My 500 Words

Selasa, 22 Juli 2014

Padi dan Ilalang

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini, saya kembali tertarik membaca bahan ini, sebuah perumpamaan yang sangat populer dalam Kitab Perjanjian Baru, yakni Perumpaan Padi dan Ilalang.

Saya suka saja dan sering muncul di hati!. Saya bersyukur, pagi ini menemukan karya seorang penulis terkenal, Richard TGR. Dia menjelaskannya lebih baik dari yang saya tau sebelumnya. Mengingatkan saya kembali!.

Mungkin berguna bagi Anda juga!, Kalau tidak bermanfaat, jangan lanjutkan membacanya!

"Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi". (Bacaan : Matius 13 : 36 – 43)

Menumbuhkan yang baik butuh usaha besar, tetapi menumbuhkan hal-hal negatif, mencelakakan yang lain, sangat mudah, bahkan tanpa usaha.

Tahukah Anda perbedaan menanam padi dan ilalang atau lalang?

Kalau kita menanam padi, kita harus memperhatikan pertumbuhannya mulai dari menanam benih, kemudian perawatan selama bertumbuh sampai kemudian berbuah.

Kita harus rutin memberikan pupuk, memberikan air yang cukup, dan menjaga padi kita saat mulai menguning agar tidak di makan burung dengan menggunakan orang-orangan sawah.

Kita harus menunggu beberapa bulan untuk mendapatkan bulir-bulir padi terbaik dan siap menanggung resiko kerugian akibat bencana banjir atau serangan hama.

Bertolak belakang dengan menanam padi, untuk menumbuhkan lalang kita tak perlu menaburkan benih dan merawatnya.

Lalang tumbuh dengan luar biasa cepat tanpa perlu perawatan, namun lalang bukanlah tumbuhan yang berguna. Lalang hanyalah menjadi tumbuhan penganggu sehingga pasti dibabat dan kemudian di bakar.

Sama seperti lalang dan padi, kebiasaan-kebiasaan kita yang positif dan negatif sangat tergantung dari bagaimana cara kita menumbuhkannya.

Untuk memiliki kebiasaan baik kita membutuhkan waktu yang lama dan perawatan yang tak mudah, namun untuk memiliki kebiasaan buruk kita hanya membutuhkan waktu singkat dan tak perlu perawatan.

Contoh sederhananya adalah kebiasaan bangun pukul lima pagi. Kita butuh penyangkalan diri yang luar biasa kalau biasanya asal-asalan bangun. Setiap hari kita harus rela mendisiplin diri untuk tetap bangun kemudian melakukan aktifitas yang produktif.

Untuk malas-malasan, kita tak perlu menyangkal diri. Namun, efeknya kita tidak menjadi produktif sehingga merugikan Tuhan, diri sendiri dan orang lain.

Hari ini bagaimana dengan Anda? Kebiasaan seperti apa yang Anda tabur dalam hidup Anda?

Apa yang Anda tabur, itulah yang kelak Anda tuai.

Kalau kita menabur dan merawat benih-benih berkualitas seperti disiplin, kerja cerdas, sabar, bersahabat atau jujur, kebaikan hidup yang akan kita tuai.

Kalau kita biarkan benih kebiasaan buruk tumbuh seperti malas-malasan, iri hati, atau memendam amarah, dukacitalah yang akan kita tuai kelak.

Mari kita tanam dan rawat benih-benih kebaikan sehingga kebaikan pula yang akan kita tuai kelak.

(Richard T.G.R, Dikutip dari Renungan Breaktrough).


Medan, 16 Juli 2014

Selamat Menikmati Luka

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini, saya membaca status temanku yang baik Remon Pakpahan, mantan teman se kantor di Perusahaan Telekomunikasi, PRAMINDO--joint venture France Telecom dan Astra International. Dia kini bekerja di perusahaan lain dan tinggal di Jakarta..

Dia menulis tentang filosofi pohon karet. Dilukai, tetapi malah mengeluarkan getah yang berharga. Tulisan singkatnya menginspirasi saya menuliskan artikel ini. Terima kasih lae Remon!

Setiap kali bepergian ke Siantar dari Medan, saya melintasi perkebunan karet Good Year, seluas 17,000 hektar.

Good Year--sebuah perusahaan perkebunan asal Amerika itu, tidak akan membangun perkebunan karet seluas itu, seandainya pohon karet--tanaman hutan, tidak tahan dilukai.

Perkebunan besar ini ternyata menyimpan pelajaran penting bagi saya sendiri, tentang arti sebuah luka!.

Tanpa getah, karet hanya bernilai pohon. Paling-paling bisa dijadikan kayu api, atau lebih kerennya, sebagai perabot.

