My 500 Words

Rabu, 17 Juli 2013

Mainkan Hati Anda

Artikel ini merupakan file lama--1,5 tahun yang lalu dan kutulis saat sedih di tengah malam, sendirian membayangkan putriku sakit di rumah sakit, 2000 kilometer jauhnya dari rumah. 

(Oleh Jannerson Girsang: Friday, September 16, 2011 at 1:24am) ·

16 September 2012, saat aku masih kesulitan keuangan dan tugas-tugas di gereja menumpuk. Clara, Anakku yang terbaring di rumah sakit, di Depok, 2000 kilometer dari rumahku! 

Aku bergulat dalam pikiran antara ingin menjenguknya, tetapi tak punya rencana untuk menjenguknya, karena uang untuk ongkos pesawat tidak tersedia. 

Ada perasaan berontak. Kenapa Tuhan?. Bercampur perasaan bersalah karena tidak mampu menghasilkan uang yang cukup untuk sekedar menjenguk anak yang sakit di Jakarta. Tengah malam, Medan-Jakarta terlalu jauh dalam jangkauanku.  

Sebuah buku:  sudah dari tadi kubaca dan tetap kupegang, sambil mengamati laptopku yang sudah berusia 5 tahun. 
 
Aku berbisik dalam hati kepada anakku yang mungkin sudah pulas tidurnya. “Mungkin tengah malam (12.12) ini kau sudah tidur. Tetapi besok pagi, kau pasti bangun, membuka mata, lantas pegang handphone, serta membuka Facebook. Bapak tidak bisa bertemu muka denganmu sayang. Medan-Jakarta terlalu jauh”.

Sambil berlinang air mata, aku melanjutkan menuliskan apa yang kudapat dari buku itu. ”Tapi Tuhan memberi kita berkat, karena malam ini Bapak diberi kesempatan menikmati kata-kata bijak tentang kehidupan dari Eyang Titik Puspa, yang bapak kutip dari buku biografinya. Titik Puspa, A Legendary of Diva. Kau bisa nikmati sebelum sarapan pagi besok”.

Ini dia kue lezat Eyang yang sangat Bapak kagumi dan nikmatilah!

Tuhan mengatur irama hidup kita. ”Bagi saya, perjalanan hidup ibarat musik, yakni permainan pola irama dengan Tuhan sebagai arrangernya. Kita seperti melodi yang berkejaran lincah dan bisa menghadirkan keindahan saat nadanya sedang dinamis dan riang, atau saat iramanya sendu dan melankolis. Sebagai pencipta jalan hidup, saya yakin Tuhan menghendaki kita memberi apresiasi pada irama hidup apapun yang Dia berikan”.

Siapapun pernah mengalami masa sulit. “Dan believe it or not, sebagai manusia, kita diciptakan kuat sekali. Saya pernah nyaris mati karena sakit dan kelaparan, pernah menikah, bercerai, berjuang membesarkan anak, difitnah, menikah lagi, bercerai lagi, ditinggal wafat suami. Hidup dan karier saya syarat dengan jatuh bangun. Jika dibuat daftar susahnya mungkin pantas untuk alasan gantung diri. Ha.ha.ha!,” kata Titik Puspa. 

Penderitaan fisik itu kemudian berbuah pemahaman hidup dan mampu menghitung berkat. “Tadi pagi saya bangun dengan segar. Tubuh saya enak diajak bergerak. Sekretaris saya masih banyak menerima telepon dari banyak pihak mengajak saya bekerja sama. Perancang busana saya mengabarkan busana impian saya sudah jadi dan indah sekali. Cucu saya ingin bertemu dan mengobrol soal pacarnya. Pak Presiden mengundang saya nyanyi di istana. Dan permintaan naik pentas sampai ke luar negeri tak pernah berhenti”.

Tak guna mengingat kesedihan.  “Ah, ya!. Itu apa coba namanya kalau bukan anugerah. Saya memiliki kehidupan indah. Sia-sia saya mengingat segala kesedihan saya, karena di depan saya terbentang adalah hikmah yang diberikan oleh Tuhan selalu lebih indah. Dan saya baru sadari keindahan itu masih saya rasakan sekarang, saat usia saya 70 tahun. Sebuah angka yang tidak main-main”.

Mainkan hati anda. Tubuh, harta dan segala yang bersifat fisik suatu saat akan hilang keindahannya, tetap hati yang terus berbicara mendorong pikiran untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat. ”Saya bercermin dengan seksama. Menyaksikan keriput yang girang bermain di wajah saya. Alhamdullillah, saya masih hobi berdandan pakai bedak dan blush on sehingga saya masih asyik main petak umpet dengan keriput. Tubuh saya, walau sudah kendur masih lincah diajak sibuk. Masih bisa bergerak cari penghasilan, hingga saya tak menyusahkan anak dan cucu untuk menghidupi diri sendiri”.

Menasehati kita semua bahwa hidup penuh dengan kesadaran dan menghargai hidup itu sendir. “Tuhan mahabesar. Sederetan karya saya yang anda kenal hanya sebagian kecil dari anugerah yang melimpah yang diguyurkan Tuhan pada saya. ...saya ingin berbagi dengan Anda bahwa rentang hidup yang singkat yang diberikan Tuhan bisa menjadi sangat bermakna jika anda menjadi umat yang penuh kesadaran dan apresiatif pada hidup”.

