My 500 Words

Selasa, 17 Januari 2012

Makna Lagu Nahum Situmorang di Persimpangan Jalan: ”Hugogo Pe Mansari, Laho Pasingkolahon Gelleng” (Batak Pos, 16-17 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

Minat orang tua di desa untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi menurun. Kualitas pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi dan manfaat  yang diperoleh kurang signifikan bagi sebagian orang tua. Benarkah?

Simaklah buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” (Salwa Press, Yogyakarta, Maret 2002) yang ditulis Darmaningtyias seorang ahli pendidikan. Buku itu mengungkapkan kecenderungan umum di tengah masyarakat Gunung Kidul, terutama di pedesaan yang tidak lagi mempercayai sistem pendidikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sampai awal dekade 1990-an, semangat masyarakat untuk menyekolahkan anak hingga SMTA cukup tinggi. Banyak orang tua yang memegang prinsip, ”semua harta benda dijual tidak apa-apa, asal anak bisa bersekolah”.

Tapi prinsip serupa sudah mulai pudar, bahkan banyak ditinggalkan Sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada kesaktian pendidikan formal, sehingga banyak yang memilih tidak melanjutkan sekolah setamat dari SD. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat desa terhadap pendidikan itu terjadi sebagai akibat dari buruknya produk pendidikan nasional.

Buku itu dengan vulgar mengatakan: ”Kehidupan orang-orang yang bersekolah hingga pendidikan tinggi ternyata tidak lebih baik , setidaknya terjadi ketimpangan antara output yang dikeluarkan dengan input yang diterima. Sebaliknya orang yang berpendidikan itu justru menjadi malas bertani, malas kerja kasar, sementara harta bendanya sudah banyak yang terjual untuk bersekolah”.

Semangat Menyekolahkan Anak

Membaca buku itu, saya kemudian mengenang  masa-masa saya ketika sekolah  SD-SMA di era 1973-1980. Kala itu, dari pengamatan saya orang kampung memandang tinggi nilai pendidikan. Kalau saya kembali ke desa, orang masih dengan semangat mengatakan: ”Kalau kawan ini pasti hebatlah nanti, soalnya dia sekolah,” kata salah seorang orang tua, ketika pulang libur sekolah di kota. 

Pengalaman orang tua saya yang hanya seorang guru SD, pernah menanggung tiga orang anak di perguruan tinggi. Mereka yakin benar bahwa segalanya dikorbankan demi sekolah anak-anaknya. ”Kalau sudah tamat nanti, mereka akan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari kami,”ujar ayah saya suatu ketika kepada tempat peminjaman uangnya.
Penghasilan kecil tidak melemahkan semangat mereka  menyekolahkan anak. Orang tua saya acapkali meminjam uang di kala memenuhi permintaan tiba-tiba dan kadang tidak direncanakan, atau kalau hasil panen mereka meleset. Konon, bagi orang tua saya lebih mudah meminjam untuk biaya pendidikan anak lebih mudah dari pada dia meminjam untuk usaha.

Selain itu mudah ditemukan kerja sama keluarga yang tinggal di kampung dan keluarga yang tinggal di kota. Saya menyaksikan sendiri, beberapa anggota keluarga yang saya kenal dibantu secara bergotong royong di kalangan keluarga besar untuk membantu anak keluarga yang tidak mampu. Baik berupa sumbangan langsung, maupun tumpangan tanpa bayar makan tinggal di rumahnya.

Melongok ke masa lalu tokoh-tokoh yang dulunya dari desa kemudian memperoleh pendidikan yang lebih tinggi misalnya. Produk-produk pendidikan dari desa sangat signifikan melahirkan para pemimpin negeri ini.

Sebagai penulis biografi, saya mengamati para tokoh yang sukses (kebanyakan dari desa), hampir bisa dikatakan, pendidikan merupakan awal dari segala karier mereka di kemudian hari. Dari seorang anak petani, setelah menempuh pendidikan mereka memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dari orang tuanya di kampung.

Kisah Pendeta Armencius Munthe, Prof Dr Sutan Hutagalung, Kol JP Silitonga dan bebeberapa biografi tokoh-tokoh yang saya tulis (kebetulan kebanyakan orang Batak), lahir di desa di era 20-an dan 30-an, mendapat pendidikan Belanda di sekitar desanya, dan sekolah lanjutan di kota, bahkan pada era 50-an ada yang sekolah di luar negeri-seperti Jerman, Amerika Serikat atau ke luar Sumatera seperti JP Silitonga.

Pendeta Armencius Munthe, mantan Ephorus GKPS, anak seorang janda petani miskin yang di usia 13 tahun sudah ditinggal suaminya, dengan kemampuan yang terbatas mampu menyelesaikan sekolah Teologia, dan kemudian karena prestasinya mendapat beasiswa kuliah Master Theologia di Universitas Hamburg Jerman di era 1960an.

Bahkan yang lebih kontroversial lagi, Sutan Hutagalung—mantan Sekjen GKPI. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai pegawai penjara di Klaten, dirinya meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan perkuliahan di STT Jakarta. Lulus dari sana, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di Amerka Serikat.

Contoh-contoh di atas adalah yang saya tau persis karena menulis biografinya, tetapi tentu kolom ini tidak cukup menyebut ribuan contoh lainnya.

Ironi di Era Globalisasi. 

Di abad ke duapuluh satu, dimana pendidikan seseorang penduduk desa diharapkan lebih baik (tingkat pendidikannya dari sebelumnya), justru banyak yang drop out. Kini, tidak sulit lagi bagi saya menemukan anak-anak SMP yang sudah drop out dan mengikuti ayahnya ke ladang. 

Berbeda saat saya sekolah SMP di era 1970-an. Hampir tidak ada anak sekolah yang drop out. Paling tidak mereka tamat SMP dan sebagian besar melanjut ke SPG atau SMA, dan kemudian ke Perguruan Tinggi.

Selain itu tingginya biaya pendidikan cenderung melemahkan semangat para orang tua mengirim anak-anaknya ke sekolah atau perkuliahan. Ditambah lagi budaya sogok yang marak dimana-mana ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan yang diidamkan, yakni PNS, atau pegawai swasta. Karena hampir sebagian besar penduduk masih memimpikan anaknya bekerja, belm banyak orang tua yang menginginkan anaknya sebagai pengusaha.

Bagi kelompok seperti ini, mengirimkan anak ke sekolah tidak lagi dianggap sebagai sebuah cara untuk meningkatkan status. Pengetahuan ayahnya sebagai petani sudah cukup untuk mencari makan dan menyesuaikan statusnya dengan anak-anak di desanya.

”Masuk sekolah harus membayar uang pembangunan, uang sogok. Padahal nanti sarjanapun menganggurnya. Mencari pekerjaan harus menyogok, lebih baik langsung bekerja di ladang. Menanam kentang, dapat hasil”ujar seorang penduduk yang anaknya drop out SMP, ketika saya berkunjung ke suatu desa. .

Dampak Negatif

Buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” mengungkapkan minat yang semakin menurun meningkatkan pendidikan menyebabkan tingginya perkawinan dini. Mereka yang drop out dari SD, SMP atau SMA akan kawin lebih cepat. Tentu ini tidak hanya menjadi tantangan bagi keluarga berencana, tetapi sekaligus menyebabkan tingginya perceraian.