Pohon Karet menjadi sangat terkenal, karena setiap hari kulitnya dilukai untuk mendapatkan getah. Getahnya dapat digunakan untuk berbagai keperluan umat manusia. Yang paling banyak kita saksikan digunakan untuk ban kenderaan,

Seluruh dunia akhirnya tau, manfaat karet dan setiap hari tidak bisa telepas dari bahan yang terbuat dari karet. Penduduk dunia sangat tergantung kepada karet, yang setiap hari terluka. Mereka berguna karena tahan dilukai.

Saling mendukung dan menyayangi, itu baik. Tetapi jangan salah. Meskipun kadang kita terluka oleh seseorang, jangan langsung menilai jelek, dan memusuhinya. Sebab, mereka adalah tangan Tuhan menguji ketahanan mental kita.

"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?"

Makian, cercaan, bahkan ancaman dalam sejarah umat manusia, bukan sesuatu yang pernah membuat manusia punah.

Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, terluka selama 27 tahun di penjara. Beliau mendoakan para sipir penjara yang pernah menyiksanya, bahkan mengencinginya.

Dalam sejarah umat manusia, mereka yang tahan terluka, menjadi orang besar, menjadi pemimpin besar. Dilukai adalah kodrat manusia yang ingin berbuat baik, dan menghasilkan sesuatu yang baik. Tak ada pemimpin besar, tanpa mengalami luka, tahan dan mampu menyembuhkan sendiri luka-luka yang dialaminya!

Mereka, para pemimpin besar umumnya memaknai mereka yang melukai dirinya sebagai "guru" yang baik bagi ketahanan mentalnya.

Maka, sikap kita, "Ketika dimaki, memberkati; ketika dianiaya, sabar; ketika difitnah, menjawab dengan ramah," tulis teman saya Remon di Facebooknya hari ini..

Menutup artikel ini, sebuah surat untuk Prabowo mengingatkan saya akan filosofi karet. Kita beruntung kalau seseorang melukai kita, ketika kita melakukan sesuatu dengan niat yang baik dan benar.

"Pak Bowo yang saya hormati, saya melihat ujian yang anda berikan kepada presiden saya adalah ujian yang terbaik untuk menjadikan presiden pilihan saya siap memimpin indonesia, ujian yang terbaik untuk kami pendukung bapak Joko Widodo mengerti arti kerja sama dan gotong royong memberikan perlawanan terhadap ujian bapak dan tentunya ujian terbaik untuk rakyat indonesia secara keseluruhan mengerti arti kata persatuan Indonesia" tulis salah seorang pengirim surat ke Prabowo. .

Selamat menikmati luka! .

Medan, 17 Juli 2014

Malang Tak Dapat Ditolak

Oleh: Jannerson Girsang

Manusia tak pernah mampu menghindar dari malang (kapan, bagaimana, dimana dia meninggal), dan tak pernah mampu menentukan nasib baik (kapan dia akan kaya, selamat dll).!

Beberapa media melaporkan kisah sepasang suami istri yang bertugas sebagai pramugara dan pramugari Malaysian Airline.

Suatu ketika mereka menghadapi nasib, tetapi suatu ketika juga tak bisa menghindari sial atau malang.

Dalam peristiwa jatuhnya Malaysian Airline Service (MAS) MH 17 di perbatasan Ukraina-Rusia kemaren, sang suami jadi korban

Sementara dalam peristiwa jatuhnya MAS MH 370 Maret lalu, sang istri selamat.

Sang suami tidak dalam jadwal yang seharusnya bertugas, tetapi menggantikan tugas temannya. Sementara sang istri selamat karena tugasnya digantikan orang lain.

Pramugara Malaysia bernama Sanjid Singh (41 tahun), korban kecelakaan MAS MH 17 itu seharusnya tidak bertugas di penerbangan tersebut, tetapi malang baginya dia bertukar tugas dengan seorang pramugari.

Manusia mengatakan: Nasib bagi pramugari yang digantikannya dan malang bagi Sanjid Singh.

Dalam peristiwa jatuhnya pesawat Malaysian Airline MH370, Maret lalu, istri Sanjit Singh bertukar tugas dengan temannya dan selamat dari peristiwa naas itu.

Manusia mengatakan: nasib bagi istri Sanjid dan malang bagi teman yang digantikannya.

Nasib tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak!.

Ayah Sanjit, begitu terpukul mendengar kematian anak laki-laki satu-satunya itu.

“I have undergone two heart bypasses. Our daughter waited until 4am to tell us. She dare not tell us earlier. I am 71 and she (Sanjid’s mother) is 73. We are in such a state. My whole body is shivering.

“We are heartbroken because he was our only son. What to do? What has happened, has happened,” kata ayahnya.

Manusia tak pernah mengetahui kapan dia akan beroleh nasib atau malang, hanya bisa berserah kepada yang Maha Kuasa.

Turut berduka atas pasangan ini, serta seluruh keluarga penumpang dan crew yang korban. .