Mainkanlah hati Anda! (Dikutip dari: Titik Puspa: A Legendary of Diva, Albertiene Endah).

Selasa, 09 Juli 2013

Kunci Pelayanan Publik Prima Kemajuan Teknologi, Sistem dan Karakter Baik (Harian Analisa, 9 Juli 2013)


Oleh: Jannerson Girsang

Membayar Pajak Kenderaan Bermotor melalu calo?. Oh, nggak zamannya lagi di abad ke-21 ini!.
Dari mulai mengambil daftar antrian, hingga pencetakan STNK baru, hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Sebuah sukses pelayanan yang memadukan kemajuan teknologi, sistem dan petugas bekarakter baik. 

Membayar Pajak Kenderaan Kurang dari Lima Menit

Pengalaman  saya yang sangat menyenangkan ketika membayar pajak sepeda motor di pelayanan Samsat di Sun Plaza, 3 Juli 2013 lalu adalah bukti bahwa memadukan kemajuan teknologi, dijalankan dengan system yang benar oleh petugas berkarakter  baik akan menghasilkan pelayanan publik yang prima.  

Pagi itu, saya memasuki ruang pelayanan Samsat Sun Plaza, di Jalan Zainul Arifin. Saya memencet mesin yang mengeluarkan kartu antrian di sebelah kiri pintu masuk. Secara otomatis mesin itu mengeluarkan secarik kertas, nomor antrian A-062 dan tertera tanda waktu pukul 10:27.
Hanya beberapa detik sesudah saya mengambil kertas antrian, nomor tersebut sudah tertera di layar di atas meja pelayanan dan petugas memanggil nomor dimaksud.

Pak Sitorus, petugas dari kepolisian  yang melayani saya dengan ramah. Beliau meminta KTP dan  STNK asli dan dengan senang hati saya menyerahkan persyaratan yang diminta.
Sambil mengamati KTP saya, beliau berujar: “Masih tinggal di Kopi ya Pak Girsang,”katanya. Saya kira beliau berseloroh, karena saya tidak mengenal beliau. Begitulah ramahnya seorang polisi di unit pelayanan Samsat.

Saya tidak memperpanjang pembicaraan karena memang buru-buru mau ke kantor dan hanya menjawab seadanya: “Ya masih Pak”.

Dengan senyum Pak Sitorus langsung memasukkan data-data KTP dan STNK lama.Tak sampai satu menit, saya disuruh ke petugas yang lain dan pindah meja. 

Di meja berikutnya, di sebelah pak Sitorus, saya mendapat pelayanan seorang ibu yang sangat ramah. Perempuan itu  memberi saya secarik kertas dimana tertera jumlah uang yang harus saya bayar. Kemudian beliau menunjukkan meja di sebelahnya, dimana seorang perempuan yang cantik dan ramah yang akan merima pembayaran.  

Sambil bertanya apakah hanya membayar sejumlah yang tertera di secarik kertas itu, saya merogoh saku untuk mengambil uang sebanyak yang diperlukan. Saya membayar pajak sepeda motor dua tahun berarti kena denda. Jumlah itu sangat jauh di bawah perkiraan saya sebelumnya, andaikan saya menuruti membayar melalui jasa calo.

Untuk memperoleh STNK saya berpindah ke sebelahnya, seorang perempuan berkerudung yang asyik memprint STNK-STNK. Kurang dari satu menit, beliau memanggil nama saya. Saya angkat tangan dan beliau menyerahkan STNK sepeda motor saya yang baru.

Saya melihat jam: 10:31, saya sudah menyelesaikan urusan pembayaran pajak kenderaan bermotor. Kurang dari lima menit. Mulai dari memperoleh antrian, hingga selesai. Pengalaman luar biasa bagi saya di Negara yang oleh banyak pihak mengeluhkan buruknya pelayanan umum. .  

Memadukan Kemajuan Teknologi dan Karakter Baik  

Pengalaman ini saya tuliskan agar menjadi bahan masukan bagi seluruh pemilik kenderaan bermotor yang belum mengetahuinya. Betapa system pelayanan umum yang telah menerapkan kemajuan teknologi, system yang baik dan petugas berkarakter baik akan menghasilkan pelayanan prima.    

Terima kasih untuk system pelayanan yang dibangun dengan teknologi di  Samsat  unit Sun Plaza. Terima kasih juga untuk karakter yang baik dari para petugas Samsat di sana, serta Samsat yang telah menciptakan system yang baik.

Masyarakat sungguh-sungguh memerlukan informasi pelayanan umum yang benar di abad teknologi ini. Masyarakat harus terdidik memperoleh informasi langsung, bukan percaya rumor. Teknologi dan karakter petugas yang benar mendidik kita bepikir dan bertindak benar.  

Perpaduan keduanya, selain memberi citra yang baik bagi pelayanan Samsat, informasi seperti ini juga memberi keuntungan bagi kita, yakni tidak menggunakan jasa tambahan. Pelayan dihargai masyarakat, karena mereka merasa diuntungkan.   

Sebelumnya, saya sangat terkecoh dengan informasi-informasi yang sering menyesatkan. Tahun lalu, untuk membayar STNK sepeda motor saya (normal saja, tanpa ada keterlambatan), calo menawarkan pembayaran pajaknya sebanyak Rp 300 ribu.

