My 500 Words

Sabtu, 27 September 2014

Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumatera Utara Tahun 2014 Menciptakan Masyarakat Pembaca (Reading Society) Menuju Masyarakat Pembelajar (Learning Society)

Oleh: Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd

Pada hari Kamis, 25 September 2014 kemarin, telah diselenggarakan sebuah acara yang bertajuk Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara tahun 2014. Acara yang bertempat di hotel Soechi Medan ini, diprakarsai oleh Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) provinsi Sumatera Utara. Sekitar lima puluh undangan yang berasal dari kalangan penulis dan pembaca di wilayah Sumut memenuhi sebuah ruang pertemuan di lantai dua hotel yang terletak di jalan Cirebon tersebut. Baik penulis yang sudah terbilang cukup senior dan penulis pemula, bergabung tanpa ada sekat yang memisahkan. Sekedar sharing info atau pengalaman di bidang tulis menulis.

Saya sendiri hadir sekitar pukul 14.00 WIB. Setengah jam lebih cepat sebelum acara pembukaan dimulai. Begitu memasuki ruangan, saya langsung menemukan tiga orang pria berbagai usia sedang berbincang serius. Tanpa malu-malu saya mendekati mereka dan berlagak ‘Sok Kenal Sok Dekat’, mendengarkan perbincangan dengan seksama. Ikut nimbrung sekali-sekali tanpa diminta. Dari curi-dengar pembicaraan tersebut, saya ketahui bahwa salah satu dari tiga pria yang mengaku telah berusia tujuh puluh tahun itu adalah penulis. Saya tidak menanyakan banyak mengenai tulisan-tulisannya, sebab saya takut, jangan-jangan ia orang hebat di Medan. Sehingga, tidak mengetahui siapa dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka daripada malu, saya hanya mendengarkan ceritanya saja.
Beliau mengatakan bahwa Medan dulu, sarangnya penulis hebat. Saya tak menyangkal sebab memang pernah membaca nama-nama penulis tersohor dengan karya melegenda, banyak yang berasal dari Medan atau wilayah Sumatera Utara. Sebut saja Chairil Anwar, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana (pelopor pujangga baru), Merari Siregar serta segudang nama-nama lain yang akrab di telinga masyarakat bahkan dalam skala nasional dan internasional. Karya-karya mereka yang bombastis telah mampu mewarnai bahkan sebagian memutar-mutar ‘kompas’ dunia sastra.

Bapak berumur tujuh puluh yang tak saya ketahui namanya tersebut—karena terlalu segan untuk bertanya—menyayangkan betapa prestasi itu sekarang hampir sirna. Banyak yang beranggapan, penulis merupakan kalangan marginal yang hanya dilakukan orang-orang tak punya pekerjaan. Atau yang lebih menyedihkan lagi ada yang menganggap bahwa penulis BUKAN pekerjaan—kecuali kalau anda sudah punya sebuah buku bestseller tentunya. Dan betapa ia menginginkan bahwa penulis-penulis lokal nun jauh di pelosok Sumut turut jua dihadirkan dalam acara serupa ini untuk membagikan pengalamannya. Sebab katanya ia kenal dengan banyak penulis hebat yang ‘tenggelam’ dalam dunianya sendiri dan tak diberi kesempatan untuk berbagi.

Perbincangan kami lerai saat undangan yang datang semakin ramai. Bapak yang bahkan hingga detik terakhir tak saya ketahui namanya tersebut—terkutuklah saya—bergabung dengan para penulis ‘senior’ lainnya. Sedangkan saya duduk dengan ‘teman baru’, beberapa mahasiswa IAIN yang juga merupakan peserta pertemuan.

Acara pun dimulai. Jangan ditanya, molor dari waktu yang tertera di undangan itu sudah pasti. Kata sambutan dari ketua panitia mengawali semuanya dengan beberapa laporan mengenai kegiatan tersebut. Segera saja acara dibuka secara resmi oleh yang mewakili Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumatera Utara. Ibu Suryanti, S. E, Kabag Layanan dan Teknologi BPAD Sumut selaku perwakilan memulai dengan pesan-pesan yang amat jelas. Bahwa penulis sebagai agent of knowledge adalah mitra perpustakaan. Ia mengajak agar penulis menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Baginya, tak ada penulis, maka tak ada perpustakaan.

