My 500 Words

Jumat, 02 Maret 2012

Bincang-bincang dengan Idris Pasaribu (2) “Dulu, Medan Ibukota Sastra Indonesia” (Batak Pos, 1 Maret 2012)


Oleh: Jannerson Girsang

novel pincalang 
Sumber foto: www.antaranews.com

Bincang-bincang kami makin hangat dan menarik. Tak terasa gelas kopi pesanan pertama sudah kosong. “Tambah kopinya bang,”pintanya kepada lelaki pemilik kedai setengah umur itu. Sedikit membuat heran pelanggan yang duduk di samping kami.

Idris kembali menarik asap rokoknya dalam-dalam, seolah memikirkan sesuatu. Lantas, pria yang masih punya segudang mimpi di usia enampuluhan itu berkisah keadaan masa lalu sastra dan musik di Sumatera Utara.

“Sebelum Indonesia merdeka hingga tahun enampuluhan, Medan adalah ibu kota sastra Indonesia,”ujarnya mantap!. Memang, sastrawan-sastrawan asal Medan di masa lalu cukup punya nama di negeri ini. Sebut saja misalnya Khairil Anwar, Sanusi Pane, Armyn Pane dll!.

(Bahkan jauh sebelumnya, pada dekade 1920-an, atau jauh sebelum Indonesia Merdeka buku sastra dari sudah banyak menerbitkan sarta baik yang berbahasa Melayu maupun Batak. Tak usah jauh jauh, baca buku William Iskandar, sastrawan dari bangsa Mandailing itu, Sutan Hasundutan Pane, atau riwayat penerbitan buku yang kontroversial, Tuanku Rao. Jejak-jejak kejayaan sastra di Sumatera Utara masih bisa terlihat. Misalnya Penerbit Sastra Leo, warisan sangat berharga dari penyair Aldian Arifin).

Di mata Idris novel-novel Matu Mona merupakan karya sastra yang sangat bermutu yang dipublikasikan di era 50-an. “Hanya novel karya Pramoedya saja yang bisa menyaingi novel itu,”ujar sastrawan Sumut yang seangkatan dengan Eddy D Iskandar Pipit Senja, Mazza Yudha, Foeza Hutabarat, Iwan Lubis, Ishari Munir, As Atmadi ini.  

Idris merindukan terbukanya mata para masyarakat dan pejabat daerah ini kepada seni dan budaya. “Para pejabat buta seni, buta budaya. Negara yang menghargai sastra umumnya kehidupan dan kemajuan negaranya lebih bagus. Lihat misalnya Eropa dan Malaysia. Sastrawan sangat dihormati di sana” ujarnya.  

Kenapa kita perlu sastra?. ”Sastra adalah penyeimbang perilaku dan pikiran, pikiran dan hati (logika dan non-logika). Bisa berbicara apa saja. Spesialisasi sastrawan adalah generalis. Sidney Seldon, seorang sarjana filsafat. Dia bisa berbicara tentang pesawat Concord, jenis senjata dan lain-lain. Sastra adalah areanya semua disiplin ilmu”.

Idris menaikkan nada suaranya dan sedikit lebih bersemangat.  “Jurnalis bisa dibungkam tetapi karya sastra tidak bisa dihambat, karena dia fiksi. Saya bermimpi jadi presiden, tidak bisa dituntut,”ujarnya.
.
Kejayaan masa lalu sastra di Medan, membuat dirinya optimis bisa terwujud. “Saya bermimpi, ibu kota sastra harus kembali lagi ke Medan”ujar Idris.


Tapi tentunya tidak mudah. Bahkan Idris sendiri menyebut hambatan-hambatan berkembangnya sastra di daerah ini.

Perhatian para sponsor memang sangat sedikit ke dunia seni. ”Di Medan belum ada sponsor sastra yang mau, karena kembalinya modal cukup lama,sementara kebanyakan masih berpandangan pragmatis” katanya.

Sambil meletakkan gelasnya ke meja setelah menghirup kopi hitamnya, bang Idris beralih ke perbincangan soal seni.

Sambil matanya menerawang  ke atas, Idris bercerita tentang Tapian Daya dan Studio Film di Sunggal, serta kejayaan musik Sumut masa lalu..

“Itu studio film terbaik di Sumut. Dibangun oleh Marah Halim, diberdayakan oleh EWP Tambunan. Gubernur-gubernur sesudahnya hampir tidak memperdulikannya lagi,”ujarnya dengan rasa pesimis. . .

Menerawang ke masa lalu, Idris menyebut Sumut kaya grup-grup musik dan ensamble. Misalnya  ensamble Bukit Barisan, Orkes Studio Medan, RTM Orkes. Juga banyak Band yang populer dan sangat dikagumi. The Rithm Kings, The Mercys, Destroyer, Bayangkara, Nias Nada Band, Para Nada Band (milik PTP II.

”Kalau orang Sumut show di Jawa mendapat sambutan yang luar biasa. Kini kita bangga menonton Band dari luar Sumatra,”ujarnya

Semua itu harus dikembalikan. ”Medan juga harus menjadi ibu kota musik,”ujarnya.

Satu lagi keprihatinan Idris adalah penulisan budaya yang dikaitkan dengan keindahan alam dan budaya provinsi ini. Dia sangat gerah melihat miskinnya eksplorasi alam dan budaya kita yang kaya untuk promosi wisata daerah ini.

Dia membandingkan dengan Bali. Setelah bom Bali 1 dan 2, pemerintah mendukung SCTV membuat film TV. Para seniman digerakkan untuk menulis tentang Bali. Di sana ada Ubud Writers. Padahal, Sumatera Utara sangat potensial dan banyak keindahan alam dan budayanya.

Hardy seorang pelukis terkenal dari Yogya, mengatakan: ”Dari manapun Danau Toba Indah. Sambil buang air, memandang kemanapun Danau Toba Indah. Kenapa tidak ditata. Kalau alam seperti ini ada di Yogya, wah pasti sudah luar biasa. Dari pesawat terlihat indah, tiba di darat suasananya indah dan menyejukkan”.

“Saya akan menggagasi adanya Toba Literary Festival yang dilaksanakan setiap tahun. Rencananya dilaksanakan Juni 2012,” ujarnya. Selain mengangkat budaya, menurut Idris, festival seperti ini juga mengangkat wisata di wilayah Toba dan daerah wisata lainnya..

Menggali potensi keindahan alam dan budaya dengan melibatkan para penulis, seniman di Bali cukup berhasil untuk promosi wisata, memperbaiki citra wisatanya. Citra Bali yang sempat mundur setelah bom Bali 1 dan 2 kini pulih. Mengapa pula Sumut tidak bisa? 

Mimpi-mimpi dan harapan-harapan ini tentunya bukan hanya milik Idris, tetapi milik masyarakat Sumatera Utara. Mari, membuka mata!.

Menulis Satu Artikel Setiap Hari, Memang Tidak Mudah

Oleh: Jannerson Girsang

Sumber foto: www.lugaswicaksono.blogspot.com

Menulis setiap hari dan dimuat di Media, ternyata tidak mudah. Dibutuhkan rasa resah setiap hari, disiplin dan ketenangan lingkungan.

