inggeris seorang Amerika sedang berbincang.

Lama-lama, telinga terbiasa dan otomatis memahaminya.

Belajar bahasa Inggeris juga saya peroleh dengan bekerja dan berpartner dengan orang asing. Saya pernah menjadi kontributor media asing, pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing.
Saya punya pengalaman berbicara dan menulis dalam bahasa Inggeris meski hanya untuk dimuat di mediaonline asing atau lembaga asing saja(dengan sedikit edit tentunya). Belum media cetak terkenal.

Belajar bahasa itu harus terjun dan berenang di kolam. Harus mengalami bagaimana rasanya tenggelam, kemasukan air (diejek, khususnya ketika SMA di Jakarta--dibilang BTL), baru kemudian memperbaikinya terus menerus.

Belajar bahasa Sunda saya memperolehnya ketika tinggal di rumah seorang Sunda di Bogor dan tinggal tiga bulan di desa Jasinga, dan selama dua tahun bertugas di Ciamis.

Bahasa Batak Toba juga saya kuasai ketika duduk di bangku SMA di Pematangsiantar, Jakarta dan ketika kuliah di IPB, dari teman-teman Batak Toba.

Belajar bahasa melalui teori tidak banyak menyelesaikan kemampuan berbahasa, juga kemampuan menulis. Belajar bahasa, menulis adalah sebuah ketrampilan, hanya bisa dikuasai dengan praktek, banyak latihan.

Sama dengan menulis biografi atau otobiografi, atau artikel. Saya belajar dengan metode "terjun ke kolam".

Tulis, tulis, tulis dulu, kemudian perbaiki di buku kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Sekarang saya mau tanya, apakah bahasa Indonesia saya sudah cukup baik, secara oral dan tulisan?


Mari sharing pengalaman berbahasa oral dan lisan kita, mungkin ada gunanya buat anak cucu kita.

Medan, 18 September 2014

Menulis di FB

Oleh: Jannerson Girsang

Menulis di FB berarti kita "HADIR DIMANA-MANA, DIBACA SIAPA SAJA, DAN TEREKAM DALAM WAKTU YANG LAMA"

Menulis adalah pekerjaan merangkai kata-kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf, membuatnya menjadi pesan yang bermakna, berguna bagi pembacanya.

Tau nggak kalau Anda menulis di Facebook?.

Tulisan Anda dibaca di mana-mana, oleh siapa saja, dan akan terekam lama oleh dunia ini. Sebab FB adalah jejaring sosial yang memiliki anggota miliaran orang.

Kalau Anda marah, mengumpat, mencaci maki di FB, seluruh dunia akan tau karakter Anda.
Ingat, dunia tidak suka orang yang marah-marah, mencaci maki, melecehkan. Anda juga sama dengan dunia ini, tidak suka juga kan dilecehkan, disakiti.

Sama dengan mahluk hidup yang lain, kita semua suka kebaikan, saling menghargai dan saling menyenangkan satu dengan yang lain.

Karena menulis di FB membuat kita hadir dimana-mana, kapan saja, maka mulailah belajar menuliskan hal-hal yang menyenangkan teman-teman yang lain, membuat hidup mereka terasa lebih hidup. Bukan membuat mereka yang sudah merasa hidup, terus terasa seolah terbunuh (karakternya).

Buahnya, Anda juga akan mendapatkan kesenangan dari mereka. Dengan demikian dunia ini akan semakin damai, hidup kita semakin bermakna.

Kitab Perjanjian Baru berkata: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”

Selamat pagi semua!.

Medan 18 September 2014

Rabu, 17 September 2014

Anggota DPRD Ramai-ramai Gadaikan SK

Oleh: Jannerson Girsang

Isu terhangat dua hari terakhir adalah berita tentang anggota DPRD yang baru dilantik menggadaikan SK, untuk meminjam uang ke bank. "Ini tidak etis", kata seorang pengamat di Metro TV.

60 persen anggota DPRD Bandung, misalnya, sudah menggadaikan SKnya untuk mendapat pinjaman dari bank, dengan nilai antara Rp 100 hingga Rp 250 juta. . "Untuk mencicil per bulannya tinggal memotong gaji setiap bulannya. Untuk cicilan saya hampir Rp 7 juta per bulan dengan masa peminjaman sekitar 50 bulan," kata kader Partai Gerindra, seraya mengaku mendapatkan gaji per bulan sekitar Rp 13 juta.

Artinya, separuh gajinya selama lima tahun sudah dipotong bayar utang. Aneh juga yah, kalau dengan gaji Rp 6 juta sisanya, seorang anggota DPRD hafus membiayai hidupnya yang cukup mewah. Mereka harus menyumbang partainya, menyumbang konstituen: memasang bunga papan pada pesta-pesta, menyumbang rumah-rumah ibadah.

Barangkali kita bisa pro dan kontra. Seseorang memang berhak meminjam uang ke bank sejauh dia memiliki agunan dan bank itu percaya. Boleh kita katakan tidak etis atau etis.

Kita juga tidak perlu menaruh curiga atas tingkah para anggota legislatif itu. Barangkai, kita hanya perlu mengingatkan agar mereka peduli juga nantinya memfasilitas rakyat yang berhak dan layak meminjam dari bank.

Masih banyak rakyat yang berhak dan layak meminjam belum difasilitasi dengan baik. Andai rakyat bisa seperti anggota DPRD, yang seolah secara otomatis memiliki hak memperoleh pinjaman begitu mereka dilantik. Bahkan pihak bank yang datang kepada mereka. Anggota DPRDnya tinggal meminta persetujuan Pimpinan, uang cair!.