Pernikahan: Siap Dillukai dan Mampu Menyembuhkan Luka

Oleh: Jannerson Girsang

18 Juli 2014, pukul 10.00. Kebaktian persiapan pernikahan (Martumpol) pasangan yang lahir 1964 dan 1966.

Tadi malam saya mengingatkan pasangan itu bahwa menikah adalah siap untuk dilukai. Kekuatan pernikahan adalah ketika kedua pasangan mampu menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari pasangannya, mampu saling mengampuni..

Tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini. Yang merasa dirinya sempurna banyak, Sehingga ada suami yang sombong kepada istrinya atau sebaliknya.

Pasangan yang awet adalah pasangan-pasangan yang sadar penuh dengan luka, dan mampu menyembuhkan lukanya sendiri, serta dari luka itu mereka belajar bertahan.

Inilah pengalaman pasangan-pasangan pernikahan yang awet. "Kocoba bertahan, mendampingi dirimu. Walau kadangkala tak seiring jalan. Kucari dan kucari jalan terbaik. Agar tiada penyesalan dan air mata," kata Pance Pondaag, dalam lagunya "Kucari Jalan Terbaik"

Ingat filosofi karet. Karet menjadi tanaman yang berbeda dari pohon yang lain, karena dia mampu terus tumbuh, walau kulitnya dilukai setiap hari.

Sama seperti karet yang dilukai kulitnya, akan mengeluarkan getah yang bermanfaat bagi umat manusia. Pernikahan yang mampu menyembuhkan luka-lukanya sendiri akan bertahan dan setia sampai akhir dan hanya dipisahkan oleh kematian. .

Pernikahan yang awet akan menjadi inspirasi bagi pernikahan yang kini banyak "terguncang". Pernikahan yang hanya mampu membayangkan mimpi, bukan kenyatan.

Jadilah pasangan-pasangan yang awet, sehingga mewariskan keluarga-keluarga sejahtera, dan kita akan mewariskan bangsa yang sejahtera. .

Medan, 18 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Lembaga Survey dan Kisah Enam Buta Menggambarkan Gajah

Oleh: Jannerson Girsang

Lembaga survey yang sengaja melakukan tafsiran yang salah dari data yang tersedia, bukan saja buta matanya, tetapi juga hatinya. Berbohong!

Yang jelas, dari sekian lembaga survey dalam Pilpres kemaren, pasti ada yang berbohong dalam menerapkan metode, proses pengumpulan data dan menarik kesimpulan.

Sayangnya, negeri ini tidak mampu mengujinya, secepat melakukan Quick Count, hingga membuat rakyat bingung!.

Hebatnya lagi, menggunakan data Quick Count, dua Capres mengklaim diri sebagai pemenang Pilpres 2014. Akibat kebutaannya, rakyat pendukung kedua Capres, ikut-ikutan saja. "Hidup Jokowi, hidup Prabowo". "Hidup Presidenku".

Wah! Untuk sementara, kita punya dua Capres mengklaim diri sebagai pemenang. Kalau Pilgub DKI, disitu Quick Count mengumumkan hasil di atas 80%, maka Poke langsung mengucapkan selamat kepada Jokowi. Demikian juga Pilpres lima tahun lalu. Quick Count diakui sebagai referensi menentukan pemenangKali ini memang beda! 


Melihat hasil survey yang dikeluarkan lembaga survey Quick Count dalam Pilpres kemaren, saya teringat cerita enam orang buta menggambarkan gajah.

Saya mengutip kisahnya dari sebuah blog. (http://resourceful-parenting.blogspot.com/2011/09/kisah-enam-orang-buta-melihat-gajah.html). Begini kisahnya.

Dahulu kala hiduplah enam orang buta. Mereka sering mendengar tentang gajah. Namun karena mereka semua belum pernah melihatnya, mereka ingin sekali tahu seperti apa gajah itu. Maka mereka beramai-ramai pergi melihat gajah.

Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”

Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”

Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”

Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”

Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”

Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya. Gajah mirip dengan tali.”

Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah.

Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri. Dia bisa mengatakan gajah itu seperti ular, karena hanya memegang ekornya. Atau gajah itu seperti meja, karena yang dipegangnya hanya punggungnya.

Di negeri ini sudah terbiasa seseorang melihat sesuatu seperti orang buta melihat gajah. Kalau orang-orang yang seperti ini masih tidak apa-apa. Mereka bisa diajar semakin pintar, karena kemampuan pengetahuan dan nalarnya yang rendah,

Orang buta salah menafsirkan gambaran gajah, karena mereka buta, kurang mampu melihat. Mereka bukan berbohong

Tetapi kalau lembaga survey berbohong menafsirkan data, maka bukan matanya yang buta, tetapi hatinya sudah buta. Mereka mampu menjelaskan hasil yang sebenarnya, tetapi karena hatinya buta, maka yang keluar adalah hasil pengamatan orang buta.

Yang susah adalah orang itu tidak buta, tetapi hatinya yang buta. Mereka berbohong! Jadi sulit menjelasakan secara ilmiah, metodenya dan proses pengumpulan data serta cara pengambilan kesimpulan.