Setelah rehat sejenak untuk sholat ashar dan coffee break, sesi pertama pun dimulai. Sesi ini memaparkan tema Peran Perpustakaan Daerah Sebagai Pusat Deposit. Yang menjadi pembicaranya tak lain tak bukan adalah Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumen Sumut, Bapak Hasangapan Tambunan, S. Pd, M. Si. Beliau mensosialisasikan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Salah satu butir dari undang-undang itu adalah ‘Setiap penerbit yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia, wajib menyerahkan 2 (dua) buah cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan kepada Perpustakaan Daerah di ibukota provinsi yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterbitkan.’ Selain untuk menambah koleksi dan khasanah perpustakaan juga untuk barang bukti jika di belakangan hari terjadi plagiasi pada karya tersebut. Bapak Tambunan menambahkan bahwa dalam hal ini penerbit lah yang berkewajiban menyerahkan karya cetak tersebut, akan tetapi ia meminta agar penulis mengerti akan adanya UU tersebut dan membantu mensosialisasikannya. Karena tujuan sebenarnya adalah melindungi ‘karya’ para penulis itu sendiri.

Sesi pertama berakhir setelah pembicara menjawab pertanyaan dari beberapa peserta. Tanpa jeda, tepat pada pukul 17.30 WIB, sesi kedua pun dimulai. Dan pada hari itu juga saya baru tahu, bahwa Medan memiliki seorang penulis khusus biografi yang cukup produktif. Mulai tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menulis setidaknya lima belas buku biografi tentang beberapa tokoh-tokoh nasional maupun lokal. Artikelnya juga sudah sering bertengger di koran-koran lokal Medan, salah satunya koran Analisa. Mungkin namanya sudah tak asing bagi pembaca Analisa, beliau bernama Bapak Ir. Jannerson Girsang. Pria berusia 53 tahun ini, bercita-cita akan menggenapkan buku biografinya menjadi dua puluh. Dan buku ke-dua puluh yang ingin ditulisnya adalah tentang perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang penulis biografi. Beliau memiliki sebuah quote yang menarik “Jika seseorang meninggal, dan kisahnya belum dituliskan, maka itu artinya sebuah perpustakaan telah terbakar.” Ia mengatakan bahwa semua orang harus menulis dan pasti bisa menulis. Beliau tidak percaya bahwa menulis itu bakat, menulis itu keterampilan yang bisa diasah. Kuncinya hanya tekun dan fokus. Setidaknya pasti bisa menuliskan tentang kejadian dalam hidupnya sendiri. Jika ternyata tulisan kita bisa menginspirasi kehidupan orang lain, tentu itu menjadi sebuah nilai tambah yang positif.

Tepat saat adzan maghrib berkumandang, pertanyaan terakhir dari peserta tuntas dijawab pembicara yang baru saya sadari blog-nya pernah saya buka sehari sebelumnya. Ketika itu saya ingin mencari informasi tentang Pertemuan Pembaca dan Penulis yang akan saya ikuti. Saya membaca artikel tentang pengalamannya bertemu penulis senior di ajang serupa empat tahun yang lalu. Di akhir sesi, saya mengikat banyak inspirasi dari orang hebat yang rendah hati ini. Salah satunya, pekerjaan yang tak pernah bisa dipecat dan tak memiliki masa pensiun adalah PENULIS. Maka, menulislah.

Selepas maghrib dan makan malam, sesi ketiga pun dimulai. Tanpa terlihat lelah dan tetap bersemangat para peserta antusias menyambut pembicara yang akan menyampaikan tema Gemar Membaca: Cikal Bakal Hasrat Menulis. Moderator memperkenalkannya dengan nama DR. Azhari Akmal Tarigan, M. A. Dan kembali saya tertegun, bahwa banyak penulis lokal yang namanya bahkan baru saya dengar hari ini. Tidak sefamiliar nama Andrea Hirata atau J. K. Rowling nun jauh di England sana memang. Akan tetapi kemampuannya dalam menulis mungkin bisa jadi sekaliber penulis-penulis terkenal itu, bahkan mungkin melampaui. Dengan rendah hati ia memperkenalkan buku-buku yang pernah ditulisnya. Hampir semua diterbitkan oleh penerbit lokal dan kebanyakan adalah buku mengenai Ekonomi Islam yang menjadi subjeknya saat mengajar mahasiswanya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Medan. Namun ada juga buku-buku bertema lain yang masih tak jauh dari dunianya. Yakni dunia pendidikan.

Sambil berkelakar pria berkumis yang tulisannya sering wara-wiri di koran Waspada ini menyampaikan, bahwa salah satu bukunya sudah ada yang terjual sebanyak empat ribu eksamplar lebih tapi tak jua menuai cap ‘bestseller’. Itu terjadi karena buku tersebut 'wajib' dibeli untuk pegangan santri di sebuah Pondok Pesantren. Semua orang tertawa. Dan saya berpikir, bahwa beginilah seyogianya pendidik itu. Bisa menulis buku sendiri sebagai buah pikirannya untuk dijadikan bahan mengajar.