Selamat buat anggota DPRD yang sudah dilantik dan mendapat pinjaman dari bank. Semoga kita rakyat ini juga bisa difasilitasi yah!

Medan, 17 September 2014

SIMON SARAGIH: Merampungkan Biografi Taralamsyah Saragih

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini saya mengintip kegiatannya Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas.

Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB, pagi ini saya menyaksikan sampul buku Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.

Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an.

Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun

"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun

(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html).

Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi.

Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset,

Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping.

"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")

"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .

Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. .

Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.

Buku setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.

Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.

Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya.

(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!)

Medan, 17 September 2014.



Photo: SIMON SARAGIH: MERAMPUNGKAN BIOGRAFI TARALAMSYAH SARAGIH

Pagi ini saya mengintip kegiatannya  Simon Saragih, seorang wartawan senior harian Kompas. 

Setelah berbulan-bulan mengikutinya menulis, dan pernah beberapa kali berdiskusi secara langsung, baik melalui telepon dan chating di FB,  pagi ini saya menyaksikan sampul buku  Biografi Taralamsyah Saragih, sudah mencapai draft akhir.

Ingat Taralamsyah Saragih, ingat "Eta Mangalop Boru", sebuah lagu Simalungun yang dipopulerkan penyanyi terkenal Eddy Silitonga di era 1970-an. 

Tentu, Taralamsyah bukan sekedar mencipta lagu, tetapi dia adalah tokoh besar budaya Simalungun

"Saya terpikir bahwa terbitnya buku ini tidak semata-mata menuliskan kebesaran nama Taralamsyah. Buku ini juga sekaligus mengingatkan secara implisit kesadaran akan identitas Simalungun," demikian komentar Prof Dr Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian RI, dalam pengantar buku seperti dilansir dalam website Berita Simalungun 

(http://www.beritasimalungun.com/2014/09/kata-sambutan-prof-dr-bungaran-saragih.html). 

Semoga bukunya cepat diluncurkan dan kita semua dapat membaca isinya, sekaligus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 

Saya sangat terkesan dengan kegigihan dan kesungguhan penulis buku biografi Taralamsyah. Saya menyaksikan sebuah metode baru penulisan biografi yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi. 

Simon secara khusus membuka sebuah akun khusus Penyusunan Buku Ttg Taralamsyah Saragih untuk mendukung informasi yang diperolehnya baik melalui wawancara maupun observasi lapangan dan riset, 

Cara ini belum banyak dilakukan para penulis biografi di Indonesia. Simon mungkin salah seorang pelopornya. Tidak mudah melakukan tugas seperti ini, dibutuhkan waktu dan energi melayani diskusi-diskusi yang kadang "panas" hingga memerahkan kuping. 

"Lang pala ikkon sempurna, roh sandiri do kin penyempurnaan ai ge" (Nggak usah harus sempurna, penyempurnaan akan datang sendiri")

"Tulis apa yang diketahui, selalu dengan asumsi (ai pe pambotoh sanggah manulis), lanjut ma proses dialektika,' katanya. .

Itulah kelebihannya sebagai seorang penulis yang sudah puluhan tahun bergelut dalam dunia tulis menulis. Mampu menanggapi kritik dengan menahan diri, berfikir positif, mengucapkan terima kasih, dan mengakui kekurangannya. Sesuatu yang hanya dimiliki penulis tangguh seperti Simon. . 

Sebelumnya, Simon telah menulis sebuah buku biografi yang ditulisnya. Buku berjudul: Elpidius Van Duijnhoven: Rasul Dari Simalungun Atas, Sungguh Mati Dia MencintaiNya" mengisahkan seorang pastor yang melayani selama 34 tahun di daerah Saribudolok dan sekitarnya.

Buku itu setebal 480 halaman itu telah kunikmati dan memberi cakrawala baru tentang tugas dan missi seorang pelayan. Bekerja tanpa pamrih, mengejar sesuatu yang tak terlihat mata, tak teraba tangan, memakai akal budi yang telah diberikan Tuhan.  

Simon telah memberi pelajaran baru bagi para penulis biografi. Mengawali pekerjaan dengan sebuah kepedulian, merancangnya dengan matang, melakukannya dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Terima kasih panggi Simon, telah memberi kami pelajaran baru.  

Selamat panggi Simon. Semoga pekerjaannya mendapat berkat dan menjadi berkat bagi kami semua pembacanya. 

(Terima kasih kepada Berita Simalungun. Saya kopi sampulnya yah!) 

Medan, 17 September 2014.
Sumber foto:  (http://www.beritasimalungun.com)

Jumat, 12 September 2014

Berburu Hal Yang Tak Bisa Dibeli dengan Uang

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini saya menyaksikan video yang begitu menyentuh. Seorang yang melakukan sesuatu bukan untuk dipuji, dihargai, tetapi karena memang dia senang melakukannya. https://www.facebook.com/video.php?v=357419561100541&set=vb.181408008701698&type=2&theater

Melayani orang dengan tulus, tanpa pamrih, seolah-olah tidak mendapat apa-apa.Karena mereka sedang berburu harta paling mahal di dunia, hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, dihargai dengan uang.

Bahkan tak jarang dunia menghinanya, mengejek, bahkan membunuhnya. .

Tapi taukah saudara apa yang diperoleh mereka yang melayani, dan melakukan sesuatu dengan tulus?

Mereka senantiasa memperoleh emosi positif, menyaksikan kebahagiaan, pemahaman yang lebih mendalam tentang hidup, merasakan kasih sayang, MENERIMA HAL YANG TIDAK BISA DIBELI DENGAN UANG, kata-kata dibuat lebih indah, lebih bermakna.