Mereka yang drop out mudah terkena pengaruh lingkungan yang masuk ke desa berupa perkembangan teknologi informasi (TV, DVD, Internet) telah menyeret mereka ke pergaulan bebas dan hubungan di luar nikah, remaja terlibat narkoba, mengunjungi situs-situs porno di internet, bahkan bermain judi melalui teknologi canggih itu. Dampak yang lebih parah lagi mereka menjadi manusia pemimpi, menjadi pemakai narkoba, pengunjung diskotik, bahkan sebagian menjadi  PSK.  

Coba sekali-sekali berjalan di malam hari, atau singgah berbagai diskotik atau tempat-tempat terlarang bagi para remaja di kota-kota besar di provinsi ini. Medan, Pematangsiantar, Sibolga, dll. Gadis-gadis berusia belasan tahun menjadi pemuas nafsu para om-om yang kelebihan duit. 
 
Anakhon Hi do Hamoraon Di Ahu

Sebelum zaman semaju sekarang ini, semangat menyekolahkan anak di kalangan masyarakat di Sumatera Utara terangkum dalam lagu : Anakkon Hi do Hamoraon di Ahu, karya komponis besar Nahum Situmorang.

Sebagian penggalan syairnya berbunyi sebagai berikut: ”Hugogo pe mansari, arian nang bodari, lao pasingkolahon gelleng hi. Ndang so tarihuthon, au pe angka dongan, ndada pola marsak au di si. Alai anakhon hi da, ndang jadi hatinggalan sian dongan magodang na i”.

Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: ”Saya bekerja keras mencari uang, siang dan malam, untuk membiayai sekolah anakku. Meski tidak bisa mengikuti orang lain, saya tidak sedih. Asalkan anakku tidak ketinggalan dari teman-temannya”.

Syair lagu berirama pop dan sekali-sekali dibuat cha-cha ini, menggambarkan pandangan penulisnya tentang semangat masyarakat desa ketika itu dimana pendidikan adalah cara meningkatkan harkat dan martabat mereka. Pendidikan adalah pra-syarat agar mampu mengikuti perkembangan zaman, tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain, dan tidak terlindas oleh kemajuan. Karena itu, seluruh jiwa, raga dan harta dikorbankan demi biaya pendidikan anak-anak.

Hanya satu harapan: pengorbanan itu akan lunas, bila anak-anaknya bisa berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan keyakinan dengan modal pendidikan anak itu bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka mengejar achieved statusnya—status sosial yang diperoleh melalui kerja keras, usaha dan keyakinan dengan menyelesaikan pendidikan yang baik.

Masih dalam pengamatan yang memerlukan pembuktian, dari perubahan yang ada, minat menyekolahkan anak termasuk di daerah kita sudah menurun, demikian juga semangat anak didik menggunakan sekolah sebagai batu loncatan tidaklagi seperti semangatnya Prof Dr Sutan Hutagalung, Dr Armencius Munthe maupun JP Silitonga. Bagaimana mengembalikan semangat orang tua menyekolahkan anak-anaknya seperti sediakala menjadi tantangan bagi kita semua. Mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas produk pendidikan kita menjadi tantangan besar di era globaliasi ini.

Menulis Di Era Global “Mutlak Melek Komputer dan Internet” (Batak Pos, 14 Januari 2012)


Oleh : Jannerson Girsang

 
 Sumber Foto: ngecepres.blogspot.com.

Masuk di dunia penulisan di era global dengan buta komputer dan internet?. Anda akan seperti rusa masuk kampung!. Sebaliknya, menguasai komputer dan internet membuka peluang mengembangkan diri berlipat ganda.

Almarhum Pdt Dr Armencius Munthe—mantan Ephorus dan Sekjen Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)  adalah contoh seorang penulis yang dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan dunia barunya, yakni berkhotbah dan menulis di era global.

Setelah pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai Sekjen GKP pada 1995, beliau belajar komputer dan kemudian internet. Satu angkatannya sesama pensiunan petinggi gereja beliau termasuk yang paling aktif menulis.

Setelah pensiun, selama 15 tahun hingga meninggal pada 2009, beliau aktif mengajar sebagai dosen, dan menulis. Dengan memahami komputer dan internet, beliau mampu menulis beberapa buku dan menerbitkan tulisannya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. ”Melalui internet, saya bisa mengirim draft buku, melakukan koreksi seolah di depan saya dengan rekan-rekan saya dimanapun berada. Waktu sangat terhemat,”ujarnya.

Semasa dinasnya bertahun-tahun beliau hanya mengandalkan sekretarisnya dan sama sekali belum mengenal komputer. Membuat konsep dengan tulis tangan, lantas sekretarisnya membantunya mengetik.

Tak heran kalau kemudian beliau mampu menulis beberapa buku di masa pensiun dan menerbitkannya di Jakarta, Amerika Serikat, meski beliau tinggal di rumahnya di bilangan Tanjungsari, Medan. Prestasi menulis beliau, jauh lebih di atas rata-rata teman seangkatannya. 

Saya mendapat pengalaman menarik ketika menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga” (2004). Menulis buku seorang yang berusia 70 tahun yang memahami komputer dan internet, jauh lebih cepat dari para tokoh seusianya yang sama sekali tidak memahami komputer dan internet.

Pasalnya, saya bisa melakukan komunikasi dengan beliau melalui internet. Beberapa wawancara tambahan dilakukan dengan wawancara tertulis, demikian juga koreksi bisa dilakukan dengan email.

Berbeda ketika saya menulis otobiografi atau biografi seorang tokoh yang sama sekali tidak mengetahui internet. Meski dia seorang penulis, kalau tidak memahami komputer dan internet, maka wawancara seluruhnya dilakukan dengan tatap muka. Demikian juga koreksi dan diskusi. Saya menggunakan waktu yang jauh lebih lama menyelesaikan buku sejenis. Biaya yang dibutuhkan untuk menulispun tentunya lebih mahal. 

Bayangkan kalau draft buku setebal 400 halaman mau dikirim ke Jakarta, masih terdengar ungkapan seperti ini. ”Tolong print dulu draft buku kita, dan kirimkan semua hasilnya ke Jakarta”.

Dibutuhkan waktu memprintnya, membungkusnya, mengantarkannya ke TIKI atau kantor pos. Waktu mengirim melalui pos tersita satu atau dua hari. Demikan pula pengembalian hasil koreksinya. Padahal, pengiriman draft buku seperti itu di masa sekarang ini hanya butuh waktu hitungan detik dan biaya pulsa atau langganan internet yang cukup murah. Ini hanya sebuah contoh kecil!.  

Revolusi Penulisan

Perkembangan teknologi komputer dan disusul dengan aplikasi internet dalam komunikasi modern melahirkan pola baru komunikasi dan mempengaruhi dunia penulisan serta berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Seorang futurolog terkenal Paul Zane Pilzer, meramalkan bahwa bahwa tidak lama lagi setiap orang akan memiliki kemampuan menikmati kemakmuran tanpa batas melalui teknologi komputer ajaib.

Revolusi penulisan atas kehadiran internet telah, sedang dan terus berlangsung di tengah-tengah kita ibarat penyakit flu. "Internet seperti penyakit flu, menyebar seperti orang gila", kata Jack Welch. Dia masuk ke segala lapisan, penulis pemula, penulis besar, tua, muda, kaya, miskin, bahkan penulis remaja dan anak-anak. Pengguna internet meroket bak jamur di musim hujan. Dari kurang 500 juta sepuluh tahun sebelumnya menjadi 1.5 miliar orang.