Banyak alasan yang dia sebutkan untuk sampai kepada jumlah itu. Padahal kalau diurus sendiri paling-paling Rp 160.000. Singgah sebentar, sambil menikmati ruang ber-AC,  saya bisa menghemat Rp 140.000.

Kita pantas bersykur atas penerapan teknologi dan para petugas yang ramah dan baik dalam pelayanan pembayaran pajak kenderaan bermotor. Dulu, pembayaran pajak kenderaan bermotor begitu rumit. Antri berjam-jam.

Para pelaku pelayanan prima seperti ini butuh kisah-kisah dari para pengguna. Kita sangat bersyukur kepada kemajuan karakter para pelayan di unit pembayaran pajak kenderaan bermotor seperti di loket Sun Plaza. Teladan ini penting untuk disebar di seluruh unit pelayanan yang ada di seluruh Indonesia.

Pemilik Kenderaan yang Kurang Peduli

Sayangnya, masih banyak orang seperti saya yang mewakili banyak pemilik kenderaan. Kurang memperhatikan informasi pelayanan Samsat secara benar.  Sebelumnya saya berpendapat membayar pajak kenderaan bermotor itu butuh waktu dan berbelit-belit.

Saya kurang memperhatikan penjelasan-penjelasan pihak Samsat yang selama ini sudah cukup gencar. Mungkin karena hanya membayar sekali setahun, jadi kurang peduli, akhirnya tidak tau. Masih menggunakan calo, padahal ini sudah abad ke-21.

Tahun lalu, ketika saya menghubungi calo dan  meminta uang Rp 300 ribu (satu tahun, tanpa denda), jauh di atas pembayaran yang seharusnya, pajak sepeda motor saya hanya sekitar Rp 160.000. Selisih yang besar tentunya bagi saya.

Karena kesal, saya biarkan saja tidak dibayar dan akhirnya harus membayar denda. Padahal, kalau saya bayar rutin per tahun, jumlah yang saya bayar tidak akan sebesar jumlah tahun ini.       

Partisipasi Pemilik Kenderaan

Pengalaman saya yang sangat memuaskan di unit pelayanan Samsat hanyalah sebuah kisah sukses pelayanan umum di negeri ini. Andaikata pelayanan umum lainnya melakukan standar-standar yang diterapkan Samsat Sun Plaza, alangkah indahnya hidup di negeri ini.

Apa yang saya lakukan ini, tentunya hanya hal kecil, tetapi sesuatu yang real terjadi di lapangan. Sebagai bangsa yang mencintai negeri ini, mari kita kisahkan kisah sukses pelayanan publik yang lain. Sehingga masyarakat kita sendiri mengetahui tidak hanya korupsi yang terjadi di negeri ini. Masih banyak para pelayan masyarakat yang baik.

Kisahkanlah pengalaman baik, sehingga kita akan menjadi bangsa yang besar. Membuka dan memberitahukan pengalaman baik kepada masyarakat luas adalah salah satu tugas kita sebagai masyarakat pengguna jasa itu.

Sementara itu, pemerintah perlu memfasilitasi masyarakat untuk memberitahukan pengalaman-pengalaman baik mereka atas pelayanan pemerintah selama ini, sehingga mempersempit ruang bagi para calo.

Individu-individu dan lembaga-lembaga kemasyarakat yang ada perlu dipacu memberitahu pelayanan prima seperti ini. Informasi yang diungkapkan masyarakat akan lebih dipercaya, dari sekedar iklan layanan masyarakat yang banyak dipublikasikan oleh pemerintah. Dampak yang lebih luas, masyarakat internasionalpun akan percaya bagi pelayanan kita yang baik.

Pengalaman saya di atas salah satu contoh pelayanan umum yang prima, bagaimana dengan imigrasi, pelayanan pajak, pertanahan, izin-izin perusahaan?. Kemajuan teknologi dan karakter petugasnya menjadi kunci pelayanan prima. Andaikata pelayanan umum meniru Samsat Sun Plaza, citra negeri ini akan sangat baik di mata warga dan mereka yang datang ke negeri ini.

Terima kasih Samsat Sun Plaza, pertahankan prestasimu!. Sebuah tantangan buat pelayanan umum lainnya yang masih berbelit-belit.  

Rabu, 03 Juli 2013

Haruki Yamamoto: I Miss You!

Oleh: Jannerson Girsang

Akhir 1980an saya kedatangan tamu seorang laki-laki Jepang dari Tenri, University, salah satu universitas di negeri matahari terbit itu. Bertubuh pendek, berkulit kuning, sangat sopan  dan cerdas. 

Selama beberapa hari dia tinggal di Mess Universitas Simalungun. Ketika itu saya menjabat sebagai Pelaksana Rektor Universitas itu, dan bisa mengusahakannya tinggal di mess dosen dengan enam kamar itu.  

Yang mengherankan dia tidak betah, karena katanya para dosen di sana bising. Berbincang keras-keras, dan yang lain memutas kaset dengan suara menembus dinding-dinding kamar, tanpa peduli teman sekitar sedang belajar. Dia  sudah konsentrasi belajar, dan akhirnya dia memilih tinggal di Siantar Hotel. Dia tidak mau gratis kalau suasana belajar tidak nyaman. 