Bisa pula dua-duanya Capres dan Cawapres jadi pemenang.

Quick Count atau hitung cepat adalah sebuah metode ilmiah, tetapi harus dijalankan oleh mereka yang hatinya tidak buta. Ketika hati sudah buta, maka hasilnya akan muncul seperti dalam Pilpres 2014.

Semoga pihak yang berwenang kiranya dapat segera mengungkap kebutaan hati para pegawai atau pemilik lembaga-lembaga survey quick count di negeri ini, agar rakyat tidak ikut-ikutan jadi buta.

"Karena setitik nila rusak susu sebelanga". Segelintir orang berbuat kebohongan, bangsa ini bisa dicap sebagai pembohong. Lembaga survey kita diragukan kredibilitasnya, kita kehilangan peluang untuk melakukan survey di dunia ini.

Jadi agar cap itu tidak melekat, dan ketahuan siapa pembohong yang sebenarnya, maka perlu dilakukan penyelidikan, menyusul perbedaan hasil hitung cepat Quick Count

Medan 10 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Aku Menulis, maka Aku Ada

Pengantar. 

Kebanggaan seorang penulis adalah ketika kata-kata dalam artikelnya menginspirasi orang lain menulis. Eka Azwin Lubis, seorang penulis muda Sumut yang cukup produktif,  menulis sebuah artikel di harian Tribune News, 14 Juni 2014 dan  mengutip artikel saya. Saya sangat berterima kasih, lanjut terus menabur kebaikan!

  
Oleh Eka Azwin Lubis


SEBAGIAN kita tentu familiar dengan kalimat cugito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang diungkapkan oleh seorang filsuf Prancis, Descartes. Kalimat tersebut merupakan jawaban bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.

Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja pikiran manusia tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya menjerumuskannya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.

Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat “ketika berpikir, sayalah yang berpikir” salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada (Wikipedia).

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Pramodya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, seorang terpelajar sudah mampu berlaku adil sejak dalam pikiran. Tentu ini menjadi bukti kepada kita bahwa alam pikiran kita sangat memiliki pengaruh terhadap eksistensi keberadaan kita. Menurut Pram (sapaan akrab Pramodya Ananta Toer), orang boleh pintar setinggi langit, tapi selagi tidak menulis dia akan hilang dari sejarah. Selain menjadi sumber rujukan dalam berbagai disiplin ilmu, sebuah tulisan akan memberikan kesan tersendiri bagi setiap penulisnya di mata orang yang membaca.

 Mengubah pola pikir
Saya pernah membaca suatu artikel berjudul Menulis Untuk Keabadian yang ditulis oleh Maruntung Sihombing. Beliau menyatakan jangan salahkan anak cucu kita, jika mereka lebih mengenal Tan Malaka, Pramodya Ananta Toer, Soe Hok Gie, atau Chairil Anwar dan tidak mengenal kita sebagai leluhurnya. Hal itu bukanlah suatu pernyataan yang naif, karena mereka telah menggoreskan nama mereka dengan tinta emas ke dalam setiap hati penggemar melalui tulisan-tulisannya.

Tidak jarang melalui tulisannya mereka mampu mengubah pola pikir masyarakat umum sesuai dengan alur berpikir yang mereka miliki. Malaka memiliki kemampuan untuk mengorganisir massa yang dia tuangkan ke dalam banyak buku seperti Aksi Massa, Dari Penjara ke Penjara, hingga Madilog. Semua buku yang dia tulis bukanlah hasil kebut semalam demi mengejar popularitas, namun melalui berbagai tinjauan filosofis yang dalam, yang hingga kini tetap menjadi konsumsi publik dan kerap menjadikannya sebagai patron dalam menentukan arah suatu gerakan.

Pram memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan Malaka. Beliau lebih cenderung menularkan pemikiran melalui cerita-cerita fiksi yang dituangkan ke dalam novel-novelnya. Wawasan yang luas didukung dengan penggunaan bahasa yang mudah dicerna oleh berbagai elemen masyarakat membuat novel pram begitu digandrungi. Cerita-cerita yang begitu menyentuh hati para pembaca, membuat Pram kerap keluar masuk penjara karena dianggap sebagai antek-antek PKI yang memiliki tujuan menumbangkan pemerintah melalui tulisan-tulisannya. Padahal, melalui tulisannya itu ia menyadarkan banyak orang tentang perihnya sebuah penindasan dan ketidakadilan.

Itulah yang namanya penulis, dia selalu menuangkan ide gagasanya tanpa terikat ruang dan waktu. Pram yang sempat menjalani hukuman penjara di Pulau Buru tetap menulis apa yang menurutnya menjadi suatu keharusan untuk dinikmati generasi penerus peredaban. Di dalam penjara buru pula lahir rangkaian novel yang kemudian dia beri nama Tetralogi Buru karena terdiri dari empat buku yang saling berkaitan, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang telah diterjemahkan ke dalam tidak kurang dari 10 bahasa asing.

