My 500 Words

Rabu, 01 Juni 2011

Hikayat Manao: Beban Moral Menurunkan Nilai Budaya

| |
 

NBC — Hikayat Manao yang di kalangan masyarakat Bawomataluo dikenal sebagai Panglima Kafalo Zaluya—jabatan yang diberikan para tetua adat di desanya, benar-benar menjadi bintang lapangan dalam Pagelaran Budaya Bawomataluo 2011.

Selama pagelaran berlangsung, Hikayat tampil siang, sore dan malam hari. Ia memimpin Tari Kolosal yang terkenal itu di acara pembukaan, bermain dalam berbagai atraksi pada acara lain. Usai tampil, para wartawan selalu mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya. Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. “Praktis saya hanya tidur hanya beberapa jam sehari,” ujarnya kepada NBC di sela-sela pagelaran yang mempromosikan budaya dan hasil kerajinan Nias Selatan tersebut.
Tapi Hikayat senantiasa terlihat segar dan sangat hangat menerima siapa saja. Salah satu cara yang ditempuh anak ketiga dari 7 bersaudara pasangan T Ana Tona Manao dan Ibu Kaena Wau ini agar terus bersemangat adalah menjaga suasana tetap riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Untuk memberi semangat anak-anak buahnya, ia mengajarkan hal-hal besar yang akan dicapai dengan suka cita, lucu dan membangun semangat.

Menangani budaya adalah kehidupannya sejak kembali ke desanya sejak 1986. Kegiatan yang membuatnya bahagia dan mampu mendefinisikan kebahagiaan. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya.

Menurutnya banyak tarian sakral sudah tidak lagi dipertontonkan, seperti Fadolohia, sebuah tarian ucapan syukur yang di masa kecilnya sering digelar usai panen. “Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,”ujarnya.

Hikayat juga merasa terbeban untuk terus melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,”ujarnya kepada NBC, usai menggelar tari kreasi gerakan Faluya Zanokhe di depan Omo Sebua 15 Mei 2011.

Tarian kreasi dari gerakan Faluya Zanokhe ini dimainkan 20 orang pemuda, 6 orang remaja  dan sekitar 98 anak-anak yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di dalam tarian itu Hikayat menyelipkan dua buah lagu ciptaaannya sendiri yakni Famaedo Dano (julukan kebesaran Bawomataluo) dan Mameasu yang berarti berburu. Dua lagu itu masing-masing menggambarkan nilai-nilai persatuan sebagai sebuah kekuatan. “Bersatu mengepung musuh, bersatu dalam berburu,”ujarnya

Hikayat tidak hanya dikenal di desanya, tetapi aktivitasnya sudah merambah jauh ke luar dari pulau Nias. Dia akrab dengan para wartawan. Ayah empat orang anak ini dikenal sebagai orang yang mudah diajak diskusi dan selalu bersemangat saat berbicara tentang budaya Nias. Siap memberi penjelasan, kapan saja diperlukan, apakah bertemu langsung atau melalui telepon. Tak heran kalau komentar-komentarnya tentang budaya Nias senantiasa menghiasi media cetak atau televisi.

Untuk mengenal sisi lain kehidupan laki-laki gagah perkasa dengan pakaian kebesaran adat saat tampil di lapangan ini, NBC dalam berbagai kesempatan melakukan wawancara khusus di rumahnya, maupun mengamatinya selama beraksi di lapangan

Masa Kecil:  Cabut Melihat Pesawat Capung


Masa-masa SD hingga SMA nya adalah periode dimana Nias masih terbelakang. Di sekitar desanya belum ada SMP, sehingga setelah lulus SD Katolik Bawomataluo, Hikayat melanjutkan ke SMP Bintang Laut di Teluk Dalam dan tinggal di asrama sekolah itu. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya tertawa.

Melanjut setelah lulus SMP, Hikayat belum punya pilihan di Telukdalam yang saat itu belum memiliki Sekolah Lanjutan Atas. “Saat itu, lulusan SMP dari Telukdalam harus melanjutkan  sekolah ke STM, SPG atau SMA di Gunungsitoli,”ujarnya. Hikayat sendiri memilih SMA Negeri Gunung Sitoli. Dengan harapan bisa menjadi seorang arsitek, walau hingga sekarang cita-citanya itu tak pernah terwujud.

Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, menurutnya layaknya berangkat ke luar negeri. Transportasi masih sulit. “Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya dengan mimik serius mengenang masa sulit itu. Lama perjalanan bisa mencapai  9 jam.
Gunungsitoli bukanlah kota yang bisa dinikmatinya dengan santai. Di sana Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga. Berbekal beras dari Bawomataluo, untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya  Hikayat harus bekerja membuat batu-bata dengan upah Rp. 3 per buah. Jangankan untuk mengikuti tren saat itu, bahkan karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke Gereja.

