My 500 Words

Rabu, 10 April 2013

Selamat Jalan Bapa Sita Damanik “Kami Rindu Mengenang Komentarmu yang Menginspirasi”


Oleh: Jannerson Girsang

 
Sita Damanik (Sumber: FB Sita Damanik)

Melalui Facebook (FB), hari ini saya mendapat berita duka dari Nantulang Sally Pardede yang tinggal di Negeri Belanda.  

Sita Damanik, laki-laki yang sangat simpatik dan saya kenal melalui Facebook, dan sudah puluhan tahun bertempat tinggal di Dusseldorf, Jerman, meninggal dunia Selasa 9 April 2013, dalam usia 75 tahun.

Saya mengenal keduanya melalui FB. Saling bertutur dan sharing, hingga memiliki hubungan emosional, layaknya bersaudara.  
Sally Pardede adalah putri Batak  asal kota turis Prapat,Simalungun, Sumatera Utara yang menikah dengan orang Belanda. Kini mereka bemukim di  Negeri Kincir Angin itu. 

Saya belum pernah bertemu muka dengan Sally dan Sita, tetapi selalu berkomunikasi lewat FB.   Kita bertemu  melalui hati. Benar yang dikatakan Hellen Keller, “Sesuatu yang terindah adalah hal-hal yang tak bisa dilihat mata, diraba dengan tangan dan didengar oleh telinga”. Begitulah pergaulan kami selama ini, hanya melalui ungkapan hati.

Ungkapan-ungkapan dan komentar Sita Damanik yang senantiasa membangun semangat. "Kita suka ini". "Kita semua senang". "Malas uhur". "Jenges tumang pandapotmu Tuan Girsang". Sangat menyejukkan dan menyemangati.

Anak Sinaman, Simalungun ini, seringkali memberi “like” atau komentar pada status saya, khususnya yang menyangkut keadaan di Simalungun. Bahkan tanggal 1 April 2013, dia masih membuat komentar di statusnya soal kejadian di Dolok Pardamean (pembunuhan Kapolsek Dolok Pardamean Andar Siahaan) : “KAMI MERASA SEDIH DENGAR BERITA2 jg TERJADI di KAMPUNG DOLOK SARIBU ITU”. Meski tinggal di negeri yang jauh, beliau masih peduli daerah asalnya.

Dia selalu memanggil saya Tuan Girsang. Saya juga tidak mengerti. Mungkin karena sudah lama bermukim di luar, atau ada kisahnya yang lain tentang marga Girsang.

Hal yang membuat saya cukup berkesan adalah kesannya tentang kampung saya di Nagasaribu, minatnya kepada Simalungun tempat kelahirannya, serta sambutannya yang sangat positif setelah membaca buku yang saya edit, otobiografi Pdt HM Girsang. “Saya sudah membaca bukunya dan bagus sekali Tuan Girsang,” demikian komentarnya dua tahun lalu di status FB saya.    

Saya tambah terharu membaca berita si status FB dari teman saya di Siantar Damertina Saragih. Beliau adalah mantan Ketua Umum Wanita GKPS dan anggora DPRD Simalungun, yang turut mengucapkan duka atas kejadian ini di FB saya.  

Ternyata istri Bapa Sita Damanik sedang berada di Siantar pula, saat suaminya meninggal. Mereka baru saja kembali liburan dari Bali. 



“Turut berduka cita,....kita kehilangan sorang Simalungun yg sdh mnetap d Dusseldorf berpuluh thn tp tetap peduli dgn Simalungun/GKPS .Tadi pagi kakak Ny Sita Damanik boru Saragih sdh brkt dr Siantar k Medan(lg kunj kluarga ) u kembali k Dusseldorf bersm putrinya Evy n suaminya yg lg liburan k Bali.Smoga perjlnn mrk lancr dan Tuhan mmbri penghiburan n kekuatan bg kluarga yg dtinggal”. (Damertina Saragih)

Sebuah pelajaran berharga bagi facebookers. Kesan sangat kuat tentang seseorang adalah ucapan-ucapannya. Pemaknaan seseorang atas diri kita. Kalau seseorang senantiasa memberi hormat, pujian ataupun kritik yang membangun, kesannya akan sangat kuat dan diingat dalam waktu yang lama.