Saya sangat mengagumi kesungguhan dan kegigihannya belajar. Setiap hari dia belajar bahasa Simalungun dari seorang dosen di sana. Dia belajar peninggalan nenek moyang Simalungun dari almarhum Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun. Semua pelajaran digarap dengan tekun dan menurut kedua orang tadi, Haruki Yamamoto sangat cerdas dan tekun. Hingga di akhir jadwal yang ditentukan dia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. 

Dia sangat menghargai bantuan orang lain. Setelah masa studinya selesai dan hendak pulang ke Jepang, dia menghadiahi saya sebuah kotak kaca unik. Untuk teman-teman yang lain saya kira dia juga memberikan kenang-kenangan yang berkesan. 

Malam terakhir, kami ditraktirnya di Pongkalan Na Bolon—kedai nasi yang menyediakan makanan khas Simalungun, di dekat pajak Parluasan.  Pagi-pagi dia datang ke kantor dan memohon  agar saya menyediakan makanan khas Simalungun.  Saya menawarkan makanan “si pitu dai” (tujuh rasa). Dia setuju saja. Saya kemudian meminta pemilik Pongkalan Na Bolon menyediakan makanan yang saya pesan. Dia mengganti semua biaya untuk itu. Sebagai penghormatan dari kami, sebuah ulos Simalungun diberikan kepadanya. Dia senang sekali, sayang foto dokumentasinya sudah hilang. Yang jelas, dia memiliki kamera dan mengabadikan momen penting itu.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dan hingga kini saya tidak pernah bertemu lagi. Saya mencoba searching di internet, dan saya menemukan namanya. Kini, Prof. Yamamoto Haruki, dari Tenri University menjadi  dosen tamu di Universitas Indonesia dengan mata kuliah   Animism and Japanese Culture. http://kwj-ui.com/en/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=30. Tapi, saya belum bisa menghubunginya, karena tidak ada alamat email ataupun telepon.

Semoga tulisan singkat ini dapat mempertemukan saya dengan Haruki Yamamoto. Bagi rekan-rekan, saya ingin sekali bantuannya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun kami tidak pernah bertemu. Ketika kami berpisah, saya baru memiliki satu putri berusia empat tahun, kini sudah berkeluarga. Bahkan putri saya yang keduapun sudah merencanakan pernikahannya tahun ini.

Saya  bisa dihubungi melalui email: girsangjannerson@gmail.com.

Rabu, 19 Juni 2013

Melepas Rindu dengan Pdt Dr Edison Munthe: Mantan Ephorus GKPS (2000-2005)


Terakhir bertemu dengan Pdt Dr Edison Munthe MTh saat adik saya Parker Girsang meninggal 2010. Saya beruntung satu meja dengan beliau dalam sebuah acara di Jakarta 8 Juni 2013 lalu. Perbincangan lebih dari dua jam dengan pendeta yang suka ceplas ceplos ini sungguh sangat mengasyikkan.

"Ija Inang Pa?," ujar penulis membuka pembicaraan. "I Medan pe. Baru marujung bapa, jadi bahat pe urusanni i Sumatera"ujarnya, sambil memperbaiki letak kacamatanya.

Meski rambutnya sudah memutih  langkahnya masih lincah menuju mimbar menyampaikan khotbah pada acara Ulang Tahun St Dr Junimart Girsang, SH, MH, 8 Januari 2013 lalu di lantai 10 Ball Room Hotel, Kemayoran, Jakarta, 8 Juni 2013 lalu.

Suaranya baritonnya yang tegas tetap memukau. Tangannya bergerak lincah di atas mimbar ketika menyampaikan khotbah yang memerlukan penekanan khusus.

Pendeta yang mampu berbahasa Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, dan tentunya juga lancar bahasa Inggeris ini adalah Ephorus GKPS periode 2000-2005).

Delapan tahun sudah beliau meninggalkan jabatannya sebagai Ephorus. Mengapa akhirnya memilih tinggal di Jakarta?

“Saya hijrah ke Jakarta, karena sakit. Tidak mampu kalau memeriksa kesehatan bolak-balik Medan-Jakarta,” ujarnya, mengenang peristiwa beberapa tahun lalu, tak lama setelah beliau pensiun.

Hingga di usianya memasuki 68 tahun ini masih aktif melayani di berbagai denominasi gereja di Jakarta dan juga di luar Jakarta. Pertengahan 2012 lalu misalnya, beliau melayani di GKPS Jambi selama beberapa hari. Beliau kadang tampil dalam pelayanan pastoral di Medan, Pematangsiantar.

Dalam khotbah-kotbahnya beliau sering menekankan agar Sekolah Minggu mendapat prioritas, khususnya dalam pengembangan sarana dan prasarana gedung sekolah minggu. Pdt Dr Edison Munthe MTh juga sering menyinggung minimnya peserta pastoral (Majelis dan Jemaat).