Selain itu, komunikasinya dengan orang tua di Bawomataluo juga sulit. “Surat baru bisa mendapat balasan setelah tiga minggu. Jadi sulit sekali mengetahui berita. Kadang saya tidak punya uang membeli makan sekalipun,”ujarnya dengan suara melemah. Akhirnya, ia memutuskan berhenti sekolah saat memasuki kelas II SMA.

Satu hal yang tak bisa dilupakannya selama sekolah di Gunungsitoli adalah pembukaan penerbangan ke pulau yang terletak 125 kilometer dari garis pantai Sumatera itu. “Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya geli mengenang peristiwa 35 tahun lalu itu.

Merantau ke Daratan Sumatera

Setelah drop out dari SMA Negeri Gunungsitoli, Hikayat merantau ke daratan Sumatera. Menggapai harapan baru!. Hikayat menumpang KM Agape—semalaman mengarungi Samudera Hindia menuju Sibolga, kemudian menumpang Bus Opranto ke Balige. Tinggal di Balige dan bekerja selama dua bulan di sawah penduduk (mangombak), menggembalakan kerbau (marmahan). “Nebeng-nebenglah dengan orang-orang Batak di sana,”ujarnya. Atas bantuan beberapa temannya sesama orang Nias, Hikayat mendapat pekerjaan baru di Pematangsiantar—kota terbesar kedua terbesar di Sumatera Utara, berjarak seratus kilometer lebih dari Balige.


Hikayat Manao

Di Pematangsiantar Hikayat menjadi pelayan toko di Toko Sepatu 1001 dan berharap bisa melanjutkan sekolahnya. Tidak jauh dari toko tempatnya bekerja di Jalan Merdeka di kota itu, terdapat SMA Universitas Simalungun (USI). Mudah mendaftarnya, tetapi seminggu kemudian dia berhenti lagi. Pasalnya, “Saya tidak berhasil mendapatkan surat pindah,”ujarnya dengan raut muka sedih.

Sebuah peristiwa kemudian mengubah jalan hidupnya. Sedang asyik menjual sepatu, beberapa pembeli masuk ke tokonya. Mereka adalah Kepala Sekolah SMA Gunungsitoli, Pak Sitompul dan beberapa gurunya. Hikayat masih mengenal mereka dengan baik, demikian juga para tamunya. Sang Kepala Sekolahpun menaruh iba padanya. “Kau pulang saja ke Gunungsitoli dan mengikuti ujian di sana. Ada ujian Extraner,”ujarnya menirukan ucapan Kepala Sekolahnya itu.

Akhirnya dia kembali ke Bawomataluo dan mengurus administrasi persiapan ujian extraner ke Gunungsitoli. Hikayat harus menunggu enam bulan hingga tiba masa ujian. Masa menunggu itu, Hikayat bekerja pada Kosasih, seorang turunan Tionghoa di Jalan Ayam Teluk “Pagi membuka pintu, menyapu, mencas baterai, menimbang beras, membantu jual obat di apotik”ujarnya sambil menggigit afo, sirih yang baru diramu salah seorang anaknya..

Kosasih adalah orang yang baik di mata Hikayat. Setiap Sabtu ia diijinkan pulang ke Bawomataluo dan selalu dibekali kopi atau kebutuhan pokok yang langka di kampungnya. Hingga tiba masa ujian yang dijanjikan Pak Sitompul, kepala sekolahnya. Upah yang diterimanya tidaklah cukup membayar biaya ujian yang lumayan besar. “Kosasih memberi lebih dari apa yang seharusnya saya terima, dan ini tidak bisa saya lupakan,” katanya.  Hikayat menyelesaikan ujian extranernya dan lulus!.

Pengunjung: Merubah Kehidupan

Bagi Hikayat, kunjungan tamu ke Bawomataluo berarti menjanjikan perubahan. Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan, Soesilo Soedarman berkunjung ke desanya di Bawomataluo.

Peristiwa ini merubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. “Dalam hati saya, saya harus ikut menjadi pelompat batu dan menunjukkan kehebatan saya di depan Panglima,”ujarnya mengenang peristiwa istimewa itu.

Ternyata lompat batu itu mengundang rasa kagum Panglima melihat anak-anak muda seperti Hikayat. “Orang-orang Nias banyak yang hebat-hebat, ada ON Harefa di Bimas Kristen. Tapi di ABRI belum ada. Saya mau ada 3 orang dari desa ini yang mau dididik menjadi tentara,” demikianlah pidato Panglima yang membesarkan hati Hikayat dan dua orang temannya, Hadirat Manao dan Fanahatodo Manao.

Janji Panglima benar-benar memberi inpirasi baru bagi ketiga pemuda itu. Mereka bertiga berangkat dan melapor ke Asrama Kowilhan di Medan. “Saya  tinggal di rumah pak Soeripto, Asintel Kodam,”ujarnya.
Sayang, niatnya menjadi tentara itu urung terwujud. Majalah yang memberitakan nasib para tentara di Timor Timor membuatnya kecut dan memberitahu pembatalan dirinya menjadi tentara kepada pak Soeripto dan Agus. “Saya permisi, lantas diberi ongkos,” ujarnya.