Mari kita bangun komunikasi dengan baik dan benar. “"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,  perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 12:7).

Facebook telah menghubungkan kita dengan seluruh dunia dan bisa berteman dan berbagi tanpa dibatasi jarak.   Gunakanlah dengan baik, sehingga menambah saudara di seluruh dunia. 

Selamat jalan Bapa Sita Damanik. Kita tidak sempat bertemu di Nagasaribu ya.Semoga perkenalan ini menjadi sesuatu kenangan yang tak terlupakan. 

Medan, 10 April 2013



Jumat, 05 April 2013

In Memoriam 7 Tahun Meninggalnya Pdt Prof Dr Sutan Hutagalung (2006-2013): Verba Volan Scripta Manen! (Analisa Cetak, 6 April 2013 Hal 25)



Sutan Hutagalung

Oleh: Jannerson Girsang.

 Ungkapan Romawi, verba volan srcipta manen (yang terucap lenyap dan yang tertulis tetap) penting menjadi kesadaran bagi setiap insan di tengah masyarakat kita yang tengah menghadapi berbagai krisis kehidupan. Kita perlu menuliskan kearifan masa lalu, menjadikan pelajaran berharga atas setiap kearifan dalam menghadapi permasalahan dan mewariskannya dalam bentuk tertulis kepada generasi berikut. 

**

Sabtu 23 Maret 2013 saya menuju ruang pertemuan di HoteI Polonia Medan. Ruangan itu sudah dipenuhi sekitar 100-an undangan. Sebuah perhelatan sederhana: Peluncuran Buku Pemikiran Prof Dr Sutan Hutagalung, dalam rangka peringatan tujuh tahun sang tokoh. Acara diawali dengan kebaktian yang dipimpin Pendeta O Siahaan, kemudian dilanjutkan dengan bedah buku. 

Saya menyaksikan beberapa tokoh gereja, diantaranya, Dr JR Hutauruk (mantan Ephorus HKBP dan banyak menulis sejarah gereja), Patut Sipahutar MTh, Bishop GKPI, Pdt Oloan Pasaribu MTh, Sekjen GKPI. Satu meja dengan penulis, akademisi dari sekolah teologia dosen Institut Teologia Abdi Sabda (ITAS), Dr Jontor Situmorang MTh (Rektor ITAS Medan), Dr Jan Jahaman Damanik MTh dosen ITAS dan penulis masalah-masalah teologia dan kemasyarakatan.

Tampak juga diantara para undangan antara lain, penulis masalah-masalah gereja dan sosial Pendeta Estomihi Hutagalung dari Gereja Methodist Indonesia (GMI), Rainy MP Hutabarat (penulis bahasa dan cerpenis di harian Kompas), para para wartawan daerah ini. 

**

Semua hanya satu fokus. Ingin mengetahui pemikiran-pemikiran muncul dari pengalaman dan cara benar menghadapi tantangan lingkungan sekelilingnya. Kali ini adalah pemikiran-pemikiran seorang tokoh gereja penting di masa lalu, Prof Dr Sutan Hutagalung. 

Prof Dr Sutan Hutagalung, yang lahir di Sosor Topi Aek, Hutagalung, Tapanuli Utara, 20 Agustus 1921. Dari kehidupan anak yang besar di desa kecil di Tapanuli Utara, mendapat pendidikan di atas rata-rata pria seusianya. 

Menjalani pendidikan mulai dari Holland Inlandsche School (setingkat SD) di Sigompulon, Tapanuli Utara (lulus 1929), kemudian MULO, setingkat SMP di Tarutung dan Pematangsiantar, lantas melanjut ke AMS (2 tahun). Sempat menjadi Kepala Bagian Keamanan penjara Sragen, Jawa Tengah, dan ikut berjuang melawan penjajah di daerah pegunungan Kapur Selatan. Hingga kemudian terpanggil memasuki sekolah teologia. 

