My 500 Words

Rabu, 30 April 2014

Blog: Menyimpan Sekaligus Menebar Gagasan

Oleh: Jannerson Girsang


Blog adalah media yang sangat bagus untuk  mendokumentasikan sekaligus menebar hasil karya tulis, gagasan dan ide kita. Dia tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Tanpa mengeluarkan dana sepeserpun, ide-ide dan gagasan tersebar ke seluruh dunia.

Lima tahun menjadi blogger, saya telah menyimpan lebih dari 300 artikel, tanpa takut kena banjir, terbakar, digigit tikus, atau hilang.  Artikel-artikel tersebut tersimpan dengan baik dan aman, mudah digandakan atau dikopi, saat menulis kembali ide-ide yang berkembang, terpublikasi 24 jam dan dibaca puluhan ribu orang dari seluruh dunia.

Sebelum internet hadir, saya menyimpan artikel-artikel bentuk kliping. Bisa rusak karena lapuk, digigit tikus, kena banjir. Hanya dibaca secara terbatas, puluhan atau ratusan orang.

Membaca di blog lebih mudah dan praktis dibanding kita membaca kliping, apalagi jumlahnya sudah ratusan.

Sekitar 300 artikel yang saya simpan sejak lima tahun lalu telah dinikmati sekitar 40-an ribu pengunjung dan membuka lebih dari 65 ribu halaman (pageviews). Sebuah artikel ada yang dibaca hampir 3000 kali dan akan terus dibaca. Pembacanya berasal dari  91 negara.

Selain itu puluhan website atau blog yang lain juga mempublikasikan artikel-artikel yang berasal dari blog ini. Media cetak kadang mengutip berita yang menarik dari blog untuk dibaca lebih banyak orang.

Jangan biarkan artikel-artikel Anda berserakan di mana-mana. Simpanlah di blog. 

Anda bisa menilai artikel-artikel Anda yang paling banyak dibaca orang dan menulis topik-topik serupa. 

Dari seluruh artikel di blog ini, ada empat artikel yang paling banyak dibaca, di atas 2000 kali (1 Mei 2014). 

Dari sinilah saya belajar, menulis artikel sejenis, yang diminati pembaca.   


1. Menyimak Prestasi Andrea Hirata (Pernah dimuat Harian Analisa, 26 Nopember 2010). Dibaca  2803 kali.

http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/11/menyimak-prestasi-andrea-hirata.html

2. Selamat Jalan SK Trimurti. Pernah dimuat di Harian Analisa, Mei 2008. Dibaca 2273 kali

http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/03/selamat-jalan-sk-trimurti.html

3. Belajar Biografi Para Penulis Terkenal Dunia. Dibaca 2052 kali
http://harangan-sitora.blogspot.com/2010/01/belajar-biografi-para-penulis-terkenal.html

4. Anda Mau Membuat Otobiografi Sendiri?. Dibaca 2007 kali.

http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/10/anda-ingin-membuat-otobiografi-sendiri.html

Mulailah menyimpan artikel-artikel Anda dalam blog. Gratis dan simple pemeliharaannya.

Pengalaman saya selama lima tahun ini  menunjukkan, blog membuktikan kehebatannya menyebarkan ide dan gagasan.

Andaikan satu juta, dua juta blogger Indonesia dengan serius menebar ratusan bahkan ribuan gagasan dan ide menginspirasi bagi bangsa dan dunia ini, niscaya negeri kita akan dikenal sebagai negeri yang damai, cinta sesama, tidak saling menyakiti. 

Selasa, 29 April 2014

In Memoriam Idris Sardi (1938-2014): Si Biola Maut, Sang Inspirator (Harian Analisa 29 April 2014)

Oleh: Jannerson Girsang.

Dunia musik Indonesia, penggemar Idris Sardi berduka. Maestro biola Indonesia itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Senin, 28 April 2014, pukul 07.25. Kita tidak bisa lagi menyaksikannya pesonanya beraksi  memainkan biolanya melantunkan lagu-lagu pahlawan, lagu-lagu romantik yang menyentuh dan melembutkan hati, kita tidak lagi menikmati karya-karya barunya.

“Tiada lagi kata mesra, tiada lagi gelak tawa” sebuah cuplikan lagu Christina karya Idris Sardi melukiskan kepergiannya, kesedihan karena kehilangan seorang idola.

Pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1938 ini menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Meilia, Cibubur, Jakarta.  Berita kematiannya dengan cepat beredar di berbagai media sekitar pukul 08.00 pagi.  Televisi, mediaonline secara serentak memberitakan kabar duka itu.