Beliau menyampaikan banyak motivasi-motivasi agar menjadikan membaca dan menulis sebagai budaya orang Indonesia. Meski perut t’lah kekenyangan dan malam semakin menua, namun tak ada peserta yang mengantuk. Semuanya larut dalam suasana penuh motivasi yang dikemas apik dalam canda oleh Pak Tarigan. Banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk membuat Negara dengan budaya ‘oral’ ini menjadi Negara berbudaya membaca dan menulis. Salah satunya, jangan malu untuk membaca di tempat-tempat umum. Dalam sebuah antrian di negara-negara maju, orang-orang akan menghabiskan waktunya dengan membaca. Di Indonesia orang lebih senang mengobrol ngalor ngidul atau mungkin memainkan gadget-nya daripada membaca. Mulailah dari orang-orang yang ngakunya komunitas pembaca atau penulis, kutipnya dari salah seorang peneliti.

Di akhir sesi tak ada lagi yang bisa beliau katakan selain membaca lalu menulis lah! Membaca lalu menulis lah! Jika anda datang ke toko buku, mulailah buat perhitungan. Seperti yang telah dilakukannya. Misalnya saat menemukan buku bagus seharga enam puluh ribu rupiah, mulailah membuat perhitungan. Dari buku ini kita bisa menuliskan review-nya, itu bernilai sekian. Dari buku ini kita bisa menuliskan sebuah artikel, itu bernilai sekian. Jika balik modal bahkan untung, maka beli! Itulah enaknya jadi PENULIS, tandasnya sambil tertawa. Memang kata-kata itu terlihat ringan dan bagi sebagian pandangan tendensius terkesan materialistik. Tapi ini bermakna sangat dalam bagi jiwa yang berpikir. Bahwa membaca itu bukan hanya menakluklan ejaan-ejaan aksara lalu memahami makna. Membaca itu adalah proses berpikir yang darinya kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran baru. Budayakanlah Membaca dan Menulis, hai orang Medan pada khususnya dan orang Indonesia pada umumnya. Jadikan masyarakat kita ini menjadi Reading Society, masyarakat pembaca untuk menuju Learning Society, masyarakat pembelajar. HORAS.

Medan, 26 September 2014
Yunita Ramadayanti Saragi, S. Pd
Peserta Pertemuan Pembaca dan Penulis Sumut ‘14

Sumber:  http://m.kompasiana.com/post/read/676614/3/pertemuan-pembaca-dan-penulis-sumatera-utara-tahun-2014-menciptakan-masyarakat-pembaca-reading-society-menuju-masyarakat-pembelajar-learning-society.html,

Rabu, 24 September 2014

"Kaulah Hartaku Paling Berharga, Aku Tak Tega Membungkusmu"

Oleh: Jannerson Girsang

Malam itu adalah puncak dari segala kesabaran seorang istri, karena permainan judi suaminya sudah sangat menjengkelkan. Sang suami tidak peduli lagi dengan keadaan rumah tangganya. Bahkan malam Natal atau Tahun Barupun dia semalaman di tempat judi.

Menjelang tengah malam, suatu malam Tahun Baru, sang istri sedang menunggu di rumah. Karena berkali-kali di malam Tahun Baru suaminya tidak pernah lagi bersama keluarga. Malam itu, meski sudah dihubungi beberapa kali melalui handphone, suaminya tidak muncul-muncul.

Kebiasaan buruk ini sudah berlangsung tahun demi tahun selama mereka berkeluarga.

Suaminya merasa lebih asyik di meja judi, ketimbang merayakan perpisahan tahun dengan istri dan anak-anaknya.

Menunggu sang suami pulang, sang istri memegang sebilah  pisau parang yang sudah diasahnya sejak beberapa jam sebelumnya, dan ingin menghabisi suaminya, saking kesabaran sudah hilang. .

Begitu si suami tiba di rumah, lewat tengah malam dan acara kebaktian perpisahan tahun sudah selesai, pisau yang sudah dipersiapkannya langsung diarahkan menebas leher suaminya.

"Saik........" terdengar bunyi pisau yang sudah mengkilap itu.

Untungnya di masa mudanya sang suami  adalah jago karate, sehingga dengan sigap, dia bisa mengelak, dan hanya tergores sedikit, dan tentunya sang istri juga mulai menurun emosinya.

Tapi, emosi si istri tidak langsung padam. Tapi,amarahnya ditumpahkan dengan mengusir suaminya.   .

"Malam ini juga, bawa semua barang-barang berharga milikmu dan keluar dari rumah ini," katanya sambil menjatuhkan pisaunya.

Karena takut di "pisau" lagi dan tidak ingin ribut didengar tetangga si suami menurut saja perintah istrinya . Dia memasukkan ke goni besar, semua pakaiannya. Semua barang-barang berharga miliknya.

"Hayo cepat. Jijik aku melihat kelakukanmu, jijik aku melihat tampangmu, cepat keluar?"kata istri, sambil bertolak pinggang.

Si Bapak menunduk saja sambil mengangkat goninya ke depan pintu. Kemudian dia berdiri memandang istrinya.