Adakah hal yang lebih indah, lebih baik dari hadiah di atas yang mau Anda kejar dalam hidup ini?

Berbuatlah, bekerjalah dengan tulus, tidak melihat cuaca atau apa kata orang.

Mungkin dalam melakukan pekerjaan pelayanan, Anda sering membuat Anda kecewa, ditertawakan dunia, dan Anda mundur?.

Renungkan kembali. Kita melakukan sesuatu bukan mencari pujian dari orang-orang yang tidak terpuji.

Karena orang-orang yang tidak terpuji, tidak tau memuji, tidak tau menghargai yang baik. Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!. 


Hanya Dia, hanya Dia yang tau memuji, dan Dialah yang pantas dipuji!. 

Manusia hanya memuji berdasarkan cuaca, kepentingan. Hari ini Anda dipuji, besok, Anda dicaci. Hanya Tuhan yang setia mengasihi kita! Bekerjalah, jangan hanya ingin mendapat pujian
dari sekitarmu.

Banyak Perkara yang Tak Dapat Kumengerti (2)


Oleh: Jannerson Girsang


Tadi, di partonggoan kami mendengar berita duka cita. Romi Sipayung (34) meninggal dunia di RS Adam Malik, sekitar pukul 20.00. Kami, anggota sektor V dan beberapa teman dari Sektor IV melayatnya di ruang mayat sesudah partonggoan.

Romi adalah adik kandung Benny Sipayung anggota GKPS Simalingkar. Abangnya baru saja mendirikan perusahaan dan Romi sebagai direkturnya. "Saya baru saja mendirikan sebuah perusahaan dan Romi sebagai direkturnya" ujar Benny dalam tangisnya.


Romi meninggalkan seorang istri br Sinaga, baru setahun berkeluarga dan belum memiliki anak. Sedih melihatnya, karena selama ini Romi sehat-sehat saja. Di masa kampanye kemaren kami sering ketemu.

Perasaan tambah sedih melihat istrinya yang terus menerus menangis dan menumpahkan kesedihannya. Tak tega menyaksikan mertuanya perempuan yang kurang sehat, serta kedua orang tua Romi menangisi anak kesayangan mereka.

Kaya Sipayung, orang tua Benny Sipayung, memiliki tiga orang putra. Putra tertuanya meninggal setahun yang lalu. Benny, anak kedua kini tinggal sebatangkara dari sebelumnya tiga bersaudara.

Banyak perkara, yang tak dapat kumengerti, tapi aku yakin "Tiada sesuatupun terjadi, tanpa Allah peduli!". Demikian suara Agnes Monika yang merdu melantunkan pujian menyejukkan pagi ini.

Seraya saya merenungkan beberapa kejadian beberapa bulan terakhir ini. Dukacita karena ditinggal seorang yang kita kasihi, sungguh sulit dimengerti, khususnya seperti yang dialami beberapa keluarga, sahabat-sahabat saya yang mengalami dukacita.

Ada yang meninggal karena kecelakaan, sakit, atau apapun sebabnya. Terlebih-lebih mereka yang meninggal masih muda, atau meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

Pengalaman duka, ditinggal karena kematian, apalagi tiba-tiba, hanya dapat dimengerti, kalau kita percaya, bahwa ada sang Pencipta, campur tangan atas semua kehidupan kita.

Bagi saya sebagai orang Kristen, Jeremia 33:3 adalah sebuah ayat yang sangat menguatkan. Ayat itu yang berulang-ulang saya baca, ketika adik saya, meninggal 2010, meninggalkan 3 putri kami.

Berjuanglah membunuh waktu duka, karena "Berbahagialah orang yang berduka, karena mereka akan dihibur"

Manusia tidak bisa menjawab semua persoalan orang-orang yang mengalami dukacita.

Berkomunikasi dengan Sang Pencipta akan memberikan pemahaman atas sesuatu yang tidak sapat dipahami manusia. Pengetahuan membunuh waktu duka, hanya diketahui oleh Dia yang menciptakan dunia ini

"Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui". (Jeremia 33:3)

"Call to me and I will answer you and tell you great and unsearchable things you do not know" (Jeremia 33:3).

Medan, 12 September 2014

Sate Super

Oleh: Jannerson Girsang

Saya teringat sebuah peristiwa, atau disingkat "sate super". Saya kira penceramahnya mau menjelaskan "sate" Madura, ternyata sebuah teknik sosialiasi dalam dua menit.

Saya pertama kali mendengar istilah itu  ketika menikmati presentasi motivasi dari motivator Triyono Sigit di Tuktuk Samosir, 31 Agustus 2014 lalu.

Apa pula itu Sate Super?. Ternyata sebuah teknik bercerita untuk mensosialisasikan sesuatu. Awalnya seorang peserta disuruh bercerita untuk memperkenalkan sebuah produk dalam dua menit.

Peserta yang belum pernah mendengar istilah "sate super", langsung berbicara. "Kami dari lembaga .... akan memperkenalkan produk ini. Bla...bla...bla". Membosankan!. Karena tidak mengandung sedikitpun emosi di dalamnya.

Ketika Mas Sigit menggantikan peserta tadi, beliau memulai dengan sebuah cerita yang dimulai dengan "Saya teringat sebuah peristiwa".

Kita yang mendengarnya terpana seolah turut dalam kisah tersebut, serta mendapat penjelasan yang menarik tentang produk yang diperkenalkan.

Sebuah kisah atau peristiwa yang menyentuh emosi langsung menarik perhatian pendengar.

Sayapun langsung membuat sebuah kisah untuk memperkenalkan proyek penerjemahan Alkitab bahasa Nias (contoh lho, karena di sana sudah ada Alkitab bahasa Nias.