“Mukzijat terjadi ketika pada 1949 Sutan mendapat bea siswa untuk melanjutkan kuliah di STT Jakarta. Usianya ketika itu sudah 28 tahun,” demikian dituliskan dalam buku Dari Judas ke Tugu dan ke Kemiskinan. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya di STT Jakarta (1953), Sutan diterima menjadi penerima beasiswa untuk program Master Teology (MTh) dan Doctor of Philosophy (Ph.D) di Fakultas Teologia, Yale University, Amerika Serikat. Yale University adalah juga tempat kuliah Dr William Liddle, yang dikenal luas sebagai pengamat politik Indonesia. William Liddle bersahabat dekat dengan Sutan dan berkenan menuliskan kesannya dalam buku Otobiografinya: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”. 

Sutan lulus doktor teologia dengan desertasi berjudul “Masalah Kebebasan Beragama di Indonesia 1800-1958”. Suami Juliana Tumiar br Hutabarat ini adalah doktor teologia kedua di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menyusul Dr Andar Lumbantobing yang lulus dari Jerman pada 1957. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Amerika, Sutan kembali ke Indonesia dan melayani di gereja HKBP. Sempat menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan ilmu Pengetahuan, Nommensen Pematangsiantar. 

Hingga sebuah konflik besar, terjadi Pasca Synode Gereja terbesar di Asia Tenggara itu. “Desakan dari warga jemaat untuk memisahkan diri dari HKBP mendorong Sutan bersama rekannya Dr Andar Lumbantobing untuk mendirikan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), 30 Agustus 1964,” ungkap buku Dari Judas ke Tugu dank e Kemiskinan.

Selama periode 1966-1977 dan 1983-1988 Sutan menjadi Sekretaris Jenderal GKPI. Sutan juga pernah menjadi guru besar tamu di Lutheran School of Theology, Chicago dan Wittenberg University, kemudian di Lembaga Riset LWF Strassbourg, Prancis (1977-1982). Selain aktif di gereja, Sutan juga aktif di lingkungan pemerintahan dan politik, antara lain sebagai anggota DPR-GR Kota Pematangsiantar. 

Prof Dr Sutan Hutagalung meninggal di rumah sakit Elizabeth Medan, 5 Maret 2006 dalam usia 85 tahun.

**
Sepanjang perjalanan itu, Sutan rajin mencatat, menuliskannya dalam artikel berupa bahan-bahan khotbah maupun pemikirannya merespon peristiwa atau kondisi sekelilingnya. Paper-paper itu disimpan dan semasa hidupnya sering diungkapkan agar dibukukan, tapi syukur masih dapat diwujudkan. Tidak banyak pemimpin gereja yang memiliki keinginan untuk mendokumentasikan pemikiran dan pengalamannya dalam bentuk tertulis.

Potongan-potongan paper itulah kemudian dikumpulkan oleh para editor dan mendokumentasikannya ke dalam dua buku. “Saya mendapat setumpuk besar bahan-bahan dan dari sanalah kami menyusun kedua buku itu,”ujar Jansen Sinamo, dari penerbit Institut Darma Mahardika. Penyuntingnya memang bukan orang sembarangan. Jansen Sinamo, Guru Ethos Indonesia. Jansen Sinamo dibantu beberapa editor diantaranya Salomo Simanungkalit (editor bahasa Harian Kompas, Rainy Hutabarat (cerpenis dan penulis bahasa Kompas) dan Hasudungan P Sirait, seorang guru para penulis dan pelatih wartawan kondang. 

Mereka mengolah tumpukan-tumpukan artikel itu hingga membuahkan empat tema yang dirangkai dalam dua buku: Pemberian adalah Panggilan dan Dari Judas ke Tugu Kemiskinan.
Buku Pemberian adalah Panggilan berisi tema pertama dengan tajuk Pemberian adalah Panggilan (kumpulan khotbah dan ceramah), tema kedua dengan tajuk Maka Lahirlah GKPI (artikel-artikel yang mengisahkan lahirnya GKPI). 