Buktinya, bulan ini saya hanya mampu mengisi 18 kali penerbitan di Harian Analisa, Jurnal Medan dan Batak Pos. Salut bagi mereka-mereka yang bisa menghasilkan tiga atau empat tulisan setiap hari. 



Meski demikian, bulan Pebruari ini adalah record terbanyak artikel yang pernah saya terbitkan di media cetak dalam satu bulan. Soal kualitasnya belakangan.


Saya merasakan menulis itu nikmat, dan setiap hari merasakan kejernihan pikiran dan ketenangan hidup. 

Setiap penulis, pasti punya pembaca!."Sepintar apapun anda, masih ada yang lebih pintar. Sebodoh apapun anda masih ada yang lebih bodoh dari anda. Jangan pernah minder menulis".

Jadi, kalau ada yang menghina tulisan Anda karena masih kurang bagus, berarti dia belum pernah menulis.  Setiap orang mesti menghargai pendapat atau buah pikiran seseorang betapapun buruk atau kecilnya kontribusinya. Yang perlu diingat, anda tidak menulis soal SARA--melecehkan agama, suku dan ras.

Mau berfikir jernih dan tenang, menulislah apa saja yang ada di sekitar anda, keresahan anda. 

Salah satu keresahan hati saya adalah seputar pariwisata di sekitar Danau Toba. Diselingi kisah wisatawan asing yang kemudian jatuh cinta pada negeri ini dan menjadi duta wisata melalui talenta-talenta yang mereka miliki.

Menyambut Ulang Tahun ke 8 Facebook—jejaring sosial yang sangat digandrungi orang Indonesia dan dunia itu, saya mengajak kita melihat sisi lain kisah sang penciptanya. Sebuah pelajaran berharga bagaimana sebuah kreativitas diapreasiasi dan berkembang menjadi besar. Pelajaran bagi bangsa ini dalam mendongkrak kreativitas anak muda kreatif. 

Minat tulis baca para guru juga mendapat perhatian saya. Anak-anak didiknya tidak menulis karena guru-gurunya tidak memberikan kebanggaan menulis bagi muridnya. Guru tidak menulis...karena pemerintah dan masyarakat belum menghargai prestasi mereka menulis.

Menyambut Hari Pers Nasional tahun ini, saya mengangkat kisah SK Trimurti, wartawan tiga zaman yang seyogianya menjadi teladan pada jurnalis perempuan. Prestasi Anggun C Sasmi mewakili Perancis ke Eurovision 2012, menginspirasi kita bahwa wanita Indonesia itu hebat. Perlu kerja keras, kreativitas dan cerdas!  

Bulan ini kita kehilangan Whitney Houston. Saya tidak mengagungkan kehebatannya, tetapi justru kepahitan yang dialaminya sebagai bintang. “Ketenaran, Harta, Tak Menjamin Kebahagiaan”.  Karakter bintang mesti dimiliki seorang bintang.

Pilgubsu akan berlangsung setahun lagi. Kita perlu menggaungkannya sejak sekarang. Kita membutuhkan gubernur yang memikirkan nasib seluruh rakyat Sumut dan memahami potensi daerah, letak strategis provinsi ini dan pengembangannya untuk kemakmuran rakyat.

Prestasi kesebelasan PSMS mendapat perhatianku, karena belakangan ini kesebelasan Ayam Kinantan ini memiliki taji yang makin tumpul. Masih ada harapan, meski PSMS IPL tunduk 0-2 di tangan Bontang dan hanya mampu menahan Sriwijaya FC 0-0 di kandang sendiri.

Keprihatinan perkembangan sastra, penulisan dan seni  di Sumut kami ungkap melalui wawancara khusus dengan Idris Pasaribu, penulis novel Acek Botak. Negara yang mengagungkan sastra umumnya lebih beradab. Jangan-jangan negeri kita yang penuh kekerasan ini, karena tidak lagi menghargai sastra dan para penulis kreatif.

Information Overload, adalah istilah yang mungkin masih asing bagi anda. Perkembangan teknologi informasi ternyata membuat kita capek memilih. Apa kiatnya agar kita bisa eksis dalam luberan informasi yang membuat kita capek?. Mau tau baca artikel saya bulan ini ya!.

Terima kasih untuk harian Analisa, Batak Pos dan Jurnal Medan yang telah memuat seluruh artikel saya bulan ini.

Semoga apa yang saya tulis bulan ini, memberi warna bacaan Anda bulan ini. Berikut saya lampirkan seluruh artikel itu dan anda bisa akses di blog pribadi saya: http://www.harangan-sitora.blogspot.com.

  1. Delapan Tahun Facebook: Pelajaran Dari Mark Zuckerberg Analisa, 2 Februari 2012
  2. Suatu Sore di Pantai Silalahi (1), Batak Pos, 7
  3. Suatu Sore di Pantai Silalahi (2), Batak Pos, 8 Pebruari 2012
  4. Perjalanan dari Tongging ke Air Terjun Sipiso-Piso (1) Batak Pos 15 Februari 2012
  5. Perjalanan dari Tongging ke Air Terjun Sipiso-Piso (2). Batak Pos, 16 Pebruari 2012
  6. Meningkatkan Minat Tulis dan Baca Guru Jurnal Medan, 8 Februari 2012.
  7. Menyambut Hari Pers Nasional 2012: Merenungkan Perjuangan SK Trimurti Jurnal Medan, 9 Pebruari 2012
  8. Jalan Silalahi-Tongging: “Menikmati 14 Kilometer Pinggir Pantai” (1). Batak Pos, 10 Pebruari 2012
  9. Jalan Silalahi-Tongging: “Menikmati 14 Kilometer Pinggir Pantai” (2). Batak Pos, 11 Pebruari 2012
  10.  Menuju Pilgubsu 2013, Analisa, 12 Pebruari 2012
  11. The Indonesian Gloden Woman Singer: Anggun C Sasmi yang Menginspirasi, Jurnal Medan, 16 Pebruari 2012.
  12. In Memoriam Whitney Houston (1962-2012): Ketenaran, Harta, Tak Menjamin Kebahagiaan, Analisa, 18 Pebruari 2012
  13. Merindukan Kejayaan PSMS (1) : 2 Gol Dalam 5 Menit Batak Pos 20 Pebruari 2012
  14. Merindukan Kejayaan PSMS (2):  Batak Pos, 21 Pebruari 2012.
  15.  Wisatawan Asing Jatuh Cinta Daerah Wisata Kita (1), Batak Pos, 21 Pebruari 2012.
  16. Wisatawan Asing Jatuh Cinta Daerah Wisata Kita (2), Batak Pos, 22  Pebruari 2012
  17. Mengenal Idris Pasaribu: Profil dan Mimpinya (1), Batak Pos 27 Pebruari.
  18. Information Overload ": Dituntut Kemampuan Memilih" (Analisa, 28 Pebruari 2012)

Selasa, 28 Februari 2012

Information Overload "Dituntut Kemampuan Memilih" (Analisa, 28 Pebruari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto:  articles.nydailynews.com

Sadarkah pencari informasi sekarang ini sedang menghadapi situasi yang disebut information overload?. Mereka kesulitan memilih informasi yang dibutuhkan, buang waktu berjam-jam di depan komputer yang tersambung internet atau membaca berbagai jenis bacaan.