Idris Sardi begitu istimewa di hati bangsa ini. Dia dikenal sebagai maestro biola. Selain dikenal sebagai pemain biola, dia juga adalah seorang komponis dan illustrator musik film yang memenangi 10 Piala Citra. Penghargaan tertinggi atas aktor-aktris  film terbaik Indonesia.

Dengan biolanya ayah Lukman Sardi, Santi Sardi, Ajeng Sardi ini memainkan lagu-lagu nasional dan lagu-lagu romantik. Rasa sebuah lagu begitu berbeda, ketika gesekan biolanya mengalunkan sebuah lagu. Gesekan biolanya banyak memainkan lagu-lagu perjuangan yang begitu melekat di hati bangsa ini. Dia acapkali memainkan lagu-lagu perjuangan “Gugur Pahlawan”, atau lagu-lagu lain.

Ciri keindonesiaannya dan rasa nasionalisnya yang tinggi. Produk suara dari gesekan biola Idris Sardi begitu dekat di hati dan menginspirasi bangsa ini mencintai biola.   

“Anak ajaib” itu, adalah pemusik luar biasa, sang inspirator yang “tenar” dan terus “laris manis” sepanjang usianya. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

“Saya main untuk orang lain, saya tidak pernah bisa main yang saya mau. Saya belum puas. ……..Saya ingin membahagiakan banyak orang. PR saya adalah bagaimana berkomunikasi dengan hadirin penikmat,” ujarnya seperti dikutp dalam buku 5 Langkah Mahakarya, tulisan Muhammad Musrofi.

Terinspirasi Biola dari Idris Sardi

Ratusan ribu, mungkin jutaan anak-anak muda Indonesia terinspirasi biola dari Idris Sardi. Idris Sardi yang gemar melantunkan lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu romantis pop nasional  melalui gesekan biolanya membangkitkan kebanggaan dan dekat di hati. Lagu-lagu nasional kita begitu berwibawa dan enak didengar melalui gesekan biolanya.

Saya sangat terkesan ketika menonton wawancara Idris Sardi di stasion televisi swasta TVOne. Seorang pengamen jalanan yang memainkan alat musik biola mengaku terinspirasi memainkan biola dari Idris Sardi. “Inspirator saya adalah Pak Idris Sardi,” katanya.

Usia pengamen itu 20-30 tahun dan itu terjadi di tahun 2013. Artinya, hingga akhir khayatnya, pengaruh permainan biola Idris Sardi masih mendominasi bangsa ini   Dia masih menjadi inspirator musik biola bagi generasi yang jauh di bawah usianya.

Memutar memori 30-an tahun lalu, saat masih menjadi siswa SMA 22 Jakarta akhir 1970-an, nama Idris Sardi begitu melekat  di kalangan anak muda di kota Metropolitan itu, karena permainan biolanya. Selain permainan biolanya, semasa kuliah di era 80-an, lagu Sound Track Film Christina, menjadi pembicaraan di rumah-rumah kos, di tempat kuliah maupun dalam pergaulan sehari-hari.

Saya mengenal dan mencintai suara biola dari Idris Sardi. Hingga kini bunyi biola yang saya kenal dimainkan di Indonesia adalah biola Idris Sardi. Saya suka biola, tetapi hanya biola yang dimainkan Idris Sardi. Saya tidak mengenal banyak pemain biola yang memiliki ciri khas sendiri  di negeri ini. Mungkin banyak orang seperti saya. Hanya menggambarkan betapa istimewanya biola Idris Sardi. 

Hingga akhir khayatnya, 2014, Idris Sardi masih menampilkan permainan prima. Idris Sardi dengan biolanya masih mewarnai hidup saya, terutama sejak youtube ditemukan dan menikmati musiknya melalui youtube. Bisa menyaksikan beberapa produk musik atau konsernya di berbagai tempat.

Misalnya menikmati video konsernya di Gedung Perpustakaan Nasional, Desember 2013.  

Idris Sardi selalu di hati penggemarnya hingga akhir hayatnya. Legendaris. Bahkan menurut cerita putri tertuanya Santi Sardi kepada media televisi, ayahnya yang berusia 75 tahun itu masih memiliki beberapa jadwal konser di Malaysia. Luar biasa.

Pemain biola Indonesia yang khas di hati saya adalah Idris Sardi. Bahkan ketenaran seorang pemain biola seperti Maylaffayza Wiguna, yang terkenal kepiawaiannya memainkan alat musik biola belum mampu menggaet hati seluas pengaruh gesekan biola Idris Sardi. Maylaffayza Wiguna adalah salah seorang pemain biola polesan Idris Sardi. Mungkin saya  terlalu subjektif, tapi itulah kenyataannya.