Sampai 2009, akses internet di Indonesia masih dibawah 25 persen dengan pertumbuhan rata-rata antara 15-17 persen per tahun. Meski pertumbuhannya demikian pesat, kita masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunai, bahkan dengan berbagai negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Filippina.

Perkembangan jumlah penggunaan internet yang terus meningkat akan memberikan manfaat yang luar biasa.”Penjualan internet saat ini sebesar $200 miliar per tahun tidak ada artinya dibanding dengan keberuntungan yang akan tercipta,”ujar sebuah website yang kami kunjungi baru-baru ini. 

Perkembangan penulisan dengan kehadiran internet telah merubah makna sebuah perpustakaan, pengiriman bahan tulisan, distribusi bahan tulisan, demikian juga hasil tulisan berupa publikasi media atau buku-buku.  Google Book menjadi sebuah perpustakaan raksasa yang terus berkembang dan tak tersaingi jenis dan jumlah buku di perpustakaan manapun di Indonesia ini. Koleksinya sudah mencapai lebih dari 15 juta buku.

Mediaonline

Selain itu, kehadiran Internet dan pengembangan teknologi mediaonline sangat membantu penulis mencari bahan tulisan. Sebagai contoh, website http://www.onlinenewspapers.com/. Website seperti ini adalah salah satu produk directory media cetak online pada era internet.

Kini lebih dari 10 ribu media cetak utama dunia yang terbit di 400 kota sudah masuk dalam website ini. Dengan menamakan dirinya The No 1 Newspaper Directory, website ini telah membantu para pencari berita di seluruh dunia terus mengembangkan dan menambah jumlah mediaonline di seluruh dunia, sehingga menjadi sebuah sumber data yang sangat bermanfaat bagi miliaran orang. .

Dengan memanfaatkan teknologi internet, website tersebut selain menyediakan data juga sekaligus memanfaatkan para pengunjung secara interaktif menyempurnakan data yang sudah disediakan. Memasukkan informasi yang terdapat di daerahnya sehingga mereka yang berada di belahan bumu lain, sekaligus mampu mengakses informasi ke dunia yang lebih luas lagi.

Hasilnya, kini khususnya media cetak, seluruh masyarakat dunia yang memiliki akses ke internet sudah memiliki peluang memperoleh informasi.yang sama.

Penduduk di Tuktuk Siadong, melalui website ini mampu mengakses berita harian lokal di  Negara Bagian Alabama di Amerika Serikat, atau sebuah harian lokal di Davao, Mindanao Filippina.

Penutup

Para penulis yang belum memanfaatkan kehadiran Internet dalam meningkatkan kuantiítas dan kualitas tulisannya, saatnya bangkit dan menguasai komputer dan Internet dengan segala seluk beluknya yang bermanfaat bagi kegiatan menulis. Menulis untuk mengembangkan peradaban, bukan mencerca, memaki atau menfitnah orang lain.

Melek komputer dan Internet mutlak!. Milikilah sebuah komputer yang tersambung dengan Internet. Masuklah ke dunia global, samudera informasi yang luasnya tak terbatas. Sebagai penulis hal itu mutlak kalau anda ingin terus eksis di dunia tulis menulis.

Saatnya Anda membuka mata, jangan buta lagi!

Jumat, 13 Januari 2012

Belajar dari Petani Kentang (Batak Pos, 13 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.bisnis-jabar.com
 
Memutar memoriku di era 1970an, sangat tidak nyaman memandang sebuah areal pertanian kalau tanaman kentang di dalamnya tumbuh tidak merata. Di tengah-tengahnya terdapat tanaman yang krempeng, kuning, sementara yang lainnya tumbuh subur dan menyejukkan mata.

Sama dengan pembangunan ekonomi di suatu negeri. Sangat tidak nyaman, kalau di suatu daerah maju pesat, sementara di tempat lain—orang dengan mudah melintasi jalan raya yang mulus, sarana pendidikan modern, bisnis maju, sementara di daerah lain orang masih memikul hasil bumi karena tidak tersedia sarana jalan, gedunmg sekolah seperti kandang sapi, tengkulak menguasai pasar.   

Bedanya, kalau kondisi ketidakmerataan ini terjadi pada manusia, bukan hanya tidak enak dipandang, tetapi mereka bisa bereaksi, menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua. Mereka akan merespon ketidakadilan dengan berbagai cara. Pasalnya, mereka memiliki pikiran, mampu menilai yang terbaik bagi dirinya, mampu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Rakyat butuh pengaturan melalui sebuah sistem pemerintahan yang berniat baik bagi mereka, sehingga mampu maju secara bersama-sama, berkeadilan.

Belajar dari Petani Kentang

Memori anak-anak di kampung di daerah Simalungun di era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kadang muncul di benak kami kala melihat ketimpangan pembangunan di berbagai daerah di provinsi ini, saat melakukan berbagai perjalanan—Nias, Batubara, Labuhan Batu, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli dan lain-lain.

Petani kentang di kampng kami mengusahakan tanaman kentang agar semua tanaman mendapatkan perlakuan yang sama: mulai dari pemupukan, pembrantasan hama, penyiangan, penyiraman dan lain-lain.

Pada kenyataannya, meski perlakuan sama, saya memperhatikan pertumbuhan tanaman kentang tidak selalu sama. Beberapa minggu setelah ditanam, dari hamparan seluas satu hektar tanaman kentang sebanyak 10 ribu batang, sebagian pertumbuhannya lambat.

Setiap pagi petani memperhatikan pertumbuhan tanaman. Mereka seolah berbicara kepada tanaman-tanaman itu. “Apa yang kurang, mengapa pertumbuhanmu tidak seperti tanaman-tanaman lainnya?”.  

Bahkan ada kalanya mereka melakukan perlakuan khusus atas kentang yang tidak tumbuh sama dengan tanaman lainnya.  Ada yang karena dimakan ulat, kekurangan unsur hara seperti warna daunnya kuning karena memang kondisi tanahnya yang tidak subur.

Para petani di sana dengan pengalaman puluhan tahun menanam kentang memahami cara bertanam untuk membuat pertumbuhan bisa merata. Lalu, mereka memberi pupuk dengan takaran yang lebih bagi kentang yang kurang subur, memberikan perlakuan yang khusus bagi tanaman yang terserang hama dan membuat pertumbuhannya lebih lambat dari yang lain.

Walau tanaman itu tidak berbicara satu sama lain, seperti manusia, tetapi para petani bangga kalau dia berhasil membuat setiap tanamannya tumbuh merata. Tidak ada yang kerempeng.

Ada niat di hatinya, memperlakukan 10 ribu tanaman kentangnya sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa tumbuh bersama. Walau pada kenyataannya selalu saja ada hambatan, sehingga tidak pernah 100% bisa merata. 

Memimpin Rakyat: Pengalaman Petani Kentang

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin seyogianya memiliki niat seperti para petani memperlakukan tanamannya. Ada keinginan memperlakukan rakyatnya agar maju bersama, memahami dengan benar mengapa rakyat di sebuah daerah tidak bisa maju sama dengan rakyat lainnya, atau daerah yang satu tidak maju bersama dengan daerah lainnnya.   