Pram seolah paham betul bagaimana cara membangkitkan gairah perlawanan kaum proletar yang senantiasa ditindas oleh para pemodal melalui analogi pada zaman penjajahan ketika Belanda begitu menginjak-injak martabat kaum pribumi. Banyak kecaman yang Pram terima terkait tulisan-tulisannya yang tajam. Sampai suatu ketika dia pernah dinobatkan sebagai penerima penghargaan Magsaysay Award dari Filiphina karena dedikasinya, dan mendapat protes dari banyak pihak yang menganggapnya tidak layak menerima penghargaan tersebut. Terlepas dari berbagai kontroversi yang melakat dalam perjalanan hidup seorang Pram, kita harus akui bahwa hingga hari ini beliaulah satu-satunya putra bangsa ini yang beberapa kali masuk nominasi penerima nobel bidang sastra.

Beberapa tokoh di atas merupakan patron dalam dunia tulis menulis yang pengakuaan atas hasil karyanya tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga berbagai belahan dunia. Ada satu rasa iri yang selalu menghantui diri saya ketika membaca setiap tulisan-tulisan mereka, sebab meski telah meninggal dunia, semua orang masih dapat menyebut dan mengenal nama mereka dengan fasih, karena warisan tulisan yang mereka tinggalkan selalu melekatkan nama mereka di dalamnya.

 Cerminan karakter
Guru saya, Majda El Muhtaj pernah mengatakan you are what you read. Kata-kata yang beliau adopsi dari sebuah tulisan di angkutan umum Singapura itu, beliau sampaikan untuk mendorong kita agar segera menulis. Menurut beliau, orang yang menulis sudah pasti membaca, sementara orang yang membaca belum tentu menulis. Sehingga apa yang kita tulis merupakan cerminan dari karakter kita yang sedikit banyak terbentuk dari buku-buku yang kita baca.

Melalui sekelumit gagasan yang ada di kepala, saya coba memberanikan diri menuangkannya ke dalam tulisan. Harapan yang dibarengi ambisi ingin menjadi manusia yang terkenang abadi melalui tulisan-tulisannya menjadi penyemangat tunggal untuk terus menuangkan ide ke dalam tulisan agar bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Melalui berbagai percobaan yang berakhir kegagagal, akhirnya semua penantian terjawab manakala sebuah media untuk pertama kalinya memuat tulisan saya di kolom opini.

Kebanggaan menjadi seorang penulis senantiasa menyapa manakala ada orang lain yang membahas tulisan kita. Lebih jauh dari itu, meskipun hanya sebatas tulisan di opini surat kabar ternyata hal itu memberi arti tersendiri. Rasa yang sama ternyata dimiliki oleh banyak penulis opini yang hari ini tulisan-tulisannya mewarnai surat kabar. Mulai dari para penulis senior yang memilik reputasi hebat hingga para penulis pemula seperti saya berbaur saling memberi masukan untuk memperbaiki pola penulisan hinggamendiskusikan substansi dan latar belakang apa yang kita tulis.

Jannerson Girsang, seorang penulis senior pernah mengutip pribahasa klasik dalam sebuah tulisannya Verba valent schripta manent, yang berarti apa yang terucap akan lenyap bersama angin dan apa yang tertulis akan terkenang abadi. Kata-kata itu semakin mengukuhkan peran seorang penulis dalam memberikan sumbangsih pemikiran bagi peradaban manusia, karena apa yang pernah kita tuangkan ke dalam tulisan akan selalu terkenang abadi meskipun kita telah tiada. Aku menulis, maka aku ada!

Eka Azwin Lubis, Aktivis HMI dan Staf Pusat Studi HAM pada Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatera Utara. Email: ekakalubis@yahoo.com

Berita Baik dan Harta Berlimpah

Oleh: Jannerson Girsang

Tidak salah selama hidup Anda memiliki harta kekayaan berlimpah, memegang jabatan setinggi-tingginya. Tetapi itu tidak pernah memberi kekaguman atau teladan, ketika dalam pencapaian itu Anda tidak menabur kebaikan yang tulus.
 

Jarang sekali orang memberitakan hal-hal yang jelek di tengah-tengah orang meninggal. Keharuman, hasil pekerjaan yang baik, itulah yang kebanyakan diungkap.

Belum pernah saya mendengar, orang menyebut-nyebut berapa harta seseorang, berapa jumlah uangnya, di tempat duka!

Hal-hal bersifat fisik, ternyata tidak begitu menarik dan tak banyak memberikan sumbangan pencerahan hati dan pikiran manusia. Berita atau kisah tentang perbuatan baik jauh lebih harum dari dampak harta dan kekayaan seseorang.

Harta dan kekayaan punya daya jangkau ruang dan waktu yang terbatas, tetapi berita kebaikan akan menyebar kemana-mana, serta kekal selamanya.