"Hei, apa lagi. Kalau semua barang berhargamu sudah dimasukkan, silakan angkat kaki dari rumah ini!," perintah keras istrinya.

Si suami dengan muka memelas menghampiri istrinya.

"Satu lagi barang berharga yang kumiliki belum masuk dalam goni ini Ma," katanya
Sang istri langsung berteriak mengungkapkan kemarahannya.

"Jangan buat alasan macam-macam. Kalau ada, masukkan cepaaa....at!" balas istrinya dengan suara meninggi bercampur emosi.

Si suami dengan suara memelas, mengeluarkan kata-kata yang tak pernah diduga sebelumnya oleh istrinya.

Dari hatinya yang terdalam dia sangat menyesali perbuatannya. Kesabaran istrinya disalah artikannya. Ternyata perbuatannya yang jahat menimbulkan kebencian di hati istrinya yang makin hari makin membatu.

Dengan berlinang air mata, dia lalu mendekati istrinya dan berkata:

"Kaulah sayangku, istriku. Kaulah hartaku paling berharga di dunia ini. Aku tidak tega membukusmu di dalam goni ini," katanya.

Anda tebak...kisahnya kemudian! Kalau Anda menjasdi seorang istri, apa yang Anda lakukan?

Medan, Menjelang Tengah Malam, 24 September 2014

(Dimodifikasi dari khotbah Syamas br Purba, dalam partonggoan malam ini di Sektor 1. Tentu saja kami berterima kasih kepada Pdt Masniari Damanik, yang mengajarkan kami sermon dengan contoh-contoh yang menginspirasi untuk berubah)

Suami Mau Dicintai Anak, Cintailah Istri

Oleh: Jannerson Girsang


"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya,"

Demikian kata Prof Dr Belferik Manullang, seorang pakar pendidikan karakter dari Unimed Medan, dalam ceramahnya berjudul "Membentuk Karakter Bangsa" Sabtu lalu, di Pardede Hotel.

Barusan saya membaca status FB putri tertua saya, Clara, tentang ibunya pagi ini.

"Emang paling enak kalo bareng mamak.. Subuh ini diberangkatin mamak, semua barang dicek.. Trus dimasukin barang2 yg sekiranya perlu untuk anaknya.. Dibuatin teh manis hangat".

Lantas, ibunya diminta menjaga anaknya, cucu pertama kami Andra. Clara akan bertugas ke luar kota seminggu. Buat pembantu tugas seperti itu pasti sebuah beban. Tapi buat neneknya itu pasti suka cita. Istri saya pasti menjaganya dengan penuh kasih sayang.

Kapan seorang bapak bisa melakukan hal seperti ini?

Kecil, sepele, tetapi sangat mendasar, dilakukan dengan hati, penuh kasih sayang.


Ibunya sudah berada di Jakarta beberapa minggu, dipesan tiga putri kami untuk tinggal sementara,  "melepas rindu", menjaga cucu dan mendampingi putri saya kedua yang sudah hamil empat bulan.

Tentu berat bagi saya di Medan, tapi ini semua demi anak-anak. Kasih sayang tidak cukup diberikan tanpa tatap muka, mengalami bersama keseharian, menciptakan kehangatan yang tak bisa diganti dengan apapun. Sulit melukiskannya. Kerinduan masa kecil  mereka yang tidak bisa dibayar dengan apapun. .

Dulu semasa masih kecil, dan masih tinggal bersama-sama di Medan, mereka selalu mencari mamanya. Kalau mamanya tidak ada dua jam aja, mereka akan sangat kehilangan.
"Mana Mama?". "Mana Mama?".

Itulah ungkapan anak-anak setibanya di rumah pulang sekolah atau dari tempat lain. Padahal, bapaknya sudah ada di rumah.

Anak laki-laki saya Bernard, setiap pulang dari Pangkalan Susu, selalu bertanya: "Kapan Mama Pulang, Pak".

Kadang saya iri juga padahal kita ada dan cari duit buat mamanya...he..he.

Memang, fakta sehari-hari, ibu sangat dekat dengan kebutuhan dasar anak-anak.

"Kalau para bapak mau dicintai anak-anak, maka cintailah ibunya," kata Professor Belferik. Main-main atau setengah hati mengasihi istri!. Risikonya: Anda tidak akan dicintai anak-anak. Suami akan selalu disalahkan anak-anak!.

Itu pengalaman saya juga. Mudah-mudahan jadi pelajaran buat teman-temanku para suami.Mari kita belajar dan belajar terus. Tidak ada suami yang sempurna, hingga ajal menjemput kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki kesalahan menuju kesempurnaan.

Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri.

