My 500 Words

Rabu, 29 September 2010

Menyambut Hari Kereta Api ke-65 : "Mimpi Naik Kereta Api"

Oleh : Jannerson Girsang

Sebuah harapan baru dilansir PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) Januari 2010 lalu. Perusahaan yang mengelola perkeretapian di Sumut dan Aceh ini mengungkapkan rencana membuka kembali jalur Medan-Delitua, Medan-Pancur Batu dan lokasi lain.

Terlepas dari realisai rencana itu, kami tergugah menuliskan pesan kami kepada perusahaan yang menawarkan jasa murah, cepat, efisien dan nyaman ini. Sebuah kisah yang mengagumi, menggunakan, lantas menaruh harapan baru terhadap jasa kereta api.

Semoga bermanfaat menumbuhkan rasa cinta terhadap kereta api serta mendorong pengelola memenuhi harapan yang telah dijanjikan dan meningkatkan pelayanan.

Orang Desa: Kagum Melihat Kereta Api

Memutar memori puluhan tahun lalu, kata kereta api seingat saya masuk ke telinga kami melalui lagu "Naik Kereta Api". Lagu itu diajarkan guru, ketika masih menjadi siswa Sekolah Dasar, akhir dekade 60-an.

Lagu itu benar-benar menggugah hati kami penduduk desa: Bemimpi Naik Kereta Api". Syairnya sederhana, riang dan mudah dinyanyikan. Semua orang Indonesia pasti mampu menyanyikan lagu anak-anak yang sangat populer. Semua orang Indonesia cinta kereta api.

Masa kecil saya tinggal di desa Nagasaribu. Sebuah desa di Simalungun yang terletak di dataran tinggi di apit Gunung Sinabung, Gunung Sibayak, Gunung Singgalang dan Gunung Sipiso-piso. Di sana hanya ada kereta yang ditarik lembu atau kerbau. Selain itu, penduduk desa saat itu masih terbelakang. Mobilisasi penduduk masih rendah. Anak seusia saya yang pernah mengunjungi Pematangsiantar atau Medan masih bisa dihitung dengan jari.

Tahun 1973, ketika saya berusia 12 tahun, itulah pengalaman pertama mengenal kereta api dari dekat. Saat itu kami berdarma wisata dari desa kami melalui Brastagi-Medan-Pematangsiantar. Di beberapa lokasi perjalanan Medan-Pematangsiantar, kami menyaksikan kereta api melintas di atas rel yang kadang sejajar dengan bus yang kami tumpangi. Suatu ketika kami harus berhenti saat kereta api lewat, seperti di Lubuk Pakam.

Pemandangan itu membuat saya dengan siswa lainnya kagum. Puluhan gerbong—beberapa kali lebih besar dari gerobak kereta lembu di kampung kami, bisa mengangkut banyak sekali penumpang. Sesekali kami juga menyaksikan kereta barang yang mengangkut kelapa sawit. Di desa kami kereta yang ditarik dengan kerbau hanya mampu megnagkut 400-500 kg barang dan jarang bawa penumpang.

Di Jakarta: Menikmati Jasa Kereta Api

Anehnya, meski di Sumatera Utara tersedia jasa kereta api, naik kereta api justru tidak saya alami di Sumatera Utara. Peristiwanya tahun 1978, yakni ketika kami pindah sekolah SMA dari Pematangsiantar ke Jakarta.

Saat memasuki hari-hari pertama sebagai siswa pindahan di salah satu SMA di Jakarta, teman-teman saya berbicara tentang kereta api layaknya membicarakan mobil angkutan "Simas", Kabanjahe-Pematangsiantar.

Beberapa orang teman sekelas saya tinggal di Depok. Setiap hari mereka naik kereta api sampai ke Stasion Cikini, lantas naik bus kota ke sekolah kami di sekitar Utan Kayu, Jakarta Timur.

"Naik kereta api ke sekolah?". Bagi saya rasanya tidak masuk akal saya. Pandangan saya ketika itu, kereta api hanya melayani penumpang ke luar kota, Jalannya kencang, dan tidak boleh berhenti. Aduh dasar anak kampung!.

Sampai suatu ketika, saya mengusulkan agar saya bisa ikut teman yang tinggal di Depok. Hanya supaya bisa naik kereta api. Hingga tiba hari yang tepat di suatu Sabtu, saya bisa bersama teman ke Depok. "Naik kereta api!".

Dari sekolah kami di Utan Kayu, naik bus kota menuju Stasion Kereta Api Cikini. Saya tidak bisa membayangkan sebuah stasion kereta api semegah itu. Seolah kerbau dicucuk hidung, saya mengikuti petunjuk teman sekelas tadi. Mulai dari membeli tiket sampai bagaimana caranya menaiki kereta api.

Ongkos kereta api sangat murah karena kami membeli tiket ekonomi atau kelas "balbal". Seingat saya jauh lebih murah dari ongkos bus kota dari Cililitan ke Tanjung Priok. Saya lupa. Mungkin ketika itu Rp 25, sedangkan angkutan kota jauh dekat Rp 50.

Saya memang sedikit kesal, karena tidak mendapat tempat duduk. Seluruh tempat duduk sudah penuh, bahkan seluruh gang kereta api sudah penuh dengan penumpang. Ternyata kereta api yang kami tumpangi sudah penuh sesak oleh penumpang dari dari Stasion kota dan beberapa stasion yang dilintasi kereta api itu.

Teman saya bilang, itu sudah biasa dan bagi mereka sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Saya maklum karena begitu banyak penumpang di Jakarta yang harus diangkut. (Sampai kini, menumpang kereta api ekonomi di Jakarta kondisinya masih sama. Setiap gerbong sudah penuh, bahkan ada yang duduk di atas atap kereta api. Ngeri juga!).

Dengan kereta api ekonomi, Jarak Cikini-Depok ditempuh hanya 20-30 menit. Rasanya terlalu cepat, dan ingin rasanya saya teruskan ke Bogor. Hal yang mustahil tentunya, karena saya sudah janji dengan teman menginap di rumahnya.

Sejak itu, mimpi naik kereta api, berubah menjadi kebiasaan. Penduduk Jakarta menggunakan jasa angkutan kereta api sebagai alat transportasi sehari-hari di wilayah Jabotabek, maupun ke luar kota. Dari Stasion Kota, segala jurusan bisa dituju, ke Tangerang, Rangkas Bitung, Bekasi, Bogor dan lain-lain. Selain itu Jakarta memiliki stasion Gambir yang bisa menghubungkan kereta api ke seluruh penjuru di pulau Jawa.

Kenangan indah naik kereta api pertama itu, tidak bisa kami lupakan. Kalau saya ke Jakarta, saya senang menggunakan jasa angkutan ini. Bulan April 2010 lalu, saya naik kereta api ekonomi Bekasi-Stasion Kota dan Kota-Bogor. Hanya membayar Rp 6000. Jaraknya pasti lebih dari 40 kilometer.

Beberapa tahun sebelumnya saya menggunakan kereta api ekspress Parahyangan (sebelum ditutup) dari Jakarta ke Bandung yang menempuh jarak 180 kilometer. Jarak tempuhnya kurang dari tiga jam. Saya pernah menggunakan jasa kereta api ke Jawa Timur. Lebuh murah, cepat dan nyaman dibanding naik bus.

"Kereta", demikian orang di Jakarta menyebut kereta api, telah menjadi alat angkutan layaknya bus umum. Bisa di dalam kota maupun di luar kota. Relatif murah, tidak macet, dan lebih nyaman dibanding kalau kita naik bus kota.

Di Medan : Mimpi Naik Kereta Api Medan-Pancur Batu

Kini, mimpi puluhan tahun lalu itu sudah berubah. Tidak lagi sekedar melihat kereta api atau naik kereta api. Saya bermimpi suatu ketika bisa menggunakan kereta api sebagai alat angkutan sehari-hari di kota Medan. Selama ini kami menggunakan jasa kereta api ke Rantau Prapat, atau ke Perdagangan (stasion Perlanaan). Cukup menyenangkan.

Sayangnya, di kota Medan sendiri kami sedih menyaksikan rel kereta api Medan-Pancur batu lokasinya tidak jauh dai tempat tinggal kami di Simalingkar, sekarang sudah jadi besi tua, bahkan mungkin sudah diusahai penduduk. Demikian juga di berbagai lokasi lainnya, masih banyak jalur rel yang tidak berfungsi.

Kabar yang menggembirakan meluncur dari Suhendro Budi Santoso di depan wartawan 19 Januari 2010. Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, mengungkapkan: "Mengantisipasi kemacetan lalulintas di Kota Medan sekitarnya, PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) akan kembali membuka jalur rel kereta api yang lama antara lain, Medan-Delitua, Medan-Pancurbatu, dan lain-lain", sebagaiman dilansir oleh berbagai media.

Saya dan anda penduduk Medan berharap ucapan Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, 19 Januari 2010 lalu di depan para wartawan bukan isapan jempol belaka.

Alangkah eloknya, seandainya Medan memiliki jasa angkutan keretas api seperti di Jabodetabek. Medan bisa menghubungkan jalur kereta api tidak hanya Medan-Pematangsiantar atau Rantau Prapat, tetapi juga ke Banda Aceh dan berbagai kota di Sumatera.