"Saya teringat sebuah peristiwa. Beberapa tahun yang lalu, saya masuk ke pedalaman sebuah desa terpencil, yang berjarak kira-kira 10 kilometer dari jalan besar. Untuk dapat berkomunikasi, saya membutuhkan seorang penerjemah, karena tidak ada dari mereka yang mampu berbahasa Indonesia.

Saat saya menjelaskan sesuatu kepada penduduk desa itu, sebelum diterjemahkan mereka ketawa-ketawa aja. Suatu ketika, karena ingin tau apakah mereka benar-benar tidak tau berbahasa Indonesia, maka saya mencoba menyapa mereka, secara diam-diam, tanpa membawa penerjemah.

"Dimana rumahnya, Pak?,". Si bapak yang berusia 30 tahun itu tertawa malu. Lalu pergi menanyakan penerjemah saya. Dalam bahasa daerahnya, mungkin dia bertanya, "apa yang dikatakannya?".

Apakah bapak-bapak tidak kasihan melihat saudara-saudara kita seperti itu. Sedih sekali ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?.

Pesan yang menggugah emosi, penting mengawali sebuah sosialisasi.Hingga mereka tertarik mendengar, tergugah untuk mengatahui, lalu sadar dan mau bertindak, sesuai dengan harapan sosialisasi!

Dua menit saya bercerita di depan orang-orang kaya dan mendengar kisah sedih saudara-saudaranya, pasti dong mereka mau membantu.

Sate Super, sebuah teknik, dua menit memperkenalkan produk, sosialisasi.

Sayangnya Pak Sigit hanya mengajarkannya 10 menit. Kita belum tau banyak. Masih banyak pertanyaan sebenarnya, tapi waktu sudah habis. 

Jadi maklum aja, sayapun masih perlu belajar lagi Mas Sigit!. Bantu ya. Dimana saya bisa memperlajarinya lebih mendalam lagi!

Medan, Dinihari, 11 September 2014

Kamis, 11 September 2014

Papan Tulis Kenangan 2005-2006: Tuliskan Cita-citamu, Laksanakan Sepenuh Hati



Oleh: Jannerson Girsang

Menuliskan mimpi dan kegiatan di papan tulis menjadi kenangan yang sangat menginspirasi. Itulah yang dilakukan putri saya kedua, Patricia Girsang, sembilan tahun yang lalu (2005-2006), saat mempersipakan diri menuju UMPTN 2006. 


Karya kecilnnya itu setiap hari menjadi inspirasiku, karena kugantung di dinding ruang kerjaku di rumah.  Yesus is my Way, yang terpampang di sebelah kiri atas membuatku kagum. Putriku begitu yakin akan kuasaNya, sejak muda. Mungkin, sayapun belum seyakin dia!  Di dinding papantulis sebelah kanan: tertulis target yang harus dicapainya: HI: UI 65%, Pertambangan ITB 60%, Hukum UI: 55%.

Malam ini di tengah kesendirianku, aku terkesan dengan papan tulis yang kupajang di ruang kerjaku, sejak putriku berangkat ke Jakarta 2006. 


Seiring usianya, tulisannya sebagian sudah terhapus terhapus, dan kertas yang ditempel sebagai catatan sudah kumal.

Papantulis itu adalah saksi sejarah bagaimana dia menyusun rencana kerja dan kegiatannya, sejak Oktober 2005- April 2006. Jadwalnya dibuat di papan tulis dengan pencapaian yang ketat. Semua tanggal di coret, tanda sudah dilintasi.


Saya tak pernah menghapusnya, dan setiap hari kuperhatikan betapa putriku merencanakan semua kegiatan meraih cita-citanya dengan sempurna. Sebuah saksi sejarah keseriusan seorang anak belajar.  
Saya teringat,  bahwa selama dua setengah tahun di SMA, aktivistas sosialnya memang membanggakan. Dia mampu membawa teman-temannya Paduan Suara Sola Gratia menjuarai beberapa even baik di Bandung, maupun Medan.
 

Saya dan istri tetap mendukungnya meski  nilainya memang drop. Kita terus memotivasinya. Ibunya bilang, "Hebat kau ya Nak, punya dua ranking 3". Dia hanya senyum-senyum saja. "Tenang saja mama" katanya.
 
Saya sangat bersyukur dan cukup bangga, karena di semester 5-6, sejak Oktober 2005, dia benar-benar belajar. Setiap hari dia buat target sendiri, tanpa campur tangan orang tua. 


Setelah lulus SMA, dia berangkat ke Bandung dan testing UMPTN di sana.

Patricia dengan nilai pas-pasan di SMA, akhirnya masuk Fakultas Hukum UI. Selama kuliah dia harus bekerja di Perpustakaan UI, paruh waktu dan mendapat beberapa bea siswa, membantu orang tuanya yang sedang kesulitan.

Dengan segala keterbatasan, melakukan sesuatu dengan suka cita, Patricia akhirnya lulus S1 dari FH UI, Agustus 2010.

Begitu lulus, dia langsung bekerja. Terakhir, dia bekerja sebagai Asisten Manager, Divisi Hukum, PT Gajah Tunggal, kemudian menikah dengan Frederick Simanjuntak, Nopember 2013.

Namun, Juli 2014 lalu, dia meminta persetujuanku. Sesuatu yang mengagetkan. Saat dia berada pada posisi jabatan yang cukup baik di perusahaan, dia meminta mengundurkan diri. Alasannya, menunggu kelahiran bayinya. Dia ingin merawat bayi dan suaminya penuh waktu. Alasannya cukup rasional dan saya menerimanya dengan senang hati. 