Salah satu khotbah beliau yang kami kutip dari sebuah KKR mengatakan: “Hita halak Kristen, ibarat i ‘ranting’ ni sada pohon. Batang ni pohon ai aima Jesus Kristus. Maningon marbuah, janah seng asal marbuah tene, tapi maningon marbuah naramos do hita haganupan. Halani domma ibere Tuhan Jesus Kristus hubanta zat hagoluhan namengalir setiap saat hubagas angkulanta. Janah jadi berkat ma ai homa hubani keluarga pakon hasomanta”

Pdt Edison Munthe adalah mantan Ephorus GKPS satu-satunya yang masih hidup. Pendahulunya semuanya sudah meninggal dunia, yakni Pdt Jenus Purba Siboro (1963-1970), Pdt Lesman Purba (1970-1972), Pdt SP Dasuha (1972-1977)
, Pdt Armencius Munthe (1977-1990), Pdt Jasiman Damanik (1990-2000). Bahkan mantan Ephorus yang menggantikannya, Pdt Belman Purba Dasuha, mantan Ephorus GKPS 2005-2010 sudah meninggal dunia 8 Maret 2013 lalu.

Mantan Ketua  Sekolah Tinggi Teologia (STT) Abdi Sabda (1998-200) ini  tinggal di bilangan Cikoko, Jakarta Selatan . Beliau baru saja kehilangan ayah kandungnya Mei 2013 dalam usia lebih dari 90 tahun. Semoga panjang umur mantan Ephorus  nami. SELAMAT MELAYANI.



Selasa, 18 Juni 2013

Tiga Tahun Kepergian Papa, Tujuh Tahun Kehilangan Mama.


Oleh : Jannerson Girsang

“Halo bapatua. Aku hari ini baru selesai sidang tugas akhir. Nilai belum keluar karna masih ada ujian. Nggak kerasa jg hari ini 3 tahun lewat papa meninggal. Sedih juga sih, tapi merasa luar biasa gak kerasa waktu berjalan semua berjalan dengan baik. Tetap semangat untuk kita semua yah”.

Malam ini, saya menerima sms dengan kata-kata mengharukan dari  Yani Christin Girsang, putri tertua adikku almarhum Parker Girsang yang meninggalkan kami untuk selama-lamanya 17 Juni 2010. Rasa haru dan penuh optimis.

Sikap yang membuatku selalu bangga dengan putriku ini. Dia pintar, mampu memaknai hidup dengan luar biasa. Kami terakhir bertemu 8 Juni 2013 yang lalu dalam acara ulang Tahun Junimart Girsang yang ke-50 di Jakarta. Kami jarang bertemu, sebelumnya, enam bulan lalu Christin dan adik-adiknya hadir dalam pernikahan putri saya Clara di Jakarta . Maklum, saya tinggal di Medan, mereka di Jakarta.

Setiap bertemu, saya sedih melihat mereka telah ditinggal papa dan mamanya, saat masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Tetapi menyaksikan pertumbuhan dan optimis mereka menghadapi kehidupan ini, saya merasa bangga.

Memutar memori tiga tahun lalu, 17 Juni 2010. Malam itu, ketika saya baru saja selesai menulis seusatu dan melangkah ke kamar mandi, saya mendapat telepon dari rumah sakit Cikini, Jakarta. Adikku Parker Girsang--ayah Christin telah tiada.

Setelah beberapa bulan dirawat di Rumah Sakit Cikini, dia tidak bisa bertahan dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa bulan menjelang usianya genap 48 tahun. Dia lahir 16 Agustus 1962.

Sedihnya luar biasa.  Gelap sekali rasanya. Christin kehilangan ayahnya beberapa saat setelah pengumuman dirinya diterima sebagai mahasiswa di Program D3 Sekretaris Universitas Indonesia.

Meninggalnya ayah yang sangat dicintainya, tentu sangat memukul dirinya dan adik-adiknya, serta kami semua. Empat tahun sebelumnya dia kehilangan ibu yang sungguh-sungguh bijaksana.  Andaikan aku Christin, pastilah frustrasi berat. Dua adiknya Hilda Valeria dan Trisha Melani, ketika itu masih duduk di kelas 1 SMA, dan kelas 1 SMP.

Tiga tahun kemudian, tiga putri kami yang cantik-cantik Christin (rencanya kalau lulus meja hijau, Christin akan diwisuda dari Universitas Indonesia, Hilda Valeria (kini kuliah tahun pertama di  Universitas Brawijaya, Malang), Trischa Melani (tahun ini memasuki SMA).

Tuhan memelihara mereka melalui keluarga (terutama ompung, uda, namborunya), dan mereka yang bersimpati. Junimart dan Juniver serta keluarganya sungguh luar biasa memperhatikan mereka.Semoga kebaikan mereka menjadi teladan bagi anak-anak ke depan, pentingnya memperhatikan orang-orang yang lemah.

Sejak adikku meninggal, mereka dititipkan melalui namborunya Masdalinda Girsang di Bekasi. Sekarang tinggal Trisha Melani yang tinggal di sana, sementara Christin di Depok dan Hilda di Malang.

Tiga tahun berlalu setelah kesedihan itu, sesuai tekadnya, Christin akan menyelesaikan studinya. SMSnya malam mini, membuatku percaya bahwa ketiganya suatu ketika akan menjadi orang-orang yang luar biasa.

Terima kasih Tuhan, engkau Maha Kuasa melalui tangan-tangan yang Engkau kasihi memelihara putri-putri kami. Terima kasih, Tuhan telah menyentuh hati semua orang yang membantu mereka.  

Salam salut untuk putriku Christin, Ai dan Icha!. Salam sayang dari bapatua dan inang tua, abang Bernard, Ompung di Medan.  

Gantungkan harapan hanya padaNya!.