Bermain Biola Sejak Usia 6 Tahun

Idris Sardi lahir dari keluarga seniman. Ayahnya Mas Sardi adalah violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan pemusik terkenal Saiful Bachri. Ayahnya belajar musik dari para pemusik Eropa. Sang Sang ayah  mengajarnya sangat keras bermain biola. Belajar sejak pukul lima pagi, dilakoni dengan disiplin, ketekunan dan kecintaan terhadap biola itu sendiri.

Dia memulai bermain biola sejak usia 6 tahun. Setelah dipoles ayahnya selama setahun, dan kemudian dijari guru-gurunya, di usia sepuluh tahun, Idris Sardi sudah mendapat sambutan hangat dalam pemunculan pertamanya di Yogyakarta npada 1949.

Peraih penghargaan Life Time Chief Award dari RRI (2009) ini digambarkan seorang anak ajaib. Karena kehebatannya bermain musik, Idris Sardi diterima sebagai siswa Sekolah Musik Indonesia  (SMIND) di usia 14 tahun, padahal persyaratan masuk ke sekolah itu harus lulus SMP. Dia bisa duduk bersanding dalam sebuah concert yang rata-rata di atas usianya dua tahun.

Di Yogyakarta, guru biola Idris Sardi adalah  George Setet. Selain itu dia juga belajar dari musikus asing seperti Nikolai Varvolomijeff (Rusia), Hendrick Tordasi dan Frank Sabo (Hongaria), Boomer (Jerman), Keney (inggeris), Madanie Renee Tovanos (Prancis), dan Henk Te Straake (Belanda).
Ketika ayahnya meninggal pada 1954, Idris dalam usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan itu,  sebagai violis dari Orkes RRI Studio Jakarta.    

Pada 1962, Idris Sardi bersama Bing Slamet membentuk Grup Band Eka Sapta. Grup Band itu pernah dikirim Soekarno dalam missi kesenian ke Irian Jaya.

Selama kariernya di dunia musik, Idris Sardi tidak hanya bermain musik tetapi juga menggubah lagu. Sejak 1960, Idrsis Sardi menghasilkan lebih dari 300 karya, beberapa film seperti Pesta Musik La bana (1960), Bernafas dalam Lumpur (1984), Doea Tanda Mata (1985), Tjoet Nyak Dhien (1988), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1990). Idris juga sudah membuat lebih dari 130 episode sinetron.  (5 Langkah Melahirkan Mahakarya, Muhammad Musrofi). .

Beberapa lagu yang diciptakannya misalnya Christina yang dinyanyikan penyanyi Pop Indonesia Rafika Duri dan menjadi sound track film Christina (1984).

Pro Deo et Patria: Untuk Tuhan dan Indonesia

Pemimpin Orchestra TNI Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel CAJ ini lebih memilih Indonesia sebagai tempatnya berkarya. Meski banyak tawaran-tawaran dari berbagai negara agar dia mengajar atau bermain musik di sana.

“Saya masih belajar dan di sini masih butuh pelajaran, ngapain saya harus pergi ke sana (ke luar negeri)”, kata Idris Sardi. Sebuah sikap seniman yang pantas menjadi teladan dari Idris Sardi.
Menurut Idris Sardi, berkarya itu hanya untuk dua hal, untuk Tuhan dan bangsa ini, yang dalam bahasa Latin disebut Pro Deo et Patria. “Berkarya itu hanya untuk dua hal, yakni untuk Tuhan dan Indonesia” kata Idris Sardi di TVOne.

Berkarya adalah sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. “Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan talenta besar kepada saya….” Katanya.

Seniman memang butuh uang. Tetapi harus memiliki karya. “Beda karya dengan cari uang. Karya itu akan selalu diingat. Itu mungkin membuat ayah terus berkarya hingga usia tua”, ujar Lukman Sardi dalam wawancara di TVOne mendamping ayahnya.

Itulah keistimewaan pria yang menjalani kariernya lebih dari 50 tahun di dunia musik. Permainan musiknya telah mendidik negeri ini mencintai musik, khususnya biola, menghasilkan karya-karya yang bisa kita nikmati, menelurkan pemain-pemain musik, penyanyi-penyanyi baru.

Kesedihan mengantarkan Idris Sardi ke peristirahatannya yang terakhir. Kita semua bersedih, sesedih perasaannya di dalam lagu Christina ciptaan Idris Sardi. Berikut cuplikan lagu Christina mengakhiri artikel ini. 
……………………………
Di ujung malam yang kelabu
Kini embun kering di mentari pagi
Sekering Air Mata hari ini
Kubiarkan hari berlalu
Berganti hari sepi
Namun kasihmu adalah kasihku
Cintamu adalah cintaku
……………………………….
Cinta kita adalah satu, Cinta Indonesia.