Clara Girsang, selamat bertugas ke Sumbawa ya nang, Patricia Girsang, jaga mama baik-baik, Devee Girsang, target..target, target!, Bernard Patralison Girsang: keep good relation with your boss and partners, Yani Christin Girsang: semua akan indah pada waktunya, Hilda Valeria Girsang: keep quality, Trisha Melanie Girsang: I am proud of you. Frederick Simanjuntak: selamat bertugas di Riau, semoga bisa bertemu keluarga di sana dan titip salam buat semuanya. Anja Novalianto: bersyukur dengan apa yang sudah dicapai.

Tuhan memberkati kita semua. .

Medan, 24 September 2014

Selasa, 23 September 2014

Pisang Ambon, Kenangan Masa Kecilku

Oleh: Jannerson Girsang

Makanan "enak" di masa kecil tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Pisang Ambon, itulah salah satu makanan paling enak di masa kecilku, dan hingga kini menjadi buah yang selalu kurindukan. Rasanya, baunya dan suasana ketika memakannya di masa lalu, menjadi kenangan yang khas.

Suatu ketika, dalam perjalanan menuju Sibolga, rombingan kami makan di sebuah kedai nasi di Prapat. Saya melihat pisang Ambon dijual di sebelah kedai yang persis di pertigaan jalan ke Hotel Niagara.

Siang itu, saya membeli sesiir karena teringat masa kecilku. Tidak sempurna rasanya habis makan siang tidak makan pisang ukuran "jumbo" itu.

Pisang itu jadi sarapan sore di mobil, ketika melintasi kelokan-kelokan tajam Tarutung-Sibolga. Saya benar-benar puas makan pisang itu, entah hingga beberapa buah,.

Waktu saya masih anak-anak di kampung, pisang ini hanya bisa kumakan sekali seminggu, saat hari Pekan di Saribudolok, hari Rabu.

Menunggu ibu saya pulang dari pekan, rasanya sangat lama. Kadang orang tua temanku sudah datang, tapi ibu belum muncul. Sedih dan ngiler rasanya membayangkan teman-teman makan pisang Ambon.

Pemberhentian bus kebetulan tidak jauh dari rumah kami. Dari pintu rumah, saya dan adik-adikku semua mengamati apakah ibu kami sudah ada di dalam bus.

Kalau ibu datang, semua bersorak kegirangan dan langsung menjemputnya, membantu mengangkat barang bawaannya.

Bayangkan, berjam-jam menunggu di rumah merindukan pisang Ambon. Buahnya besar, manis dan bagi kami penduduk desa, tak terkatakan enaknya.

Di kampung kami di dataran tinggi 1400 meter di atas permukaan laut, pisang Ambon pernah dicoba ditanam, tapi tidak berbuah. Pisang Ambon cocok ditanam di pinggiran pantai Danau Toba, seperti Haranggaol, Tongging, dan daerah peisir pantai lainnya di Danau terbesar di Asia Tenggara itu.

Sayangnya, karena kami keluarga besar, setiap prang paling bisa dapat satu buah. Begitu ibu sampai, setiap orang mendapat satu. Pastilah kurang, Kadang kalau kebetulan tidak ada orang di rumah, saya sering mencuri, dari para-para tempat ibu menyimpannya.

Selain Pisang Ambon, mama saya juga membawa "rondang jagung" dan kembang gula. Kembang gula menjadi makanan favorit, selain Pisang Ambon.

Rabu malam merupakan malam "lezat" karena ada ikan mujahir yang diarsik, sehingga nasinyapun 3 piring. Sehabis makan malam kami mendapat pisang Ambon, satu seorang. Habis makan, dilanjut dengan makan pisang Ambon

Anak-anak makan tiga piring nasi "sigambiri", ditambah lagi pisang Ambon, perut jadi buncit, dan susah bermanfaat.

Sekarang saja, saya hanya mampu menghabiskan satu piring, untuk ukuran dulu.


Waktu kecil saya memang jago makan, karena pulang sekolah, harus ke ladang. Apalagi hari libur, pukul enam sudah berangkat dan bawa bekal seukuran tiga piring nasi merah "sigambiri". Kalau hari-hari biasa tidak akan ada lagi pisang Ambon, karena saat malam Rabu itu semua sudah habis.

Sedih juga ya kalau diingat-ingat. Sulitnya kehidupan masa lalu.

Puluhan tahun kemudian, ketika kami tinggal di Pematangsiantar, putri tertua saya Clara Girsangg, waktu kecil diberi pisang Ambon. Setelah dikuliti, dagingnya dikikis dengan sendok.
Ternyata pisang Ambon sangat cocok untuk bayi. Apalagi buburnya nasi "sigambiri:. Mungkin itu sebabnya Clara jadi gemuk, he..he..he

Pisang Ambon, kenangan manis masa kecilku.

Hayo, silakan dimakan!

Pagi yang Bersemangat

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini sekitar pukul 05.30, saya dan anak laki-laki saya Bernard berdoa berdua di kamar sebelum dia berangkat ke Pangkalan Susu, tempatnya bekerja.