Saya yakin harapan yang dijanjikan PT KA itu sedang ditunggu banyak penduduk Medan dan bagian lain pulau Sumatera. Jasa angkutan ini begitu istimewa di mata banyak orang.

Dua harapan pembaca situs: http://rudikurniawandiary.wordpress.com/2008/05/17/kereta-api/, jelas merupakan harapan yang seirama dengan impian para pengguna jasa angkutan kereta api. Ludy Hartono, mengatakan : "saya warga kota kisaran di Sumatra Utara, rasanya menarik sekali menaiki kereta api, cuma, untuk perlintasannya tidak sepanjang di Jawa, mungkin pembangunannya ke depan bisa sampai ke Sumatra Barat, Riau, dan Provinsi lainnya," (Juli 16, 2009 pada 6:30). .

Sementara komentator lain bernama Rudi, mengatakan: "Betul Bang, ada kesenangan sendiri menaiki jenis kendaraan masal ini. Ya mudah-mudahan perkereta apian di negara kita semakin canggih dan profesional. Tidak hanya di Jawa tapi di daerah-daerah lain di seluruh wilayah Indonesia". (Juli 17, 2009 pada 4:03 am).

Semoga terwujud. Namanya juga bermimpi!.

Artikel ini dimuat di Harian Analisa, 27 September 2010 di Halaman Opini.

Jumat, 24 September 2010

Mereka Disanjung Saat Pesta Demokrasi

Oleh : Jannerson Girsang

Orang miskin yang memiliki anggota keluarga besar disanjung saat pesta demokrasi, tetapi sesudah itu mereka tetap miskin. Membaca Kompas.com hari ini, kisah seorang ayah yang memiliki 19 anak menggugah saya menuliskan renungan ini.

Dia adalah Asri M (45) yang memiliki 19 orang anak, buah perkawinannya dengan istri satu-satunya Marsiah (43).Sehari-harinya dia bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp 25 ribu sehari, jauh dibawah Upah Minimum. Penghasilan kecil itulah mendukung hidup kehidupan keluarga ini.

Seluruh keluarga tinggal di rumah berukuran 3 meter x 2.5 meter, berlantai tanah. Usia anak pertama pasangan ini sekitar 19 tahun dan yang paling bungsu berusia empat bulan. Anak pertama mereka berstatus janda dan memiliki dua anak yang masih berumur 4 tahun dan 2 tahun. Dari 19 anaknya, tidak ada yang sekolah, karena jarak sekolah dari rumahnya jauh dan ketiadaan biaya.

Kisah ini adalah potret sebuah keluarga yang tinggal di desa Pekon (Desa) Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, sekitar 330 kilometer dari Bandar Lampung. Mereka hanya berjuang semampunya dan  pasrah menunggu janji-jani para pemimpin negeri ini.!.

Ironis sekali. Mereka hidup di abad ke 21, abad internet, era globalisasi. Saat setiap orang dituntut memahami huruf, menulis, mampu mengoperasikan komputer, mampu berbahasa Inggeris. Kisah ini menjadi menarik, karena dari segi ini mereka adalah bagian dari sekitar 9,7 juta penduduk yang buta huruf atau 5,97 persen dari penduduk negeri ini.

Saya teringat kisah yang kontras yang pernah dirilis media yang sama beberapa waktu lalu. Gayus Tambunan yang baru bekerja 5 tahun di Dirjen Pajak mampu meraup uang negara miliaran rupiah.

Bandingkan penghasilan Asri M yang hanya Rp 25 ribu sehari. Sayangnya Gayus membelanjakan uang itu tidak seluruhnya untuk anak istrinya. Sebagian dibagi-bagi kepada pejabat yang digaji dari pajak Asri M untuk pengampunan kesalahannya. Tapi, Gayus lupa membagi Asri M, padahal dia sangat membutuhkannya.

Memang, orang seperti Asri M selalu luput dari perhatian. Mereka hanya diperhitungkan kalau tiba masa pesta demokrasi. Mereka bisa memenangkan anggota DPR, Presiden, Gubernur, Bupati atau Kepala Desa. Keluarga ini menyumbang sedikitnya 5 suara saat pesta demokrasi berlangsung. Dan pemilu mendatang mereka memiliki jumlah suara yang lebih besar. Buruh tani seperti Asri M mewakili jutaan buruh tani lainnya di Indonesia.

Saat seperti itu, Asri M lebih berharga dari Gayus. Karena kontribusi suara yang diberikan Gayus lebih sedikit. Orang-orang seperti Gayus lebih sedikit jumlahnya.

Saat pesta demokrasi, pidato-pidato yang menyanjung Asri M dan teman-temannya berkumandang disertai janji-janji politik yang menggiurkan. Mereka akan diperjuangkan kalau mereka mendukung seseorang. Padahal, kenyataannya, penyuluhan KBpun mereka tidak peroleh, untuk fasilitas pendidikan rendah sekalipun tidak ada yang membantu.

Kisah Asri M adalah mewakili jutaan kisah rakyat kecil yang seharusnya menyadarkan pemerintah, serta lembaga-lembaga yang mengaku dirinya menolong orang miskin.

Sketsa kehidupan Asri M adalah kenyataan yang mungkin juga terdapat di sekitar kita. Di Hari Tani 24 Oktober 2010 ini, saatnya kita refleksi bahwa ketidakpedulian kita atas kehidupan seperti Asri M menjadi sumber ancaman kita di masa mendatang.

Mereka membutuhkan implementasi janji-janji pemerintah. ”Orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Mereka menanti realisasi proposal-proposal LSM, agar hak-haknya sebagai orang miskin dipenuhi. Dari ruang pengap di rumahnya Asri M menuntut janji-jani para politisi yang nenjanjikan mereka perbaikan di saat kampanye lalu.

Asri M tidak butuh banyak uang seperti Gayus. Meski rumahnya jauh dari sederhana, dia tidak butuh biaya US$100 ribu agar rumahnya tidak disita. Dia tidak butuh USD 20 ribu untuk pengacara, tidak butuh duit US$ 500 ribu bagi para penegak hukum agar tidak ditahan, tidak perlu menyediakan US$ 100 ribu agar rekeningnya tidak disidik, karena dia tidak punya rekening.

Asri M tidak cukup menjadi obyek proposal bagi LSM di dalam maupun di luar negeri dan bukan hanya sekedar kisah ”Tragedi Komedi” bagi media.

Menolong mereka dengan tindakan nyata adalah satu-satunya cara meyakinkan bahwa mereka masih merupakan bagian dari bangsa ini.

Senin, 20 September 2010

Jangan Takut Menghadapi Pelajaran Apapun!

Oleh : Jannerson Girsang

Artikel ini, saya tujukan untuk anak saya yang memulai pekerjaannya sebagai seorang Junior Legal di salah satu perusahaan di Jakarta September tahun 2010. ”Jangan Takut Menghadapi Pelajaran Apapun”, adalah salah satu modal  sebagai wartawan, maupun menulis biografi atau otobiografi.

Tentunya hal ini berlaku juga bagi profesi-profesi yang lain. Jangan anggap remeh pada bidang pengetahuan yang Anda belum pelajari, sebab semuanya berguna, ibarat tubuh yang terdiri dari mata hidung, telinga, kulit, serta lain-lainnya. 

Mungkin kisah ini bisa bermanfaat bagi anda dalam menumbuhkan semangat belajar tentang sesuatu bidang yang belum pernah anda pelajari sebelumnya, memberi pemahaman agar kita jangan sampai terjebak dalam pengultusan ilmu yang kita kuasai, pengkotak-kotakan, apalagi sampai mengabaikan ilmu yang dikuasai orang lain!. Yang lebih parah lagi, merasa diri lebih benar dan lebih hebat dari orang lain.

Semakin kita mengetahui pengetahuan teman, semakin mudah kita mengidentifikasi diri, dan semakin mudah kita berkomunikasi. Hanya dengan demikian kita mampu menghargai mereka, membina kehidupan yang harmonis dan damai, yakni bila kita saling menghargai.   

Pengalaman berpetualang dengan berbagai bidang ilmu kami peroleh ketika menulis otobiografi dan biografi memberi  kesempatan bagi saya berhadapan dengan berbagai ragam kehidupan manusia secara mendalam di Sumatera Utara. Berbicara dengan banyak orang yang berbeda pengetahuan, keyakinan, mengunjungi banyak tempat yang sama sekali baru, serta hal-hal lain yang sama sekali belum pernah kuketahui. Mencari kemudahan dengan menelusuri pengetahuan baru di internet, memahami kesulitan orang lain yang pertama kali melakukannya. Sehingga saya mampu menghargai betapa sulitnya seseorang menulis biografi dan otobiografi.

Mulai dari kisah kehidupan seorang kakek, nenek pendidikan rendah di zaman Belanda, ahli teologia, dokter, ahli hukum, ahli keuangan dan lain-lain, termasuk di dalamnya soal peristiwa, sekolahnya, lingkungan tempat tumbuhnya karakter dan lain-lain. Menelusuri jejak kehidupan seorang nenek sampai ke pedalaman Onan Ganjang  di Tapanuli Utara sana. Menyusuri Pakkat sampai ke tempat bersejarah di kota Barus, Tapanuli Tengah, menembus hutan dan jalan mendaki. Menelusuri Sipahutar-Pangaribuan hanya untuk mengetahui kisah kehidupan di masa lalu.