Sayang, keinginanmu menggelar konser di Malaysia, keinginan bermain musik bareng dengan anak-anakmu tidak akan pernah kesampaian. Kini sang Maestro beristirahat di TPU Menteng Pulo Jakarta. Penggemarmu, orang-orang yang mencintaimu tidak lagi bisa menikmati karya-karya barumu.

Selamat Jalan Idris Sardi, terima kasih atas keteladanan serta  karya biolamu yang masih dapat kami nikmati setiap hari. Semoga muncul Idris Sardi-Idris Sardi baru di bumi pertiwi kita ini. ***

http://analisadaily.com/news/read/si-biola-maut-sang-inspirator/25698/2014/04/29

Senin, 28 April 2014

Dokter di Penang dan Medan Menyerah

Oleh: Jannerson Girsang

Sang suami menunggu istri yang hanya dibantu alat pernafasan dan infus. Lelah sudah menjalani pengobatan berbulan-bulan, bahkan hingga ke Penang.

Faktanya, tidak ada perubahan. Hingga tadi malam, nafsu makan istri hampir sirna. Susah bernafas, dan bicara. Tidak lagi mengenal orang yang datang menjenguknya.

Keluarga sudah membawanya ke rumah, karena dokter di Penang atau di Medan sudah menyerah,

Saya membayangkan dirinya kalau menerawang akan hal terburuk terjadi terhadap istrinya.

Itulah suasana yang dihadapi teman saya, Sehat Jawak tadi malam, saat menemuinya di rumahnya di daerah Lona, Medan, menjelang tengah malam (31 Maret 2014).

Tapi saya salut melihatnya tetap tegar. Padahal dia masih mengurus anak-anak yang sebagian belum berkeluarga, menjaga keutuhan keluarga yang sudah lelah merawat selama berbulan-bulan.

Yang jelas, uang berobat selama berbulan-bulan sudah menguras tabungan selama ini. Sementara pemasukan tidak seperti sediakala.

Kalau sendirian tidur tengah malam, tentu tidak bisa tidak, pasti kadang muncul suasana ngeri atau susah tidur. Saat waktu makan tiba, mungkin harus menyediakan makan sendiri. Makan tidak teratur.

Tetapi dia tampak tabah. "Saya sudah pasrah lae. Tapi kekuatan doa membuat saya mampu,"ujarnya.

Andaikata saya menghadapi situasi demikian, belum tentu juga sekuat teman saya.

Hidup tidak bisa sendiri, harus saling menopang, saling mendukung. Tuhan juga meminta kita demikian. Itulah pelajaran kita dalam hidup ini. Kita saling membutuhkan.

Saya bersyukur, dia meminta Pendeta dan rekan-reman melakukan Perjamuan Kudus (HBN) untuk istrinya, sekitar pukul 00.00. Menyerahkan istrinya--teman saya bermain di masa kecil, yang sedang sakit parah. Berserah kepada Tuhan, situasi sulit yang sedang di depan mata.

Itulah tindakan yang tepat, saat kita tidak memiliki apa-apa lagi, saat kita buntu melakukan tindakan. Mungkin akan ada inspirasi baru sesudah itu.

Suasana-suasana seperti ini, merupakan pelajaran berharga bagi saya, mungkin juga bagi kita semua, kalau suatu ketika menghadapi masalah yang sama.

Berkali-kali saya menjenguk orang sakit, melihat situasi di sekitarnya, menjadikannya infus rohani yang saling menguatkan.

Setegar-tegarnya kita sekarang ini akan menghadapi masalah yang hampir sama. Kita membutuhkan pertolongan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi perhatian.

Saya salut melihatnya tetap tegar dan anak-anaknya dengan segala kemampuan masing-masing mendukungnya setiap saat.

Salut melihat keluarga muda Sy Enni Jawak--putri tertua mereka yang sejak muda sudah sangat aktif mengajar anak-anak, membina pemuda, dan suaminya Hendra Sipayung yang semasa mudanya adalah aktivis pemuda.

Mereka adalah contoh anak Tuhan yang dengan tulus memberi kasih sayang kepada orang tuanya, memberi kekuatan baru bagi ayahnya yang sedang susah.

Semoga doa-doa kami diterima, keluarga tetap tabah dan senantiasa bersukacita dalam Tuhan.

Ketika semuanya sudah hilang, dokter sudah menyerah, maka jangan takut.

Masih ada kekuatan lain yang setiap saat bersedia menolong kita. Jangan melupakan kekuatan itu ketika kita masih segar bugar, bukan hanya ketika suasana kita lemah.