Dalam kenyataan, setiap daerah tidak sama potensinya. Beberapa daerah bertumbuh dengan pesat karena potensi alam dan sumber daya manusianya tersedia. Anehnya, kadang daerah dengan potensi besar mendapat perlakuan khusus pula.  Berangsung secara alami”Dimana ada gula, di situ ada semut”. Pembangunan akhirnya bertumpu di sana.

Issu kesenjangan Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi ini adalah bukti bahwa masih banyak daerah yang perlu penanganan khusus untuk bertumbuh bersama. Sebagai contoh, di pedalaman di Pulau Nias masih banyak daerah yang tidak bisa dijangkau dengan kenderaan bermotor, 40% belum mendapat aliran listrik dari PLN, serta berbagai keterbatasan yang dihadapinya.

Tentu, daerah seperti ini tidak akan mampu bertumbuh bersama dengan daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang maju. Daerah dengan potensi yang kurang, sama dengan tanaman tadi,  mereka akan tumbuh kerempeng kalau dibiarkan bertumbuh dengan kemampuannya sendiri. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus.

Seorang pemimpin harus mampu dalam levelnya masing-masing—mulai dari gubernur, bupati, walikota, camat dan kepala desa/lurah memahami kondisi dan memperlakukan kebijakan-kebijakan khusus untuk masing-masing daerahnya. Pemimpin harus memahami, menyadari sepenuhnya daerah-daerah yang tidak mampu, dan yang perlu mendapat perlakuan khusus. Tanaman yang jauh dari gubukpun harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipinggir ladang.

Para pemimpin hendaknya menghindarkan diri megambil kebijakan hanya pertimbangan kedekatan masyarakat atau daerahnya, apalagi pada kepentingan pribadi dan golongan. Sama seperti petani memperlakukan tanaman kentangnya, demikian juga pemimpin memperlakukan rakyatnya.

12 juta lebih penduduk di Sumatera Utara terdiri dari beragam suku, agama, dengan potensi yang berbeda-beda hendaknya dipahami dengan filosofi petani kentang ini.

Mereka kini mengalami kemajuan yang berbeda-beda, bisa karena memiliki potensi alam yang melimpah sudah diolah, kemampuan sumberdaya manusianya yang sudah baik, atau hal-hal unggul lainnya.

Berbagai daerah masih tertinggal, bisa karena sumberdaya alam yang belum diolah, sumber daya manusianya yang rendah. Berbagai daerah memiliki potensi tambang emas, timah hitam, lahan kosong yang masih terhampar luas. Rakyat menunggu perlakuan-perlakuan khusus yang kreatif, sehingga mereka mampu bangkit, maju bersama dengan daerah lain.  

Gunawan Sumodinngrat dan Riat Nugroho T (2005), dalam bukunya ” Membangun Indonesia Emas” mengingatkan kita semua, ”Keadilan sosial adalah amanat bangsa. Keadilan sosial bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Keadilan sosial adalah sebuah ’rasa’ yang diciptakan dari keadaan kondusif bagi pengembangan hidup bersama yang diwarnai dengan  saling percaya dan saling gotong royong.”

Semoga di 2012 dan masa mendatang niat, sekali lagi niat  para pemimpin bersama masyarakat daerah ini terinspirasi dengan filosofi ini. Mewujudkan “Rakyat tidak miskin, tidak sakit dan tidak lapar”, dengan niat yang dilandasi semangat maju bersama. .   


[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Senin, 09 Januari 2012

In Memoriam Ed Zoelverdi 1943-2012: "Mat Kodak" Sudah Pergi (Analisa Cetak, 9 Januari 2012)

Oleh : Jannerson Girsang.

sumber: antarafoto.com

Indonesia kehilangan seorang juru foto yang tidak kenal lelah belajar dan mengajarkan pengalamannya kepada masyarakat jurnalis di tanah air. Tokoh yang mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk jurnalis foto itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, di Jakarta, dini hari 4 Januari 2012.

Salah seorang yang pernah bekerja dengan beliau semasa di Majalah Tempo, Bersihar Lubis, kini Pemred Medan Bisnis, mengungkapkan kesannya melalui telepon genggam. "Kita kehilangan seorang fotografer besar, seorang guru yang humoris,"ujarnya.

Lulusan SLTA, Menabur Ilmu Jurnalistik

Nama Ed Zoelverdi bukan nama asing lagi di dunia jurnalisme foto Indonesia. "Dia mulai memotret sejak tahun 1960-an. Ia konon bisa menghabiskan 2-3 roll film isi 36 per hari. Kemanapun ia pergi, tustel selalu menemani. Buang airpun, ia menteng tustel," ungkap buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses melukiskan Ed Zoelverdi

Pria kelahiran Kutaraja (Banda Aceh), 12 Maret 1943 adalah anak pasangan berbahagia yang berasal dari Kotagadang, Bukit Tinggi. Dia hanya menyelesaikan pendidikan formalnya sampai tingkat SLTA. Selebihnya ia belajar secara otodidak-termasuk dalam pemotretan dan jurnalistik. Pria yang menunaikan ibadah haji di Makkah 1988 itu, pernah mengikuti kursus melukis di Balai Budaya Jakarta bimbingan pelukis Nazar dan Oesman Efendi (alm).

Karier jurnalistiknya diawali dari reporter lepas di Radio Republik Indonesia untuk acara Kebudayaan asuhan Wiratmo Soekto pada 1964, setelah sebelumnya sempat menjadi pegawai sekretariat perusahaan pelayaran Samudera Djakarta Lloyd, Jakarta.

Sebelum bergabung dengan majalah Tempo pada 1971, Ed Zoelverdi melakoni berbagai pekerjaan, diantaranya pembantu lepas (free lance) untuk gambar pena di koran harian Duta Revolusi, dan mingguan Abad Muslimin, Jakarta, karikaturis majalah KAMI, asisten Director of Photography pembuatan film Dunia Belum Kiamat disutradarai Nya Abbas Akup.

Pria yang menikah dengan Farida pada 1973 ini, bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Tempo 1971 sebagai Staf Editor, hingga majalah ini dibredel pada 1994, lantas bergabung dengan Majalah Berita Mingguan Gatra pada 1995 sebagai Staf Redaktur dan Redaktur Pelaksana.

Dalam tugasnya sebagai jurnalis, Ed Zoelverdi melakukan perjalanan jurnalistik seantero wilayah Indonesia, perjalanan ke Asia meliputi Jepang, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Hong Kong, dan Macau, lawatan Eropa: Holland, Belgia, Austria, Jerman, Inggris,Prancis, Swiss, dan Swedia, juga ke Russia. Kawasan Afrika, ke Mesir dan Mauritius, di tenggara benua itu. 1993 Ed Zoleverdi melawat ke Amerika Serikat, dan keliling negara ASEAN.

Sejak 1971, Ed Zoelverdi terlibat dalam juri di berbagai aneka lomba foto baik sebagai anggota maupun ketua. Misalnya anggota juri kontes foto se Asia yang diselenggarakan Asia Cultural Center for UNESCO (ACCU) di Tokyo Jepang (1989), Lomba Internasional Foto dan Gambar Remaja Abad Elektronika VI, diselenggarakan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional di Jenewa Swiss (1991), serta berbagai lomba di tingkat Asia dan nasional. Pada 1985, Ed pernah menjadi anggota juri lomba foto majalah Asiaweek di Hong Kong. Ed juga banyak terlibat dalam merancang lomba foto di tanah air, diantaranya Lomba Foto "50 Tahun RI", kerja sama Majalah Garta dengan Hailai, Jakarta.