Terima kasih Tuhan, betapa Tuhan sangat berkuasa dan memberi kami kekuatan dalam mengarungi kehidupan ini.

"Saya berangkat ya Pak,sendiri lagi nih" katanya.

Saya terharu mendengarnya, karena kebersamaan kami selama dua hari ini berdua di rumah, harus kembali lagi ke kesendirian masing-masing.

"Selamat jalan ya Pa, Bernard. Hati-hati di jalan," kataku dan memeluknya, melepasnya pergi dengan sepeda motornya yang akan menempuh jarak 120 kilometer.

"Semangat ya Pak. Nanti kalau saya udah sampai, langsung sms." katanya.

Ucapan yang sudah puluhan kali membesarkan hatiku, setiap memberangkatkannya sekali seminggu ke tempat kerjanya.

Saya memang beruntung, karena meski sendiri, saya merasa rame dengan kesibukan sehari-hari, di luar kantor. Banyak teman-teman yang bekerja sama sepanjang hari bahkan sepanjang Minggu,".

Pulang kantor, latihan koor dua kali seminggu, sermon, kebaktian di rumah-rumah kadang saya hadiri dua kali seminggu, menghadiri pertemuan-pertemuan, pesta atau kadang memberi pembekalan bagi para penulis, seperti yang kulakukan minggu lalu dan minggu ini..

Kembali ke rumah sebagai istanaku, mencicil pekerjaan menulis yang sudah menanti. Rumah sebagai tempat bekerja, sekaligus berteduh, mencari kekuatan baru untuk hari berikutnya.

Pagi-pagi membuat sarapan sendiri, makan siang dan malam selalu di luar dan kadang di rumah jemaat.
Semoga semua anak-anak, putriku bersuka cita di manapun mereka berada.

Salam buat istri tercinta, yang menemani anak-anak di Depok, dan semua anak-anakku, . Clara Girsang, Patricia Girsang, Devee Girsang, Bernard Patralison Girsang, Yani Christin Girsang, Hilda Valeria Girsang, Trisha Melanie Girsang. Menantu-menantuku yang baik : Anja Novalianto dan Frederick Simanjuntak.

Have a nice day. Clara, selamat menjalankan tugas besok ke Sumbawa, menantuku Erick, selamat bertugas hari ini ke Duri. Hadapi semua tugas dengan suka cita.

Medan, 23 September 2014

Senin, 22 September 2014

Cucuku Andra


Oleh: Jannerson Girsang


Cucu!. Terbayang sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan,
membuat impian jadi kenyataan, tersenyum lebih banyak dari sebelumnya.

Melihat foto Andra, cucu pertamaku berusia satu tahun  di tengah tante, ompungnya, udanya dan mama papanya, membuatku sukacita di pagi ini.

Benarlah kutipan yang kubaca, "No joy on earth brings greater pleasure than a grandchild to love and treasure".

Saya teringat ketika Ayah saya dulu suka memukul saya dan melarang banyak hal yang saya lakukan. Tetapi kepada cucunya--anak-anak dan putriku, dia tidak pernah memukul, bahkan kalau saya memarahi anak saya saja, dia pasti marah.

Kini saya paham!. Sikap kita berbeda kepada anak dan kepada cucu. Cucu adalah segalanya. Mereka adala cinta dan harta paling berharga. Sesuatu yang indah, suka cita, dan penuh harapan!

Pagi ini saya melihat gambarnya yang ceria dan serasa hadir dalam gambar itu, berada di sampingnya. Rinduku tak terhankan. Ingin menggendongnya, membawanya jalan-jalan di lapangan dekat rumahnya.

Sebuah berkat Tuhan bagi saya, meski saat ini sendiri di rumah. Wajah cucuku, setiap pagi memberiku kesejukan. Video dan gambar-gambarnya senantiasa menghibur, lebih dari suka cita yang lain.

Selamat pagi cucuku, Andra sampai jumpa!.

Terima kasih untuk menantuku Anja Novalianto, yang tela memberiku Andra dan Frederick Simanjuntak yang sedang menunggu kelahiran cucuku. You are great son in law!. Keep peace!

Salam untuk mama yang makin cantik..bersama cucunya .he..he. Tante kecilnya Andra, putri bungsuku Devi yang sedang mempersiapkan skripsinya..God Bless All.






Foto kiriman putriku Clara Girsang pagi ini.  Andra sedang makan malam bersama mama, papanya, udanya Frederick Simanjuntak, istriku, dan Devi (Putri bungsuku), di daerah Depok, Jakarta, 21 September 2014

Minggu, 21 September 2014

Sapangambei Manoktok Hite (1)

Oleh: Jannerson Girsang

Rumor (kabar burung), sms gelap akan mendatangkan kecurigaan, keresahan, bahkan berujung pada permusuhan.