Latihan rohani diperlukan setiap hari, setiap saat. Karena setiap saat situasi demikian bisa menimpa kita juga.

Eni Ramayanti JAwak, Patricia Girsang, Clara Girsang, Devee Girsang, Hendra Tasmanda

Note: Akhirnya Usmirita br Purba, meninggal di Rumah Sakit Adam Malik, 2 April 2014 malam. Selamat jalan boto.

Semoga laeku Sehat Jawak dan semua anak-anak tabah menghadapi situasi sedih ini. Saya hanya sempat menyalami kalian sesudah botoku di Ambulance dan sudah dalam perjalanan keluar dari gerbang RS Adam Malik, pukul 20.45.

Sedih melihat anak-anakmu, menantumu, laeku yang sudah berbulan-bulan tidak tenang menghadapi penyakitmu boto.

Saya belum melihat wajahmu yang sudah tenang, matamu yang tak berkedip, tidak lagi mengeluh kesakitan seperti malam terakhir saya menemuimu. Tidak ada lagi emosimu seperti malam terakhir menyambutku kalau saya datang nanti menemuimu. Ingat wajah lugumu saat kita bermain puluhan tahun yang lalu.

Malam ini kau akhiri semuanya. Kau meninggalkan kami menjelang minggu tenang Pileg 2014. Kau tidak sudi melihat para caleg yang akan kita pilih. Mungkin kau benci karena banyak money politik.

Selamat jalan temanku, selamat meninggalkan dunia yang penuh tipi daya ini. Tenanglah bersama Tuhan sang Penciptamu di tempat terbaik yang diberikanNya.


Rita akhirnya dikebumikan 4 April 2014 di desa Rakutbesi, 110 km sebelah Selatan Medan. Saya bersama teman-teman gereja menghadiri acara penghormatan terakhir temanku itu.  

Guru Besar dengan Satu Artikel Per Hari

Oleh: Jannerson Girsang

Seorang guru besar Universitas Islam Negeri Malang, secara disiplin menulis satu artikel ke websitenya, setiap usai sembahyang subuh.

Kini websitenya berisi lebih dari 2000 artikel, dan artikel terakhirnya, 26 Maret 2014 berjudul: Memilih Pemimpin Terbaik.

Atas ketekunannya, Prof Dr Imam Suprayogo, sang profesor itu, dianugerahi Muri Indonesia, karena "Konsistensi Menulis Satu Artikel setiap Hari tanpa Jeda".

Sibuk dengan berjibun tugas sebagai guru besar dan rektor sebuah perguruan tinggi, tidak menjadi alasan bagi sang Professor untuk tidak menulis setiap hari.

Mungkin, setelah menulis beliau merasa damai di hatinya.

Hayo, damaikan hati Anda dengan tulisan sederhana. Bagaimana kita?

Rinto Tampubolon, Roy Martin Simamora, Maruntung Sihombing, Rindu Rumapea, Eka Handayani Ginting, Eka Azwin Lubis, Zahrani Rara, Jan Roi Purba, Zudika Manullang, Kartini Zalukhu, Noverlist Chandra, Onlyhu Ndraha, Iman Lase, Irwanto Hulu, Desty Hulu, Yason Hulu, Irma Sally Tampubolon dan teman-teman lainnya.

Salut buat suhu kita Posman Sibuea, Albiner Siagian, guru besar yang sangat sibuk dan tapi tak lupa menulis di media cetak dan menulis buku, Guru Etos Jansen Sinamo yang terus memproduksi buku, di tengah kesibukannya mencerdaskan bangsa ini, dan saat ini sedang memasarkan buku barunya, abang kita Budi Hutasuhut yang menghibur dan membuka mata kita bulan ini dengan cerpennya: Menuju Jalan Bahagia di majalah Horison, Liven Riawaty, Lim Rosni dengan cerpen-cerpen dan buku-bukunya yang menginspirasi kita, Lea Willsen penulis berhati baja, lae Fadmin Malau Malau, penulis artikel yang sangat produktif, Lucya Chriz yang mengasilkan Novel Amang Parsinuan, kisah lokal yang luar biasa.


26 Maret 2014

Membungkus Tubuh dengan Plastik, Menghancurkan Lemak

Oleh: Jannerson Girsang

Beberapa ratus meter menjelang tiba di rumah, sepulang dari jalan pagi, hari ini, saya bertemu seorang pria berusia mungkin sekitar 55-60 tahun. Dia duduk di atas dinding jembatan.

"Kenapa badannya dibungkus Pak?" ujar saya heran. Badannya dibungkus dengan jaket plastik, hingga kepala.