Jika menulis biografi seorang dokter, maka sebelum menulis, saya sedikitnya harus belajar seluk beluk ilmu kedokteran secara umum, kegiatan dokter, dan lain-lain. Keterangan tentang lokasi dimana dia lahir, dibesarkan, bekerja, dan serterusnya. Pengaruh lingkungan terhadap cara berfikir dan bertindaknya. harus belajar lingkungan sosial dan politik dimana dia dibesarkan, kuliah, maupun bekerja. Kalau sang tokoh terlibat dalam gerakan mahasiswa dan politik, maka diperlukan pengetahuan politik dan sejarah perpolitikan tanah air pada masa itu.

Kesempatan itu menuntut penguasaan berbagai macam bidang ilmu. Untuk menuliskannya dengan pemahaman yang benar, saya dituntut belajar memahaminya dengan membaca pelajaran berbagai berbagai bidang pekerjaan tokoh yang saya tulis. Capek juga!.

Itulah mungkin penyebab mengapa tidak banyak orang yang tertarik menulis jenis buku ini. Itulah sebabnya pula tidak banyak dokumen tentang tokoh di daerah ini yang sempat didokumentasikan, sebelum mereka pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. .

Mengapa bisa?.

Kecintaan menggeluti berbagai bidang ilmu mungkin didorong oleh variasi bidang yang kami geluti selama ini, yakni berbagai bidang ilmu yang kami pelajari di tempat pekerjaan. Sama seperti air mengalir petulangan memahami hal-hal baru berjalan bertahun-tahun. Hingga kami berkesimpulan bahwa sampai tingkat tertentu semua pengetahuan bisa dipelajari sendiri. Apa, bagaimana, siapa, dan dampaknya bagi kehidupan.


Sebelum terjun menulis, saya pernah bekerja dan mempelajari berbagai bidang ilmu, mulai dari Pertanian dengan Ilmu Tanah sebagai ilmu minornya. Mengaplikasikan ilmu itu selama dua tahun dalam pemetaan dan survey tanah, mengajar dan sebagai dosen. Pengetahuan tentang manajemen harus saya geluti ketika memimpin Universitas, kemudian menjadi Program Manajer di sebuah LSM. .

Pelajaran yang lebih ekstrim saya peroleh ketika saya beralih dari dosen dan memimpin perguruan tinggi, langsung terjun menjadi wartawan. Belajar 5W + 1 H. Belajar jurnalistik terapan. Kemudian dalam pekerjan itu saya berhubungan dengan segala lapisan masyarakat, mulai dari tukang tahu di pinggir jalan, serta menghadiri konferensi pers atau mewawancarai pejabat penting. Pekerjaan sebagai wartawan sangat dinamis, karena berhadapan dengan berbagai level manusia, berbagai bidang ilmu, serta berbagai suasana. Sebuah bidang yang menuntun kami berfikir secara interdisiplin ilmu.

Selain itu saya pernah belajar politik dan ekonomi, saat menjalani tugas saya sebagai asisten ekonomi di kantor konsulat asing. Kantor dengan bahasa pengantar Bahasa Inggeris menuntut saya harus memperlengkapi kemampuan itu.

Sesudah itu, selama enam tahun, kami memasuki pekerjaan di bidang telekomunikasi yang banyak ditangani orang asing. Beberapa kali memperoleh pelajaran telekomunikasi bagi non-engineer, baik di dalam maupun di luar negeri. Saya sempat menulis empat buku hasil suvey industrial demand di Sumatra, walau hanya untuk kepentingan internal.

Pengalaman kami menunjukkan bahwa tidak ada ilmu yang sulit dipelajari, atau mudah dipelajari.All depends on your faith. Semuanya tergantung pada keyakinan, yakni keyakinan untuk bisa menguasai ilmu tersebut serta manfaatnya bagi diri kita sendiri. Dalam hal ini, saya memperoleh manfaat memperkaya isi sebuah buku biografi dan otobiografi, serta memperkaya wawasan kami menulis berbagai artikel.

Setidaknya bermanfaat bagi memuluskan pekerjaan yang kami lakukan. Membuat kemampuan mengidentifikai diri lebih baik.  


Hal sepele saja!. Untuk membuat blog http://www.harangan-sitora.blogspot.com--tempat saya mencurahkan pikiran,  saya harus belajar tentang bagaimana membuat blog, memposting sebuah artikel, mengedit, sekaligus mempublikasikannya sendiri.

Di era global ini saya harus berhubungan dengan email, jejaring sosial, memahami beberapa website sebagai sumber pelajaran dan informasi bagi pekerjaan menulis.

Jadi jangan katakan lagi, ”Itu bukan jurusanku”. Khususnya di era global ini semua orang dituntut belajar hal-hal yang baru. Ada banyak hal yang anda perlukan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Banyak hal baru yang dinamis dan harus dipelajari. ”Jangan takut menghadapi pelajaran apapun, termasuk menghadapi kehidupan, sebab semua ada ilmu yang menyinarinya. Belajar dan belajarlah seumur hidupmu".

Kisah ini bermaksud memberi pelajaran bagi kita semua bahwa "Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua", seperti pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya AR adalah penulis terkenal Indonesia, yang salah satu karyanya diterjemahkan ke dalam 47 bahasa.

Medan, September 2010

Rabu, 15 September 2010

Helen Keller “Buta dan Tuli, Jadi Penulis dan Politisi Terkenal”

Oleh : Jannerson Girsang
Bagaimana mungkin seorang yang buta dan tuli sejak usia 19 bulan menjadi politisi terkenal?. Mengapa tidak!. Helen Keller membuktikannya. Tentu tidak membayangkan seperti  "politik uang" yang menjamur di Indonesia sekarang ini. Dia menjadi penulis, aktif memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. 

Rasa ingin tau saya atas kisah ini berawal dari suatu hari, ketika saya browsing di internet dan menemukan beberapa video di situs you tube. Saya tertarik pada sebuah video hitam putih berdurasi 1 menit 34 detik.

Video ini menampilkan perempuan berambut putih, mengenakan baju hitam lengan panjang sedang berada di kamar kerjanya. Wajah itu mengingatkan saya pemeran perempuan tua dalam Film Titanic. Perempuan itu adalah Helen Keller.

Seorang perempuan lain masuk menemuinya, saat Helen sedang duduk membaca buku dengan tangan bergerak-gerak dari kiri ke kanan, mungkin itu buku dari huruf Braille. Didepannya terletak mesin tik zaman dulu. Menyambut tamunya, Helen bangkit dari duduknya dan keduanya saling mendekat.

Berbeda dengan pertemuan orang normal, keduanya hanya menggunakan bahasa isyarat. Saat keduanya sudah berdekatan, jari tangan kanan perempuan tamu tadi menekan-nekan telapak tangan dan jari tangan Helen. Lantas tamu itu memberikan sesuatu untuk dicium. Penciuman adalah salah satu pengganti indera bagi Helen untuk mengenali sesuatu. Keduanya tersenyum dan terlihat gembira luar biasa!.

(Anda bisa menemukan banyak video Hellen Keller di You Tube, jika anda menginginkannya. Cari dengan kata kunci ”Helen Keller You Tube”, anda akan menemukan puluhan video tentang perempuan luar biasa ini. Anda bisa menyaksikan bagaimana Anne Sillivan mengajar Helen dan berbagai kisah lainnya. Luar biasa!).

Adegan itu mengundang decak kagum. Seorang buta dan tuli menjadi penulis dan politikus terkenal. Saya kemudian tertarik mempelajari kisahnya lebih dalam. Bagi anda yang sudah pernah membaca kisah ini silakan baca kembali mungkin ada hal-hal yang menarik. Bagi anda yang belum, saya yakin kisah Helen Keller akan memberi anda sebuah kisah yang benar-benar mengagumkan. 

Mengenal Helen Keller

Siapakah Helen Keller?. Dari berbagai referensi, saya mencoba mengisahkannya berikut ini.

Helen dikenal sebagai penulis, politikus dan aktivis Amerika, meskipun tidak bisa melihat dan mendengar. Dengan kekurangsempurnaan tubuhnya Helen mampu menjadi ”garam dan terang” bagi sekitarnya. Bahkan dia diberi usia yang panjang, 88 tahun. Bagi saya Helen adalah icon menghadapi tantangan tanpa kenal menyerah.

Perempuan bernama lengkap Adams Helen Keller itu dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1880 di Tuscumbia, sebuah kota pedesaan kecil di Northwest Alabama, Amerika Serikat. Helen adalah Putri Kapten Arthur Henley Keller dan Kate Adams Keller yang lahir sempurna, baik penglihatan dan pendengarannya.

Nasib tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sebuah peristiwa yang memutar haluan hidupnya terjadi saat Helen berusia 19 bulan. Dia terserang penyakit, dan akhirnya buta dan tuli. Sejak itu, Helen mengalami kesulitan.