Sedangkan buku Dari Judas ke Tugu Kemiskinan berisi tema ketiga, yakni kekristenan (diwakili oleh Judas), serta sosial kemasyarakatan (diwakili oleh kemiskinan) dan tema keempat “Stop…Pikirkan Dulu”. Stop…Pikir Dulu adalah nama rubrik di Harian Sinar harapan yang kerap memuat tulisan Sutan di era 1967-1969. 

Sentuhan para penulis-penulis besar memberikan makna dan keunggulan tersendiri bagi kedua buku itu. Mulai dari pembabakannya dan juga sentuhan bahasanya yang renyah dan semakin mudah dibaca berbagai kalangan. Terasa berbeda dalam kualitas penulisan, ketika para penulis besar memberi perhatian menuliskan kearifan dari tokoh-tokoh daerah ini. Sumut punya banyak tokoh yang membanggakan dan menginspirasi. Sayangnya belum banyak yang ditulis dan dikomunikasikan dalam bentuk buku. 

**

Kedua buku ini setidaknya telah memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempelajari kembali pemikiran-pemikiran yang pernah muncul dari seorang yang memiliki liku-liku panjang perjalanan hidupnya, berbagai tantangan dan cara menghadapi tantangan. 

“Kumpulan tulisan yang mencakup kurun waktu yang panjang membantu para pendeta, pelayan gerejawi, aktivis dan warga jemaat memperoleh masukan-masukan teologis yang jernih, tajam dan proporsional” kata Dr Enar M Sitompul. 

Salah seorang pembicara dalam bedah buku itu, Pdt Dr JR Hutauruk mengatakan, semasa hidupnya Sutan Hutagalung menempatkan dirinya sebagai pendeta, pemikir dan praktisi. Dia memiliki metoda khotbah yang khas, dan khotbah dan ceramah-ceramahnya memiliki alamat tertentu dengan ulasan teologis, etis dan politik yang tajam, serta menggunakan kiasan-kiasan dalam khotbah-khotbahnya. Dia memaparkan data apa adanya, memberikan usul yang mencerahkan, mencari kebenaran dan keadilan Tuhan 

Dia punya gaya bahasa tubuh yang khas pula. “Matanya itu lho,” ujar Raplan Hutauruk, dan melanjutkan, “Kalau mengucapkan sesuatu dan matanya berkedip, berarti itu penting,” demikian Dr Hutauruk sambil tersenyum menggambarkan salah satu ciri khas Dr Sutan. 

Menurutnya, Sutan termasuk generasi lulusan teologia yang baru di lingkungan gereja di masanya. Sebelumnya, Ephorus Justin Sihombing adalah produksi zaman Zending. Sementara Sutan adalah lulusan Batavia, kemudian kuliah di Amerika dan kembali ke Tanah Batak. 

Menggali ulang pemikiran salah seorang tokoh pendiri GKPI tersebut sangat tepat disaat kondisi bangsa sedang carut marut. Menurut Patut Sipahutar MTh (Bishop GKPI), Sutan adalah sosok pendeta yang berkhotbah yang selalu melihat relevansinya dengan lingkungannya. “Dalam khotbah-khotbah dan ceramahnya beliau mampu merespon kejadian dan situasi sekelilingnya,” ujar Pdt Patut Sipahutar. 

“Tulisan-tulisan Dr Sutan yang dihimpun dalam buku ini sangat kaya membahas berbagai esensi eksistensi relevansi dari berbagai realitas kehidupan ini. …Yang pasti, tulisan ini mengajak kita untuk menjadikan hidup dan kehidupan ini bermakna besar bagi sesama dan semesta” ujar Patut Sipahutar, mengomentari isi buku itu. 