Ketika seseorang menutup mata untuk selama-lamanya, memasuki peti mati, hal yang bisa dibagikan kepada semua orang hanya tinggal berita, kisah hidup. Seberapa banyak kebaikan yang ditabur dan dirasakan orang lain. 

Jatah bagi yang meninggal hanya sebidang tanah seluas 2X2 meter dan dilobangi, kemudian ditimbun.

"Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran"

Orang pergi ke rumah duka, sangat dihormati, karena tidak perlu diundang dan tuan rumah umumnya tidak perlu mencetak undangan.

Keluarga almarhum tak pernah memilih-milih siapa yang hadir atau tidak boleh hadir dalam acara penghiburan. "Saya hanya mengenal sekitar 50% dari yang hadir melayat ibu saya," ujar seorang yang ibunya baru meninggal, tadi malam

Hati yang tulus, menggerakkan seseorang melayat orang atau teman yang meninggal. Belajar makna kehidupan, karena di sanalah alhir kesudahan setiap manusia!

"Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya".

Orang-orang yang berhati tulus, sederhana lebih tahan tinggal di sekitar persemayaman orang meninggal. Mereka mampu dan gemar merenungkan makna kehidupan, menghibur keluarga yang berduka. Dia bisa menghibur dirinya sendiri dan mereka yang sedang berduka.

"Hidup ibarat bunga yang mekar di pagi hari dan layu di sore hari. Segala yang bersifat kebendaan akan hilang tergerus angin sepoi menjelang malam dan hanya menyisakan kisah keharuman yang kekal".

Di tengah-tengah kehidupan sehari-hari memberitakan hal-hal baik, senang memberi kebaikan, lebih baik ketimbang melakukan "serangan fajar", mempertontonkan kesombongan, kegagahan dan meremehkan teman sebangsa, apalagi dengan kampanye hitam.

"....................Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria".

Selamat jalan para senior kami Prof Dr Ir Sengli J Damanik, MSc, Guru Besar USU dan mantan Rektor Universitas Simalungun dan Dr Firman Siregar, MSAc, mantan Rektor Universitas HKBP Nommensen. Upacara pemakaman kedua tokoh itu akan dilaksanakan hari ini.

Semoga kepergian bapak-bapak mengajarkan kami arti hidup yang sebenarnya.

Kebaikan yang bapak-bapak tabur adalah keharuman yang jauh lebih mahal, lebih kekal dari kekayaan bersifat fisik/materi.

Pengkhotbah 7: 1-4

Medan, 8 Juli 2014

Kamis, 03 Juli 2014

Orang Taat dan Cerdas, Pasti Sopan dan Punya Rasa Hormat

Oleh : Jannerson Girsang

Orang yang taat beragama dan cerdas pasti bicaranya sopan, menghormati saudara-saudara sebangsanya, tidak tega korupsi, tidak tega melancarkan fitnah, kampanye hitam, membuat bingung rakyatnya.

Bicaranya menginspirasi, tindakannya menjadi teladan. Dia memiliki teman-teman, pendukung yang tidak jauh-jauh beda dari karakternya. Terasa sekali suasana lingkungan kalau mereka tampil: damai, kreativitas berkembang.

Tapi, sebagian bangsa kita sekarang menunjukkan jati diri palsunya. Mengaku taat beragama, negarawan, tapi mudah marah, emosi, mudah melancarkan kata-kata "bohong", dengan cara-cara kasar, tak perduli perasaan orang lain.

Ketika tampil di ruang publik, melancarkan kata-kata yang membuat kuping merah mendengarnya, tak layak didengar telinga orang yang waras. Para pendukung di rumah ada yang kerjanya hanya memikirkan konsep-konsep kampanye gelap, menjatuhkan lawan, bukan bersaing dengan kreativitas.

Negeri ini banyak dikendalikan orang yang tidak senang dengan kedamaian, suka mengeluarkan kata-kata "pembunuh karakter". Mengeluarkan dana besar untuk Obor Rakyat, media yang penuh fitnah, membuat gusar.

Kesukaannya senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. Tiap hari pikirannya gusar, takut kalah, tidak sehat, tak ada rasa kemanusiaan, walau menyebut dirinya manusiawi.

Yang penting menang. Hanya menang!.

Tak peduli, akibat tindakannya. Generasi damai atau generasi berantakan!. Hanya politisi tulen, memenangkan ambisinya.

James Freman Clarke mengatakan, "Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya. Seorang negarawan, berfikir generasi berikutnya". Bisalah diklasifikasikan, kalau seseorang hanya mau menang saja!

Beda memang rasanya!. Saya tidak berbeban moral memilih orang yang taat dan cerdas. Senang mendengar apa yang diucapkannya, bangga dengan prestasinya, hormat kepada sekelilingnya.