Di usia muda seperti itu, Helen sendiri tentu tidak akan mampu mengatasi masalahnya. Dia bersyukur karena ayah dan ibunya peduli pada masalahnya, dan tidak menyerah dengan keadaan. Mereka tidak membiarkan Helen nantinya hanya menjadi pengemis atau menjadi beban bagi orang lain. Peran ayah ibunya mendorong semangat Helen belajar dan bercita-cita. Bisa dibayangkan bagaimana kesulitan dan kesabaran yang dimiliki orang tuanya. Helen yang sebelumnya cantik dan cerdas tiba-tiba tidak bisa mendengar dan melihat.

Usaha orang tuanya dengan mencari guru dan sekolah yang cocok baginya memampukan Helen bersyukur atas cacad tubuhnya sekaligus mengatasinya. Di sekitar Helen ada seorang perempuan bijak, bernama Anne, yang membimbingnya hingga mampu membaca dan menulis huruf Braille, kemudian .masuk sekolah sebagaimana lazimnya anak-anak seusianya.

Memasuki usia remajanya, pada 1896, Helen pindah ke Cambridge School for Young Ladies. Empat tahun kemudian, musim gugur tahun 1900 dia mendaftar di Radcliffe College. Helen menjadi orang buta dan tuli pertama yang mendaftar di sebuah institusi pendidikan tinggi.

Selama di College itu, Helen mulai menulis tentang hidupnya. Dia menulis cerita dengan baik menggunakan huruf Braile pada mesin tik biasa. Helen dan Anne juga bertemu dengan John Albert Macy yang menolongnya mengedit bukunya yang pertama "The Story of My Life". Buku itu diterbitkan pada tahun 1903. Meskipun pada awalnya buku itu tidak menarik, tetapi kemudian hari menjadi sebuah buku klasik.

Pada tanggal 28 Juni 1904 Helen lulus dari Radcliffe College, orang tuli dan buta pertama meraih gelar Bachelor of Arts. Tahun-tahun berikutnya, Helen menulis buku "The World I Live In". Pada tahun 1909, Helen menjadi anggota Partai Sosialis Massachusetts. Dia menulis serangkaian essai tentang sosialisme "Out of the Dark" (1913).

Sebuah film documenter tentang kehidupan Helen Keller dirampungkan pada 1953. Dia juga menulis otobiografinya: Helen Keller in Her Story.

Di usianya 81 tahun, tepatnya Oktober 1961, Helen menderita serangkaian stroke. Selama setahun dia dirawat di rumahnya di Arcan Ridge.

Di akhir-akhir hidupnya, Helen memperoleh beberapa penghargaan, Presidential Medal of Freedom (1964), sebuah penghargaan sipil tertinggi di Amerika Serikat yang diserahkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson. Setahun kemudian Helen terpilih di Women's Hall of Fame di New York World's Fair.

Helen meninggal dengan tenang di Arcan Ridge pada 1 Juni 1968 dan dikremasi di Bridgeport, Connecticut. Pelayanan pemakaman diadakan di National Cathedral di Washington DC di mana guci berisi abunya disimpan.

Kalau Helen dengan cacad hidup bisa sukses sebagai penulis dan politikus, bagaimana dengan saya dan anda yang sempurna?.

Kisah Helen Keller mengajarkan kita perjuangan seorang tuli dan buta, orang cacat yang memiliki otak yang jenius, ketekunan, kesabaran, keterbukaan mendapat pengajaran, serta kreativitas.

Belajarlah kisah Helen Keller, pasti anda akan memperoleh pengalaman yang luar biasa.

Selasa, 14 September 2010

Mengembalikan Pinjaman Buku Setelah 35 Tahun

Oleh: Jannerson Girsang

Hari ini 14 September 2010, http://www.kompas.com melansir sebuah berita menarik dari belahan bumi Amerika. Pemutihan Buku memberanikan seseorang mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya selama 35 tahun.

Kisah di salah satu website terbaik negeri ini, membuka mata kami mengembangkan kisah itu, dan mengajak anda sejenak melirik tempat kisah ini berlangsung, yakni Perpustakaan Umum Winona, AS. Sekaligus mengajak media kita untuk peduli kepada perpustakaan.

Kisahnya begini. Minggu lalu, petugas perpustakaan di Perpustakaan Umum Winona, Minnesotta, AS, Robin DeVires, terkejut ketika seseorang mengembalikan sebuah buku yang dipinjam 35 tahun lalu. Buku berjudul Small Voices: A Grownup’s Treasury of Selections from the Diaries, Journals and Notebooks of Young Children itu berisi kumpulan jurnal beberapa orang terkenal yang ditulis pada masa kanak-kanak mereka. Seseorang meninggalkan buku itu di kotak pengembalian buku, tanpa meninggalkan identitas apapun.


Pustakawan Robin DeVries mengatakan dia senang untuk mendapatkan kembali buku itu.

Perpustakaan mengenakan denda USD 1.400 (seribu empat ratus dollar Amerika)  atau sekitar Rp 12,6 juta untuk buku yang terlambat dikembalikan. Tetapi dengan pemutihan itu membuat peminjam yang lalai bebas denda.

Catatan perpustakaan menyarankan peminjaman buku tersebut di atas diperiksa di awal 1970-an. Tetapi karena sistem sirkulasi telah berubah, tidak jelas siapa yang terakhir melakukan pemeriksaan. Perpustakaan telah mengganti sistem peminjaman, sehingga identitas orang yang meminjam buku itu 35 tahun lalu tidak diketahui.

Tak seorangpun mengetahui motif mengapa orang tersebut tidak meninggalkan identitasnya. Yang pasti, kami menilai orang itu berniat baik. Dia memahami bahwa buku adalah sebuah barang berharga dan bila dibagikan kepada yang lain akan memberi manfaat ganda. Meski harus menyembunyikan identitasnya, mungkin karena malu. Terlalu lama mengembalikan buku itu.

Kisah ini menjadi pelajaran bagi para peminjam buku dari perpustakaan agar tidak terlambat mengembalikan buku-buku yang dipinjam melebihi masa peminjaman. Bisa keterusan seperti kisah di atas. Untungnya dia masih mengerti arti sebuah buku. Meski terlambat dia masih rela mengembalikannya. Sebuah simbol pemahaman atas nilai sebuah buku.

Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi pengelola Perpustakaan untuk periode-periode tertentu melakukan pemutihan, agar buku-buku penting yang dipinjam dan lalai dikembalikan bisa dimiliki perpustakaan untuk dibaca lebih banyak orang yang memerlukannya.

Sekilas Perpustakaan Winona


Di balik kisah di atas, alangkah baiknya kita mengetahui sekilas kisah Perpustakaan Winona, sebagai sebuah perbandingan dan motivasi dalam mengembangkan perpustakaan di lingkungan kita. Masyarakat modern memandang perpustakaan sebagai usaha mempertahankan dan mengembangkan peradaban, bukan hanya bangunan fisik belaka, bukan pula hanya melayani peminjaman dan pengembalian buku.

Perpustakaan ini berdiri pada 1857, ketika sekelompok kecil orang lokal membentuk Winone Lyceum, asosiasi perpustakaan paling awal di kota itu. Iuran yang dibayar oleh anggota membiayai pembelian buku baru. Pada tahun 1863 kelompok itu menjadi Young Men's Library Association, yang pada 1870 berkembang menjadi 268 anggota dengan 1.670 buku. Karena sempat dililit hutang, perpustakaan ditutup pada 1875 selama dua tahun.

Pada 1877 Mrs JB McGaughey, Mrs Thomas Wilson, dan Miss Charlotte Prentiss melunasi hutang dan mereorganisasi perpustakaan di bawah nama baru, the Winona Library Association. Pada tanggal 22 Maret 1886, asosiasi menyumbangkan koleksi 3.500 buku untuk Winona, membentuk perpustakaan umum kota pertama yang gratis.

Akhir 1890-an William H. Laird menyumbang $ 50.000 untuk kota untuk rumah permanen untuk perpustakaan, yang mencakup biaya konstruksi untuk bangunan baru. Asosiasi perpustakaan membayar biaya perabot, dan rak. Perpustakaan baru di sudut jalan Fifth Johnson dibuka pada 20 Januari 1899, dan masuk dalam National Register of Historic Places.

Bangunan tahan api dirancang oleh Warren Powers Laird, dekan sekolah arsitektur dari University of Pennsylvania, dan Edgar V. Seeler, seorang arsitek Philadelphia. Bangunan asli memiliki ketinggian 85 kaki, 65 kaki dengan sayap berlantai tiga. Kubah tembaga setinggi 56 kaki di atas jalan. Dinding bata berhadapan dengan batu Bedford dan pintu masuk, trotoar, tempat jalan kaki, adalah batu kapur Winona. Kolom di pintu masuk adalah marmer Georgia Creole.

Fitur yang unik dari perpustakaan ini adalah lantai kaca dalam tumpukan buku, rak-rak dan tangga berukir wajah dari tembaga, dan mural Kenyon Cox, "The Light of Learning," di bawah kubah perpustakaan.

Sebuah perpustakaan dibangun dan dirancang untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Sebuah tempat yang nyaman untuk belajar peradaban manusia. Selain itu, website perpustakaan ini didesain ssedemikian rupa sehingga menarik untuk dikunjungi.

Bagaimana dengan perpustakaan kita?.Momen ini seharusnya kita gunakan untuk belajar lebih banyak tentang perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya tempat meminjam buku, tetapi sekaligus sebuah kebanggaan kota.