Verba volan srcipta manen (yang terucap akan lenyap, yang tertulis tetap). Semoga memberi inspirasi bagi kita semua. ***

Penulis Editor buku Otobiografi Prof Dr Sutan Hutagalung: “Hanya Oleh Karena Belas KasihanNya (2005)”. 

(Bisa juga diakses ke Website Harian Analisa, 6 Maret 2013 www.analisadaily.com/news/2013/7131/verba-volan-scripta-manen/).

Kamis, 04 April 2013

Selamat Jalan Pak Ali Soekardi



Oleh: Jannerson Girsang

Berita duka kuterima sekitar pukul 23.00 WIB. Pertama melalui statusnya Prof Dr Hadiluwih. Kemudian aku buka sms dari Rizal Surya, teman akrabku di Harian Analisa.  Ternyata, sebuah berita duka!

Ali Soekardi, Wapemred Analisa--harian terbesar di Sumatera, meninggal dunia 03 Maret 2013 sore. Saya kaget. Pasalnya, Januari lalu beliau masih segar bugar, saat peluncuran bukunya. Berbicara dengan santai dan kocak, di dekat pintu masuk ruang peluncuran di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu. Itulah pertemuan saya yang terakhir dengan wartawan tiga zaman itu.

Dari hasil pengamatan tentang beliau selama ini, suasana peluncuran buku dan perbincangan kami,  saya menuliskan profilnya dan dimuat di Harian Analisa 22 Januari 2013.

Hampir tengah malam, saya menelepon Rizal Surya, penulis buku Biografinya dan salah seorang redaktur harian Analisa. Akrab saya sesama penulis sejak beberapa tahun terakhir ini. Malam itu Rizal masih di kantor. Mungkin sedang menulis sesuatu tentang sang tokoh.

“Kemaren siang kami masih bercanda Bang.  Cuma hari ini dia nggak masuk. Saya juga kaget mendengar pak Ali meninggal,”ujarnya. Dari Rizal saya dapat informasi bahwa Pak Ali akan dikebumikan besok. Berarti saya masih bisa melihat jazadnya untuk terakhir kali.

Ali Soekardi adalah seorang jurnalis teladan. Malam ini tak banyak yang bisa kuungkapkan tentang beliau. Saya menuliskan kesan saya di FB, memberitahukan bahwa pak Ali sudah berpulang, kembali ke sisi sang Pencipta. 

“Sebentar aja tidak buka FB dan ketinggalan HP langsung kehilangan berita. Saya baru buka Rizal Surya dan baca statusnya Prof Subanindyo Hadiluwih mengatakan bahwa Bapak Ali Soekardi (Wapemred Harian Analisa) sudah meninggal dunia hari ini. Padahal saya baru Januari lalu menghadiri peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi. Saya masih menulis profilnya di Harian Analisa, Selasa, 22 Jan 2013.”

“Pilihannya untuk tetap bekerja kepada media tempatnya bekerja, niatnya untuk mempersiapkan generasi penggantinya, adalah teladan loyalitas korps yang tidak banyak dimiliki wartawan di era reformasi ini. Dia bukan kutu loncat, peri laku banyak wartawan dengan banyaknya media. Ali sudah bekerja di harian itu, sejak 1973 atau empat puluh tahun yang lalu, satu tahun setelah harian itu berdiri dan tidak pernah berpindah ke media lain. Lebih dari 30 tahun, dia memegang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi” demikian kutuliskan kesan saya di Harian Analisa dalam sebuah artikel berjudul: Selamat Ultah ke-80 Pak Ali Soekardi "…Terus Membaca dan Menulis, Maka Kita Tidak Pikun"
Berbagai nama disebut-sebut menjuluki pria yang 4 Januari 2013 lalu genap berusia 80 tahun. "Rosihan Anawar dari Sumatera Utara" yang muncul di peluncuran bukunya, atau "Wartawan Tiga Zaman" yang dijuluki harian Orbit beberapa hari lalu. Entahlah, biarlah masyarakat yang menilainya!.