Anak adalah prioritas pertama dan utama. Sebuah pilihan yang ditirunya dari ibunya. "Mama dulu merawat kami penuh weaktu, aku juga akan merawat bayiku penuh waktu. Suamiku juga menginginkan aku penuh waktu nantinya merawat anak" katanya.

Terima kasih untuk Patricia, terima kasih Tuhan. Begitu besar berkatMu kepada kami selama 30 Tahun Perkawinanku. Patricia adalah salah satunya.

Semoga papantulis ini tetap kau kenang dan menjadi warisan untuk anakmu nanti, betapa mimpi yang direncakan dan dilaksanakan sepenuh hati akan menjadi kenyataan!


Medan, 9 September 2014

Gambar. Papan tulis dimana putriku Patricia Girsang menuliskan seluruh impian dan melaksanakannya dengan disiplin dan semangat yang luar biasa. Tulisan ini dibuatnya antara Oktober 2005-April 2006. 


Photo: PAPAN TULIS KENANGAN 2005-2006

Anak-anak yang dibiarkan bebas berkreasi memang terkadang membuat kita khawatir. Tetapi pengawasan dan pembinaan yang terus menerus (tidak diserahkan kepada pembantu atau guru les), akan membuat mereka bertanggungjawab dan secara kreatif mampu menyelesaikan persoalannya. 

Malam ini di tengah kesendirianku, aku terkesan dengan papan tulis yang kupajang di ruang kerjaku, sejak putriku kedua berangkat ke Jakarta 2006.Usianya sudah delapan tahun lebih dan sudah ada yang terhapus, dan kertasnya sudah kumal. 

Papantulis itu berisi rencana kerja dan kegiatan putriku kedua, sejak Oktober 2005- April 2006. Aku tak pernah menghapusnya, dan setiap hari kuperhatikan betapa putriku merencanakan semua kegiatan meraih cita-citanya dengan sempurna. Sebuah saksi sejarah keseriusan seorang anak belajar.  

Kami sempat khawatir tentang peluangnya menembus PTN, karena selama tiga tahun di SMA Negeri 1 Medan, nilainya hanya pas-pasan. Bahkan Semester 4 hanya meraih ranking 33. 

Ibunya bilang, "Hebat kau ya Nak, punya dua ranking 3". Dia hanya senyum-senyum saja. "Tenang saja mama" katanya. 

Waktunya banyak tersita di organisasi sekolah. Dia aktif di organisasi Paduan Suara Sola Gratia, sebagai Sekretaris, dan bersama teman-temannya, membawa harum sekolahnya dengan meraih prestasi Nasional di Bandung, dan berbagai event perlombaan Paduan Suara di Sumatera Utara. 

Dalam melaksanakan aktivitasnya di kegiatan ekstra kurikuler, kami pernah suatu ketika sangat khawatir tentang dirinya, dan juga nilai-nilai mata pelajarannya yang drop. . 

5 September 2005, mereka berangkat ke Bandung, rombongan Sola Gratia yang dipimpinnya menumpang pesawat Adam Air, hanya duluan beberapa menit dengan Pesawat Mandala yang jatuh di Bandara Polonia yang menewaskan Gubernur Sumatera Utara, Rizal Nurdin, serta seratusan penumpang lainnya.  

Saya baru saja tiba di kantor, pulang mengantarnya ke Polonia, ketika saya mendengar pesawat jatuh. Saya begitu khawatir ketika itu putri saya ada di dalam pesawat.    

"Ketika itu, saya pikir dia ada di pesawat yang jatuh". Saya sangat khawatir menunggu kabar. Saya menelepon, tetapi tidak menyahut. 

Beberapa menit saya terdiam. Beberapa saat kemudian, saya mendapat kabar, dia  sudah tiba di Cengkareng. Yang jatuh ternyata Mandala, sedang putri saya, naik Adam Air. 

Itulah Putri saya Patricia Girsang, yang selalu ceria, pintar, tapi kadang membuat cemas juga.    

Aktivistas sosialnya memang membanggakan selama SMA, tetapi nilainya memang drop. Namun, kita tidak pernah membuatnya patah semangat. 

Saya  sangat bersyukur dan cukup bangga, karena di semester 5-6, sejak Oktober 2005, dia benar-benar belajar. Setiap hari dia buat target sendiri, tanpa campur tangan orang tua. 

Jadwalnya dibuat di papan tulis dengan pencapaian yang ketat. Semua tanggal di coret, tanda sudah dilintasi. 

Di dinding papantulis sebelah kanan: tertulis target yang harus dicapainya: HI: UI  65%, Pertambangan ITB 60%, Hukum UI: 55%. Di sebelah kiri ditempel: Yesus is the Way. 

Setelah lulus SMA, dia berangkat ke Bandung dan testing  UMPTN di sana. 

Patricia dengan nilai pas-pasan di SMA, akhirnya masuk Fakultas Hukum UI. Selama kuliah dia harus bekerja di Perpustakaan UI, paruh waktu dan mendapat beberapa bea siswa, membantu orang tuanya yang sedang kesulitan.

Dengan segala keterbatasan, melakukan sesuatu dengan suka cita, Patricia akhirnya lulus  S1 dari FH UI, Agustus 2010.   

Begitu lulus, dia langsung bekerja. Terakhir, dia bekerja sebagai Asisten Manager, Divisi Hukum, PT  Gajah Tunggal, kemudian menikah dengan Frederick Simanjuntak,  Nopember 2013. 

Menunggu kelahiran bayinya, Patricia memutuskan berhenti bekerja. Alasannya cukup rasional dan saya menerimanya dengan senang hati. Anak adalah prioritas pertama dan utaman. 