Bagaimana dengan media kita?. Saatnya media bercermin sejauh mana mereka telah memberi perhatian dalam meliput perpustakaan. Kisah ini diliput berbagai media terkenal dunia seperti The Associated Press, The New York Times serta media terkemuka dunia lainnya.

Media tanah air jangan sampai melupakan kisah dari ruang perpustakaan-perpustakaan nasional!. Kisah perpustkaan kalau dikemas dengan baik menjadi sebuah berita yang memotivasi bangsa ini mencintai dan mengembangkan peradaban. Jangan hanya larut dengan kisah perselingkuhan, kekerasan, korupsi, perilaku politik yang tidak etis para elit.
 
Kalau anda berminat melihat sebuah perpustakaan kota yang modern bisa mengunjungi : http://www.cityofwinona-mn.com.

Artikel ini terinspirasi dari berita di http: www.kompas.com. ”Buku Dikembalikan Setelah 35 Tahun, 14 September 2010).
:

Senin, 13 September 2010

Petunjuk di Alam Global

Oleh : Jannerson Girsang

Masih suka keliru mencari lokasi tujuan anda di era global  ini?. Kalau anda mau meluangkan waktu sebentar, pasti anda tidak mengalaminya.

Masuklah sebentar ke website http://www.detik.com! Selain mencari berita, di sana anda bisa memperoleh informasi itu.

Ikuti pengalaman saya!. Ketika saya jalan-jalan ke Jakarta beberapa waktu lalu, saya menggunakannya untuk  mencari museum Fatahilah. Ikuti langkah-langkahnya berikut ini:

1. Masuk ke http://www.detik.com.

2. Klik ”Pencarian Alamat Bisnis, Lengkap dengan Peta Digital” yang terdapat di bagian atas website.

3. Perhatikan kolom kosong yang terletak diantara tulisan ”Buku Kuning” dan ”Temukan”.

4. Saya menuliskan ”Museum Fatahilah” di kolom itu.

5. Setelah menunggu beberapa detik, muncul beberapa informasi. Alamat museum: Jalan Taman Fatahillah No 1 Taman Sari. Nomor teleponnya untuk mendapatkan informasi museum itu. Lantas, peta lokasi musem, lengkap dengan denah dan beberapa nama jalan di sekitarnya.

6. Saya tidak berhenti di sana. Saya melihat di sudut kiri website. Terdapat empat panah dengan empat arah. Saya mengklik panah itu untuk menetapkan arah lokasi itu dari tempat saya berada. Saya tinggal menentukan bagaimana menuju tempat itu.

7. Tinggal memilih apakah saya menggunakan mobil sendiri, kereta api, bus, busway, atau angkutan lain.

Sampai artikel ini ditulis, website ini menampilkan informasi tentang Bali, Banten, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Nangroe Aceh Darusalam, Papua, Riau, Sulawesi Selatan.

Di dalam direktori itu Anda bisa mencari informasi tentang Kuliner, Kesehatan, Rumah Sakit Klinik Kesehatan, Pendidikan, Olahraga, Hiburan & Gaya Hidup, Pasar Ritel, Bank & Finansial, Bengkel Motor, Rental Mobil SPBU Suku Cadang Otomotif Dealer Motor Salon Mobil, Fesyen, Pabrik, Manufaktur Garmen Elektronik, Wisata, Properti, Fasilitas Umum, Kantor Penerbit Event Organizer Biro Tenaga Kerja Pengacara Biro Iklan dan Advertising Notaris, PPAT dan lain-lain.

Kalau anda mau BukuKuning Premium buku ini akan memberikan fasilitas tambahan berupa tampilan : deskripsi perusahaan, foto, URL website perusahaan,dan lain-lain.

Silakan mencoba!


Rabu, 08 September 2010

Ultah Perkawinan Ke 26

Oleh Jannerson Girsang

Saya masih duduk menghadap layar laptop ketika hp saya berbunyi sekitar pukul 02 dinihari 8 September 2010. Tak begitu mengagetkan bagi saya karena kadang anak-anak mengirim sms tak kenal waktu. Mereka biasa curhat kapan saja. Setelah kubuka, ternyata sms datang dari anakku kedua, Patricia.  “Hei mom n fader, hpy wedding anniversary 4 u! Waah, udah 26 tahun ya..trharu saya. God led both of u”.

Ya Tuhan, betapa Engkau menganugerahkan kami anak-anak yang bijak. Saya terharu karena Ultah perkawinan saja harus diingatkan oleh anak-anak. Bagi mereka ini sebuah hari penting dan bersejarah. Saya sendiri tidak begitu perhatian, karena beberapa tugas yang harus saya selesaikan malam itu.

Dengan perasan ngantuk berat karena lelah bekerja sampai dini hari, saya membangunkan istri yang sudah tidur beberapa jam sebelumnya. ”Ada apa pak,” katanya. ”Ma, perkawinan kita sudah 26 tahun,”. ”Oh ya aku malah lupa”. Kami saling berpelukan, mengucap syukur atas perkawinan kami yang diberkati Tuhan selama 26 tahun.

Berdoa dan refleksi atas perjalanan panjang: derita, suka cita dan rasa syukur kepada Tuhan. Tanpa acara istimewa, tanpa resepsi.

Saya dan istri meyambut Ulang Tahun Perkawinan ke-26 dengan rasa syukur karena diberi kesempatan menyaksikan empat anak kami yang kini semuanya sudah dewasa. Yang bungsu memasuki 17 tahun dan sulung 25 tahun. Kedua orang tua saya masih tegar dan selalu mendukung kami anak-anaknya.

Dua diantaranya sudah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, yang tertua lulus dari FISIP Universitas Indonesia (2008), dan anak kedua lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2010). Putra kami satu-satunya sedang kuliah di Polyteknik Negeri Jakarta semester 5. Mereka tinggal bersama di sebuah rumah kos di Depok. Saya bersyukur kepada Universitas Indonesia yang telah mendidik anak-anak saya. Univerisitas  yang tidak mengutip biaya di luar yang telah ditetapkan. Universitas yang mendidik sikap jujur dan percaya diri bagi anak-anak saya. Yang bungsu masih di kelas 3 SMA, tinggal bersama kami di Medan. Yang tertua sudah bekerja di sebuah stasion televisi, sedangkan yang kedua sedang mencari pekerjaan.

Di awal 15 tahun perkawinan kami, saya bekerja di berbagai bidang pekerjaan. Mulai dari tenaga surveyor sampai menjadi demand forecast di salah satu perusahaan telekomunikasi sampai 2001. Bahkan pernah memimpin sebuah perguruan tinggi swasta. Berbagai situasi buruk menyebabkan tempat kami bekerja bangkrut atau ditutup (krisis yang dialami Majalah Prospek 1992, penutupan Konsulat Amerika 1996, Pembubaran KSO Telkom 2001). Kami mengalami beberapa kali berhenti bekerja.  

Sejak 2002, kami memfokuskan diri menjadi penulis biografi, konsultan media dan menulis artikel di berbagai media lokal. Menghasilkan lebih dari sepuluh buku biografi, puluhan artikel-artikel di Media, serta aktif dalam berbagai aktivitas sosial. Di sela-sela pekerjaan itu, saya beberapa kali mendapat kesempata bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (asing dan dalam negeri) di Program Rehabilitasi Tsunami dan Gempa Aceh-Nias. Saat ini, saya bertanggungjawab memimpin jemaat di gereja GKPS Simalingkar yang berangotakan 170 Kepala keluarga lebih. Waktu dan tenaga saya semakin banyak tersita bagi jemaat. Semoga Tuhan menguatkan kami.

Di masa-masa sulit seperti itu, Juni 2010 lalu, adik kami dipanggil Tuhan, menyusul istrinya yang sudah meninggal empat tahun sebelumnya. Mereka meninggalkan tiga putri yang cantik-cantik, dan kini masih dalam usia belajar. Yang tertua kuliah di semester pertama di FISIP Universitas Indonesia, anak kedua di SMA kelas II, dan bungsu di kelas I SMP. Meski secara ekonomi mereka bukan tanggung jawab saya sepenuhnya, tetapi keluarga menyerahkan tanggungjawab sebagai orang tua mereka. Hingga aku memiliki 7 orang anak yang luar biasa sekarang ini. Semangat hidup mereka yang tinggi meski ditinggal kedua orangtuanya turut menambah semangat hidup saya, meski beban lebih berat.

Jujur saja, secara ekonomi saya memang tidak mampu. Tetapi, saya memiliki sumber semangat bekerja yang terus terpacu dari semua anak-anak menyenangkan hati kami orang tuanya. Mereka memahami betul keadaan ekonomi kami. Bahkan mereka mengerti bahwa untuk kelangsungan pendidikan mereka saya harus menjual beberapa properti yang saya miliki sebelumnya (rumah, mobil dll). Mereka mengerti kalau orang tuanya sekarang hanya mampu bepergian kemana-mana dengan sepeda motor atau naik angkot. Mereka mampu hidup dalam kesederhanaan.

Mereka mengerti, kalau tahun depan pulang ke Medan tidak bisa naik mobil lagi. Karena kemewahan dan segala kemudahan bukan budaya mereka sejak dulu. Mereka ingin melayani sesama, bukan membuat sesama menjadi susah. Menyenangkan orang lain, itulah yang selalu kami ajarkan kepada mereka sejak kecil.