Information overload adalah istilah yang dipopulerkan Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock buku best seller di era 70-an, didefiniskan sebagai sebuah kondisi dimana seseorang menjadi sulit memahami suatu isu dan atau kemudian mengambil keputusan akibat ketersediaan informasi yang berlebih.

Di era kemajuan teknologi ini kita dituntut kemampuan memilih luberan informasi akibat kemajuan teknologi informasi. Mari sharing pengalaman!.

****

Setelah mengenal dan menggunakan kemajuan teknologi informasi, saya banyak kehilangan waktu di depan komputer yang tersambung ke internet. Setiap hari muncul godaan mengetahui miliaran informasi. Mulai dari mengunduh atau hanya sekedar membaca selintas.

Dari banyaknya informasi itu, saya terkadang susah memilih, karena informasi baru terus mengalir. Seperti dikatakan Derek Dean and Caroline Webb dalam artikelnya berjudul Recovering from Information Overload, 2011. "Laju yang cepat dimana orang dan organisasi membuat dan menyebarkan informasi mempersulit kami mendapatkan pegangan".

Setiap pagi, saya duduk di depan komputer dan mulai dengan membuka Facebook, website beberapa media (Kompas, Republika, Suara Pembaruan, dll). Lantas membuka email, blog atau website yang lain.

Tidak puas dengan itu, saya mencari informasi melalui Google Search Engine yang mengindeks miliaran halaman web. Terdorong mempelajari informasi baru yang muncul setiap detik, sehinggasaya hanya sempat membaca sepintas, tanpa melekat di otak!.

Melalui http: www.worldnewspaper. com, saya bisa membuka puluhan ribu surat kabar dunia dengan berbagai informasi di dalamnya dari seluruh negara di dunia ini. Saya bisa mengakses ribuan situs perpustakaan dari seluruh dunia.

Pada saat tertentu, berhari-hari saya gunakan mengumpulkan e-book, artikel di media, dan lain-lain sumber. Asyik sekali!. Sayangnya, saya hanya menggunakan sedikit waktu membacanya, karena muncul lagi informasi baru. File komputer penuh, tetapi kebanyakan isinya tidak pernah saya buka sama sekali

"Conventional wisdom mengajarkan kita bahwa semakin banyak pilihan semakin baik. ¡¡Tapi terlalu banyak pilihan juga justru bisa merugikan. Dalam psikologi modern, ada studi yang menghasilkan pendapat bahwa terlalu banyak pilihan justru bisa mengurangi kualitas dari hasil pemilihan dan kepuasan pemilih" ujar Rusiawan dalam blognya.

Ketika membaca Business-Driven Information System yang ditulis buku Josua Tarigan dkk, 2010, saya sadar. Ter nyata saya bukan sendirian. Dalam bukunya itu, Josua mengilustrasikan pengalaman seseorang dalam era informasi ini.

"Bangun pagi lihat ponsel ada sms, e-mail, baca koran, melihat televisi, buka Facebook, Twitter, searching di internet dan lain-lain. Di sekeliling kita, bahkan tak punya jarak, ratusan bahkan ribuan media, tersedia dan memberikan informasi ke otak kita. Ketersediaan jumlah informasi yang begitu besar, bervariasi (termasuk keakuratannya ) dan cepat penyebarannya, menuntut kemampuan dan waktu lebih sehingga bisa mengambil manfaatnya secara benar dan efisien".

Josua memeringatkan saya dan anda. "Jika kita tidak bijak, maka hal di atas akan menjadi kebiasaan kita dan kita berfikir bahwa hal itu adalah ciri dari manusia kota, atau manusia yang berharga, itu menyita waktu kita berjam-jam kalau kita tidak waspada", ujar Josua Tarigan.

****

Perkembangan teknologi informasi membuat kita merasa dekat dengan jumlah informasi yang besar dengan variasi yang besar pula. Kita mebutuhkan kemampuan memilih informasi yang berguna.

Information overload mendorong Kevin A Miller menulis sebuah buku pada 2009, berjudul, "Surviving Information Overload: The Clear, Practical Guide to Help You Stay. Buku tersebut merupakan panduan yang membantu pembaca dalam information overload.

Sebuah percakapan menarik diungkapkan dalam buku itu, ketika Kevin sarapan dengan seorang temannya, seorang penulis yang sudah mapan. Menurut Kevin, temannya yang bernama Alan itu adalah penulis sepuluh buku, pembicara secara teratur dalam konferensi-konferensi, dan mengajar sepuluh kali seminggu, juga menghadapi tantangan information overload. Berikut petikan percakapan keduanya.

"Ketika anda mendengar istilah surviving information overload, apa yang terlintas di pikiranmu?," tanya Kevin lepada Alan. .

Alan menjawab: "Saya pikir, Bisakah anda ¡¯kecanduan informasi¡¯?. Tampaknya seperti itu"

"Kecanduan informasi"!. Apapun yang namanya kecanduan tentu berkonotasi tidak baik. Seperti yang saya utarakan di atas, saya dan mungkin banyak orang yang merasakannya sekarang ini.

***

Dulu, saat di bangku kuliah, saya mendapat pelajaran bahwa "informasi is power?". Benarkah dengan memiliki semua infomasi di dekat saya (kini hanya hitungan detik), saya memiliki kekuatan?

Memang istilah information is power benar ketika informasi masih sedikit dan tidak cukup untuk semua yang saya butuhkan.

Dengan perkembangan teknologi informasi sekarang ini, Kevin A Miller berpendapat saat ini mottonya berubah, dan bahkan secara ekstrim menyebutnya, Information is Fatigue. Informasi membuat kita lelah.

Media-media yang saya kunjungi, e-book yang diunduh secara gratis, ratusan bahkan ribuan artikel-artikel memberi terlalu banyak informasi dan membingungkan saya pada akhirnya.

Mungkin saya tidak bisa menyaring informasi, karena Miller menyebut banyak informasi yang saya temukan itu sebagai informasi bodoh (inane), tidak berarti (meaningless) dan melemahkan (inervating).

Kevin A Miller, mengingatkan, "Anda tidak perlu mengetahui semuanya (You do not need to know everything!)".

Di era informasi ini setiap pencari informasi dituntut memiliki kemampuan menyeleksi informasi yang diperlukannya, mendukung pekerjaan atau kebutuhannya, bukan sekedar mampu membukanya.

Meski belum tersedia penelitian yang akurat tentang banyaknya waktu sia-sia kemampuan memilih di tengah-tengah information overload ini, kita perlu koreksi diri. Jangan sampai banyak waktu terbuang sia-sia di depan komputer atau membaca bacaan-bacaan yang diklasifikasi Miller di atas, apalagi mengganggu pekerjaan utama kita, sebagaimana banyak dikeluhkan banyak perusahaan di dalam maupun di luar negeri belakangan ini. .