Jurnalis: "Belajar Terus dari Ayunan Sampai Liang Lahat" 

Memasuki usia senjanya, Ed Zoelverdi terus belajar dan mengajarkan hal-hal yang dipelajarinya. "Belajar terus dari ayunan sampai liang lahat" demikian buku Pensiun Preneur: Pensiun Sukses (Surasono I. Soebar, 2008) menggambarkan motivasi belajar Ed Zoelverdi.

Berhenti sebagai fotografer "resmi", kegiatannya semakin banyak. Dia tercatat sebagai Instruktur bidang Fotografi Jurnalistik pada Sekolah Jurnalistik Indonesia PWI Pusat, Dosen Tamu di Universitas Negeri Jakarta, untuk Jurnalisme Fotografi; Senior Editor berkala bulanan Lionmag— the inflight magazine of Lion Air, Dosen Luar Biasa FISIP Universitas Indo-nesia, Depok, untuk Jurnalisme Foto & Tulis, Dosen Tamu di Universitas Hamka,Jakarta, untuk Fotografi Jurnalistik, Instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo Jakarta (LPDS), bidang Jurnalistik Foto.

Selain mengabdikan peristiwa-peristiwa penting di lapangan ke dalam foto, Ed Zoelverdi juga aktif menuangkan pengalamannya ke dalam buku. Bebeberapa karyanya adalah Mat Kodak Melihat Untuk Sejuta Mata, terbit tahun 1985. Buku tentang seluk-beluk kerja foto di dapur orang pers ini kini terbagi menjadi tiga seri. Seri pertama adalah Kita Menulis Dengan Cahaya, ikhtisar fotografi umum.Seri kedua, Mat Kodak Melihat Untuk Berjuta Mata, ikhtisar fotografi jurnalistik. Seri ketiga, Dari Foto Kita Menulis , latihan menulis menggunakan modul karya fotografi. Satu lagi buku yang sudah berupa dummy adalah kisah lawatan jurnalistik yaitu Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya.

Atas pengabdiannya semasa hidupnya, Ed Zoelverdi mendapat penghargaan dan namanya diabadikan dalam berbagai ensiklopedia dan buku tokoh lainnya. Dia menerima Kartu Pers Nomor Satu dari Masyarakat Pers Indonesia pada Hari Pers Nasional,9 Februari 2010, Penghargaan Gatra sebagai "Proklamator" majalah berita itu (1994), masuk Ensiklopedi Pers Indonesia, terbitan PWI Pusat (2008), masuk buku Who’s Who in Australasia & Far East, IBC Cambridge, Inggris (1991), masuk buku 235 Tokoh Bicara Tentang Buku, terbitan Yayasan Data Group, Bandung (1988), menerima "Adam Malik Award" (Anugerah AdamMalik) untuk pengabdian di bidang fotografi (1987), masuk buku Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia,Pustaka Grafiti, Jakarta, Masuk Ensiklopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru - vanHoeve, Jakarta (1986), masuk buku, A Who’s Who for Asian Cultural Center for Unesco (ACCU), Tokyo (1981).

Ed Zoelverdi adalah seorang teladan dalam mengikuti perkembangan dalam profesinya. Munculnya sistem digital dalam teknologi fotografi, beliau pelajari dengan serius. Bahkan, pengalamannya bergaul dengan fotografi digital ini pun sedang dituangkan dalam buku kecil berjudul Sensasi Fotografi Digitamania.

Mat Kodak

Sebagai seorang fotografer, Ed Zoelverdi menulis artikel di berbagai media cetak di Indonesia.

Ketua Departemen Jurnalistik Foto PWI Pusat (2003-2008) ini mempopulerkan istilah "Mat Kodak" untuk menyebut juru foto, dalam tulisan di Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1973. Berkat tulisannya, Indonesia pun memiliki sejarah tersendiri atas produk kamera merk Kodak yang merajai pasar kamera di era 70-an.

Ed Zoelverdi begitu getol menyebut "Mat Kodak" di dalam artikelnya menyebut juru foto. Lihat misalnya artikel yang ditulisnya pada 1978. "Jangan merasa jemu, dalam kaitan sajian foto maka Mat Kodak dituntut untuk senantiasa bermata awas. Misalnya, ketika menyaksikan sebuah batu atau bukit yang dibabat habis, segeralah potret". (Foto Liputan Ekologi Sebuah Spesialis Jurnalistik, Lokakarya Liputan Lingkungan Hidup untuk Media Cetak, Muko-muko Jambi,1978).

Demikian juga dalam bukunya "Mat Kodak Melihat untuk Berjuta Mata". "Kegiatan itu bernama:Fotografi Jurnalistik. Mau disebut masuk Cabang Profesional, ya pasti! Sebab produk sang Mat Kodak di bidang ini me-mang disajikan sebagai konsumsi nonfisik buatmasyarakat luas. Dari sini lahirnya ungkapan be-ken: "Mat Kodak melihat untuk berjuta mata"

Ed Zoelverdi: Guru Fotografi yang Kocak

Ed Zoelverdi tidak hanya dikenal di kalangan wartawan Jakarta, tetapi juga oleh beberapa wartawan senior dan masyarakat jurnalistik di Sumatera Utara. Murid-muridnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa wartawan senior di Sumatera Utara mengutarakan kesan mereka tentang Ed Zoelverdi.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, bang Ed saya kenal sejak saya bekerja di majalah Tempo. Saya masih ingat kritikannya terhadp foto-foto yang pernah saya kirim. Selamat jalan Bang Ed," demikian komentar Nian Poloan, wartawan Republika biro Medan, dan pernah menjadi wartawan Tempo di Medan di FB pribadi saya, sesat membaca postingan berita tentang berpulangnya Ed Zoelverdi. .

Bersihar Lubis, Pemred Medan Bisnis mengatakan Ed Zoelverdi adalah seorang guru fotografer. "Dia pernah mengajar kami cara-cara mencetak film, teknik memotret masa Pak Zakaria Pase menjadi Kepala Biro Tempo di Medan, di era 80-an."ujar Bersihar. Di mata bersihar, selain seorang guru yang baik, Ed Zoelverdi juga seorang humoris.

Generasi muda Sumut yang pernah mengikuti training fotografi di LPDS Jakarta mengungkapkan kesannya. "Bang Ed ini juga dikenal kocak. Kalau ngajar di LPDS suasananya cair, jauh dari ketegangan. Selalu ada celetukan-celetukan penuh tawa,"ujar Lindung Budaya, peserta training Jurnalistik di LPDS 2002.

Clara Girsang, lulusan FISIP UI Jurusan Komunikasi 2008 yang kami hubungi melalui telepon genggam mengungkapkan: "Dia nyentrik, nggak monoton. Kalau ngajar nggak harus di kelas. Jalan-jalan hunting foto. Habis kuliah masih mau nongkrong di Takor (kantin FISIP UI). Buat makan bareng sama mahasiswanya, sambil diskusi apa aja, politik, teknik foto atau apapun," ujarnya melalui sms.

Ed Zoelverdi sudah beristirahat di TPU Kemiri Rawamangun, Jakarta. Kita kehilangan seorang fotografer besar, seperti dikatakan wartawan senior Bersihar Lubis. Namun, karya-karyanya tidak akan pernah mati. Keteladanan, warisan buku-buku dan tulisannya akan terus hidup di hari para jurnalis Indonesia. Menulis dan menularkan pengetahuan jurnalistik. Itu pelajaran kami darimu. Selamat jalan bung Ed Zoelverdi!