Anak-anakku bangga kepada kami orang tuanya. Setiap hari kata-kata yang membuat kami bersemangat, terus mengalir dari mereka satu per satu. ”Semangat ya pak, semangat ya pak, pasti suatu saat situasi kita akan membaik,” demikian pesan mereka melalui sms acapkali kami terima. Rasanya lebih dari segala yang bisa diberikan seorang anak kepada orang tuanya.

Perkawinan kami memang memulainya dari nol besar. Kami mengontrak dan tidak memiliki apapun kecuali nyawa kami berdua. Hingga kami bisa memahami bahwa keadaan sulit sekarang, adalah sebuah kemajuan besar dibanding ketika kami memulai perkawinan. Sebuah keadaan yang harus disyukuri dan disikapi dengan bijak. Ada keyakinan akan janjiNya: ”Aku tidak akan memberikan beban yang tidak bisa kamu tanggung”.

Tak terbayangkan seandainya anak-anak saya tidak sukses dalam studi mereka. Seandainya mereka tidak mau mengikuti nasehat orang tuanya. Kekuatan kami adalah kami bersyukur atas capaian anak-anak kami dan mereka menghormati dan mengagumi kami orang tuanya.

Merekalah harapan kami di masa depan. Meski, di satu pihak, saya masih khawatir bagaimana kelanjutan pendidikan kedua anak saya yang terakhir. Pasalnya, keadaan ekonomi kami saat ini yang kurang mendukung.

Memutar memori ke awal perkawinan kami, terkadang pikiran saya sedih. Di awal perkawinan kami, terjadi kekerasan dalam peristiwa Tanjung Priok, September 1984 yang menewaskan puluhan orang. Kini, di ulang tahun perkawinan kami yang ke-26, suasana kekerasan masih berlangsung dan ditambah masalah korupsi, serta carut marutnya pemerintahan di pusat dan daerah.

Saya senantiasa berdoa kiranya para pemimpin negara ini bisa membuat negara kami semakin baik, terbebas dari kekerasan dan bebas dari korupsi. Dua puluh enam tahun perkawinan kami menyaksikan bahwa keadaan negara ini tidak banyak berubah. Secara ekonomi kita mencetak prestasi, tetapi dari segi perkembangan moral bangsa kita jalan di tempat.

Saya berdoa agar anak-anak saya mencintai perdamaian dan kejujuran dalam meniti kariernya di masa depan. Semoga mereka diberi kesempatan berbakti tanpa menyogok untuk bekerja. Semoga mereka tidak ikut-ikutan korupsi seperti yang dilakukan oleh banyak elit negara ini.

Puji Tuhan atas segala berkat yang telah Engkau limpahkan kepada kami. Lindungi kami dari segala fitnah dan kekerasan dalam berbuat kebajikan. Berikan kami kebijakan dan kesehatan, agar kami bisa membimbing anak-anak kami hingga mereka tumbuh dan berkembang di negara yang kami cintai: Indonesia. Berikan kami kebijakan untuk membantu sesama kami melalui talenta yang kami miliki. Amin!




Jumat, 03 September 2010

Jangan Cepat Katakan ”Ya”!.

Oleh : Jannerson Girsang

Nasib malang menimpa Adrian Wojnarowski--penulis buku laris dan juga penulis olah raga pada Yahoo Sport. Baru-baru ini, Penguin Group-sebuah perusahaan penerbitan di Amerika menuntutnya  mengembalikan uang muka $ 140.000 untuk rencana penulisan buku  : "Jimmy V: The Life and Death of Jim Valvano". Buku ini adalah biografi Jimmy Valvano, yang dilukiskan New York Post sebagai seorang pelatih basket kontroversial di Amerika. Pasalnya, sang penulis tidak memenuhi penyerahan naskah buku setebal 130.000 kata itu tepat waktu. (New York Post, 1 September 2010). 

Apakah Anda seorang penulis yang membantu penulisan otobiografi atau biografi, atau seorang yang menggunakan jasa ini?. Kasus di atas adalah pelajaran berharga.

”Pak Girsang buat dulu bukuku, berapa biayanya”, demikianlah permohonan singkat yang sering kami terima dari seorang yang ingin menggunakan jasa kami menulis biografi.  Saya tidak begitu saja mengatakan "Ya". Diperlukan proses panjang sebelum saya sampai menyatakan setuju. .

Jangan lupa!. Dari segi teknis, pekerjaan membantu menulis biografi atau otobiografi mengandung resiko bagi kedua belah pihak, jika sejak awal tidak memiliki pemahaman bersama.

Langkah-langkah berikut yang kami susun berdasarkan pengalaman menulis sekitar 13 buku otobiografi dan biografi sejak 2002, mencoba menjembatani keduanya.

Langkah-langkah Utama

Pengalaman kami menunjukkan bahwa seorang yang menawarkan jasa penulisan biografi atau otobiografi tidak cukup sekedar memiliki kemampuan menulis. Ada hal lain yang sangat penting dan menentukan sukses, yakni pemahaman manajemen penulisan dan kemampuan meyakinkan klien memiliki pemahaman bersama sejak sejak awal penulisan.

1. Jelaskan makna penulisan sebuah biografi atau otobigrafi. Anda harus yakin bahwa klien Anda mengerti makna sebuah otobiografi atau biografi itu sendiri. ”Jadi, anda berfikir untuk menulis otobiografi anda. Itu adalah gagasan bagus. Itu berarti bahwa anda telah memberi perhatian besar pada kehidupan anda dan menjadikannya sebagai pelajaran dan nilai yang penting bagi anda, sesuatu yang anda bagikan kepada orang lain. Anda mencari suatu makna yang lebih tinggi dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, anda menghargai saat saat-saat yang telah anda gunakan di sini, di bumi. Kehidupan anda memang terlalu berharga untuk diabaikan bersamaan dengan berlalunya waktu”. (Ray Mungo, 1999).

2. Buat kesepakatan cakupan (skope) pekerjaan. Awali dengan kesepakatan jumlah halaman dan ukuran kertas buku. Bisa 100 halaman, 200 halaman atau 300 halaman, bahkan lebih. Kemudian tentukan kualitas buku. Makin banyak halaman dan makin tinggi kualitasnya (apakah memerlukan fotografer, editor, indexing, desainer kualitas tinggi). Jangan lupa!. Pada tahap awal, anda perlu menjelaskan ISBN, penerbitan, pencetakan, peluncuran, termasuk soal cetak mencetak. Pastikan bahwa hal ini dipahami oleh pemohon jasa anda. Cara sederhana, anda bisa membawa beberapa contoh buku. (Catatan : Pengalaman kami, honor dihitung per halaman buku).

3. Pertimbangkan tingkat kesulitan untuk memproduksi jumlah halaman yang akan ditulis. Bahaslah secara detil sumber data : riset, foto dan lokasinya, wawancara (jumlah orang yang akan diwawancarai, lokasi, cara berkomunikasi—langsung, melalui telepon atau internet). Ini akan membantu anda mempertimbangkan biaya pengumpulan data. Makin banyak orang yang anda wawancarai dan makin jauh lokasi tempat tinggal mereka dari tempat tinggal anda, tingkat kesulitannya akan makin tinggi.

4. Pertimbangkan proses pekerjaan yang berurutan menurut waktu dan orang-orang yang terlibat. Mulai dari pengumpulan data (riset, pengamatan, wawancara), penulisan, koreksi, editing, reading proof, indexing, design cover dan isi). Susunlah jadwal menurut tahapan-tahapan yang paling logis. sesuai kesepakatan pada point 2.

5. Diskusikan semua proses pekerjaan dan orang-orang yang terlibat. Ingat!. Anda harus menegaskan tahap-tahap dimana anda melakukan koreksi secara bersama-sama. Karena anda akan pusing, kalau setiap orang dan setiap saat melakukan koreksi.

6. Tuliskan semuanya dalam dokumen perencanaan penulisan. Selain itu, di dalam kontraknya anda harus mencantumkan tahapan pembayaran jasa anda.

7. Serahkan satu dokumen untuk pihak tokoh dan satu dokumen untuk pihak anda sendiri dan lengkapi dengan kontrak, sebagai alat kontrol mengelola proses pekerjaan. Usahakan agar dari pihak tokoh ada seorang yang benar-benar memahami dan yang ditetapkan sebagai ”penghubung” anda. Kalau bisa, sang tokoh jauh lebih baik sebagai ”penghubung” langsung.

8. Sebelum memulai pekerjaan, luangkan waktu sekali lagi untuk memastikan dokumen ini dipahami semua pihak yang terlibat dalam sebuah pertemuan. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui resiko jika seandainya terjadi pelanggaran atas tahapan-tahapan yang sudah disepakati. Budaya kita masih budaya ”oral”, jadi masih perlu proses untuk memahami komitmen secara tertulis, sehingga kalau ada masalah kita bisa selesaikan berdasarkan dokumen tertulis.

9. Setelah langkah satu sampai delapan selesai, anda siap mengatakan ”ya” dan siap memulai penulisan!.

Semoga bermanfaat!. Untuk Informasi lebih lanjut Anda bisa menghubungi kami di : jgirsang61@gmail.com.