Berikut ini kami mengutip setidaknya tiga pertanyaan yang disarankan Miller dalam pencarian informasi pada situasi information everload ini. 1). Apakah ada orang lain yang ahli dalam topik yang saya inginkan. 2). Apakah topik tersebut perlu untuk keputusan yang akan saya ambil sekarang atau di masa mendatang?. 3). Apa hal paling penting untuk diketahui orang-orang di sekelilingku yang bergantung padaku. Semoga bermanfaat.***

Jumat, 24 Februari 2012

Bincang-bincang dengan Idris Pasaribu: "Mengenal Idris Pasaribu dan Mimpinya"

Oleh Jannerson Girsang

novel pincalang 
Sumber foto: http://www.antarafoto.com. 
 
Lelaki yang memasuki 61 tahun itu sedang menikmati rokok kreteknya, memandang kopi hitam di meja, berlipat tangan dengan mata memandang ke jalan raya yang membatasi dirinya dengan kantor Harian Analisa Medan.

Dia adalah Idris Pasaribu, yang dikenal luas sebagai seorang budayawan, seniman, wartawan, sutradara film, penulis novel. 

Kamis 23 Pebruari 2012, saat sarapan pagi dan minum kopi dan kue seadanya membawa kami ke dalam perbincangan yang berlangsung selama kurang lebih dari dua jam, seputar film yang sedang digarapnya, Amang Parsinuan, serta berbagai hal seputar issu sastra, budaya, pariwisata, serta persoalan lain di Sumatera Utara.

Untuk melihat sejauh mana kiprah dan mimpi penulis novel Acek Botak ini, hasil perbincangan itu diterbitkan berseri di harian ini. Kami awali dengan menyajikan profilnya.

Hari-hari selanjutnya anda akan menikmati pengalamannya yang menarik, komentar dan kritikannya seputar budaya, sastra, pariwisata, teater, film.

****

Idris Pasaribu lahir di Deli Tua 5 Oktober 1952. Masa kecil hingga remajanya berlangsung di Sibolga, kota pelabuhan terbesar di pantai Barat Sumatera.

“Tugas saya sehari-hari sebenarnya adalah seorang wartawan,”ujarnya membuka pembicaraan. “Cuma sebutan wartawannya hilang, karena saya lebih dikenal sebagai seniman dan budayawan,”tambahnya sambil tertawa.

Melihat usianya, pria ini seharusnya menjalani masa pensiun. Namun, tidak begitu saja tempatnya bekerja, Harian Analisa melepas dirinya dari redaktur Budaya. Jabatan itu sudah dipegangnya sejak 21 tahun lalu. Kini dirinya masih mengasuh Rubrik Sastra dan Budaya “Rebana” di Harian Analisa, Medan.

“Saya masih diminta memegang jabatan itu, meski usia saya sebenarnya sudah pantas pension,”ujarnya. Tentu, bisa ditebak!. Tak banyak orang yang berkompeten di dunia sastra, bidang yang sudah digelutinya sejak usia 16 tahun itu..

Nama Idris tidak asing lagi bagi para pegiat sastra di daerah ini. Dia telah menulis sedikitnya tiga novel, membina penulis-penulis muda, serta aktif di berbagai organisasi sastra.

Mimpinya: Mengembalikan Ibukota Sastra Indonesia ke Medan. “Saya ingin mengembalikan ibu kota Sastra Indonesia ke Medan”ujarnya mantap.

****

Ayah dari tiga orang anak laki-laki ini menapaki kisahnya di dunia penulisan dari bawah dengan penuh liku.

Kisahnya berawal dari minatnya menulis yang didukung oleh berbagai perlombaan yang dilaksanakan di sekolahnya.”Sedikitnya dua bulan sekali Pastor Hugo—salah seorang guru kami mengadakan lomba mengarang,” ujarnya mengenang awal ketertarikannya menggeluti dunia sastra.

Dalam setiap perlombaan,  karya-karyanya ternyata mendapat penilaian di peringkat atas Karya-karyanya menghiasi majalah dinding sekolahnya, membuatnya merasakan kebanggaan tersendiri sebagai seorang penulis remaja.  “Saya selalu mendapat juara satu dan ini membuat saya selalu bersemangat,”ujarnya.

Idris kemudian mengirimkan karya-karyanya ke Harian Suluh Marhaen. Pasalnya, ketika itu dia diangkat menjadi Ketua Suluh Marhaen Youth Club. ”Saat itu setiap partai memiliki kelompok pemuda dan surat kabar sendiri,”ujarnya.  Menurutnya, cerpennya cukup menarik bagi para pengelola harian itu.

Masuknya Idris ke dunia jurnalistik di usia mudanya, memiliki kisah yang unik. Sambil menghirup kopi dan menikmati rokok kreteknya, dirinya mengisahkan sebuah peristiwa menyedihkan. ”Waktu itu wartawan Harian Suluh Marhaen di Sibolga  bermarga Simamora meninggal dunia”ujarnya.   

Lantas, saat upacara penguburannya Idris hadir. Para petinggi harian dari Medan juga hadir. Dalam sebuah pembicaraan, mereka (pemimpin redaksi dan staff) berbincang tentang pengganti Simamora. Di daerah pekuburan yang terletak di pinggir laut itu mereka menyebut nama Idris Pasaribu. Bak gayung bersambut, Idris secara proaktif memperkenalkan dirinya. Dialah lelaki yang dibicarakan itu. Karena selama ini mereka sudah mengenalnya dari tulisan-tulisan Idris, maka tak menunggu proses lama, mereka sepakat mengangkatnya menggantikan  Simamora.

“Saya difoto saat di pekuburan itu, berlatar pantai Sibolga. Beberapa hari kemudian, saya menerima kartu pers, sebagai wartawan perwakilan Sibolga,”ujar lelaki yang semasa SMA aktif sebagai Ketua DPC GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) itu mengenang peristiwa empat puluh tahun yang lalu itu.

Suasana awal terjun ke dunia jurnalistik, Idris mengalami masa tak menyenangkan. Tak lama menjadi wartawan di Suluh Marean, pada 1970 koran itu dibredel. Kemudian reinkarnasi koran itu terbit dengan nama Patriot. Koran inipun hanya berusia 4 bulan. Idris kemudian menjadi wartawan Koran Pos Utara (Selekta Group). 

****

Pada 1971, Idris hijrah ke Medan dan kuliah di Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, dan lulus pada 1979.

Semasa menjalani kuliah di Medan, dirinya menulis di berbagai koran di Medan, Bandung, Jawa Tengah, dan Jakarta (Suara Karya, Pikiran Rakyat dan Suara Merdeka). Juga menulis di Majalah Kartini, Sarinah dan Pertiwi serta media massa lainnya di Jakarta.

Tahun 1977 puisi-puisinya mulai dimasukkan dalam antologi sastrawan Sumatera Utara. Antologi puisi bersamanya terbit di Aceh (tiga judul), Jakarta dan Yogyakarta. Antologi cerpen bersama diikutkan di berbagai antologi yang terbit di Medan, Aceh, Jakarta bersama Hamsad Rangkuti dan penulis lainnya (Aisyah, Di balik Tirai Jendela) serta antologi cerpen bersama cerpenis Malaysia-Indonesia di Muara I dan Muara III.