Hikayat tidak kembali ke Nias, tetapi memilih berangkat ke Jakarta. Beruntung di Jakarta ia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Dari segi pendapatan yang lumayan dirinya bisa membelanjai kebutuhan sehari-hari dan  menutupi biaya kuliah. Sambil  bekerja dia mengikuti kuliah di Akademi Teknik Komputer di Matraman Jakarta. Menurutnya, sekolah itu adalah idola pemuda saat itu, karena  pengetahuan tentang komputer masih merupakan hal baru. “Tetapi beberapa bulan kuliah, saya tidak pernah memegang komputer, hanya teori melulu, akhirnya saya berhenti” ujarnya mengenang kuliahnya.

Perusahaannya tempat bekerjapun akhirnya tidak menjanjikan banyak bagi pemuda ini . Dia hanya sebagai pegawai honorer dan bekerja atas pengaruh seorang keluarga yang kebetulan menjadi pejabat senior di sana.


Pulang Kampung: Menjadi Panglima “Kafalo Zaluya”

Di perantauan, bakat seni Hikayat yang sudah muncul sejak kecil tidak bertumbuh sebagaimana layaknya. “Sewaktu masih di SD, saya sudah sering memimpin lagu, sebagai dirigen,” ujarnya. Ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desanya  membawanya kembali ke Bawomataluo pada 1986.



Setelah beberapa tahun menggeluti hidup di Bawomataluo, pada 1992, Hikayat dinobatkan sebagai ‘Kafalo Zaluaya’, sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya. Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).

Sang panglima, harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik, untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik diantara warga.

Hikayat mengemban tugas berat ke depan. Ia harus mampu memerankan dirinya sebagai seorang tokoh pembaharu, sekaligus pelestari budaya yang tentunya tidak mudah! [Jannerson Girsang / Ketjel Zagoto]


Tempat, tanggal lahir: Bawomataluo, 12 Juni 1958
  • Nama panggilan: Ama Gibson
  • Pendidikan terakhir: Akademi Teknik Komputer Jakarta (Tidak Tamat)
  • Pekerjaan: Koregrafer, Konduktor, Penyanyi dan Pencipta Lagu-lagu Nias
  • Prestasi/Penghargaan yang pernah diraih : Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan. Memimpin delegasi budaya ke berbagai even.
  • Nama anak: Rael Gibsonard Manao (semester 4 di salah satu PT di Medan), sementara tiga lainnya Bon Haston Manao (SMA Bintang Laut, Teluk Dalam), Meta Manao dan Lobtar Manao masing-masing duduk di kelas III dan kelas II SMP Bintang Laut di teluk Dalam
  • Nama istri: Munihati Manao [JG]
 Artikel ini juga dimuat di  http://oase.kompas.com/read/2011/06/01/18280116/Hikayat.Manao.Sang.Panglima.Bawomataluodan beberapa website lainnya.  
  •  

Kamis, 26 Mei 2011

Pembaca Meminati Kisah-kisah Motivasi

Sepuluh besar pembaca blog saya http://www.harangan-sitora.blogspot.com/ meminati artikel-artikel tentang  kisah orang-orang berpretasi. Orbituari, Kisah Para Orang-orang Terkenal menempati 10 besar teratas. Artikel-artikel politk dan budaya tidak ada yang mencapai sepuluh besar.
Blog ini berisi 127 artikel yang ditulis sejak 2007, baik yang pernah dimuat di media, maupun yang belum. Bagi anda yang berminat silakan mengunjunginya.  Blog ini bebas dari iklan dan hanya ditujukan untuk menyebarkan nilai-nilai yang bisa memotivasi pembaca.

Tertarik software counter pageviews, maka sejak Mei 2010, saya memasang pageviews.  Counter itu menghitungnya untuk setiap artikel dengan total  20,528 pageviews.

Berikut adalah 10 besar pilihan para pengunjung.

1. Selamat Jalan SK Trimurti, posting Mar 17, 2009 (1,047 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/03/selamat-jalan-sk-trimurti.html.

2. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia. Posting  Jan 18, 2010 (432 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/01/belajar-biografi-para-penulis-terkenal.html

3.  Kisah Menulis Buku Biografi. Posting Apr 26, 2009 (354 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/04/kisah-menulis-buku-biografi.html

4. Menyimak Prestasi Andrea Hirata, Nov 26, 2010 (292 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/11/menyimak-prestasi-andrea-hirata.html

5. Helen Keller “Buta dan Tuli, Jadi Penulis dan Politisi, Sep 15, 2010 (206 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/09/helen-keller-buta-dan-tuli-jadi-penulis.html

6. Keong Racun" dan Maknanya bagi Kita, Aug 11, 2010 (186 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/08/keong-racun-dan-maknanya-bagi-kita.html

7. Anda Ingin Membuat Otobiografi Sendiri!, Oct 13, 2009 (186 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/10/anda-ingin-membuat-otobiografi-sendiri.html8.