"Mama dulu merawat kami penuh weaktu, aku juga akan merawat bayiku penuh waktu. Suamiku juga menginginkan aku penuh waktu nantinya merawat anak" katanya.

Terima kasih untuk Patricia, terima kasih Tuhan. Begitu besar berkatMu kepada kami selama 30 Tahun Perkawinanku. Patricia adalah salah satunya.

Semoga papantulis ini tetap kau kenang dan menjadi warisan untuk anakmu nanti, betapa mimpi yang direncakan dan dilaksanakan sepenuh hati akan menjadi kenyataan!

Kita Semua Salah, Semua Jahat, Jangan Membenarkan Diri

 Oleh; Jannerson Girsang

Dua sikap yang sama salahnya, sama jahatnya. Yang satu menyombongkan diri, yang satu seolah-olah merendah. Dua-duanya merasa benar, sama-sama membenarkan diri..

Sikap yang pertama, selalu merasa benar sama seperti orang Farisi-penatua-penatua agama Jahudi dalam kisah Perjanjian Lama, yang hanya melihat dirinya benar, kerjanya menghakimi, menyalahkan yang lain. "Terima kasih Tuhan, kami sudah berbuat baik, tidak sama dengan mereka yang lain".

Sikap yang kedua, merasa berdosa, mengaku dirinya berdosa, tapi hanya untuk membenarkan tindakannya yang terus menerus salah dan tidak mau berubah.. "Aku banyak dosa, tidak pantas jadi "orang baik". Biarlah mereka yang baik-baik itu melakukan yang benar. Biarlah aku korupsi terus, jangan munafiklah".

Sama sombongnya!

”We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby).

Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan (apalagi yang diinginkan Tuhan), lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi keburukan atau kejahatan kita sendiri?.

Kata para ahli, kita baru menggunakan otak kita 2-5% dari kapasitasnya, kita belum mau, dan tidak mampu terus menerus menyalakan lampu kita, tidak bersinar sebagaimana kemampuan kita.Tapi kita sudah merasa menggunakannya 100%, merasa sudah bersinar setiap saat.

Kita semua jahat, semua bersalah, karena setiap hari melakukan kesalahan, melakukan dosa.

Mari semua berubah ke arah yang lebih baik, mari semua memperbaiki diri, memaksimalkan otak yang banyak nganggur, menyalakan lampu kita lebih lama dari yang sekarang.

Tugas utama kita adalah saling mengasihi dan saling melayani. Saling mengampuni, menasehati dengan lembut dan saling mendukung, mendorong percaya diri, memotivasi, supaya setiap orang sadar kesalahannya, dan berubah memaksimalkan talentanya!

Supir "Gareta Horbo"

Oleh: Jannerson Girsang

Kemajauan, bisa dilihat, kalau peristiwa masa lalu terekam.

Beginilah saya  dulu ketika masih anak-anak hingga remaja di desa, di era 60-an hingga akhir 70-an. Supir "Gareta Horbo".

Sedikit rodanya sudah berubah. Kini memakai ban karet untuk ban mobil. Dulu terbuat dari kayu dan luarnya dilapisi besi, ukurannya lebih besar dan memakai jari-jari.

Subuh berangkat dari desa Nagasaribu ke Saribudolok, Kabupaten Simalungun, berjarak 7 kilometer. Kami menahan cuaca dingin daerah di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut, selama satu jam perjalanan dengan membawa beban sekitar 400 kg.

Tiba di Jalan Kartini, ibu kota kecamatan Silimakuta itu, pagi sebelum matahari terbit.
Satu hal yang saya tidak lupa: upahnya adalah minum teh susu dan pulut serikaya, di sebuah kedai di Jalan Kartini, tempat membongkar barang. Karena keretanya milik sendiri, dan yang bayar ayah saya...he..he.

Saat ini, angkutan seperti ini hanya digunakan ke ladang dekat desa kami. Mungkin beberapa tahun lagi, dengan membaiknya jalan ke ladang-ladang penduduk, alat seperti ini tidak diperlukan lagi. Pick up, truk akan menggantikannya.

Namun kisahku jadi Supir Gareta Horbo, tidak akan pernah hapus dari dunia ini. Salah satu pengukur kemajuan yang kita capai sekarang. Kalau sejarah masa lalu, yang kuno itu tidak terekam, maka dari mana pula kita bisa mengukur kalau kita sudah modern.

Selasa, 09 September 2014

Bercerminlah dari Penulis-penulis Hebat

Oleh: Jannerson Girsang

Para penulis perlu bercermin, melihat dan memaknai prestasi para penulis besar, supaya mampu merendahkan diri.

Para penulis berkewajiban menciptakan suasana saling menghargai, saling menyemangati, saling mendukung.

Di atas langit masih ada langit!.

Mari bercermin kepada lima penulis novel terlaris di Indonesia: Andrea Hirata (Lasykar Pelangi), Dee, Dewi Lestari (Perahu Kertas), Dhony Digantoro (5 cm), Gita Sesa Wanda Cantika, Keke (Surat Kecil Kepada Tuhan) dan Habiburrahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta).

Mereka berkarya dengan ciri khas masing-masing. Tidak ada waktu untuk menyindir atau meremehkan karya-karya temannya.

Setiap penulis memiliki ciri khas (mungkin juga sedang mencari identitas meniru yang lain) , memiliki kekurangan dan keterbatasan.

Mungkin karena jam terbangnya masih rendah, atau pengetahuannya yang belum mendalam tentang hal yang ditulisnya, mungkin juga sedang menciptakan gaya penulisan yang baru. Waktu, waktu akan melengkapinya dan membuktikan usahanya.