Cerpen-cerpen Idris mengambil tema-tema sejarah,  budaya, kritik sosial. Seorang pengamat sastra Martin Alaeda, menilai cerpen-cerpennya memiliki gaya sastra reportatif. “Dia yang pertama kali mengatakan ada sastra reportatif, yaitu saya sendiri, Idris Pasaribu,”ujarnya.

Idris berpendapat bahwa menulis cerpen atau novel sebaiknya didahului dengan sebuah reset. Tujuannya agar cerpen tersebut membumi. Dia mencontohkan saat menulis Acek Botak (2009), sebuah novel yang becerita tentang masuknya orang-orang Cina, Jawa, Tamil ke Sumatera Utara. “Ketika saya menulis Acek Botak, saya melakukan riset yang panjang. Membaca novel saya pembaca seolah-olah pandangan mata atas kejadian 1927-1971 itu”ujar, pria yang  semasa mahasiswa dirinya aktif sebagai Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI) di Medan.

Sejak tujuhpuluhan Idris aktif dalam dunia teater. Sejak 1974. Idris bersama Burhan Piliang, Zakaria M. Passe, dan Darwin Rifai Harahap aktif di Tater Nasional di Medan mendirikan Teater Anak Negeri (TAN) dan pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan Gedung Kesenian Banten di Tangerang.

Aktifitasnya yang intens di dunia sastera nasional semakin meningkat karena saat dia  menjadi Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Medan.

****

Memasuki usianya yang bagi kebanyakan orang digunakan bersantai, Idris masih terus bergelut dengan impiannya.

Selain menggarap film Amang Pasinuan, dia masih mempersiapkan novel. “Saya merencanakan meluncurkan dua novel tahun ini,”ujarnya.

Idris Pasaribu mudah ditemui di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) persis “Di Bawah Pohon Asam” setiap Sabtu pukul 15.00 WIB. Tempat Idris dan para muridnya berdiskusi dan menularkan pengalaman yang dimilikinya. 

“Orang yang berhasil harus membuat orang lain lebih besar dari dirinya”ujarnya. Melalui Komunitas Sastra yang dikelolanya sekarang, Idris berniat menciptakan para penulis-penulis muda yang lebih besar dari dirinya. Ratusan penulis dibina dan digodok untuk menggantikan dirinya.    

Di luar semua kegiatannya itu, akhir-akhir ini Idris Pasaribu, sibuk menggarap sebuah film kisah lokalitas Batak, Amang Pasinuan. Sebuah film yang diangkat dari novel Amang Parsinuan karya Lucya Chriz.

Menurut Idris shooting filmnya dijadwalkan 5 Maret 2012 mendatang. “Kini kami sedang persiapan-persiapan dan latihan,”ujar suami RAY Srigusti Yuliana Hutauruk itu. . Latihannya dilaksanakan di sebuah lokasi di sebuah rumah di bilangan Medan Baru.

Dia menjadi sutradara film yang dimainkan oleh sekitar 25 orang pemain. “Amang Parsinuan adalah usaha memperkenalkan adat Batak, serta kritik lembut kepada adat  Batak itu sendiri”ujarnya. 

“Apa yang telah dibuat oleh anak-anak Medan dalam dunia filem ini cukup membuka mata kita. Meski dengan keterbatasan alat produksi tapi filem yang kita tonton ini cukup bagus, bahkan lebih baik dari filem sinetron yang banyak bergentayangan di televisi saat ini. Pesannya juga tersampaikan kepada audiennya, itu yang paling penting” kata Idris dalam situs pribadinya. Semoga sukses!

[1] Batak Pos, Hal 10, 23 Pebruari 2012.

Selasa, 21 Februari 2012

Merindukan Kejayaan PSMS (Batak Pos, 21 Pebruari 2012, Habis)

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto:http://www.facebook.com/ANGGA.ERDIAN.SINAGA

Senin 20 Pebruari 2012, melalui layar ANTV yang menyiarkan secara langsung, saya menyaksikan pertandingan PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya) melawan Sriwijaya FC—peringkat I ISL (Liga Super Indonesia).

Pertandingan yang sangat menarik dan membanggakan. PSMS tampil percaya diri dengan ciri khas yang dimilikinya, tipe bermain rap-rap. ! .
****

Sempat muncul rasa kecut di awal pertandingan. Pasalnya Sriwijaya FC adalah peringkat pertama Liga Super Indonesia 2011. Sementara PSMS hanya menduduki peringkat 13. (http://www.ligaindonesia.co.id/)

Selain itu, sebelum pertandingan dimulai gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin tampil di layar televisi ANTV mendukung penuh kesebelasan ini. Sebelum tampil melawan PSMS di Stadion Teladan, Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin tampil di ANTV memberi semangat bagi para pemainnya sebelum pertandingan dimulai. 

“Mari kita dukung Sriwijaya FC, kesebelasan kebanggaan Sumatera Selatan” ujar Alex.  Bekal sangat berarti bagi para pemain Sriwijaya FC di saat mereka maju ke medan laga.

Sementara kesebelasan kesayanganku PSMS, tak satupun pejabat yang tampil mendukungnya di ANTV seperti yang dilakukan Gubernur Sumatera Selatan!. Sedikit membesarkan hati karena melalui sekilas sorotan televisi terlihat Walikota Medan Rahudman turut menonton pertandingan ini.

Selain itu saya dihantui kegagalan kesebelasan PSMS di IPL (Liga Prima Indonesia), Sabtu 18 Pebruari lalu. Mudah-mudahan PSMS beda. Itulah harapanku!. Tapi, tetap saja dihantui perasaan, “jangan-jangan kalah di kandang sendiri. Sakitnya tak seberapa, tapi malunya ini!”.

****

Akh!. Perasaan-perasaan seperti itu akhirnya bisa kutepis. Saya yakin PSMS yang bermain di Liga Super Indonesia adalah kesebelasan tangguh dan punya semangat baja. Semangat bertambah karena pada menit-menit pertama, PSMS tampil menyerang dan terus menyerang. Beberapa peluang tercipta, meski tidak satupun menciptakan gol.

Serangan-serangan Sriwijaya FCpun tak kalah mengancam. Di babak pertama sedikitnya dua atau tiga kali Markus Morison, kiper PSMS menggagalkan bola ke gawangnya. Sedikitnya dua kali dirinya hanya berhadapan satu lawan satu dengan pemain Sriwijaya FC. Babak kedua, juga demikian. Beberapa kali pemain Sriwijaya FC, Ridwan, gagal memanfaatkan peluang di depan kiper Markus.

Saya memperhatikan sorotan-sorotan televisi di seputar tempat duduk di Stafion Teladan. Hijau Putih warna khas PSMS mendominasi Stadion yang sudah berusia lebih dari 58 tahun itu.

Mereka bernyanyi, bersorak sorai, persis seperti yang kami lakukan puluhan tahun lalu. Pendukung PSMS memang sangat fanatik, sampai sekarang. Bermain di kandangnya sendiri, memang sulit bagi pemain mengalahkan kesebelasan Ayam Kinantan ini.

Sepanjang dua kali empat puluh lima menit pertandingan babak pertama dan babak kedua, pertandingan, perasaan senantiasa was-was. Pasalnya, Sriwijaya FC adalah pemegang peringkat satu, sementara PSMS hanya menduduki peringkat 13 di Liga ISL 2011.