8. Buku Favorit 10 Pemimpin Terkenal yang Inspiratif, Nov 23, 2010, (175 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/11/buku-favorit-10-pemimpin-terkenal-yang.html

9. TD Pardede Foundation Luncurkan Biografi Rudolf.  Apr 17, 2009 (171 Pageviews). http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/04/td-pardede-foundation-luncurkan.html

10.Menonton Ebit G. Ade di Metro TV, diposting  Aug 15, 2010 (159 Pageviews).http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/08/menonton-ebit-g-ade-di-metro-tv.html

Mendokumentasikan artikel ke dalam  blog selain mampu menyimpan artikel anda dalam waktu yang lama, juga memberi kesempatan luas bagi orang lain untuk membacanya secara online.

Artikel-artikel dalam blog ini sudah dikutip oleh media cetak, website di Indonesia. Artinya, blog kecil bisa bergaung sama seperti media cetak yang besar.

Dari pada menyimpan file dalam komputer, ada baiknya anda menyebarkan pikiran anda melalui blog. Pikiran-pikiran anda akan digunakan oleh banyak orang dan anda merasa terhibur serta turut menyumbang peradaban bagi dunia ini.

Medan, 25 Mei 2011.

Senin, 23 Mei 2011

Kampung Silau Marawan: Rakyatnya Kreatif, Tapi Sarana Jalan Memprihatinkan

Kunjungan kami ke  Silau Marawan--kampung penghasil sayur mayur di Kabupaten Simalunguni, bersama rombongan Seksi Bapa GKPS Simalingkar 21-22 Mei lalu, selain terkesan atas kreativitas masyarakatnya, kami ingin mengungkap kealpaan pemerintah daerah merespons kreativitas masyarakat di wilayah itu.

Melintasi sarana jalan buruk selama bertahun-tahun, penduduk kampung Silau Marawan mampu mewujudkan kesejahteraan dengan  cara mereka sendiri. Andaikan pemerintah memberi sedikit perhatian pada sarana jalan, maka kemakmuran yang lebih baik akan mereka raih!.

Capek dan Prihatin

Capek dan prihatin!. Itulah kesan kami setelah kembali ke Medan dari kunjungan Seksi  Bapa GKPS Simalingkar ke kampung Silau Marawan. Kampung Silau Marawan terletak di sebelah Utara  Saribudolok--kota yang berjarak 112 kilometer dari Medan dan 35 kilometer dari ibukota Kabupaten Simalungun, Pamatangraya.

Dari Saribudolok, Silau Marawan terletak 18 Kilometer, atau kira-kira jarak Pamatangraya (ibu kota Kabupaten Simalungun) ke Panei Tongah. Kampung Silau Marawan secara administratif masuk dalam Nagori (Desa) yang kepala Nagorinya (Kepala Desa) tinggal di kampung Hutasaing, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun.

Sepanjang perjalanan menuju kampung Silau Marawan  kami melintasi beberapa kampung seperti Dusun (60 Kepala Keluarga, KK), Sinar Baru (120 KK, Bandar Mariah (80 KK), Bosi Sinombah (100 KK) Raya Dolok (50 KK), dan Silau Marawan sendiri (95 KK). 2 kilometer dari Silau Marawan terdapat kampung Huta Saing yang berpenduduk sekitar 150 KK dan Mariah Dolok.

Menggunakan kenderaan dengan kecepatan rata-rata  60 kilometer/jam, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 18 menit dengan nyaman. Sayangnya, saat mengunjungi kampung itu 21-22 Mei lalu, kami merasa sangat tidak nyaman karena kondisi jalan yang buruk.  Keluar dari rasa tidak nyaman seperti yang kami rasakan  merupakan suara rakyat kampung Silau Marawan yang sudah terpendam puluhan tahun.

Kalau kami baru sekali merasakan dalam kunjungan itu, sementara ratusan Kepala Keluarga yang melintasi jalan itu mengalaminya selama bertahun-tahun. "Kita sudah merdeka selama puluhan tahun, tapi kampung kami belum merasakan enaknya berjalan di atas aspal," ujar LL Sipayung, Pengantar Jemaat GKPS Silau Marawan yang pernah mengajar di SMP Negeri I Gunung Sitoli 1981-1989.

Anda jangan membayangkan sepanjang 18 kilometer itu bisa menemukan jarak 100 meter jalan mulus. Selama satu jam lebih di dalam mobil kijang buatan 1996 itu seperti menumpang perahu yang berlayar di tengah gelombang. Sesekali kenderaan harus berjalan pelan menghindari lubang besar.