Rabu, 01 September 2010

Gunung Sinabung "Babak Baru" dan" Bukan Peristiwa Biasa"

Oleh : Jannerson Girsang

Kaget dan awalnya tidak percaya. Menyaksikan televisi menyiarkan Gunung Sinabung meletus tengah malam  29 Agustus 2010 membuat kami terhenyak sejenak. Apa ya?. Saat itu kami sedang berkunjung ke tempat kos anak-anak kami di Depok, 1500 kilometer dari tempat kejadian.

Berita itu begitu menarik.Pasalnya, Gunung Sinabung tak jauh dari desa tempat saya dilahirkan. Muncul kekhawatiran. Bagaimana dengan orang tua saya di kampung?. Kami punya pengalaman saat letusan Galunggung pada 1982. Ketika itu, tempat kos kami di Bogor yang berjarak ratusan kilometer dari lokasi kejadian kena semburan abu. Pagi hari, kami sudah menemukan pakaian yang dijemur di teras rumah penuh debu. Syukurlah, memang letusannya tidak separah Galunggung.

Artikel ini ingin  berbagi dengan pembaca, kisah saya dan Gunung Sinabung. Kiranya pesan sederhana ini dapat menyadarkan kita betapa pentingnya memahami alam sekitar. Alam indah dan memberi kemakmuran, ternyata menyimpan risiko, sehingga selain penyaluran bantuan pihak berwenang perlu mempersiapkan mitigasi gunung berapi.

Keindahan Panorama

Kehidupan sehari-hari di masa anak-anak sampai menjelang remaja kami adalah menikmati pemandangan Gunung Sinabung dari kejauhan. Dari desa tempat saya dilahirkan empat puluh sembilan tahun lalu, Nagasaribu, Kabupaten Simalungun—berjarak lurus 20-30 kilometer, memandang Sinabung ibarat menyaksikan lukisan alam nan indah, sumber inspirasi, serta pemberi rasa sejuk di hati saat lelah bekerja di ladang.

Di pagi hari, dari perladangan di sekitar kampung kami, saya bisa menyaksikan kawah yang mengepulkan asap berwarna putih. Cahaya kekuningan sebagai hasil terpaan matahari pagi ke dinding dan lubang di sekitar kawah, kontras dengan warna kebiruan dedaunan pohon di sekitarnya.

Hingga sekarang ini, keindahan Gunung Sinabung memang sedemikian mempesona dan tidak surut karena bertambahnya usia kami. Ketika bekerja di sebuah lembaga asing untuk Tsunami dan Gempa Aceh-Nias, kami beberapa kali menumpang pesawat Caravannya Susi Air. Terbang dengan ketinggiannya maksimal 10.000-- kaki (di lokasi ini lebih rendah dari ketinggian Gunung Sinabung), menuju Sibolga atau Nias, memberi kesan tersendiri. Beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Polonia Medan, saya tidak meloloskan kesempatan memandang ke arah Gunung Sinabung--beberapa kilometer ke sebelah kanan pesawat, dan  posisinya lebih tinggi dari pesawat. Sungguh-sungguh pemandangan yang indah luar biasa. Saya bisa melihat dengan rasa kagum pesona Gunung Sinabung. Sekali-sekali mata kuarahkan ke bawah dan menikmati pesona lembah, sungai yang berkelok-kelok. Lantas beberapa menit kemudian, saya menyaksikan hamparan pertanian nan hijau, berpetak-petak di wilayah semburan debu dari Gunung Sinabung selama ratusan tahun. Berbeda dengan perladangan di sekitar Nagasaribu yang belum tertata serapi pertanian di wilayah sekitar Gunung Sinabung.

Sumber Kemakmuran

Memori kami di awal delapan puluhan adalah memahami Gunung Sinabung dari sudut ilmu geologi yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor, Gunung Sinabung menjadi salah satu topik dalam mata kuliah Geologi Indonesia, dari sekian puluh gunung berapi di negeri ini. Pak Rahmat Harjosoesatro, dosen geologi—lulusan zaman Belanda itu mengajarkan bahwa Gunung Sinabung melepas abu vulkaniknya dan memberikan kesuburan tanah pertanian di sekitarnya.


Pelajaran Gunung Sinabung memberi pemahaman kepada kami mengapa Daerah Karo Simalem berbeda kesuburannya dibanding dengan ladang kami, di sekitar Gunung Singgalang dan Gunung Sipiso-piso. Pulau Jawa yang banyak gunung berapinya adalah pulau tersubur di Indonesia, bahkan di dunia.

Wilayah sebaran abu vulkaniknya menjadi contoh pertanian hortikultura modern tidak saja bagi Sumatera Utara, bahkan bagi Indonesia. Tak salah kalau saya menyebut Gunung Sinabung adalah lambang kemakmuran. Kawasan di sekitar Gunung Sinabung terkenal sebagai daerah pertanian subur dengan eksport sayur mayur dan buah-buahannya.

Bagi mahasiswa Fakultas Pertanian, wilayah ini menjadi sumber inspirasi pengelolaan pertanian modern. Ketika bekerja sebagai dosen si Universitas Simalungun, saya membawa seratusan mahasiswa melakukan study banding ke kebun vanili di Kecamatan Simpang Empat. Dari lokasi itu, saya seolah berhadapan langsung dengan kawah gunung Sinabung. Berkunjung ke wilayah sekitar Gunung Sinabung adalah menyaksikan petani maju, dengan sistem pertanian yang jauh lebih modern dari daerah lain. Banyak hal yang tidak kami ketahui tentang sistem yang sudah diterapkan dibanding dengan pengetahuan yang kami pelajari di Institut Pertanian Bogor. Hanya satu yang tidak mereka kuasai, yakni aktivitas gunung yang berada di sekitar mereka. 

Dua kisah kami di atas adalah gambaran orang di luar wilayah cakupan Gunung Sinabung merasakan gunung ini sebagai sebuah keindahan ciptaan Tuhan, sumber inspirasi dan pengetahuan. Tak pernah sekalipun kami  membayangkan adanya bahaya dari dalam gunung itu. Pendapat saya, penduduk di sekitar Gunung Sinabung memiliki pemahaman yang sama dengan saya. Mereka tidak pernah membayangkan kejadian Malam Minggu itu. .

Babak Baru

Gunung Sinabung mencatat babak baru. Setelah tidur selama 400 tahun, Sabtu, (28/8) sekitar pukul 23.00 WIB, gunung yang memiliki ketinggian 2.640 meter di atas permukaan laut dan terletak di Desa Merdinding, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, meletus dengan mengeluarkan asap putih tebal disertai lava pijar.

Seperti diberitakan media, sampai hari Selasa 31 Agustus, lebih dari 27 ribu (dari sekitar 330 ribu penduduk Tanah Karo) meninggalkan rumah dan lahan pertanian mereka, menembus malam yang dingin menuju tempat pengungsian, menghadapi masalah makan dan sandang, bermalam di tempat terbuka, diterpa angin dingin alam yang terletak di atas 1400 meter dari permukaan laut itu.

Kejadian yang tidak biasa ini memunculkan banyak pertanyaan baru di tengah-tengah masyarakat dan tentunya butuh jawaban yang akurat. Pertanyaan besarnya adalah, mengapa gunung yang selama ini menyuburkan tanah mereka, memberi keindahan dan rezeki berkelimpahan, tapi mereka harus mengungsi menjauhinya. Sampai kapan mereka tinggal di pengungsian dan bagaimana mereka mengembalikan trauma kejadian itu.

Mereka diliputi kekhawatiran atas sesuatu bahaya yang mereka tidak tahu secara persis. Wajar saja, karena selama ini mereka adalah petani teladan yang pintar bercocok tanam, bukan ahli aktivitas gunung berapi. Bahkan banyak yang memperoleh pengetahuan gunung api dari mitos-mitos nenek moyang mereka. Untuk itu diperlukan usaha-usaha mitigasi yang lebih intensif, menyusul kegiatan penyaluran bantuan yang sudah dilaksanakan.

Meskipun letusannya tidak sehebat letusan gunung Merapi, Galunggung atau Krakatau, tetapi sudah menyiratkan pentingnya kita menyadari bahwa ada aktivitas di dalam gunung yang perlu diteliti tingkat bahayanya.

Memaknai letusan Sabtu malam itu, seorang pejabat yang menangani vulkanologi dan mitigasi bencana mengatakan: "Ini seperti kertas putih yang akan kita tulis sejarahnya bahwa tanggal 29 Agustus lembaran baru Gunung Sinabung tercatat. Gunung Sinabung meletus kembali sejak tahun 1.600," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono, Minggu (29/8). (Analisa, Senin 30 Agustus 2010).

Sementara itu, peristiwa meletusnya Sinabung bukan sesuatu yang luar biasa, karena tidak ada ada rumah yang rusak, dan tidak ada yang meninggal dunia. Demikian kira-kira makna yang diberikan Bupati Karo DD Sinulingga. “Kejadian meletusnya Gunung Sinabung merupakan kejadian yang tidak biasa dialami bagi masyarakat Karo, jadi bukan kejadian yang luar biasa,” kata DD Sinulingga di hadapan Gubsu H Syamsul Arifin SE, Pangdam I/BB Mayjen TNI Leo Siegers, Ketua DPRD Sumut Drs Saleh Bangun, Wakapolda dan rombongan lainnya yang memadati Pendopo Rumah Bupati di Jalan Veteran Kabanjahe, Selasa (31/8). (Analisa 1 September 2010).