Selamat jalan Pak Ali, semoga kami dapat mewarisi keteladananmu.Pertemuan terakhir kami adalah saat peluncuran bukunya: 80 Tahun Ali Soekardi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda)  Pemprovsu, dekat Istana Maimun Medan, 19 Januari 2013.

Tak sedikitpun saya menduga beliau akan meninggal secepat itu. Masih banyak yang ingin digali dari seorang Ali Soekardi.

Malam ini saya berdoa khusus untuk bapak Ali Soekardi. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dan keteladanan beliau menjadi warisan berharga bagi kita semua.
Selamat jalan Pak Ali. Kami kehilanganmu!.

Medan, 04 April 2013 (00.34). Semoga saya bisa melayatmu besok. 

Update 4 April 2013

Pagi-pagi saya membaca harian Analisa. Menyimak dua artikel tentang pak Ali. "Wapemred Analisa Ali Soekardi telah Tiada" ditulis War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, dan "perbincangan Terakhir dengan Pak Ali" ditulis Rizal Surya, redaktur Harian Analisa.

Siang hari, saya beruntung bisa melayat ke rumah pak Ali di Kompleks Perumahan PWI, Jalan Letter Press, di daerah Sidorukun Medan. Puluhan papan bunga menghiasi halaman rumah. Dekat dengan tempat dudukku, ada papan bunga Soepandi (Hakim Agung)), Walikota Medan Rahudman Harahap dan lain-lain.

Halaman rumah dan jalan depan rumah dipasangi beberapa tiang taratak. Ratusan pelayat dan keluarga dekat almarhum memenuhi kursi yang disiapkan. Tampak H Sofian, Pemred Analisa, Pak Supandi Kusuma, Pemimpin Perusahaan Analisa, War Jamil, Sekretaris Redaksi Harian Analisa, tokoh-tokoh pers Sumatera Utara (mantan Ketua PWI Moh Yazid, Zaki Abdullah), Ketua PWI  Drs Muhammad Syahrir, JA Ferdinandus (mantan Dirut PTP IX). Muhammad TWH--tokoh senior jurnalis Sumut dan puluhan wartawan lainnya.

Saya bertemu Brilian Mohtar, anggota DPRD Sumut. Saya duduk bersama Rizal Surya, penulis Biografi Ali Soekardi. "Sebenarnya masih ada rencana menulis buku tentang pemikiran pak Ali. Dia sedang mempersiapkan bahan, tapi keburu beliau pergi," ujar Rizal. Sempat bersalaman dengan Ali Murtado--redaktur harian Analisa, J Anto, Direktur KIPPAS. Dua tokoh yang saya kagumi karena sangat produktif menulis.

Beberapa menit saya tiba, Pak Sulaiman, mewakili keluarga dan War Jamil--mewakili Harian Analisa, Lilik Suhairi--mewakili  PT Sumatra Bakri Plantation, Muhammad Syahrir--mewakili PWI Sumut, memberikan kata sambutan. Intinya, Ali Soekardi adalah seorang ayah teladan, bergaul luwes dengan tetangga. Dia juga adalah seorang jurnalis yang sangat disiplin dan senantiasa memikirkan peningkatan kualitas penerbitan harian yang dipimpinnya.

Kemudian jenazah pak Ali dibawa ke Mesjid Nur Chadidjah, beberapa puluh meter dari rumah duka dan selanjutnya dimakamkan di pekuburan muslim Jalan Krakatau, 1-2 kilometer dari rumah duka.
Saya pulang sekitar jam 12.00 saat jenazah disembahyangkan di mesjid. "Selamat jalan pak Ali. Adakah lagi wartawan yang memiliki semangat belajar dan menulis hingga ujur. Wartawan yang lembut, sopan dan ramah seperti beliau?".