"Supaya keringat dan lemak di badan hancur,"katanya senyum dan yakin akan apa yang dilakukannya.

"Buka aja Pak, biar dapat sinar matahari pagi,"saran saya.

Kebetulan sinar matahari pagi sedang terik-teriknya, dan menurut pelajaran IPA di SD dulu, guru saya bilang itu bagus untuk menguatkan tulang.

Saya berlalu dengan heran, meninggalkan bapak itu berkeringat, menikmati bungkusan jaket plastiknya.

Keringat yang keluar dengan membungkus badan dengan plastik dapat menghancurkan lemak (?).

Saya bukan ahli kesehatan. Mudah-mudahan orang tua itu benar. Jangan-jangan inilah filosofi OUKUP yang marak di Medan.

Tapi saya tetap yakin, melakukan jalan kaki 4.3 kilometer (sekitar 1 jam) sehari lebih sehat.

Medan 28 April 2014

Jalan Hidup

Oleh: Jannerson Girsang

Kemanakah Anda hari Minggu?.

Orang Kristen diwajibkan ke gereja pada hari Minggu. Itulah jalan yang harus dijalaninya hari ini.

Orang yang melaksanakannya berarti tau jalan yang harus ditempuhnya. Dia paham bahwa di sana ada sukacita berlimpah-limpah. Karena itulah janji bagi orang yang melakukannya.

Banyak orang yang menjalani jalan yang dipilihnya, tetapi tidak bersuka cita. Padahal, jalan itu menjanjikan sukacita.

Seringkali kita lupa rambu-rambunya. Tidak asal berjalan, tidak asal ke gereja.

Ke gereja memakai perhiasan yang "menyolok" akan membuat perasaan orang lain iri dan tidak nyaman.

Anda memarkir kenderaan di jalan di depan gereja membuat macet dan mengganggu orang lain lewat, itu bukan cara yang benar.

Anda ribut ketika pendeta menyampaikan khotbah itu bukan cara yang benar.

Mengikuti kebaktian hanya melihat kesalahan jalannya kebaktian, model pakaian orang, cara berpakaian orang yang salah, akan memberi Anda "dukacita", bukan suka cita.

Tampil melayani hanya supaya mendapat pujian, bukan juga cara yang benar.

Itu hanya sebagian kecil contoh rambu-rambu yang dipatuhi ketika orang melakukan kebaktian di gereja.

Salah satu contoh kecil sebuah jalan hidup. Di sana ada rambu-rambu, mana yang ditempuh, mana rambu-rambu yang harus dipatuhi.

Semua dimaksudkan untuk membahagiakan Anda yang melakukannya dan orang lain yang menyaksikannya. Kehadiran kita memberi manfaat bagi orang lain. Pergi tampak punggung, datang tampak muka. Anda bukan hanya "penerima", tetapi juga "pemberi". Anda menjadi bagian yang diperhitungkan, dirindukan.

Kenalilah kebiasaan yang membuat Anda merasa dibutuhkan dan pupuklah kebiasaan itu. Gunakan dan latihlah cara itu, sehingga Anda semakin bersuka cita dan banyak orang merasakan sukacita Anda.

"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, dihadapanMu ada suka cita berlimpah-limpah, di tangan kananMu ada nikmat senantiasa. Mazmur 16:11".

Anda bebas memilih jalan yang Anda tempuh hari ini. Hanya dua kemungkinan hasilnya: mendapatkan suka cita baru yang berlimpah atau menuai tambahan duka cita lama yang berkepanjangan.


27 April 2014

Malam Minggu Memasuki Usia 54

Oleh: Jannerson Girsang

Malam Minggu!
.
Istriku baru saja lewat mejaku menuju tempat cuci membawa piring kotor bekas makanan kami barusan. Terdengar suara air dan gesekan busa cuci-piring-sabun Sun Light. Sekali-sekali terdengar bunyi kertakan, karena ada piring jatuh, atau bergesek.

Kembali berdua, meski sudah punya empat orang anak. Semua anak-anak tinggal di luar kota Medan. Sudah tiga tahun rumah sepi dengan anak-anak.

Saya membayangkan malam minggu anak-anak yang sudah menikah, yang lajang. Pasti berbeda-beda. Malam minggu kami sebelum menikah dulu juga berbeda.

Malam ini kami baru saja selesai makan kecil (karena sebentar lagi ada undangan makan dari teman).

KDI baru saja dinikmati. Kini tidak ada musik, tidak ada suara di rumah. TV sudah dimatikan barusan. Saya menulis dan istri mencuci piring.

Rumah senyap......sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Kita keluar yuk," kata saya barusan.