****

Saya sangat berbesar hati saat penyiar ANTV berkomentar; ”PSMS Medan tidak kelihatan sebagai pemain peringkat bawah. Mereka berhasil menahan penyerang Sriwijaya FC memainkan kreativitas mereka,” ujarnya. Meski sedikit menganggap remeh, tetapi, sebagai pendukung fanatik, saya tetap merasa bangga. .

Memang, dulupun ketika bermain di Stadion Gelora Bung Karno Senayan melawan Persib Bandung, puluhan tahun yang lalu, saya sering mendengar komentar senada dari pengamat sepakbola. Tapi, yah yang namanya pengamat. Berbeda dengan kami pendukung PSMS, selalu yakin PSMS menang.

Pertandingan 20 Februari 2012 sore, sangat membanggakan. Walaupun hanya berhasil menahan 0-0, saya acungkan jempol bagi PSMS Liga ISL. Saya kira, saya bukan sendirian memuji dan menikmati pertandingan yang sangat bermutu itu.

Impian saya PSMS berjaya seperti era 80-an masih memberi harapan. Pertandingan Senin sore itu membuktikan PSMS itu memang Ayam Kinantan. Salut buat pemain PSMS Medan. Terima kasih Markus cs. PSMS sore itu menampilkan ciri khasmu, tipe rap-rap: berkarakter, cepat, keras, ngotot, namun tetap bermain bersih dan menjunjung sportivitas.

Bukan saya yang bilang lho. Simak komentar penyiar ANTV berikut ini. ” Pertandingan ini menampilkan tontonan yang sangat menarik, terbuka, saling menyerang dan tanpa cacat. Dramatis dan penuh aksi,”kata penyiar ANTV menutup acara sore itu.

PSMS memang beruntung punya pendukung fanatik. Lawan tidak sembarangan buat target melawan PSMS kalau bermain di Stadion Teladan. Mimpi kami, kembalikan kejayaan PSMS, seperti dulu!. Tidak ada lagi komentar PSMS di peringkat bawah. Mesti tiga besar ke atas. Kita semua berdoa untuk kalian!.

Wisatawan Asing Jatuh Cinta Daerah Wisata Kita (Batak Pos, 21 Pebruari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang
 
Kisah dua wisatawan asing Annette Horchmann (Samosir, Danau Toba) dan Janet de Nefee (Bali) menarik perhatian saya ketika melakukan browsing di internet beberapa hari ini. Kisah yang memunculkan inspirasi sejauh mana saya telah mencintai budaya, serta kepedulian pada lingkungan di sekitar daerah wisata.
 
Annette dan Janet mengundang pertanyaan dalam hati: “mereka melakukan jauh lebih banyak dari saya sebagai penduduk asli negeri ini”. Saya yakin pertanyaan inipun akan muncul di hati banyak pembaca artikel ini, khususnya penduduk di sekitar Danau Toba atau berasal dari sana dan sudah bertempat tinggal di daerah lain.

Pada mulanya, mereka adalah wisatawan biasa. Berkunjung ke daerah wisata Indonesia, kagum akan keindahannya, bahkan berkarya dan tinggal di Indonesia, menjadi duta-duta wisata yang potensial. Mereka mempromosikan bahwa Indonesia itu indah dan nyaman.

Annette Horchmann memilih tinggal di Samosir setelah jatuh cinta akan keindahan Danau Toba pada kunjungan pertamanya 1993, bahkan tinggal dan menikah dengan orang Samosir.  Jauh sebelumya, Janet de Nefee  sudah mencintai Bali sejak 1974.

Annette Horschmann boru Siagian



Sumber Foto: batakworld.blogspot.com

Mengunjungi mediaonline berbahasa Inggeris: http://tobacafe.com/2011/12/13/annette-horschmann-i-want-to-stay-here-forever/ mengisahkan perjalanan hidup Annette serta kiprahnya di pulau Samosir.

Awalnya, Annette Horschmann—orang Jerman yang sebelum mengunjuingi Danau Toba sudah berkelana ke berbagai Negara, saat berada di Thailand,  1993, dia mendengar Danau Toba dari turis yang lain. Informasi itu mendorong dirinya mengunjungi Indonesia dan pergi ke Danau terbesar di Asia Tenggara itu.


Annette kagum keindahan Danau Toba. Sayangnya, pemandangan yang indah itu bercampur dengan sampah yang ditemukan di Danau. Sebagai warga Jerman, dia peduli lingkungan, dia memutuskan aksi, membantu mengeluarkan sampah-sampah itu dari danau.


Dia mengajak teman-teman turis dari Jerman bekerja sama membersihkan Danau Toba dari sampah dan enceng gondok (tumbuhan air yang banyak menutupi permukaan air danau).


Muncul tekad Annette membersihkan danau dan tinggal di sana dan mengajak pemuda-pemuda lokal membantunya membersihkan danau itu.


Annette, yang kini pengelola Toba Cottage ini belajar bahasa daerah Batak, sehingga bisa berinteraksi lebih dekat dengan penduduk lokal dan memuluskan missinya membersihkan danau. Dia berpendapat bahwa bila dirinya menggunakan bahasa lokal, maka penduduk akan lebih memahami dan lebih sopan melakukan komunikasi.


Anette Horchmann, dalam beberapa pemberitaan media turut serta dalam kegiatan pemberisahan Danau Toba. Misalnya pemberisahan Danau Toba awal tahun lalu yang dimotori Radio Samosir Green (RSG). Ia mengajak sejumlah turis asing bergabung dalam gerakan cinta Danau Toba itu, sekaligus menyesalkan sikap warga sekitar yang hanya menjadi penonton dalam aksi kebersihan itu (Medan Bisnis, 21 Januari 2011). 


Tertarik dengan keindahan Danau Toba, Annette mengabdikan hidupnya untuk tinggal di dekat Danau Toba selamanya. Dia bertemu belahan jiwanya di sana, seorang pemuda bernama Anthony Silalahi dan kemudian mereka menikah.


Annette dan suaminya Anthony Silalahi dikaruniai tiga anak. Annette sendiri mendapat marga baru di sana. Menjadi orang Batak. boru  Siallagan. Nama lengkapnya saat ini adalah Annette boru Siallagan Horschmann.


Menonton penampilan Annette Korchman di Kick Andy Metro TV beberapa waktu lalu, sungguh-sungguh mengesankan. “Saya mau seumur hidup di Danau Toba, Pak”ujarnya dan disambut tepuk tangan ratusan penonton televise berita Indonesia itu. Peristiwa itu puncak seluruh kecintaannya akan danau terbesar di Asia Tenggara itu, setelah hampir 20 tahun sejak kunjungan pertamanya.


Saya menangkap pesan yang disampaikan Annette bahwa Danau Toba adalah kawasan yang indah, tapi perlu dibersihkan. Tempat ini aman bagi wisatawan asing. Bangsa Indonesia, mari kita bersihkan Danau ini, wisatawan asing mari berkunjung ke sini!. .