Dari 18 kilometer jalan menuju kampung itu, hanya sepanjang 10 kilometer yang pernah mendapat polesan aspal. Menurut LL Sipayung tokoh masyarakat kampung Silau Marawan, sepanjang 8 kilometer menjelang kampung itu (mulai dari Bosi Sinombah), belum pernah mendapat polesan aspal.

Bayangkan, di negara yang sudah merdeka sejak 1945, sebuah kampung penghasil sayur mayur potensial  belum pernah mengenal jalan aspal. (Tentu, Kampung Silau Marawan tidak sendiri, masih banyak kampung lain sama seperti itu. Tapi, inilah tantangan bagi seorang pemimpin yang mengkampanyekan perubahan).

Jalan dari Bosi Sinombah ke Silau Marawan yang selama bartahun-tahun hanya dipoles dengan batu, ketika kami lewat banyak badan jalan yang batunya sudah lepas dan meninggalkan lubang-lubang. Beberapa kilometer menjelang kampung, kami melintasi beberapa meter jalan yang sudah seperti "kolam". Kenderaan sudah layaknya perahu yang melintas danau kecil.

Itulah kampung yang dikunjungi Ephorus GKPS, Pendeta Dr Jaharianson Saragih 21 Mei 2011 lalu dan sekaligus melayani KKR, yang diselenggarakan Seksi Bapa GKPS Simalingkar, Medan bekerja sama dengan Seksi Bapa GKPS Silau Marawan.

Tentu penduduk di sana berharap kunjungan Pimpinan Pusat GKPS itu  berikutnya tidak lagi melintasi jalan seperti itu. Tentu yang paling penting, penduduk wilayah itu menikmati jalan yang lebih baik.

Masyarakat Kreatif

Di satu sisi kami kagum atas menikmati pemandangan dan prestasi rakyat di sana yang memoles lahan -lahan yang luasnya ribuan hektar menjadi areal pertanian yang maju.

Di kiri kanan jalan sepanjang mata memandang tumbuh cabe dengan buah-buahnya yang sudah memerah, terong belanda, kentang, tomat, kol, sayur keriting, serta berbagai komoditi pertanian lainnya."Kampung Silau Marawan sedikitnya menjual 30 ton cabe dan 3 ton kopi setiap minggu. Disamping tanaman kentang, kol dan sayuran lannya,"ujar LL Sipayung.

Ini baru dari Silau Marawan. Sementara jalan itu digunakan oleh penduduk dari beberpa kampung dengan ratusan KK yang mayoritasnya adalah petani. Tentu tidak seorangpun menginginkan jalan seperti ini dinikmati oleh penduduk yang mampu menghasilkan devisa negara yang cukup besar.

Meski fasilitas jalan yang buruk, penduduk tampak mampu setapak demi setapak mewujudkan kemakmuran dengan kreativitas yang sangat membanggakan. Rumah-rumah penduduk terlihat sedang memoles diri. Beberapa bangunan terbuat dari beton, bahkan kami menginap di rumah-rumah penduduk yang kualitasnya jauh lebih baik dari rumah-rumah Jemaat di GKPS Simalingar Medan. Sebanyak lima puluh lebih rombongan tidur dirumah-rumah milik penduduk yang terbuat dari beton dengan nyaman dibalut selimut yang disediakan penduduk. Penduduk desa yang baik itu juga menyediakan makanan yang lezat dengan suguhan sayur "ombut" (sayur dari pelepah pisang yang diramu dengan sambal dan daging) yang khas.  

Kita kagum atas kreativitas masyarakat di Silau Marawan.  Sejak 2007, mereka secara swadaya dibawah fasilitasi Pelpem GKPS, sudah  menikmati sarana air minum berbiaya Rp 168 juta. "Pelpem mendahulukan biaya pembangunan dan kami mengangsur selama dua tahun,"ujar LL Sipayung. Setelah dua tahun, penduduk kampung sudah melunasinya dan kini mereka sudah menikmati hasilnya.

Kini, meski jalan ke kampung itu masih rusak, namun 95 KK penduduk sudah menikmati air minum yang melimpah. Bahkan sebagian air itu sudah digunakan untuk kebutuhan pertanian mereka. Kami menikmati kamar-kamar mandi layaknya di kota besar.

Selain itu, kampung Silau Marawan juga sudah memiliki Credit Union di bawah naungan CU Hatirongga. "Kami sudah memiliki 60 anggota CU,"ujar Sipayung salah seorang Komisaris CU Hatirongga pendiriannya difasilitasi Pelpem GKPS.  Menurutnya dengan adanya CU ini, salah satu masalah petani, yakni permodalan sudah banyak tertolong.