"Akh bentar lagi aja, satu jam lagi kita berangkat," ujar istri.

Menunggu satu jam, aku buat aja artikel ini, mana tau suatu ketika berguna.

Membayangkan malam Minggu di masa muda, rasanya Malam Minggu di masa tua ini kurang gregetnya. Tak banyak sensasi.

Kegiatan kebanyakan pergi berdua ke rumah keluarga atau teman, ke gereja atau menghadiri rapat, atau menulis saja.

Memutar memori malam minggu ke era 80-an. Sore hari, sepulang praktikum, saya berangkat dari Bogor ke Jakarta. Menumpang bus lewat Jagorawi dengan tiket langganan.

Macet menjelang Jakarta. Merambat hingga terminal Cililitan (Sekarang PGCC).

Sampai di rumah "mantan pacar" di Kramat Jati, Jakarta, istirahat sebentar, langsung menuju Ancol. Naik bus juga!. Tak ada AC, penuh sesak, tapi nyaman, karena CINTA.

Ancol, pantai indah dengan jejeran pohon kelapa dan lampu-lampu yang redup dan membuat suasana sedikit remang.

Deburan ombak Teluk Jakarta serta angin laut yang terasa asin di pipi, membuat kenangan tak terlupakan. Dingin, tapi terasa hangat, miskin tapi terasa kaya.

Menikmati suasana malam Minggu yang sangat romantis selama berjam-jam.

Pulang tengah malam. Almarhum mertua batuk-batuk!

Bogor juga merupakan tempat yang sangat indah dan sejuk dan romantis untuk pasangan kami dulu.

Malam Minggu di masa muda, memang sungguh indah. Rasanya seminggu berlangsung begitu lambat. Kini, malam minggu seperti itu tak akan terulang lagi.

Satu hal yang tidak berubah, aku dan mantan pacarku (istri) tetap bersama di Malam Minggu malam ini.

Bercanda dengan teman-teman, dan mempersiapkan diri untuk kebaktian Minggu esok pagi, dan tugas-tugas gereja di siang hingga sore hari.

Tak ada sensasi, tetapi tetap bahagia. Hampa kemewahan tetapi tetap bersahaja.

Bentar lagi, kami akan keluar berdua.....kembali berdua. Tanpa anak-anak.

Mudah-mudahan Malam Minggu kali ini berkesan. Selamat Malam Minggu teman-teman. Apapun keluhan Anda tadi siang, buatlah malam ini bahagia bersama pasangan, teman Anda!

Medan 26 April 2014.

Wisuda, Kasih Sayang, Syukuran dan Tamasya

Oleh: Jannerson Girsang

Pulang dari menghadiri wisuda Universitas HKBP Nommensen (UHN) di Gedung Serba Guna Pemprovsu, Jalan Pancing Medan, sebuah gedung baru milik Pemprovsu yang mampu menampung 15-20 ribu pengunjung.

Saya sangat terkesan dengan pemandangan menarik usai wisuda gelombang pertama UHN yang melepas 647 orang terdiri dari S2. S1 dan D3 dan dihadiri Sekjen HKBP, Pdt Mori Sihombing dan para undangan lainnya.

Saat mau pulang, di samping gedung, seorang ibu sedang menyuapi putrinya--yang masih berpakaian wisuda. Bersama anggota keluarga yang lain, mereka duduk santai di atas tikar, tak peduli orang lalu lalang di samping mereka.

Sang ibu menyuapi putrinya dan sang putri menikmati betul kasih sayang ibunya, seperti seorang bayi kecil. Sebuah pemandangan wujud kasih sayang yang tulus, ungkapan kebahagiaan sang ibu di hari bersejarah. Mereka telah menyelesaikan tanggungjawabnya setahap.

Mungkin selama ini dia kos, dan melepas rindu suapan sang ibu, khususnya di hari bersejarah ini. "Ibu, oh ibu,kasihmu sungguh tak tergantikan. Meskipun aku sudah sarjana, aku rindu suapan tangan lembutmu yang tak tergantikan oleh siapapun"

Mereka, keluarga yang berasal dari luar kota Medan, menggelar tikar bersama keluarga, beberapa adik dan kakak sang wisudawan turut serta. Semuanya pada senang, makan ala kadarnya, serasa dunia seluas tikar itu milik mereka.

Keluarga ini adalah keluarga sederhana. Mereka membawa makanan dalam rantang dari kampung. Hanya pindah makan siang di tempat yang gratis pula. Tidak usah melakukan syukuran ke restoran yang mahal.

Wisuda sambil tamasya, dan menikmati kebahagiaan. Adik-adik dan saudaranya, mungkin selama ini tidak pernah melihat gedung megah dan kota metropolitan Medan, hari ini mereka menikmatinya.