 
Janet de Neefe 

 
Sumber foto: goodbooksguide.blogspot.com

Janet de Neefe adalah penulis Australia, yang sudah lama bermukim di Bali. "Pertama kali menginjakkan kaki di Bali tahun 1974, dan langsung jatuh cinta. Bukunya “Fragrant Rice” (2003) merupakan memoir Janet tentang kisah cintanya pada Bali,”.tulis  www.balicreativefestival.com/2011/speaker/janet-de-neefe.html.
 

Sebagai pebisnis restoran di Ubud, Janet merasakan efek kolaps akibat bom Bali 2002. Dia ingin menarik orang datang lagi ke Bali dengan cara yang berbeda, dan menggelar Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) pada tahun 2004. Dari niat yang sederhana, UWRF menjadi festival yang serius dan bergengsi dan menambah predikat Ubud tidak hanya sumber inspirasi bagi artis, juga penulis".
 
Selain menulis, De Neefe adalah pendukung buku, dan juga memiliki warisan sekolah seni, pemilik restoran, sekolah memasak di Ubud, Bali, dan mengajar ratusan orang setahun cara memasak.
Tahun 2011 lalu, http://www.webwombat.com.au--mediaonline berbasis di Australia mempublikasikan bahwa  Janet de Neefe meluncurkan sebuah buku baru berjudul: Bali: The Food of My Island Home.
 
Tinjauan bukunya ditulis oleh Marjie Courtis. yang diposting di mediaonline itu.  Tinjauan tersebut menyebutkan bahwa buku Janet de Nefee merupakan manifestasi kelezatan makanan, menulis seni, dan tempat.
 
Buku ini ditulis dalam Bahasa Inggeris. Jelas pasar buku diarahkan bagi kebanyakan orang asing di Indonesia dan di luar negeri. Melalui buku Janet de Nefee bercerita tentang makanan, dengan pengisahaan yang menarik bagi wisatawan yang datang ke Bali. . 
 
Marji Courtis dalam tinjauannya menggambarkan buku itu bukan hanya rincian persiapan makanan yang rumit, tetapi kecenderungan umum atas keakuratan dan kerumitan Bali. Foto-foto daun pisang yang ditenun dengan halus, atau bawang merah yang dicincang halus, daun jeruk, serai dan bunga obor jahe, diselingi dengan foto besar (close-up) pintu halus yang diukir dan dicat dan  dipersembahkan bagi para dewa.
 
Marji Courtis mengatakan “Saya menganggap “Bali: the Food of my Island Home”, akan menjadi presentasi otentik Bali dan makanannya. Ya, itu melalui mata orang Barat, tapi jelas bahwa Janet de Neefe, yang mencintai dan tinggal di Bali, telah bergaul intim dengan makanan tersebut. Pada setiap halaman, anda dapat membayangkan dirinya melewati proses belanja, bereksperimen, memasak, mencicipi dan mencocokkan rasa. Jika Anda tidak pernah mempersiapkan resep tunggal dari halaman buku, anda masih akan menyerap banyak rasa Bali”. .
 
Janet de Nefee turut mempromosikan Bali sebagai inspirasi bagi para seniman dan penulis untuk berkarya. Para seniman dan penulis yang berkunjung ke Bali, selain menikmati keindahan alam Bali, makanan dan budayanya menginspirasi mereka menghasilkan tulisan. Bali adalah sumber inspirasi bagi para seniman dan penulis. Tempatnya aman dan nyaman.  .
 
Duta-duta Wisata

Kisah Janet de Nefee dan Annette Horchmann dari lapangan yang dikisahkan di atas hanya mewakili bagian kecil dari banyak kisah lain yang terjadi di wilayah wisata lainnya di Indonesia.
 

Keduanya adalah wisatawan asing yang merupakan sumber inspirasi bagi pengembangan wisata Indonesia. Mereka berbicara dari lapangan tentang pengalaman mereka sendiri.  Kisah mereka terpublikasi di berbagai media asing yang dapat diakses di seluruh dunia.
 
Pengalaman mereka setidaknya setidaknya menyadarkan saya dan pembaca bahwa mereka telah berbuat banyak untuk kemajuan di daerah wisata. Mereka menginspirasi kita mencintai wilayah wisata!

Merindukan Kejayaan PSMS 2 Gol Dalam 5 Menit (Batak Pos, 20 Pebruari 2012, Bersambung)


Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: http://www.facebook.com/ANGGA.ERDIAN.SINAGA 

Sabtu 18 Pebruari 2012 melalui layar kaca saya menyaksikan pertandingan PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya) melawan Bontang FC, Kalimantan Timur.  PSMS kalah 2-0. Sungguh menyedihkan bagi saya sebagai pencinta kesebelasan yang dulunya sangat disegani di Indonesia itu.

Bebeberapa tahun terakhir ini saya jarang menonton PSMS. Saya menilai tajinya sudah jauh menumpul dibanding pada penampilannya di era 1980-an. Salah satunya adalah Pertandingan Final Final Kejuaraan PSSI 1983. Untuk mengenang kejayaan PSMS kala itu, saya mengisahkan pertandingan yang disaksikan 100 ribu lebih penonton di Stadion Senayan Jakarta itu.

PSMS tampil luar biasa. Ketingalan 2-0 hinga 5 menit babak kedua melawan Persib Bandung, akhirnya bisa tetapi tampil sebagai Juara Kejuaraan PSSI 1983. Tidak seperti pertandingan Sabtu itu yang begitu mengecewakan!.

Kalah 2-0 Hingga 5 Menit Terakhir

PSMS masa 80-an adalah kesebelasan yang disegani di Indonesia. Permainannya yang dikenal dengan type bermain rap-rap (berkarakter cepat, keras dan ngotot, namun tetap bermain bersih dan menjunjung sportivitas).


Ketika itu saya tinggal di Bogor dan masih kuliah di IPB. Kami dijuluki Ayam Kinantan oleh teman suatu ketika, kala kami praktek lapangan di Kebun Percobaan Kampus Darmaga, IPB. Kami sangat bangga dengan julukan itu!. Memiliki PSMS rasanya memiliki Indonesia. PSMS menang, rasanya kita ikut menangan. bangga sebagai warga Sumut.

Penduduk Bogor di sekitar tempat kontrakan bila sama-sama menontonpun, langsung mengatakan, ”Wah Medan nih pasti menang”. Yang sangat membanggakan, ketika 17 Agustus-an di desa Suka Maju, Kecamatan Jasinga, Jawa Barat tempat kami KKN, anak-anak di sana begitu bangganya mengenakan baju warna hijau PSMS. Entah mereka beli dari mana saya tida begitu mengerti. Mereka pikir kami semua pintar main bola. “PSMS hebat,”kata mereka.

Mencari selingan di luar penatnya perkuliahan, kami sesekali meluangkan waktu menonton pertandingan ke Stadion Senayan di Jakarta.

Singkat cerita, dalam pertandingan final 1983 itu, saya berada di bangku penonton tiket paling murah. Tapi tidak mengurangi semangat mendukung PSMS. Pertandingan Final hampir 30 tahun yang lalu itu sungguh mendebarkan, dan sekaligus mencemaskan. Tidak bisa saya lupakan sepanjang hidup saya.