Semoga Didengar Bupati: Mimpi Seperti Jalan di Tanah Karo

Merespon kondisi jalan yang dilaluinya, Ephorus GKPS berjanji akan menyampaikan keluhan jemaat ke Bupati Simalungun. "Saya akan bicara dengan YR (maksudnya bupati Simalungun) soal jalan ke kampung ini," ujar Ephorus GKPS yang selama masa jabatannnya kurang dari satu tahun ini banyak melakukan pelayanan di pelosok-pelosok. Semoga YR mendengarnya dan memasukkan dalam prioritas pembangunan lima tahun ke depan.

Beliau juga menghimbau agar jemaat jangan lupa mendoakan para pemimpin agar mereka memperhatikan kondisi jalan ke kampung Silau Marawan.

Penduduk bersyukur, karena pemerintah sudah membangun sarana listrik sejak beberapa tahun lalu. Rumah-rumah penduduk sudah terang benderang dengan sarana listrik, tak bedanya sarana bagi penduduk kota besar.

Ketika kembali ke Medan, kami melintasi daerah pertanian jalur Tigapanah-Tongkoh. Tidak melalui Kabanjahe. Saya berangan-angan: "Andaikan jalan kampung Silau Marawan ini bisa dibangun seperti di  daerah pertanian di Tongkoh, Tanah Karo, betapa makmurnya rakyat di sana".

Yah tidak satu periode, mungkin lima periode ke depan impian ini bisa terwujud. Kalau Bupati sebelumnya Zulkarnain Damanik hanya berkunjung ke kampung ini, barangkali Bupati YR Saragih, tidak lagi hanya sekedar berkunjung, tetapi mau membangun jalan ke kampung Silau Marawan.

Selasa, 10 Mei 2011

Blog Budiman S Hartoyo: Belajar Menulis Berita atau Feature

Oleh: Jannerson Girsang

Anda masih kesulitan menulis berita atau feature?. Tidak ada salahnya anda menambah koleksi pengetahuan dengan mengunjungi blog http://budimanshartoyo.blog.com/2007/10/. Blog yang berisi buah karya almarhum BUDIMAN S. HARTOYO ini sangat kaya dengan bahan yang anda perlukan. Di dalamnya tersedia Basic Jusnalism, Bahan Pelatihan Penulisan, serta ringkasan buku Andaikan Saya Wartawan Tempo--ditulis Slamet Jabarudi, editor bahasa Majalah Tempo. (Dulu, saya punya bukunya tapi sudah hilang).

Kamis, 05 Mei 2011

Bawömataluo, Keindahan dan Misteri

Bawömataluo, Keindahan dan Misteri. 


Untuk pertama kalinya, akhir Maret 2011 lalu, kami mengunjungi Desa Bawömataluo di Kabupaten Nias Selatan. Bagi anda yang belum pernah berkunjung ke sana kisah ini menjelaskan secara sepintas objek-objek yang menarik untuk dilihat. Silakan membacanya dalam kisah yang kami tulis untuk Nias Bangkit.Com (NBC)





Sabtu, 16 April 2011

In Memoriam: Rosihan Anwar, Penulis Orbituari Handal

Oleh : Jannerson Girsang

Rosihan Anwar 

Oribituari! Itulah kesan pertama yang muncul di benak kami saat mendengar kepergian Rosihan Anwar menghadap khalikNya melalui televisi pada 14 April 2011, sekitar pukul 11.30 (beliau meninggal sekitar pukul 08.00 pagi).

Rosihan Anwar memiliki gaya penulisan orbituari—artikel untuk mengenang kepergian seorang tokoh yang meninggal yang digelutinya selama bertahun-tahun.

Merenung sejenak atas kepergiannya, kami melakukan penjelajahan (searching) di internet mencari informasi yang berkaitan dengan peristiwa kepergian tokoh pers lima zaman itu.

Dalam pencarian itu kami menemukan hasil wawancara seorang pemilik media besar, Dahlan Iskan. "Siapa nanti yang menulis Orbituari Rosihan Anwar?". Demikian pertanyaan dan judul wawancara bos Jawa Pos Grup itu seperti dikutip sebuah media online.

Pria kelahiran Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922 adalah penulis orbituari handal yang sudah digelutinya sejak 1960an. Kini, tokoh orbituari itu yang justru pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya!. Sebagaimana Dahlan yang berjanji akan menuliskan orbituari Rosihan, kami juga menuliskan catatan singkat tentang beliau untuk anda. Seorang yang banyak menginspirasi kami dalam menulis orbituari.

****

Bagi penulis sendiri, pria yang memulai kariernya sebagai reporter Asia Raya pada 1943 ini, adalah inspirasi menulis artikel orbituari, baik yang diterbitkan di media lain maupun Harian Analisa sendiri Terus terang, secara pribadi kami tidak mengenal beliau. Bahkan seumur hidup, kami hanya pernah melihatnya dari jauh ketika kampanye Presiden SBY 2004 di Medan.