(Diolah dari Berbagai Sumber)***

Penulis Biografi, tinggal di Medan

Sabtu, 07 Januari 2012

2012: Keluar Dari Terowongan Gelap (Batak Pos, 7 Januari 2012 Hal 1)

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: nasional.news.viva.co.id

Memasuki 2012, negeri ini membutuhkan pemimpin di segala level yang mampu memahami situasi, merumuskan persoalan serta memutuskan langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk keluar dari persoalan.

Pasalnya, kita sudah sesak rasanya menyaksikan kasus Century, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Gubernur Muda Bank Indonesia, dan belakangan ini soal Mesuji, persoalan Lapindo, masalah Tambang di Bima, kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kecelakaan di darat, serta berbagai kasus yang tidak tuntas-tuntas di tanah air. Terlalu lama kita berputar-putar di terowongan gelap, banyak aksi mubajir tanpa arah yang jelas untuk mewujudkan negeri yang aman, sejahtera dan harmonis.

Untuk sekedar menyegarkan pemikiran di awal tahun ini, kami menyajikan kisah sederhana menyelesaikan persoalan, dan menghimbau para pemimpin untuk belajar dari cara yang sederhana ini.

Pengalaman Seorang Pegawai Kereta Api

Tahun lalu, saya membantu penulisan buku”Bagaikan Rel Kereta Api”, otobiografi Osmar Simatupang, kelahiran Pardede Onan Tarahudi, 10 Februari 1936. Dia adalah seorang pegawai biasa di Perusahaan Jawatan Kereta Api (Sekarang PT Kereta Api Indonesia).

Jabatan tertingginya adalah Kepala Urusan Perencanaan Kereta Api Indonesia di Kantor Pusat Bandung. Sekolahnyapun tidak tinggi-tinggi amat. Dia hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah dan mendapat beberapa training atau pelatihan-pelatihan seputar perkeretaapian di dalam negeri. Namun, dia menyimpan pengalamannya yang menarik.

Alkisah, suatu sore di era 1980-an, Osmar mengakat telepon yang berdering di kantornya. Dia menerima pesan yang cukup singkat: Gerbong KA Surabaya-Blitar terjepit tanah longsor, persis  di ujung terowongan Karangkates ke arah Blitar, sepanjang 1000 meter”. Wilayah itu memang dikenal dengan tanahnya yang labil dan sering terjadi longsir

Sebagai Kepala Inspeksi X Jawa Tengah ketika itu, dia bertanggungjawab menggeser gerbong, sehingga tidak mengganggu arus kereta api lainnya yang melintas.

Dia bergerak ke lapangan dan ketika tiba di lokasi, jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dia berdiri di ujung terowongan yang berbeda dari tempat terjebaknya kereta api oleh longsoran tanah itu. Dia punya dua pilihan, kalau mengikuti jalan raya, maka dia harus menempuh jarak sekitar 6 kilometer, sementara kalau melintasi terowongan dia hanya menempuh terowongan sepanjang 1 kilometer.

Sebagai catatan, di erah 80-an belum ada telepon genggam dan Osmar hanya bisa berkomunikasi dengan anak buahnya kalau bertatap muka. Dalam kesendirian di tengah kegelapan, dia harus mengambil keputusan yang terbaik agar gerbong yang terjebak bisa digeser. Dia memilih menembus terowongan meski dalam keadaan gelap.

Memasuki terowongan gelap dia butuh penerangan. Padahal, ”Saya tidak perokok, dan tidak memiliki alat apapun untuk penerangan. Benar-benar gelap. Di tangan saya hanya ada batang ubi kayu!” katanya.

Tongkat ubi kayu!. Itulah satu-satunya alat yang akan digunakan untuk menuntunnya menyeberangi terowongan. Osmar yang sudah bertahun-tahun bekerja di daerah itu, paham benar keadaan di dalam terowongan.

Meski pandangan matanya tidak memungkinkan melihat benda-benda di sekitarnya, pengalamannya melintasi rel itu hari-hari sebelumnya memberinya gambaran besar terowongan itu. Ditambah dorongan rasa tanggungjawabnya, dia berani menembus terowongan gelap.

Berbekal tongkat ubi kayu, dia berjalan merangkak menembus kegelapan. Tongkat ubi kayu itu digunakannya untuk menyentuh rel di sekitarnya sebagai petunjuk arah, mengidentifikasi dirinya berada pada posisi yang tepat.

”Kalau tongkat masih menyentuh rel, maka saya berada pada arah yang seharusnya,”ujarnya.

Singkat cerita, dia berhasil menuju lokasi terjebaknya kereta api dan bersama anak buahnya mampu menggeser gerbong yang terjebak itu.

Osmar memahami tujuan, permasalahan, merumuskan tindakan dan analisa sumber daya yang tersedia, untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, dia memiliki rasa tangungjawab yang besar untuk mewujudkan tujuan. Persyaratan yang harus melekat pada setiap pemimpin.

Keluar Dari Terowongan Gelap

Memaknai pengalaman Osmar di atas, saya teringat sebuah buku yang sungguh-sungguh menginspirasi. The Seat of Soul yang ditulis Gary Zukav membahas tentang perubahan (tantangan) dan jalan menuju tujuan.

Zukav mengatakan: ”Kita sedang berada di tengah perubahan yang mendalam. Kita akan bergerak melewati perubahan dengan lebih mudah jika kita mampu melihat jalan yang akan kita lewati menuju tujuan kita, kita mencermati apa yang sesungguhnya sedang berlangsung”.

Banyak gambaran suram tentang negeri ini diungkapkan di awal tahun ini. 2011 misalnya, ada yang menyebutnya tahun kebohongan, atau julukan lainnya. Entahlah!. Tentunya, hal-hal seperti ini bukan datang dari seorang pemimpin, pasti itu datang sari pengamat yang hanya melihat kulit luarnya. Pemimpin yang benar tidak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Mereka mampu berbicara terang di kegelapan.

Sudah terlalu sering kita mendengar para tokoh di negeri ini membuat seolah-olah bangsa ini sudah kiamat. Padahal, kenyataannya tidak. Persiapan Wisma atlet yang digambarkan gagal, tapi berakhir dengan baik. Pemilu yang digambarkan chaos, tetapi ujung-ujungnya tidak terjadi apa-apa, Pemilu berjalan lancar.

Banyak orang seolah ahli menggambarkan situasi seperti tujuh orang buta menggambarkan seekor gajah. Hanya melihat persoalan secara sepotong-sepotong.  Padahal, dia tidak memiliki pemahaman apa yang diungkapkannya sedalam Osmar memahami terowongan gelap, serta mengambil tindakan untuk keluar dari terowongan itu.

"Mendengar gemuruh sudah menganggapnya  guntur, melihat asap sudah mengatakan itu api". Lantas mengambil keputusan hanya berdasarkan ”tampak seperti”, bukan kenyataan masalah yang sebenarnya.

Untuk keluar dari kegelapan, para pemimpin harus benar-benar mengambil keputusan bukan berdasarkan dari apa yang "tampak seperti", tetapi keputusan yang benar-benar didasarkan atas gambaran situasi yang sesungguhnya.