Rabu, 05 Juni 2013

Belajar dari Justin Beiber (Rubrik Opini, Harian Analisa, 5 Juni 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Talenta atau sumberdaya  tidak akan bertumbuh dengan baik tanpa pengelolaan yang baik. Mari belajar dari Justin Beiber, yang makin berkibar hingga 2013 ini!.

Justin Beiber, musisi terkenal asal Kanada, muncul melalui youtube, sama seperti Norman Kamaru (Chaiya), Jojo-Sinta (Keong Racun), Bona Paputungan (Aku Gayus Tambunan). Start awalnya sama:  mengunduh video dirinya di youtube. Tapi, hasil akhirnya berbeda. 

Bintang-bintang Indonesia hanya sebentar menikmati buah karya seni mereka. Bahkan di dalam negeri sendiri mereka sudah redup. Sementara Justin  Beiber, musisi asal Kanada, terus melejit dan menikmati prestasi internasionalnya.

2013 ini, Justin Beiber sudah menjadwalkan show internasional dan di negeri Paman Sam dimana dia tinggal saat ini. Dia “melejit bagai meteor”. Beda dangan artis Indonesia yang popular dengan cara awal yang hampir sama. Ibarat judul Lagu Broery Pesoelima, mereka  “Layu Sebelum Berkembang”.

****

Sekedar mengingatkan kekhawatiran bahwa bintang dadakan Indonesia itu hanya mampu bertahan sebentar saja, saya mengumpulkan ramalan teman-teman, dengan memposting teks di bawah ini ke status Facebook pada 15 Maret 2011.

“Justin Bieber bintang dadakan dari Kanada, dan tiga bintang dadakan dari Indonesia: Jojo-Sinta dengan Keong Racun, Bona Paputungan dengan Andai Aku Gayus Tambunan, Briptu Norman dengan video Polisi Gorontalo menggila. Justin Bieber kini sukses dan bahkan membuat demam penggemarnya di Indonesia”.

Pertanyaan saya ketika itu, “Menurut anda, mungkinkah Jojo-Sinta, Bona dan Briptu Norman Go-Internasional?”. Dalam sekejap beberapa jawaban dari belasan teman muncul di status FB saya. “Bertahan di nasional 1 tahun aja..sdh syukur Pak..., soalnya jika dibandingkan Justin, grade kemampuan dan bakat seni mereka jauh di bawah”.

“No... Seorang superstar lahir bukan secara instan.. :)”

“Mungkin”, satu kata, tanpa argumentasi.

Yang lain mengatakan: “Mungkin lae tapi khusus Briptu Norman aja ya klo di lirik ama Sharul Khan, hehe”

“Bahasa kita belum go Internasional Pak, dan penetrasi Internet masih kurang. Jadi saya ragu kalau mereka bakal mendekati ketenaran artis internasional. Kemungkinan besar hanya jadi 1 time wonders saja”.

Ternyata ramalan-ramalan mereka benar. Artis yang saya sebut di atas hanya muncul sekejap, bahkan tidak mampu mempertahankan diri di level nasional. “Norman tidak dilirik Sahrul Khan,” adalah mungkin salah satu penyebabnya. 

Tapi perlu dicatat, respon-respon cepat itu memperlihatkan betapa besar perhatian masyarakat kita atas talenta-talenta dan prestasi anak-anak bangsanya. Sayang seribu kali sayang, ada yang salah dalam pengelolaanya, sehingga bintang-bintang di atas kini sudah hampir tak terdengar lagi. 


****

Mari belajar dari rahasia di balik sukses Justin Bebiber!

Bintang remaja ini tenar di youtube—hampir sama dengan bintang Indonesia di atas.  Justin Beiber yang kini berusia 19 tahun saat itu bukanlah siapa-siapa. Pada usia 12 tahun, Justin mengikuti kontes menyanyi di kotanya, Stratford, dan memenangkan juara kedua. Sejak itu dia mendokumentasikan penampilannya dan mengunggahnya di Youtube.

Sama seperti bintang yang muncul di atas, tujuan Beiber muncul di youtube tidak muluk-muluk. Hanya ingin agar teman-teman yang tak sempat melihatnya tampil, mampu mengaksesnya lewat youtube.

Pada beberapa videonya, Justin menyanyikan lagu-lagu beberapa penyanyi ternama seperti Usher, Justin Timberlake, Ne-Yo, Chris Brown, dan Stevie Wonder dengan versinya sendiri.

Dalam sekejap, Beiber mampu menyihir mata dan telinga banyak orang, hingga mendadak menjadi seterkenal Barrack Obama, bahkan bintang-bintang di Holywood sekalipun.

Youtube telah melahirkan Justin Beiber, yang kemudian melejit menjadi salah seorang artis terlaris di dunia. Bedanya, Beiber digaet pengusaha musik berpengalaman. Bintang Indonesia di atas tak jelas pengelolaannya. Pengacara, pemusik yang baru muncul tiba-tiba jadi manajer bintang. Bintangnya dadakan, manajernya dadakan, yah hancur berantakan!