"Ma, nanti kita singgah ke Carfour ya. Kan dari kampung sudah janji" ujar seorang adiknya, dengan mulut penuh makanan. Mungkin sesudah makan mereka akan jalan-jalan, melihat kota.


Bahagianya mereka. Tidak seperti Caleg yang namanya timbul tenggelam di koran. Jantungan!. Hari ini diberitakan lolos, besoknya tidak muncul lagi! Padahal, sudah merayakannya di keluarga.

Keluarga ini mensyukuri berkat dengan kesederhanaan Merayakan hasil yang sudah pasti, menikmati keberadaannya, dan melakoninya dengan hati yang tulus.

Semoga sang putri cepat dapat pekerjaan dan bisa memberi kebahagiaan baru bagi keluarga sederhana ini. 


26 April 2014 

Orang Termiskin di Dunia

Oleh: Jannerson Girsang

Suatu ketika di sebuah kedai kopi di daerah Perumnas Simalingkar seorang Bapak dari kampung terlibat pembicaraan dengan seorang tukang becak yang baik hati.

Ternyata, mereka sudah pernah bertemu. Tukang becak itulah yang mengantarkannya ke rumah anaknya.

"Bapak kaya sekali ya,"ujar si Bapak berkelakar, dan membuat tukang becak itu terkejut.

"Bapak ini kok ngeledek saya. Saya cuma punya satu becak. Tahun depan sudah masuk kandang dan minta ganti" ujar tukang becak balik bertanya.

"Ya, tapi bapak sudah melayani banyak orang. bapak baik hati. Ribuan orang sudah menikmatinya"

"Yang kaya itu adalah mereka bagi-bagi duit waktu Caleg. Mobilnya banyak, uangnya banyak, rumah dan tanah punya dimana-mana".

"Mereka hanya punya uang, mobil, punya banyak rumah. Tapi selain itu mereka tidak punya apa-apa".

"Oh...begitu ya...". Tukang becak terdiam.

"Kalau sebelum mencaleg mereka ramah, suka memberi uang, setelah itu, datang ke kedai inipun tak mau lagi".

"Akh....saya narik dulu lae" kata tukang becak sambil mengambil handuk penyapu keringatnya menuju becak yang diparkir di depan kedai.

Dia merenungkan kembali percakapan mereka barusan.

"Orang termiskin itu, hanya punya uang, tanah, rumah, mobil. Selain itu dia tidak punya apa-apa". 


"Apa semua Caleg seperti itu?. Tidak juga akh!."

Medan 25 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Rumah dalam Sengketa

Oleh: Jannerson Girsang

“Peace begins with a smile..” (Mother Teresa)

Pagi ini, saat jalan pagi menempuh jarak 4.3 kilometer di Perumnas Simalingkar, di depan dua atau tiga rumah saya membaca "spanduk" yang terbuat dari kayu atau karton: 'RUMAH INI DALAM SENGKETA".

Artinya, pemiliknya sedang "tidak damai". Saya sudah melihatnya beberapa hari sebelumnya. Tetapi, hingga pagi ini, keadaannya tidak berubah. Pemiliknya semua larut dalam kebenciannya masing-masing.

Kata Mother Theresia damai dimulai dari senyum. Mengeluarkan senyum kepada orang yang dibenci, memang bukan pekerjaan mudah. Padahal, itulah pintu masuk perdamaian.

“Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.” (Martin Luther King Jr).

Orang yang hidup dalam kegelapan, tidak bisa membebaskan orang dari kegelapan, hanya "terang" yang dapat melakukannya. Orang yang memilki rasa kebencian tidak bisa membebaskan  orang dari kebencian. Hanya kasih yang dapat melakukannya.

Kasih, cinta, itulah yang dapat menciptakan damai, membebaskan orang dari sengketa.Pengadilan?. Kalau boleh dihindari. Karena hasilnya, "Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu"

Semoga malam ini semuanya sadar dan memandang manfaat yang lebih besar. Berdamai itu datang dari hati yang tulus, saling memaafkan.

Semoga para pemilik rumah-rumah sengketa itu mampu memulai senyum di pagi hari esok, dan spanduk bertuliskan "RUMAH INI DALAM SENGKETA" tidak kutemui lagi.  .

Perlu waktu (tapi jangan lama-lama) bagi setiap orang untuk menemukan damai di hati. Perenungan, aksi, perenungan aksi. “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.” (Albert Einstein). Perdamaian tidak bisa dipaksakan, karena perdamaian hanya dapat dicapai melalui saling pengertian.

Medan, 23 April 2014