”Babak baru” dan ”Bukan peristiwa biasa”, dua kata kunci yang mestina melekat bagi setiap orang baik sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai pemerintah atau lembaga yang memberi perhatian pada peristiwa ini.

Saking nikmatnya keindahan dan kemakmuran yang disumbangkan gunung ini, kita sering alpa untuk memahami apa yang terjadi di dalam gunung itu, apalagi memprediksi bahaya yang terjadi kemudian. Memasuki babak baru ini, banyak pekerjaan rumah yang selama ini (mungkin) terabaikan, yakni kemampuan kita menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi dan bagaimana semua pihak menyikapinya.

Pengalaman pribadi kami sendiri sudah mengisyaratkan hal itu. Sebuah pertanyaan baru muncul di pagi hari 30 Agustus lalu, sebelum kami terbang dari Jakarta menuju Medan. Kami menulis kekhawatiran di Facebook apakah debu yang disemburkan Gunung Sinabung bisa mengganggu penerbangan. Melalui Facebook, salah seorang teman yang berasal dari Tanah Karo mengatakan tidak ada masalah dan penerbangan berjalan lancar. Kami lega, dan kenyataan yang kami alami memang memang demikian. Pertanyaan baru terjawab dengan baik dan benar. Sinabung tidak mengganggu penerbangan Medan-Jakarta.
.
Bagi masyarakat di sekitar gunung tersebut, ratusan bahkan ribuan pertanyaan baru muncul. Bagaimana keselamatan mereka yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung?. Apakah letusan yang terjadi Malam Minggu 29 Agustus 2010 adalah letusan terbesar?. Apakah akan terjadi lagi letusan susulan?. Kapan mereka yang berada di batas radius 6 kilometer akan kembali ke rumahnya?.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas tidak bisa dijawab dengan jawaban ”asbun” (asal bunyi). Kebiasaan mengeluarkan statemen tidak bertanggungjawab, sudah perlu ditinggalkan. Media juga diharapkan memiliki kemampuan memahami seluk beluk penanganan gunung berapi, sehingga tidak menyiarkan berita yang menyesatkan.

Pemasangan alat detektor aktivitas gunung berapi dan hasil-hasilnya perlu dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar gunung tersebut. Keahlian bangsa Indonesia menjawab peristiwa alam yang kini menimpa masyarakat Tanah Karo, serta mengkomunikasikan kepada masyarakat sedang diuji.

Last but not least, penyaluran bantuan adalah tindakan yang perlu, tetapi tidak cukup. Pemahaman masyarakat tentang Gunung Sinabung dengan segala aspeknya jauh lebih penting. Memberi rasa nyaman bagi para pengungsi tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan fisik mereka. Mereka juga butuh pengetahuan membaca isyarat alam yang memampukan mereka memiliki harapan akan kehidupan yang nyaman.
Dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru 4 September 2010

Selasa, 31 Agustus 2010

Bermain, Rekreasi dan Belajar Anak : ”Tidak Cukup Hanya ke Mall”

Oleh : Jannerson Girsang

Merebaknya tempat-tempat perbelanjaan yang digandrungi anak-anak, mengharuskan orang tua menawarkan mereka mengunjungi museum dan tempat-tempat bersejarah di dalam kota sebagai alternatif bermain, rekreasi dan belajar. Jangan sampai anak-anak menganggap museum dan tempat-tempat bersejarah itu kuno.

Memang, museum dan tempat-tempat bersejarah memang masih terkesan seram dan angker, tetapi jangan biarkan anak-anak anda hanya mengunjungi Mall. Mereka perlu memahami sejarah kotanya dan memperkuat jati dirinya.

***

Masa liburan yang lalu, saya menawarkan alternative jalan-jalan bagi keponakan-keponakan saya--yang duduk di SD sampai SMA. Alternatif itu adalah jalan-jalan ke Mall dan berkunjung ke Museum. Saya malu sendiri karena jalan-jalan ke Museum ternyata bukan pilihan populer bagi sebagian mereka.

Kelompok pertama sebanyak empat orang - semuanya remaja putri memilih ke Mall (Plaza Senayan, dan Semanggi) dan grup lainnya juga berjumlah empat orang mengunjungi beberapa Museum Kota Tua Jakarta dan Taman Monas. Di kelompok terakhir ini hanya seorang perempuan.

Di kelompok terakhir ini, dua orang tinggal di Jakarta dan satu orang di luar Jakarta, termasuk saya sendiri. Jangan heran, meski tinggal di Jakarta, salah seorang diantaranya sama sekali belum pernah sekalipun mengunjungi Kota Tua atau Taman Monas. Saya begitu prihatin melihat orang tua yang kurang memahami pentingnya anak-anak memahami tempat-tempat bersejarah di sekelilingnya.

Kelompok pertama didampingi keponakan perempuan saya yang tertua (baru lulus SMA) dan saya sendiri mendampingi kelompok kedua. Yang memilih ke Mall berpakaian lebih keren. Maklum, selain jalan-jalan mereka juga sekalian "mejeng" di Plaza. Tempat dimana kaum the have belanja.

Persiapan biaya yang diperlukanpun berbeda. Mereka yang berangkat ke Mall membutuhkan biaya yang lebih besar. Pasalnya, harga-harga makanan/minuman di Plaza Senayan relatif lebih mahal dibanding dengan harga makanan di Museum atau silang Monas.

***

Malam harinya, kedua grup itu kembali dan berkumpul di rumah salah seorang adik saya di Bekasi.

Kelompok pertama bercerita tentang pengalamannya di Mall. Mereka hanya minum es krim di Plaza Senayan, karena harga-harga makanan yang mahal. Ada yang hanya membeli sepatu murah, atau baju kaus yang murah, karena hal itu muncul sesaat karena awalnya tujuannya hanyalah jalan-jalan.

Malam itu, salah seorang di antaranya mendekati ibunya. Lalu dia setengah berbisik:

"Ma, tadi saya melihat baju yang cantik tetapi uangku tidak cukup, jadi tidak bisa kubeli. Ada sepatu yang bagus Ma, nanti kalau ada uang beli yah".

Bahkan dia ingin kembali ke Plaza Senayan kalau uangnya sudah cukup untuk membeli baju yang cantik itu. Selain itu mereka bercerita tentang AC Mall yang dingin, makanan yang enak-enak tapi tak terbeli, serta berbagai kemewahan lainnya yang tak terjangkau.

Kelompok kedua bercerita tentang hal-hal yang dilihat dan diamatinya selama dalam perjalanan. Dengan antusias mereka bercerita tentang gedung Museum Fatahillah - nama seorang pahlawan yang mereka kenal dalam pelajaran sejarah nasional. Di dalam museum itu tersimpan peninggalan-peninggalan kota Jakarta mulai dari masa pra-sejarah yang menarik perhatian mereka. Ada yang kemudian asyik membuka buku sejarah nasional dan mencocokkan apa yang baru disaksikannya.

Dengan kebanggaan tersendiri mereka bercerita tentang jejak-jejak kota tua, Jakarta kawasan Museum Sejarah Jakarta-Museum Bahari-Museum Wayang, serta Museum Mandiri. Mereka berimajinasi tentang masa lampau ibu kota negara Republik Indonesia itu, melengkapi pengetahuan sejarah nasional yang diperoleh di sekolah. Mereka bangga dengan Stadhius Plain (alun-alun Taman Fatahillah), serta keagungan masa lalu kota di mana mereka tinggal.

"Ternyata Sukarno itu hebat lho. Dia rupanya yang mendirikan Monas," ujar seorang keponakan saya yang baru saja naik kelas tiga Sekolah dasar, di akhir kisahnya mengunjungi Monas.

Grup ini berencana menuliskan hasil perjalanannya menjadi sebuah laporan kegiatan liburan mereka di sekolah. Pemahaman mereka tentang sejarah dan keagungan kota Jakarta di masa lalu lebih mendalam.

***

Bagi anda orang tua yang tinggal di Medan, kota ini memiliki tempat-tempat bermain, rekreasi dan jalan-jalan yang sekaligus bisa dijadikan sebagai tempat belajar anak-anak anda. Ada Museum Sumatera Utara, Museum Perjuangan, Istana Maimoon, Mesjid Raya Al Mashun, Kuil Sri Mariamman, Kantor Pos Besar Medan, Meriam Puntung, Taman Makam Pahlawan, Kebun Binatang, Taman A. Yani, Taman Buaya, Merdeka Walk, rumah tua Tjong A Fie, serta bangunan-bangunan tua, seperti gedung London Sumatra, Perpustakaan dan Arsip Daerah lain-lain.

Bukan mengatakan berkunjung ke Museum dan tempat-tempat bersejarah adalah tempat yang terbaik bagi anak-anak, tetapi selain mengunjungi Mall para orang tua harus menawarkan mereka ke sana.

Mall memang menyediakan tempat bermain, hiburan dan belajar, tetapi tidak memiliki museum dan bangunan tua.

Artikel ini terbit di Analisa 24 Juli 2010.
Bisa juga diakses melalui :
http://www.analisadaily.com/index.php?searchword=jannerson+girsang&ordering=&searchphrase=all&option=com_search.