Update 5 April

Gambar: Sejumlah pelayat dari keluarga, dan rekan kerja mengantarkan jenazah Wakil Pemred Harian Analisa, Alm. H Ali Soekardi saat akan dikebumikan di Tempat Pemakaman Muslim Krakatau Medan, Kamis (4/4).  Ali Soekardi tutup usia 80 tahun, meninggalkan tujuh orang anak, dan 12 orang cucu. (Analisa, 5 April 2013)
 

Senin, 01 April 2013

Catatan Hidup dan Arti Sebuah Kematian


Biografi Floriana Tobing, 2009
Oleh: Jannerson Girsang

The life of the dead is placed in the memory of the living. (Marcus Tullius Cicero).

Dalam dua bulan terakhir ini saya kehilangan beberapa teman yang banyak mewarnai kehidupan saya. Hari ini aku begitu sedih, karena aku kehilangan Floriana Tobing, yang meninggal  di RS Elizabeth Medan, 30 Maret 2013, dalam usia 82 tahun.

Untungnya, saya sudah menulis pengalaman hidupnya Berdoa dan Menabur Kasih. Meski dia sudah pergi, saya masih bisa membaca kenangan berharga dari dirinya.

Kematian seorang teman memutus hubungan saya secara fisik dan rohani dengan mereka.  Saya tidak lagi merasakan perasaan mereka, demikian sebaliknya. Tidak ada lagi komunikasi timbal balik. 

Kematian berarti terputusnya komunikasi, dan lambat laun sejalan waktu kita akan melupakan mereka. Waktu cenderung melupakan, karena komunikasi adalah darah dari sebuah persahabatan, bukti  bahwa kita masih menyayangi seseorang. 

Bagi sebagian orang mendirikan makam yang bagus, dan melakukan ziarah dalam waktu-waktu tertentu. Tetapi, itu hanya bangunan fisik yang mudah hancur. Ketika makam seseorang  jauh dari tempat tinggal, maka tidak ada lagi komunikasi yang bisa dilakukan. Apalagi keadaan ekonomi tidak memungkinkan untuk mengunjunginya. Banyak makam yang sudah tidak dirawat lagi dan akhirnya hilang begitu saja.  

Bukti-bukti sudah banyak.  Tidak sedikit di dunia ini seorang anak tidak tau sekedar nama seorang kakek neneknya, apalagi mengetahui keteladanan mereka.  

Begitukah akhir hubungan kita dengan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali!. Apa yang bisa menghubungkan kita dengan keluarga atau rekan kita yang sudah meninggal?. 

Salah satunya adalah mencatat kehidupan mereka dan mengenang hal-hal baik yang dilakukannya sebagai teladan dan hal-hal buruk yang tidak perlu ditiru. 

Mengenang orang yang meninggal adalah mengenang nilai-nilai yang ditinggalkannya. Sebuah kisah!

Setiap orang dilahirkan ke dunia memiliki missi khusus. Setiap orang punya tantangan  khas dalam hidupnya, yang diatasi dengan tindakan-tindakannya dan makna yang kita peroleh dari  ungkapan-ungkapannya yang menghasilkan kebaikan yang menjadi teladan dan keburukan atau kesalahan yang tidak perlu diulangi. 

Inilah nilai terbesar seorang manusia selama hidup di dunia. Hellen Keller mengatakan: “Hal-hal terindah di dunia ini bukan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata atau dapat diraba dengan tangan, tetapi sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati”. 

Harta, jabatan dan kemegahan yang dapat dilihat dengan mata, akan hilang karena itu hanya bersifat sementara. Tetapi kisah hidup, sesuatu yang dapat dirasakan dengan hati, akan tetap sampai selama-lamanya. 

Sebuah catatan hidup baik itu tulisan maupun gambar atau video adalah alat komunikasi abadi dengan teman-teman kita yang sudah meninggal. Mari menuliskan kenangan tentang teman-teman kita, mengenang mereka agar mereka tetap hidup.  Our dead are never dead to us, until we have forgotten them.(George Eliot).

Selamat jalan inang Floriana Tobing. Saya akan tetap mengenang kebaikan-kebaikanmu, ketulusanmu dan kelembutanmu.