Kita membutuhkan orang yang bisa membuat terang di kegelapan. Bukan menyalakan api sembarang api, tetapi butuh penyala lilin, lampu untuk menerangi jalan. Bukan hanya membakar-bakar api, sehingga persoalan tidak selesai, bahkan malah menimbulkan kerugian yang lebih besar. Pembakaran-pembakaran berbagai fasilitas pemerintahan di akhir tahun lalu adalah contoh. 

Permasalahan negeri ini tentu tidak sesederhana kisah di atas. Namun prinsipnya sama, memahami tujuan yang akan dicapai secara benar, masalah atau tantangan, tau jalan keluar dari persoalan dengan keputusan yang terbaik,  tepat dan cepat.

Semoga memasuki 2012, pemahaman para pemimpin di segala level tentang persoalan yang dihadapi pada levelnya sedalam pemahaman Osmar soal terowongan. Para pemimpin belajarlah dari kisah sederhana ini. Kita merindukan suasana di luar terowongan gelap. Sudah sesak rasanya berada di ruang yang terus menerus dililit persoalan korupsi, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum.


Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Kamis, 05 Januari 2012

Artikel dan Buku yang Saya Tulis 2011

Oleh: Jannerson Girsang

 

Menulis dan menularkan pengetahuan menulis mendapat porsi besar dalam kegiatan saya pada 2011. Selain menulis artikel dan buku, saya berkesempatan sharing pengalaman menulis dengan wartawan-wartawan pemula di Nias dan Pematangsiantar.

Sepanjang 2011 saya menulis 50 artikel yang dipublikasikan di berbagai media, serta meluncurkan 2 buku otobiografi. Saya merangkumnya dalam artikel ini, sehingga memudahkan saya dan pembaca yang ingin mencarinya kalau diperlukan. Sebagian besar artikel-artikel ini masih bisa diakses di media-media online.

Saya ingin berbagi dengan pembaca soal pendokumentasian karya-karya tulis, sebagai salah satu hal penting dalam kegiatan menulis. Pasalnya, topik yang pernah kita tulis sebelumnya bisa muncul kemudian. Selain itu, dengan artikel seperti ini, maka saya dan Anda akan termotivasi untuk mengatakan: "Akh gitu aja!. Bisa juga akh luar biasa, saya harus menulis sekarang". Itu pengalaman saya dahulu ketika seorang penulis memaparkan hasil karya yang ditulisnya.

"Do not tell but show", itu salah satu prinsip untuk mengajak seseorang melakukan sesuatu. Banyak orang berteori menulis itu mudah, menulis itu gampang. Gampang kalau hanya menulis satu artikel dalam satu tahun, atau satu buku dalam lima tahun. Tetapi kalau merujuk seorang teman yang bisa menulis 3 artikel setiap hari di koran bergengsi di Amerika, bukan hal mudah.

Buat Anda tahu, produksi tulisan terbanyak yang pernah saya hasilkan adalah di 2011. Saya mencapainya setelah menjalani  proses yang tidak mudah. Proses yang memberi kepuasan tersendiri, meski  bagi yang lain itu hanya biasa-biasa saja.Alasan ini pula yang  mendorong saya menceritakan proses itu. Terus terang, saya belum bisa bercerita seperti penulis lain, soal uang yang diperoleh atau ketenaran. Mungkin suatu ketika!

Setiap tahun, sejak 2007, saya membuat daftar artikel per tahun. Lalu saya hitung. Saya sedih dan jengkel sekali, ketika  2007 saya hanya bisa menulis 6 artikel per tahun. Kemudian merangkak, merangkak dan merangkak. Bukan saya tidak tau menulis, bukan karena tidak ada masalah yang bisa dibahas. Tetapi kadang saya anggap enteng, sehingga artikel yang sudah dimulai, dibiarkan tidak selesai dan akhirnya malas menulisnya lagi. Artinya tidak dikirim ke media.

Sama dengan proses menulis biografi dan otobiografi. Saya memulainya sejak 2002,dan sampai 2009 sudah menulis sekitar 12 buku otobiografi dan biografi. 2010 kosong. Syukur, tahun 2011i saya mampu membantu penulisan  dua buku otobiografi dan selesai, artinya diluncurkan.

Dengan Misi: "Menulis Fakta Memberi Makna" atas keresahan hati selalu membakar semangat saya untuk terus menulis, meski honor menulis belum memadai. Menulis adalah merekam peradaban. Barangkali ini belum begitu berharga saat ini. Sepuluh, dua puluh atau bahkan ketika saya sudah tiada, goresan-goresan yang masih jauh dari sempurna ini mungkin bisa bermanfaat.

Jumlah atau kualitas tulisan yang saya hasilkan setahun ini masih jauh dari apa yang dihasilkan para penulis handal. Kalau saya membaca buku Albertiene Endah tentang otobiografinya Titik Puspa misalnya. Jauhlah. Rasa ketinggalan itu, akhirnya menghasilkan sebuah artikel di 2011:Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” . Saya memang berbeda dari dirinya, baik dalam kemampuan dan pengalaman, namun tidak perlu merasa iri atau rendah diri. Kalau saya bekerja seperti dia, pasti juga bisa. Tapi memerlukan proses. Membaca artikel ini semoga  rekan-rekan saya sesama penulis yang mulai down, termotivasi lagi melanjutkan karya-karyanya untuk dinikmati masyarakat kita di daerah ini.

Selain mengejar jumlah dan kualitas, niat kami untuk mendorong yang lain terus menulis barangkali merupakan hal yang tidak kalah penting. Pengalaman memberikan training jurnalistik bagi 8  orang wartawan mediaonline http://www.nias-bangkit.com dan 10 orang wartawan pemula Harian Sinar Indonesia Baru, merupakan hal yang menarik bagi saya.

Kegiatan ini  memberi semangat baru bagi saya sebagai seorang penulis, karena berkesempatan melakukan sharing dan menebar pengetahuan menulis. Saya senang melihat munculnya bibit-bibit penulis yang baru. Mereka bukan tidak tau menulis, tetapi belum memperoleh pembekalan yang baik.  Saya berharap semakin banyak warga Sumut yang menulis.

Sumbangan ini barangkali masih kecil untuk saat ini, tetapi saya yakin lima atau enam tahun ke depan, mereka akan menjadi penulis yang baik. Sekecil apapun itu kiranya tentu ada manfaatnya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para pembaca artikel-artikel saya. Respon dan kritikan anda adalah energi baru, "penjaga roh"  bagi saya untuk terus melakukan pembelajaran dan koreksi terus menerus.

Ejaan, sekali lagi ejaan, memang menjadi masalah karena saya adalah lulusan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Saya butuh editor, butuh kritikan soal ejaan. Tapi, keterbatasan bukan alasan. Saya harus memperbaikinya sedikit demi sedikit. Saya yakin kesempurnaan hanya diperoleh dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan. Dan tak seorangpun mencapai kesempurnaan selama dia hidup, tetapi kita terus berusaha bergerak ke sana.

Mari belajar mengejar keunggulan, mendorong karya-karya unggul, tidak merendahkan atau meremehkan sekecil apapun yang dilakukan teman.