Saya merindukan negeri ini dipimpin seorang yang mampu membuat suasana pemerintahan penuh kedamaian, ketenangan, dan saling menghormati sesama. Mendorong kreativitas, bukan ketakutan atau kekhawatiran.

"Tuhan bantulah negeri kami ini agar tau sopan santun, tau apa artinya bersaing sehat, menghargai prestasi, tau membedakan mana yang baik dan buruk, mana tindakan yang benar dan salah.

Kami tau dan sadar Tuhan, Jokowi bukan orang sempurna, bukan malaikat. Sempurnakanlah dia agar mampu menjadi pemimpin kami.

Sama dengan Jokowi, saya hanya rakyar kecil Tuhan. Tidak punya uang triliunan rupiah untuk membuat kampanye besar untuk Jokowi. Hanya doaku yang tulus kupanjatkan kepadaMU.

Hanya satu permintaan kami. Ketuklah hati rakyat kami agar mencintai dan memilihnya. Berilah kemenangan kepada Jokowi menjadi Presiden.kami di Pilpres 9 Juli 2014.

Bukan kehendak kami, tapi kehendakMulah yang jadi. Tuhan yang tau siapa yang terbaik. Manusia hanya mampu mengatakan dirinya yang terbaik" Amin!


Medan, 3 Juli 2014

Kisah Kancil Melawan Singa

Oleh: Jannerson Girsang

Waktu masih kecil, orangtua saya pernah berkali-kali menceritakan kisah Kancil  melumpuhkan Singa. Begitu hebatnya bapak saya bercerita, hingga kini saya masih mengingatnya.

Kisahnya sungguh menginspirasi anak-anak untuk menggunakan akal dan berani. "Jangan anggap remeh orang kecil meski tubuhmu besar, kalau otakmu di dengkul. Orang kecil bisa menjadi kuat, kalau dia pintar dan bijaksana," kata ayah saya ketika menceritakan kisah ini saat saya masih SD di kampung.

Begini kisahnya.

Suatu ketika, di suatu hutan  Kancil bertemu dengan Singa. Sang kancil sudah lama ingin menundukkan raja hutan itu, tapi belum pernah tahu bagaimana cara membunuhnya. .

"Hei kancil, kenapa kamu masuk ke wilayahku. Hanya dengan satu taring ini, perutmu sudah sobek,"ujar Singa dengan sombongnya, sambil menunjukkan taringnya yang putih dan menyeramkan itu.

Sang Kancil cerdik tidak gentar mendengar ancaman Singa. Dia dengan tenang berbicara di depan binatang yang sangat kejam itu.

"Kek!", demikian kancil memanggi Singa. "Tadi ada seekor binatang besar dan katanya dialah raja di hutan ini," sambung Kancil memberanikan diri.

Kancil sudah menduga, Singa akan sangat marah. Berita yang diucapkan Kancil benar saja membangkitkan amarah sang raja hutan. .

"Hei, benar kamu Kancil. Kamu bohong!. Kalau benar, kamu harus membawa saya ke tempat binatang itu. Tidak ada raja di hutan ini selain saya. Saya;ah raja hutan," katanya sambil melangkah mendekati kancil.

Kancil sedikit mundur, karena mulai gentar. Tapi, namanya Kancil, selalu punya akal. Diapun berfikir sejenak dan mengatur kata-katanya.

"Kek! Ada. Tidak jauh dari sini!. Saya akan membawa kakek menemui binatang itu" ujar sang Kancil mantap.

Keduanya berjalan menuju sebuah perigi (sumur) yang berdiameter kira-kira dua meter. Perigi itu dalam dan berisi air kira-kira satu meter ke permukaan. Tidak berapa lama keduanya sudah tiba di perigi itu.

"Dimana binatang itu Kancil?. Saya tidak melihatnya. Kalau tidak ketemu, kamu akan kumakan,"ujar Singa mulai geram.

Di sekelilingnya dia tidak melihat ada tanda-tanda binatang besar, yang disebut Kancil sebagai raja hutan.

"Itu di dalam perigi Kek. Nanti dia akan muncul, kalau Kakek sudah melihatnya ke dalam" kata Kancil.

Kancil kemudian mengajak Singa mendekat ke perigi itu.

"Itu di dalam Kek. Coba lihatlah, kan sudah mulai mau menerkam Kakek" katanya, sambil mengajak Singa lebih dekat ke lobang perigi itu.

Singa melihat bayangannya sendiri di dalam air. Kalau Singa memandang ke dalam, bayangan itu  bergerak mendekatinya seolah mau menerkamnya.

Tanpa pikir panjang, Singa langsung menerkam bayangan binatang yang mirip seperti wajahnya itu. Singa mengira itulah raja hutan yang akan menjadi saingannya, seperti diceritakan Kancil.

"Rush........,"bunyi air memecahkan keheningan di hutan itu, akibat terkaman singa dan air didalam sebagian menyembur Kancil yang berdiri di samping Singa. Kancil sedikit terkejut, dan kemudian bersorak sorai, karena telah berhasil melumpuhkan Singa.