Pengenalan kami tentang sosok yang istimewa ini hanya melalui televisi dan karya-karyanya. Secara lebih mendalam adalah melalui artikel-artikel orbituarinya yang khas. Artikel orbituari putra seorang Demang di Sumatera Barat ini bersumber dari ingatannya yang tajam yang memberi memberi kesan pribadi yang kuat—sesuatu yang belum banyak diungkap di media.

Dari berbagai sumber, penulis mengetahui bahwa pekerjaan ini sudah dimulainya sejak 1960-an, dan menerbitkan karya pertamanya di harian Pos Kota. Belakangan, beliau penulis banyak membaca orbituari tokoh-tokoh nasional yang ditulisnya di harian Kompas.

Alasannya memilih untuk menulis obituari itu sendiri memang cukup unik. Di era Orde Baru, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto. "Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari," kata Rosihan, sebagaimana dikutip dari Jawa Pos beberapa tahun lalu yang diposting di http://koyyak.blogspot.com/2008/06/rosihan-anwar-wartawan-senior-spesialis.html

Seunik alasannya menulis orbituari, membaca orbituari Rosihan memang memberi kesan cukup unik, baik dari isi tulisannya serta caranya menulis.

Dalam pengakuannya di berbagai media, Rosihan menulis dengan mesin tik tua kesayangannya yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Dan, laginya dia menulis hanya dengan ingatan, tanpa banyak referensi atau dokumen.

Pengalamannya yang menarik adalah kalau seorang tokoh meninggal sore hari dan besoknya sudah harus terbit. Dia hanya butuh dua jam untuk mempersiapkannya. Hanya seorang yang punya pengalaman dengan tokoh, daya ingat yang kuat, kemampuan menyusun outline yang baik, serta cara menulis secara cermat dan sistematis, yang mampu melakukannya. Apalagi, yang meninggal adalah seorang tokoh nasional.

Rosihan memang punya ingatan kuat dan menyimpan banyak kisah dari para pelaku sejarah. Dia menggali hal-hal yang belum banyak diketahui orang tentang tokoh tersebut.

Keistimewaan orbituari mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) (1968-1972) ini juga terlihat dari gaya berceritanya. Bagi anda yang pernah membaca orbituarinya, maka kesan pertama adalah orbituari dengan gaya bercerita (story dengan tekanan pada kesan personalnya atas seseorang tokoh yang ditulisnya semasa hidup.
Konon, ilmu menulis orbitari itu banyak diperolehnya ketika belajar selama dua bulan di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954.

Berbeda dengan seorang penulis orbituary di The New York Times, koran yang terkenal dengan kolom orbituarinya itu—para penulisnya sudah memiliki peralatan serba canggih dan bank data terlengkap di dunia. Para penulisnya banyak mengandalkan arsip-arsip artkel yang tentunya jauh dari kesan pribadi.

Sebagai penulis tetap SKHU Kompas, Jakoeb mengakui keunggulan almarhum. "Selalu ada kerangka dengan dimensi lebih mendalam. Ditambah bakat sastranya yang bagus membuat tulisan semakin menarik," ujarnya kepada Metro TV.
Sebagai seorang wartawan, Rosihan hanya dibekali dengan pendidikan setara SMA (lulusan AMS Yogyakarta). Tapi, rekaman peristiwa yang melekat dalam memorinnya sungguh luar biasa. Tidak salah kalau Tasrif menjulukinya sebagai foot note history, salah satu kemampuan yang harus dimiliki seorang penulis orbituari.

Selain itu, Rosihan memiliki latar belakang sastra dan budaya yang kuat. Tidak heran, kalau karya orbituarinya memang khas dan mungkin sulit mencari tandingannya di bidang ini.

***

Di balik penulisan orbituari, tentu pengalaman Rosihan sebagai wartawan dan bidang-bidang lainnya menarik untuk disimak sebagai sebuah teladan bagi wartawan saat ini.

Setelah koran Pedomannya dibredidel Suharto pada 1974, pasa peristiwa Malari, Rosihan aktif sebagai penulis di media cetak. Selain menulis di media, Rosihan menulis artikel di berbagai media nasional maupun internasional serta memproduksi lebih dari 20 buku.

Kemampuan jurnalismenya tidak sebatas di harian nasional. Rosihan tercatat pernah menjadi koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong, The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur. Bahkan sejak tahun 1976. Sampai akhir khayatnya Rosihan Anwar adalah kolumnis di Asiaweek, yang berbasis Hong Kong. Juga kerap kami membaca tulisan-tulisannya di harian lokal yang berbasis di Medan.

Ayah dari tiga anak Dr. Aida Fathya Darwis, Omar Luthfi Anwar, MBA dan Dr. Naila Karima ini tidak hanya bersinar dalam karier jurnalistik. Sebagai jurnalis muda yang menikah dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada 1947 ini, sudah diperhitungkan kemampuan negosiasinya. Bersama tokoh-tokoh nasional lainnya, dia turut dalam delegasi Indonesia ke perundingan Meja Bundar yang menentukan nasib bangsanya pada Desember 1949.