Ingat, semua penulis (kecuali copy paste, atau menjiplak karya orang lain) , sekecil apapun karyanya, adalah pencipta peradaban.

Memberi teladan, jauh lebih baik dari sekedar mengkritik. Mari terus berkarya, tanpa menganggap yang lain lebih rendah atau lebih tinggi.

Andrea Hirata juga dulu tidak ada apa-apanya. Dia besar karena ketekunan dan kegigihannya. Dia tidak pernah membuang waktu diskusi yang tidak produktif, bahkan meluangkan waktunya mengajar motivasi kepada para penulis-penulis baru, sehingga nanti tercipta Andrea Hirata yang baru.

Menjadi penulis hebat, adalah menulis kepeduliannya atas masalah sekitarnya dan menyentuh kebutuhan besar dunia ini sehingga cara berfikir, bertindak dan memaknai mereka atas sesuatu lebih baik, mengajar, memotivasi lebih banyak lagi orang menjadi penulis hebat.

Bukan sebaliknya, membuat orang lain jadi takut menulis, apalagi sampai membunuh karakter teman sesama penulis!.

Meskipun ada penulis yang merasa sudah hebat di daerah kita, tokh belum bisa menyaingi mereka!. Apalagi dibanding dengan nama-nama di bawah ini.

Coba simak perjuangan dan semangat menulis dari para penulis-penulis dunia lainnya seperti William Shakespeare, George Orwell, J.K. Rowling, Kurt Vonnegut, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, William Faulkner, Ayn Rand, James Joyce dan J.D. Salinger.

Setiap saya membaca karya mereka, saya sangat merasa kecil, dan tidak ada alasan bermegah diri.

Kita di Indonesia belum ada apa-apanya dalam prestasi menulis. Gunakan waktu meneladani semangat para penulis besar, diskusikan karya-karya mereka, ciptakan karya yang baru, ketimbang asyik berdiskusi siapa yang terbesar!.

Ingat, kesombongan, keangkuhan akan menghancurkan diri sendiri dan menghambat munculnya karya-karya baru yang kreatif.

Roy Martin Simamora, Rinto Tampubolon, Anthony Limtan, Eka Azwin Lubis, Lea Willsen, Liven Riawaty



Medan 9 September 2014

Senin, 08 September 2014

Menulis, Mempengaruhi Dunia (Rubrik, Analisa Cetak, 8 September 2014)



Oleh: Jannerson Girsang.

Buah pikiran seorang penulis yang dipublikasi mampu mempengaruhi dunia, bahkan secara tidak langsung memimpin perubahan dunia.

Karya tulis, baik dalam bentuk artikel dan buku yang memberi makna atas peristiwa, mengangkat nilai-nilai yang sudah terkubur, menjadi sumber pengetahuan, dan inspirasi bagi masyarakat umum, para pengambil keputusan atau para pemimpin. 

Nilai sebuah artikel atau buku adalah sebuah pengalaman baru, hidup baru, pengetahuan baru. Christopher Morley (1890 – 1957), seorang wartawan dan penulis novel berkebangsaan Amerika, mengatakan: “Ketika anda menjual sebuah buku kepada seseorang Anda tidak hanya menjual 12 ons kertas, tinta dan lem. Anda menjual hidup baru. When you sell a man a book you don't just sell him 12 ounces of paper and ink and glue. You sell him a whole new life".

Mempengaruhi Pemikiran, Mendorong Tindakan

Karya tulis mempengaruhi pemikiran dan mendorong pembaca bertindak ke arah yang lebih baik.  Membaca tulisan akan membuat orang menikmati hidup baru, cara-cara baru yang lebih baik dari sebelumnya.

Buku terkenal Seven Habits yang terbit 1989, karya Stephen R.Covey sudah terjual lebih dari 20 juta dan dibaca lebih dari jumlah buku yang terjual.

Menjadi pedoman atau referensi para pemimpin atau manajer, dan banyak  mempengaruhi karakter para pemimpin dunia, termasuk Indonesia.

Penulisnya sendiri, Covey sangat berpengaruh di kalangan pemimpin dunia. Bahkan ditunggu kedatangannya di pertemuan-pertemuan para pemimpin dunia, termasuk dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, ketika buku lanjutan Seven Habits, yakni Eight Habit terbit pada 2005.

George Soros,seorang pengusaha yang menuliskan pengalamannya dalam bentuk buku dan publikasi, turut memberi warna pandangan manusia tentang keuangan dan filsafat. Pradigma Baru Pasar Financial, salah satu buku George Soros yang diterbitkan Oktober 2008, merupakan pikiran-pikirannya yang memberikan inspirasi kepada pengambil keputusan meski tidak pernah bertemu dengan George Soros.

Penulis lainnya, Robert Tyosaki penulis buku Rich Dad, Poor Dad  juga memberi motivasi banyak pengembil keputusan di seantero dunia ini.

Pembaca mungkin masih ingat Ramos Horta, ketika pada masa-masa perjuangan Timor Timur yang selain sebagai pelobi, dia juga rajin mempublikasikan opininya di media-media internasional.

Yang lebih luar biasa lagi, kekuatan seorang penulis handal lebih dari kekuatan seorang presiden. Dua wartawan muda Amerika, Bernstein dan Woodward. Laporan jurnalistik investigasi mereka yang dibukukan dalam buku All the President Men, mengungkap kasus Watergate.

Kasus yang mampu mengundang reaksi orang untuk menjatuhkan Presiden Amerika Serikat Richard  Nixon di era tujuh puluhan.

Mengangkat Kisah yang Dilupakan

Karya seorang penulis menghiasi dunia dengan kisah yang mungkin sudah dilupakan orang menjadi karya luar biasa. 