Pemunculan Beiber tercium oleh Scooter Braun seorang Marketing Eksekutif dari So So Def  yang tanpa sengaja menyaksikan penampilannya di Youtube. Scooter Braun adalah seorang professional di bidang dunia musik. Scooter tertarik dan mengontak Bieber. Lantas Sccoter menerbangkannya ke Atlanta, Georgia untuk bertemu Usher—seorang penyanyi terkenal di Amerika untuk audisi. Usher yang terpesona dengan penampilan JustinLantas  L.A. Reid, Ketua Island Def Jam menawarkan kontrak rekaman melalui label rekaman Island Record. Standar-standar produksi dan marketing dipenuhi.

Produksi singel pertamanya yang berjudul "One Time", dirilis secara serentak diseluruh dunia di tahun 2009. Kaset ini kemudian menduduki peringkat 30 besar di lebih dari 10 negara. Kemudian diikuti albumnya "My World" dan menerima penghargaan platinum di Amerika Serikat.

Justin Beiber dalam waktu singkat menjadi penyanyi pertama yang memiliki tujuh lagu dari album pertama yang keseluruhannya berhasil mendapat peringkat di Billboard Hot 100--daftar lagu-lagu terkemuka di dunia.

Para penggemarnya terobsesi berlebihan terhadap Beiber dan menjuluki kepopulerannya sebagai "Bieber Fever" (Demam Bieber). Bahkan artis sekaliber Jeniifer Love Hewitt, Beyonce turut mengalami "Demam Bieber".

Justin Bieber tidak hanya popular di Amerika tetapi di seluruh Dunia. Bahkan di Indonesia, penggemarnya luar biasa antusias. Januari dua tahun lalu, ribuan pengemar Justin Beiber di Jakarta antri untuk mendapatkan tiket konser Justin Bieber, yang diselenggarakan  23 April 2011 di Sentul dengan harga tiket bervariasi mulai dari Rp 500,000 (US $55) hingga Rp 1 juta.

2013, Justin Beiber masih berkibar. Dia akan muncul   22 Juni 2013 (Valley View Casino Center, San Diego, United States), 24 Juni 2013 (Staples Center, Los Angeles, United States) dan puluhan show sudah dijawalkan untuknya hingga  Agustus 2013. Semester ini dia telah tampil puluhan kali di berbagai Negara.

****

Ini hanya sebuah contoh kecil saja. Masih banyak bidang lain dengan nasib yang sama. Persoalan utama adalah manajerialnya. Menangani seorang bintang memerlukan seorang manajer professional di bidangnya--“king maker” di belakangnya. Beiber ditangani  manajer yang memiliki visi yang jelas di bidang bisnis hiburan. Bukan bintang dadakan dan ditangani manajer dadakan.

Indonesia saatnya mengembangkan talenta-talenta anak-anak bangsa untuk bisa go-internasional dan mengelolanya dengan professional. Jangan biarkan talenta itu redup ditelan angin.

Mungkin sebelum belajar dari Justin Beiber, ada baiknya kita belajar dari pengalaman Anggun C Sasmi, Agnes Monica contoh artis Indonesia yang ditangani para manajer professional.

Artikel ini bisa juga di akses di:  http://analisadaily.com/news/21223/belajar-dari-justin-beiber/

Sabtu, 01 Juni 2013

Menghormati Pemenang (Rubrik Wacana, Harian Medan Bisnis 1 Juni 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Menghormati pemenang! Kita prihatin terhadap kemampuan bangsa ini menghargai pemenang. Bukan hanya terjadi dalam Pemilu, Pilkada, Pilpres, tetapi juga kemenangan Fatin Shidqia Lubis yang terpilih jadi pemenang X-Factor Indonesia berdasarkan jumlah short message service (SMS) terbanyak. Dia mengalahkan Novita Sari Marpaung. Kita perlu banyak belajar dalam menghormati pemenang.

MENARIK sekali komentar Novita Dewi—pesaing Fatin ketika saya mengikuti sebagian wawancara Novita Dewi dan Fatin yang dipandu Dedy Kombuzer, di acara Hitam Putih Trans-7, 28 Juni 2013. Kedua perempuan berdarah Batak itu tampil bersama-sama di televisi swasta itu. Mereka tampak kompak dan bersahabat. Dalam wawancara itu, terjadi dialog yang cukup menarik, di tengah kontroversi soal kejuaraan yang diraih Fatin.

Fatin sendiri mengakui begitu banyak komentar tak sedap yang diarahkan pada dirinya. Padahal, Fatin sendiri tentu tidak kuasa untuk membuat dirinya sebagai pemenang. Pemenang kok jadi korban?

Jawaban-jawaban positif dan bijak dari Novita Dewi bisa kita jadikan pelajaran bagaimana menghormati seorang pemenang. Dedy Combuzer mengarahkan pertanyaan pada Novita. "Sebenarnya Anda yang layak menang!," pancing Dedy Combuzer. "Ini kan sesuai SMS dari pemirsa. Semuanya punya potensi untuk jadi juara," kata Novita Dewi bijak. 

"Kalau itu tidak berdasar SMS, menang nggak Fatin?," cecar Dedy. "Kalau kompetisi di luar dari X Factor Indonesia, (lupa lirik) itu memang kesalahan fatal. Ini kembali kepada pemirsa. Biarpun dia salah lirik, not, kalau sudah jadi pilihan bagi pemilihnya nggak masalah. Dia punya pesona tersendiri menarik dukungan penggemar. Itu kelebihan Fatin. Suara dia asyik banget," puji Novita lagi.