Sejak awal pertandingan, kesebelasan yang berdiri di Medan 21 April 1950 itu, sudah didikte pemain-pemain Persib Bandung. Hingga menit ke-40 babak kedua, PSMS membuat kami sangat kesal dan kecewa. Permainan dikuasai sepenuhnya oleh Persib Bandung.

Sempat kecewa  berat!. Betapa tidak, hingga lima menit pertandingan babak kedua berakhir, skor 2-0 untuk kesebelasan Persib Bandung.

Bahkan karena merasa malu, setelah posisi itu pendukung PSMS secara berangsur-angsur keluar dari stadion, menyusul saya dan teman rombongan dari Bogor. Prediksi kami PSMS akan kalah.
Kesal, lapar dan emosi berbaur saat itu. Kami sudah jauh-jauh datang dari Bogor, membayar ongkos bus, tiket masuk, makan dan meninggalkan kuliah. Hanya satu harapan, PSMS menang!. Ternyata......!

Saat berjalan menuju pintu keluar Stadion, saya mendengar beberapa pendukung PSMS mengeluarkan kata-kata. “Bambang..keluar, Ponirin pulang saja kau?”. Sebagian pendukung PSMS duduk melongo sambil berpangku tangan di tempat. Pasti berharap ada mujizat.

Sebaliknya, pendukung ”Maung Bandung” duduk tertib dan bersemangat. Mereka berjingkrak-jingkrak, satu suara: Persib menang, PSMS keok!. Seolah mengejek kami pendukung Ayam Kinantan.   
Saya dan teman-teman jalan loyo dengan baju lusuh, diam membisu, dengan kepala menunduk, tubuh banjiri keringat karena sebelumnya berteriak-teriak mendukung PSMS yang tak boleh kalah. 

2 Gol dalam 5 Menit

Sesuatu terjadi di luar dugaan!. Beberapa meter setelah keluar dari pintu stadion, kami dikagetkan suara gemuruh dari dalam. “Go...ol,” demikian suara riuh dari dalam stadion diiringi yel-yel PSMS yang panjang....!. “Hayo Ayam Kinantan, hayo Ayam Kinantan”.

Sebagian pendukung PSMS yang sudah berada di luar stadion bergerak berubah arah, kembali ke dalam stadion.


Tapi, saya tidak berniat masuk kembali ke Stadion, terus melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian bus melintasi Parkir Timur Senayan. Ingin cepat-cepat kembali ke Bogor, kesal dengan PSMS!.. Tidak mungkin PSMS mencetak gol lagi, karena waktu tersisa hanya dua atau tiga menit.

Bukan Ayam Kinantan namanya kalau menyerah begitu saja. Beberapa langkah beranjak dari pintu gerbang, terdengar teriakan kedua!.

Hingga stadion Senayan menggelegar untuk kedua kalinya!. ”Gooooooool!”, suara pendukung PSMS menggelegar dari dalam stasion. Kontan kami semua pendukung PSMS yang sudah berada di luar, berlari sekencang-kencangnya, kadang menubruk penonton lainnya, kembali masuk stadion.

”PSMS Menang..PSMS menang...” teriak seorang lelaki yang mendahului saya berlari secepat-cepatnya. Ribuan pendukung PSMS menyerbu masuk. Seolah pertandingan baru dimulai. Pendukung-pendukung Medan sambl berlari meneriakkan:”Hidup PSMS, Hidup PSMS. Tajamkan Tajimu Ayam Kinantan”.

PSMS luar biasa!. Saat kami  kembali di dalam stadion, beberapa detik lagi wasit meniup peluit tanda perpanjangan pertandingan 2 kali lima belas menit. Posisi 2-2. Tapi saya dan teman-teman yakin benar PSMS akan menang.
Sebaliknya, saya menyaksikan para pendukung Persib lemas. Seolah tidak percaya apa yang terjadi, sebagian duduk lesu dan menunduk. Wajar saja, posisi kemenangan 2-0 di lima menit terakhir seharusnya sudah ditangan. Tapi, itulah PSMS di era 1980-an!.

Menahan Perpanjangan Waktu Tanpa Gol

Kami kembali mengambil tempat duduk, dengan perasaan kagum atas perjuangan pemain-pemain kesebelasan favorit kami: PSMS. Dari sudut sebelah Timur Stadion Senayan, kami berteriak-teriak bersama puluhan ribu pendukung PSMS lainnya. ”PSMS,  Ayam Kinantan”. “Hidup Ayam Kinantan”. Teriakan yang mendominasi Senayan.


Sejak awal pertandingan perpanjangan waktu, PSMS bermain dengan strategi bertahan. Sangat mendebarkan dan kami harap-harap cemas. Kadang terdengar teriakan ”Hei Ponirin, jaga gawangmu, jangan sampai bobol”. Akhirnya PSMS yang dikenal "The Killer" di era 50-an ini, berhasil menahan Persib Bandung, tanpa gol.

Sesuai peraturan PSSI waktu itu, adu penalti dengan lima tendangan penentuan kesebelasan yang menang. Kiper Ponirin serta lima penendang jitu (saya sudah lupa nama-namanya) menjadi penentu kemenangan.

Dalam adu penalti, PSMS menang!. Ponirin dan lima penendang jitu jadi pahlawan malam itu. Penonton SMS yang terkenal agressif namun sprotif itu menyambut kemenangan dengan suara gemuruh memecah stadion Senayan. Beberapa penonton menintikkan air mata haru. Ada yang berjingkrak-jingkrak sambil membawa-bawa spanduk: ”PSMS, Ayam Kintantan” berkeliling stadion. Para pemain saling berpelukan puas akan kemenangan yang baru saja diraihnya.    


Menanti hingga pertandingan berakhir menjelang pukul 23.00 malam, tubuh lelah,  semosi mudah terbakar emosi. Kadang beberapa pendukung PSMS lepas kontrol, mengejek pendukung Maung Bandung menyambut kemenangan tim kesayangannya.

Tapi, pihak yang diejek justru menyambutnya dengan acungan jempol, tanpa emosi, betul-betul saling bersahabat. ”Yah tahun depan Bandung mesti juara,”ujar seorang pendukung Persib Bandung dalam bahasa Sunda berharap. Meski wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa kecewa, tetapi mereka tetap ramah. Sangat berbeda dengan pertandingan sepakbola akhir-akir ini yang sudah banyak ternoda. Lihat misalnya pertandingan antara Persipura dengan FC Sriwijaya (2009), Pertandingan Final Piala Indonesia di Stadion Manahan (2010).

Kiranya catatan kecil dari Pertandingan PSMS vs Persib 1983 ini, mampu membangkitkan kembali semangat para pencinta


PSMS, dan para pengelolanya. Penggemar PSMS merindukan Prestasi gemilang PSMS layaknya di era delapanpuluhan!. Tidak keok lagi seperti pertandingan hari Sabtu itu dipukul 2-0 oleh Bontang FC!.


Catatan ini sekaligus contoh bagi para pendukung sepakbola di tanah air. Kemenangan dan kekalahan diterima sebagai hasil proses yang jujur. Suasana Stadion Senayan tetap memancarkan kedamaian.

 [1] Pendukung Fanatik PSMS Medan