Nilai-nilai yang baik mungkin akan terkubur. Orang yang menangguk di air keruh akan diuntungkan untuk sementara. .

Ujung-ujungnya tak ada yang bernilai, sebab semua akan hancur berantakan.Semua jadi hitam.

Rumor biasanya muncul karena kepentingan sesaat yang ingin dipaksakan oleh individu atau kelompok, bukan kepentingan bersama.

Marilah memberitakan yang benar untuk kepentingan bersama, jangan tebar kabar burung, apalagi pencitraan yang jelek bagi sesama untuk mencapai kemenangan sesaat. .

Menanam kebencian akan menuai kehancuran, menanam kebaikan akan menuai kedamaian, suka cita.

Marilah, "Sapangambei manoktok hitei: marsiurupan (saling bertolongtolongan), marsitogu-toguan (saling menopang), marsiarahan (saling mengajak ke kebaikan), sapangahapan (seperasaan)".

Terima kasih untuk Pdt YR Saragih yang telah menciptakan lagu yang sangat indah bagi kami.

Selamat Pagi! .

SUKSES: Haruskah Menghilangkan Hal yang Paling Hakiki?


Sebuah keluarga mendapat pujian di sebuah kampung karena ke delapan anaknya sukses. Ada yang menjadi doktor, master dan sedikitnya sarjana.

Pekerjaannyapun relatif bagus dan semua menghasilkan pendapatan yang memungkinkan mereka berwisata kemana saja di seantero dunia ini. Semua tinggal dengan jarak minimal dua jam, atau ada yang lebih dari 10 jam pesawat, dan lima jam perjalanan darat dari rumah orang tuanya.

Di masa tuanya, bertahun-tahun orang tua mereka di kampung hanya hidup berdua, setelah sekian tahun menyekolahkan, menikahkan dan juga mengunjungi cucu-cucunya baik yang berada di ibu kota maupun di luar negeri. Meski anak-anak sudah sukses, tetapi orang tua ini selalu memilih hidup di desanya.

Kalau dilihat dari kemampuan financial orang tuanya dulu, tidak ada orang di kampung itu yang menduga keadaan mereka seperti sekarang ini. Orang tua ini hanyalah seorang petani. Memang berada di atas rata-rata yang dicapai penduduk desa itu. Tapi sehebat-hebat orang kampung, bisa dihitung kemampuannya kalau kemudian mereka bisa berlibur ke Amerika. Semua karena "sukses" tadi.

Suatu ketika, sang ayah sakit keras. Sebelum meninggal, ayahnya berpesan dan merindukan anak-anaknya bisa kumpul, layaknya Yakub yang ingin memberikan petuah-petuah dan ingin petuah terakhirnya itu disaksikan semua anak-anaknya.

"Saya rindu seperti kalian anak-anak dulu. Kita makan dan berdoa bersama saat makan malam. Itulah kerinduanku yang terakhir," demikian sang ayah berpesan kepada semua anak-anaknya.

Saat itu, hanya dua dari delapan orang anaknya yang bisa memenuhi keinginan sang ayah. Berbagai macam alasan mengejar sukses itu, menyebabkan mereka tidak bisa hadir. Kalau soal uang, semua anak-anaknya mampu menyediakan berapapun yang dibutuhkan ayahnya yang sedang sakit itu.

Ayahnya tidak membutuhkan materi. Semua sudah dia miliki. Dia hanya membutuhkan kehadiran anak-anaknya, dia ingin menumpahkan kasih sayangnya yang terakhir yang tak bisa dinilai dengan apapun. .

Sayangnya, untuk memenuhi permintaan sang ayah, keenam anak yang berada di luar negeri dan memiliki jadwal yang cukup padat itu, tidak bisa hadir.

Sang ayah kemudian meninggal dunia. Dengan terpaksa semua anak-anak datang dan menghadiri pemakaman sang ayah yang dilaksanakan secara besar-besaran. Maklum, mereka adalah orang yang terpandang.

Seorang anaknya menangis. "Ayah, ketika kami meminta belanja kuliah dahulu, ayah tidak pernah memiliki alasan untuk tidak memenuhi belanjaku. Ketika aku sakit waktu kuliah, ayah langsung meminjam uang untuk ongkos Tapi, cuma satu permintaanmu hadir beberapa hari sebelum ayah meninggal, saya tidak bisa. Ayaah..untuk apa semua ini kulakukan?. Maafkan aku ayah,"

Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya juga tidak mau meninggalkan kampungnya. Rasa sedihnya ditinggal suami membuatnya kadang sekali seminggu harus berziarah. Alasan yang masuk akal.