"Hore....Singa bodoh. Percuma saja badanmu besar, taringmu kuat. Kesombongan dan kebodohanmu membuatmu celaka!" ujar Kancil, langsung meninggalkan Singa sendirian menunggu maut.   

Singa yang bodoh itu akhirnya tenggelam di sumur dan tidak mampu mengeluarkan dirinya. Akhirnya sang Raja Hutan mati pelan-pelan, menghirup air sumur tanpa mampu membalikkan tubuhnya lagi.

Kekuatan besar, tanpa memakai otak, bisa dikalahkan kekuatan kecil yang memakai otak dengan bijaksana.

Medan, 3 Juli 2014. 

Dua Capres Gagal Menjaga Ketenangan Kampanye

Oleh: Jannerson Girsang

Balas membalas soal masalah pribadi masih terjadi dalam kampanye Pilpres 2014. Keduanya gagal menjaga ketenangan bangsa selama kampanye. Seharusnya keduanya menjadi pengayom, tetapi justru menjadi sumber keresahan.

Dua Capres yang sedang berlaga memperebutkan kursi Presiden Republik Indonesia belum menunjukkan kepiawiannya menjaga ketenangan rakyat Indonesia menuju Pilpres. Rakyat yang sebelumnya tenang,  layaknya perahu yang aman berlayar di Danau Toba, tiba-tiba diterpa ombak. Penumpangnya mabuk dan hampir kehilangan arah.

Bangsa ini harus banyak belajar. Ke depan, rakyat harus peduli atas perpolitikan di negerinya, pejabat harus tanggap terhadap kasus yang bisa menjadi "bom waktu". Selesaikan persoalan melalui pengadilan, supaya tidak seperti nasib Prabowo, yang diadili di luar pengadilan resmi.

Kubu kedua Capres harus banyak belajar. Kampanye seharusnya mendebat visi dan missi, justru terjebak ke dalam persoalan-persoalan pribadi Capres supaya yang lain "mati" dan yang lain seolah "hidup". Yang satu layak dan yang satu tidak layak. Padahal, dua-duanya sudah diputuskan KPU, layak menjadi Calon Presiden.

Pemimpin, khususnya Presiden harus memiliki wawasan kebangsaan, bukan wawasan sempit soal kepribadian, dan bukan hanya sekedar menang. Capres seharusnya mengajarkan rakyat soal membangun negeri, membangun demokrasi.  Kedua Capres masih setingkat politisi, belum nejadi negarawan. "Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya. Seorang negarawan, berfikir generasi berikutnya. (James Freeman Clarke)

Andaikan semua kata-kata, tindakan aneh dari kedua pendukung Capres ini didokumentasikan, maka akan tersimpan jutaan keping video kata-kata yang layaknya diungkapkan "preman-preman" jalanan, atau mereka yang kena narkoba, bukan orang berpendidikan. .

Kata-kata "sinting", "boneka", "PKI", "penculik", "fatwa haram memilih seseorang" dan kelakukan aneh lainnya seperti  'uang bertempel seorang capres". Ada lagi buletin Obor Rakyat mirip koran kuning yang pantas dibaca orang buta huruf. Karena penerbitan sebuah buletin, seharusnya membuat orang melek huruf cerdas, bukan mengundang permusuhan.

Debat di televisipun, acapkali menampilkan kata-kata kotor. Anak SDpun tidak sampai seperti itu berdiskusi. Tadi malam Metro TV menampilkan tiga orang pendukung Capres, tiga-tiganya ngomong serentak. Saling tuding. Padahal titel mereka doktor, anggota DPR, dan tokoh masyarakat. Moderator kerap bingung. Semua mau benar sendiri, berlomba membenarkan diri.

Jangan salahkan penegak hukum. Siapapun polisi, siapapun hakim atau Jaksa, siapapun KPU, atau Bawasu tidak akan mampu menangani begitu banyak pelanggaran.

Kedua kubu Capres mengaku menjadi korban serangan kampanye hitam, dua-duanya menuduh penegak hukum tidak melakukan tugasnya. Sementara keduanya tidak juga memperbaiki penampilannya. Rakyat dibuat bingung.

"Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan," itu kata Mahatma Gandhi, seorang pejuang perdamaian yang berjuangan melawan penjajah tanpa kekerasan di India.

Yang terjadi di negeri ini adalah "kekerasan dilawan dengan kekerasan". Biarkan kekerasan dilakukan orang-orang bejat, dan mereka akan hancur kerena kebejatannya. Dunia tidak pernah menerima kebejatan. Dunia suka perdamaian.

Semoga setelah hasil Pilpres 9 Juli 2014 nanti diumumkan, tidak terjadi konflik yang lebih besar, setelah selama berkali-kali Pilpres kita berada dalam suasana tenang.

Medan, 3 Juli 2014