Misalnya sosok Shoe Hok Gie yang kurang dikenal oleh para anak muda era 2000-an, kemudian biografinya ditulis oleh Dr John Maxwell, ”Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani”. Buku itu mampu mengangkat kembali nilai-nilai kejuangan seorang mahasiswa enampuluhan bagi generasi muda abad 21. Para anak muda semakin mengenalnya setelah hasil karya tulis itu kemudian menjadi sebuah film dan digandrungi generasi muda bangsa ini.

Penulis lainnya banyak mengangkat hal-hal yang terlupakan menjadi inspirasi baru. Misalnya kisah tenggelamnya Titanic.

Kisah yang menjadi pembicaraan hangat, karena karya tulis itu kemudian dapat menghasilkan cerita yang dinikmati penduduk dunia melalui film My Heart will Go on.     

Sebuah artikel tentang kehidupan pengusaha kemenyan di era 1930-an di harian ini beberapa tahun lalu berjudul ”Melongok Pengusaha Kemenyan Era 30-an” mengisahkan kembali seorang pengusaha kemenyan di daerah Humbang. Saat itu dia sudah memiliki mobil. Rumahnya yang mewah masih dapat disaksikan di sebuah desa pedalaman di Kabupaten itu.

Artikel itu mencerahkan pembaca bagaimana kehidupan seorang pengusaha kemenyan, bagaimana kemenyan diproduksi dan bagaimana Humbang telah menjadi pusat produksi kemenyan sejak lama, dan kini masih terus berlanjut.

Mengangkat Martabat Bangsa

Para penulis mampu mengangkat harkat martabat bangsanya melalui tulisan. Mungkin Anda pernah mendengar kisah tentang novel : Cantik itu Luka, sebuah novel berkelas dunia, yang ditulis Eka Kurniawan, pengarang Indonesia kelahiran 1975 dan alumnus Filsafat UGM.

Para novelis luar negeri menempatkan Eka Kurniawan pada posisi yang setara novelis international. Novel ini ternyata sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang Bi wa Kizu oleh Ribeka Ota dan diterbitkan  Shinpusha di Jepang. 

Menyusul Novel Lasykar Pelangi yang memberikan kontribusi besar bagi dunia sastra Indonesia, serta memperkenalkan mindset Indonesia ke dunia luar. Puluhan juta buku Lasykar pelangi yang berkisah tentang mimpi seorang penduduk desa di Belitung menginspirasi jutaan penduduk dunia.  

Menurut harian Indonesia berbahasa Inggeris, The Jakarta Post (29 Oktober 2013), sudah diterbitkan di 100 negara dan diterjemahkan ke dalam 30 bahasa yang berbeda. Sebuah prestasi yang memunculkan kebanggaan bahwa penulis Indonesia juga mampu menghasilkan karya-karya novel  yang mendunia.  

Menulis Fakta Memberi Makna

Menulis fakta menjadi bermakna dan dibaca khalayak bukan proses yang mudah. Proses diawali dari sebuah ide, pengumpulan data (wawancara, observasi atau riset), menulis dan mempublikasikan kepada umum baik melalui media cetak, online atau buku sehingga bisa dibaca oleh lebih banyak manusia.

Penulis harus memiliki kemampuan kejelian memilih  issu, kesabaran, dan idealisme. Hal yang belakangan tidak banyak dimiliki para penulis generasi muda kita sekarang kita. Mereka membutuhkan pembelajaran baik secara formal dan informal. 

Kita saat ini berada dalam arus generasi internet, dimana media tulis akan semakin terbuka lebar.  Artinya, sebuah tulisan tidak lagi menunggu media cetak yang jumlahnya terbats dan harus antri. Penulis memiliki alternatif lain dengan hadirnya  media online, bahkan artikel-artikel atau buku bisa dipublikasikan melalui website atau blog pribadi. 

Generasi internet dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Jika tidak, maka negeri ini akan diluberi informasi hasil tulisan orang asing dengan sudut pandang yang berbeda, namun belum tentu memberi manfaat sesuai dengan kebutuhan kita. 

Jangan Hanya Menyimpan di Laptop

Sebuah kisah yang disimpan di lemari atau di dalam komputer, tidak akan berarti apa-apa. Dia hanya pajangan atau kenangan yang bisa hilang seiring meninggalnya pemilik cerita.

Sebaliknya, tulisan hanya menjadi kenangan dan tak punya kekuatan apa-apa, kecuali bagi penulisnya sendiri dan kemungkinan akan hilang dengan berjalannya waktu!.

Novel Lasykar Pelangi jika hanya tersimpan di laptop penulisnya Andrea Hirata, tidak mungkin bisa dibaca jutaan penduduk dunia, tidak mungkin mempengaruhi dunia, tidak mungkin mengangkat martabat bangsa.

Marilah mendorong para penulis-penulis kita, berikan apresiasi bagi penulis sekecil apapun karyanya, karena itu akan membuat kekuatan besar mepengaruhi dunia!. Bacalah karya-karya anak bangsa. Belilah buku-buku mereka!

Para anak muda teruslah melanjutkan menulis dengan sungguh-sungguh. Perkembangan media yang pesat akan menjadikan kegiatan menulis menjadi alternatif pekerjaan baru bagi kita semua.

Harapan masih terbuka lebar. Dengan makin berkembangnya teknologi informasi, maka para penulis memiliki kesempatan luas mempublikasi tulisan-tulisan dari perenungan lokal menurut jalan pikiran bangsa ini menuju dunia yang lebih makin berkembang dan mempengaruhi dunia. ***

Penulis adalah penulis biografi berdomisili di Medan