Novita Dewi paham betul kriteria yang ditetapkan dalam X-Factor Indonesia. Dirinya menerima dengan ikhlas kemenangan Fatin. Mengenai kemenangan yang telah diraih Fatin meski sempat lupa lirik beberapa kali, Novita menyerahkan penilaian itu pada masyarakat.

Soal selera penggemar tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas suara. Dulu, ketika masih sekolah di Pematangsiantar hingga akhir 1978, saya tidak suka suara Ebiet G Ade.

Saya menyukai Koes Plus, Panbers, Eddy Silitonga, Bob Tutupoly. Saya malah tak pernah mengetahui seorang penyanyi bernama Ebiet G Ade.

Padahal, di Jakarta Ebiet sedang ngetop. Setelah pindah SMA ke Jakarta, saya mulai mendengar lagu Ebiet. Awalnya sangat aneh dan asing di telinga. Kalau disuruh memilih saat itu, pasti saya tidak memilih Ebiet. Lagunya yang aneh di telinga saya, Camelia, Berita Kepada Kawan, tak pernah saya dengar sebelumnya.

Tapi, teman-teman di sekolah, radio dan televise setiap hari menyiarkan lagu itu. Syair-syairnya yang memiliki pesan kuat tentang alam, kehidupan dan cinta, menambah pesona Ebiet G Ade dan menjadi salah satu penyanyi idola. Suaranya yang aneh itu, lama kelamaan jadi terbiasa. Telinga saya makin akrab dengan lagu Ebiet dan menyukai lagu-lagunya hingga sekarang.  

Kalau Ebiet diadu pada perlombaan Lagu Pop, barangkali tidak akan pernah mampu menyaingi kemampuan suara Eddy Silitonga apalagi Bob Tutupoly yang sering menjuarai lomba menyanyi. Pilihan seorang pemirsa kepada Fatin, tentu tidak serta merta mengharuskan kualitas suaranya mirip atau melebihi kualitas suara Novita Dewi.

Bahkan Ahmad Dhani beberapa menit sebelum pengumuman, ketika diminta ramalannya mengatakan: “Pemenangnya adalah Fatin”. Sementara Anggun C Sasmi mengatakan: “Pemenangnya adalah Novita”. Dua juri yang sama-sama mengenal penampilan seorang penyanyi dan prestasi luar biasa dalam tarik suara saja berbeda penilaian.

Komentar Novita Dewi di acara Hitam Putih Trans-7 mengajarkan kita untuk menghargai pilihan orang lain. Kita tidak bisa memaksakan selera pemirsa yang mendorong mereka memilih sesuai selera kita. Kita harus menghormati pemenangnya, walau menurut kita tidak pantas. Menurut orang lain itu pantas-pantas saja.  

Sekali lagi, kita harus menghormati pemenang. Dewi sendiri menilai Fatin memiliki pesona dan suaranya asyik banget. Dhani bilang: “Saya belum pernah melihat penyanyi seperti Fatin”. Artinya, Fatin punya daya tarik yang khas dan menarik bagi pemilih Indonesia, dan Novita kalah dalam hal ini. Bisa jadi dia memiliki suara yang bagus, tetapi penggemarnya lebih sedikit. 

Fatin memiliki pesona bagi pemilihnya dan menjadi kekuatan dirinya menggerakkan pemirsa untuk memilihnya.

Soal ke depannya, di luar panggung, mungkin Fatin lebih disukai, atau nantinya tidak sesukses Novita, itu masalah  lain. Mungkin juga Novita tidak sesukses Fatin. Siapa yang bisa meramalkan Ebiet G Ade yang dulunya bersuara aneh di telinga saya, bisa menyamai bahkan melebihi sukses Eddy Silitonga yang memenangi berbagai kejuaraan?

Di atas panggung X-Faktor, Fatin sudah menjadi pemenang, karena meraih jumlah SMS yang masuk lebih besar dari Novita. Hak para penggemar Novita protes. Tapi, satu hal yang mereka sering tidak sadar, dan tak mau paham adalah dasar pemilihan. Kebanyakan melancarkan cercaan karena menilai kualitas suara Novitas lebih baik dari Fatin.

Padahal X-Faktor, tidak menilai pemenang dari kualitas suara, tetapi keberhasilan seseoang membuat pemirsa terpesona, tergerak untuk mengirim SMS.

Itulah X-Factor Indonesia. Menyerahkan penilaian pada pemilih bebas. Suka atau tidak suka, itulah perlombaan yang banyak menyedot penonton. Mungkin para penggemar Novita, sama seperti saya dulu menilai Ebiet G Ade. Saya awalnya tidak mempertimbangkan Ebiet G Ade. Selera saya dan selera daerah lain juga berbeda. Di daerah lain dia begitu digemari.

Menghormati pemenang akan membuat diri kita makin dewasa. Pemenangnya memiliki rasa kebanggaan dan menambah percaya diri. Selain itu, penyelenggaranya tidak merasa terlecehkan.

Bukan hanya dalam tarik suara, menuju Pemilu dan Pilpres 2014, bangsa ini perlu memahami pentingnya menghormati pemenang!. Tak guna kita membuang-buang waktu mendiskusikan hal-hal di luar kriteria yang telah ditetapkan. Siapapun pemenangnya, kita harus hormati!.  

Penulis adalah kolumnis, tinggal di Medan.