Semasa menjadi wartawan dan mengelola Koran, kekaguman banyak orang atas Rosihan Anwar adalah keberaniannya menyatakan hal yang benar. Bahkan di zaman Orde Lama (1961) dan di zaman Orde Baru (1974) Koran Pedoman mendapat pembreidelan.

Pembereidelan pertama direhabilitasi pada 1968, setelah Soeharto berkuasa. Tetapi kemudian dibreidel lagi pada 1974, hanya satu tahun setelah Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputra III. Tentu, hanya bilangan jari orang yang mau korannya diberangus demi kebenaran.

Selain itu, pria yang di masa perjuangan pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta) ini, tidak tertarik pada kekuasaan, tetapi lebih pada pengembangan budaya di Negara ini.

Pria yang ditinggal istrinya Siti Zuraida pada 5 September 2010 lalu itu bersama Usmar Ismail, pada 1950 mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam Film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya.

***

Pada 2007, empat tahun sebelum kepergian pria yang selama ini menjadi tempat berguru Jakob Oetama (pendiri Kompas), serta para tokoh wartawan senior di negara ini, PWI Pusat menganugerahkan penghargaan ‘Life Time Achievement’ atau ‘Prestasi Sepanjang Hayat’ dari PWI Pusat kepada Rosihan Anwar dan Herawati Diah. Keduanya aldah orang yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946. Sejumlah penghargaan lain pernah diterimanya, baik sebagai tokoh pers dan tokoh di bidang pengembangan budaya dan film.
Haji Rosihan Anwar, adalah tokoh pers Indonesia, sejarawan, sastrawan, bahkan budayawan. Entah apapun kita menyebutnya, dia adalah tokoh besar yang mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini.

Bagi kita yang ditinggalkan khususnya bagi para penulis dan wartawan, kemampuan dan kemauan menulisnya, karya-karya besar yang tinggalkannya hendaknya tidak lekang oleh waktu. Tugas kita adalah menjadikannya sebagai teladan dan semangat berkarya, keberanian mengutarakan hal-hal yang benar.

Selamat Jalan Bung Rosihan, semoga jiwa kewartawanan dan kecintaan anda berbagi selama ini mampu dilanjutkan penerusmu!***

Penulis adalah penulis Biografi, tinggal di Medan.

Artikel di atas dimuat Harian Analisa, 16 April 2011.

Bisa juga di akses ke: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92490:in-memoriam-rosihan-anwar-penulis-orbituari-handal&catid=78:umum&Itemid=131

Selasa, 05 April 2011

Kisah di Balik Banjir di Simalingkar: Donny Purba: “Ingat Ulang Tahun Istri, Saya Terbangun!”

Oleh : Jannerson Girsang

Selain kisah sedih, setiap bencana menghasilkan  pelajaran bagi para korban dan mereka yang turut membantu dan membaca kisahnya. Kisah pasangan Donny dan Benna adalah salah satu diantaranya.

Rabu, 30 Maret 2011

Apolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan Kamus Li Niha

by Jannerson Girsang on Tuesday, March 29, 2011 at 1:28am
NIAS-BANGKIT.com — Mendengar penyusun Kamus Li Niha: Nias-Indonesia, Apolonius Lase, berbicara ibarat menimba air dari sumur yang tak habis-habisnya. Ia punya kisah hidup  mengagumkan, pengetahuannya luas, pengalaman hidupnya  menghasilkan teladan bagi siapa saja yang ingin  tegar  menghadapi kegagalan.  Ia terbiasa bekerja keras  dan selalu kepasrahan kepada sang Pencipta.

Selasa, 15 Maret 2011

20 Tahun Kemudian, 20 Years Later!

Menemukan laporan jurnalistik yang saya  tulis hampir 20 tahun yang lalu, terbetik rasa kerinduan mengunjungi lokasi-lokasi kejadian dan orang-orang yang pernah kutemui.Suasana, kesulitan lapangan kembali muncul. Andai aku bisa berkunjung ke sana lagi!

Rabu, 09 Maret 2011

Menjelang 28 Maret 2011

Mungkin tidak semua ingat apa yang terjadi di Nias pada 28 Maret 2005. Saat itu sekitar pukul 23.00, penduduk di sekitar rumah saya di Simalingkar, Medan, dikejutkan goncangan hebat, lebih hebat ketika tsunami Aceh terjadi sebulan sebelumnya. Goncangan ini menyebabkan penduduk yang ketika itu sudah terlelap atau beranjak ke peraduan berhamburan ke luar rumah dan bergabung bersama tetangga di tengah jalan di depan rumah. "Gempa-gempa...". Demikian teriakan penduduk di sana-sini. Malam itu meski goncangan begitu hebat, tetapi tidak ada kerusakan. Telepon terputus dan tidak ada diantara kami malam itu yang megetahui apa yang sebenarnya terjadi.