Setiap perjalanan karier selalu memerlukan dukungan. Tanpa dukungan media, tentu kegiatan penulisan tidak mungkin berlangsung. Saya mengucapkan terima kasih kepada media atau orang yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk berkarya, diantaranya Analisa, Jurnal Medan, Sinar Indonesia Baru, http://www.nias-bangkit.com serta media lainnya.  Demikian pula beberapa mediaonline diantaranya http://www.kompas.com, http://www.detik.com, serta berbagai mediaonline lainnya yang memuat kembali artikel-artikel saya (tentu dengan menyebut sumber media dimana saya  menulis).

Sepanjang hayat, saya tidak akan pernah lupa rekan-rekan, J.Anto dan Bersihar Lubis, yang memberi  bekal dan semangat untuk menulis. Semoga kalian berdua tetap semangat, dan hari-hari ke depan mendapat berkat kesehatan yang prima. Demikian juga sesama rekan penulis yang meluangkan waktu  sharing untuk memperkaya ide dan menumbuhkan semangat menulis.

Seraya berdoa agar Tuhan menguatkan saya terus menulis, merekam peradaban di daerah ini, serta memotivasi yang lain untuk menulis,  saya berharap pada 2012 masih diberi berkat kesehatan dan kejernihan berfikir untuk terus menghasilkan artikel, buku untuk dinikmati. .

Berenanglah, jangan hanya belajar teori berenang!

Harian Analisa

  1. Pelajaran dari Kekalahan Timnas Indonesia Melawan Malaysia: ”Sepakbola, Persatuan dan Kesatuan” (Analisa 4 Januari 2011)
  2. Kampanye Minat Baca : Meneladani Pengalaman Membaca Para Tokoh (Analisa, 21 Januari 2011)
  3. Menggantung Lonceng di Leher Kucing (Analisa, 22 Februari 2011)
  4. In Memoriam Rosihan Anwar: Penulis Orbituari Handal (Analisa, 16 April 2011)
  5. Christine Lagarde: Perempuan Pertama Direktur IMF (Analisa, 5 Juli 2011)
  6. Amanda Hocking, Sukses Penulis Self Publishing:  Dua Tahun Meraup Jutaan Dollar (Analisa, 13 Juli 2011)     
  7. PM Perempuan Pertama di Thailand Yingluck Shinawatra (Analisa, 18 Juli 2011)
  8. Pemicu Ide Menulis (Analisa, 29 Juli 2011)
  9. Menyambut e-Procurement 2012 (Analisa, 9 Agustus 2011)
  10. In Memoriam: Charles Breijer (1915-2011) (Analisa, 3 September 2011)
  11. Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)
  12. Belajar dari Kesalahan (Analisa, 12 September 2011)
  13. Bila Kamera Tersembunyi KPK Bicara (Analisa, 26 September 2011)
  14. Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)
  15. 83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Analisa, 28 Oktober 2011
  16. In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)
  17. Google Book dan Demokrasi Pengetahuan (Analisa, 7 Nopember 2011)
  18. Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa, 18 Nopember 2011)
  19. Medan! Kapan Punya KA Seperti Jakarta (?) (Analisa, 30 Nopember 2011 Hal 25)

Harian Jurnal Medan

  1. Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut (Jurnal Medan, 30 Juli 2011)
  2. Di Era Internet: Say No, to Plagiat! (Jurnal Medan, 3 Agustus 2011).
  3. Kemajuan Pembangunan dan Stress di Jalan Raya (Jurnal Medan, 08 September 2011)
  4. Memaknai 106 Tahun PDAM Tirtanadi (Jurnal Medan, 10 September 2011)
  5. Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan, 29 September 2011)
  6. Penegakan Hukum Sepakbola dan Korupsi       ( Jurnal Medan, 8 Oktober 2011)
  7. Belajar dari Kisah Tiger Woods Lilin Itu Meleleh. Lalu......! (Jurnal Medan, 13 Oktober 2011)
  8. Sisi Lain dari Sumpah Pemuda ke 83: Tegakah Anda Tidak Menghafal Indonesia Raya? (Jurnal Medan, 26 Oktober 2011)
  9. Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)
  10. Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” (Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011)
  11. Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)
  12. Juara Umum, Tanpa Emas Sepakbola (Harian Jurnal Medan, 24 Nopember 2011)

http://www.nias-bangkit.com

  1. Merasa Asing di Negeri Sendiri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 25 Nopember 2010.
  2. Hadiah Tahun Baru dari Delasiga, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 24 Januari 2011.   
  3. Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan Terbengkalai, Kolom. www.nias-bangkit.com. Posting 26 Maret 2011.
  4. Laporan dari Nias Selatan (2): Antara Teluk Dalam dan Hilizo’ayamböwö,Kolom,  www.nias-bankit.com. Posting 26 Maret 2011.
  5. Apolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan Kamus Li Niha, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting, 26 Maret 2011.
  6. Ria Telaumbanua: Hotel Itu Ambruk, Sahabat Saya Meninggal, Figure: www.nias-bangkit.com. Posting 2 April 2011
  7. Pelesir ke Nias Barat (1): Gunungsitoli-Sirombu Mulus, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting: 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  8. Pelesir ke Nias Barat (2): Desir Rupiah di Pantai Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  9. Pelesir ke Nias Barat (3): Gerakkan Ekonomi Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting, 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  10. Nirwan Zendratö: Kembali Jadi Sopir Rental, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting: 29 April 2011
  11. Bawomataluo: Keindahan dan Misteri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 3 Mei 2011. Selain www.nias-bangkit.com, kemudian juga dimuat di www.detiktravel.com dan Jarak Pantau, Nias..
  12. Regenerasi Hombo Batu, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 17 Mei 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  13. Fafiri, Permainan Tradisional Nias yang Terlupakan (ditulis bersama Nitema Mendrofa), Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 19 Mei 2011.Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  14. Junisan Ndraha, Penyiar Muda Berbakat di RRI Gunungsitoli, Figure, www.nias-bangkit.com, 19 Mei 2011.
  15. Hikayat Manao: Beban Moral Menurunkan Nilai Budaya, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting 1 Juni 2011. Artikel oni dimuat juga di http://www.kompas.com.

Harian Sinar Indonesia Baru

  1. Kampung Silau Marawan: Rakyatnya Kreatif, Tapi Sarana Jalan Memprihatinkan (Sinar Indonesia Baru, 22 Juni 2011)
  2. 80 Tahun Floriana Tobing: Siswa Sekolah Diakonia Pertama ke Jerman (Sinar Indonesia Baru, 18 September 2011)

Harian Simantap News

  1. Malam ini 2 Tahun Lalu: Pdt Dr Armencius Munthe Pergi untuk Selama-lamanya (Harian Simantap News, 29 Juli 2011)

http://www.ponijanliaw.com.

1. Mengenal Ponijan Liaw di Dunia Maya (posting 2011)

http://termanis.com/interview-dengan-jannerson-girsang

1. Mengenal Lucya Chriz. Penulis Novel Amang Parsinuan (2011). Artikel ini juga diposting di http://www.harangan-sitora.blogspot.com, http://www.blogindonesia.com,  www.yasni.com.

Buku-buku

1. Tuhan Pemimpin Hidupku (Otobiografi, 2011)
2. Bagaikan Rel Kereta Api (Otobiografi, 2011)

(Catatan: Tahun ini saya dengan dibantu beberapa teman menulis buku biografi dan otobiografi ke 13 dan 14 sejak 2002)

Training Jurnalistik

Maret-Juni 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan http://www.nias-bangkit.com.
Agustus 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan Harian Sinar Indonesia Baru Biro II Pematangsiantar.