Usianya yang makin tua, dalam kesendiriannya di kampung, meski didampingi seorang baby sitter perawat, tak mampu menahan ketuaan dan daya tahan tubu yang makin melemah. Akhirnya suatu hari, dia jatuh sakit, dan sakitnya sangat serius

Mungkin instict seorang yang sudah uzur, seolah dia mengetahui ajalnya sudah dekat, dia kembali berpesan agar anak-anaknya kumpul. Sama seperti permintaan suaminya yang beberapa tahun sudah mendahuluinya, permintaan ibu inipun tidak dapat dipenuhi anak-anaknya.

Sibuk, dan tidak memiliki waktu kembali ke kampung adalah alasan dari anak-anaknya yang tidak bisa hadir. Ibunya ingin mengingat masa lalu mereka dimana makan malam adalah sebuah suasana paling indah. Dima kecil anak-anaknya, sang ibu sudah menyiapkan semua makanan dan minuman dan semuanya makan dan berdoa bersama.

Akhirnya sang ibu meninggal dunia. Dengan "terpaksa", semua harus hadir, termasuk cucu-cucunya. Putri bungsunya yang bekerja di Amerika menangis dan sedih bukan main.

"Mama.....aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang terakhir. Padahal Mama selalu siap sedia, bahkan ketika cucumu lahir, Mama kupaksa tinggal di rumahku sebulan lebih, sampai aku sehat betul. Semua permintaanku dipenuhi Mama. Untuk apa semua ini Mama. Maafkan aku mama, maafkan aku"

Semua pelayat yang disampingnya terharu dan tak sadar harus menghapus air matanya dengan Ulos Batak Berwarna Hitam itu.

Salah seorang pelayat berkata: "Sebenarnya apa yang kita cari di dunia ini yah?".

Sukses, apakah harus mengorbankan hal yang lebih penting?

Orang tua selalu memegang prinsip: Kasih sayangku jangan kau sangsikan!

Tapi, alasan-alasan sibuk, tidak bisa meninggalkan tugas, mengejar sukses, untuk memenuhi permintaan terakhir orang tua, sering dimaafkan.

(Terinspirasi dari Ceramah Prof Dr Belferik Manullang hari ini).

Medan, Malam Minggu 20 September 2014

Jumat, 19 September 2014

KARAKTER: Berapa Orang yang Merindukan Kita?

Oleh: Jannerson Girsang

“Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” (Helen Keller)

Ketika saya menulis biografi atau otobiografi, karakter tokoh sangat penting. Nilai seseorang terletak pada karakternya.

Salah satu cara menentukan karakter adalah dengan mengamati dan mencatat ucapan-ucapannya, ketika merespons sesuatu: tantangan, keberhasilannya, tanggapan orang lain terhadapnya.

Di FB semua orang yang memiliki akun, menuliskan responnya terhadap keadaan sekelilingnya, responsnya terhadap teman, dan responnya terhadap dirinya sendiri. Mereka menunjukkan karakternya masing-masing dan tentunya menerima upah dari karakternya sendiri, karena karakter itu berkekuatan mempengaruhi dan menimbulkan respon dari orang lain.

Ada yang merespon positif, karena dia merasa terinspirasi, termotivasi dll, atau ada juga merespon negatif karena merasa tersakiti, terlecehkan dll.

Karakter bisa menimbulkan dampak orang lain merasa senang, terinspirasi, mendapat pelajaran, tertawa karena lucu. Hidupnya menjadi lebih berharga, termotivasi.

Karakter yang muncul bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman, tersakiti, terlecehkan atau bahkan menangis karena sedih. Hidupnya menjadi demotivasi.

Pengalaman saya dari sekian banyak tokoh yang saya amati, menunjukkan bahwa seseorang berkarakter baik mampu : "menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa".

Dia memaknai orang lain sebagai penolong bagi dirinya dan memahami cara bertindak bagaimana orang lain merasa agar hidupnya LEBIH berharga.

Tugas kita adalah mencari dan menjadikan sebanyak mungkin manusia dimana kita bisa sama-sama tertawa dalam kebahagiaan dan sama-sama menangis dalam kedukaan menuju "Long Life Friendship", bukan persahabatan hanya karena kepentingan sesaat, b
ukan, "kalau menguntungkan lanjut besahabat, kalau tidak pisah saja"

Sudah berapa orangkah kita memiliki teman yang bisa berbagi seperti itu?. Sebab hidup di dunia ini adalah menjadi berbuah bagi orang lain. 

Buahnya, "Berapa orangkah yang kita doakan, dan sebaliknya mendoakan kita setiap hari". Berapa orang yang merindukan kita, atau lebih jauh, seorang ahli motivasi berkata:  "How many people will cry when you die?"

Sesuatu yang perlu menjadi perenungan setiapsaat, tidak mudah, karena harus melintasi berbagai pengalaman ujian dan penderitaan.

Pengalaman Helen Keller, buta dan tuli sejak usia 19 bulan, tapi mampu menjadi pembicara, politisi dan 18 orang berpengaruh dunia, perlu kita simak.

"Karakter tidak dapat dikembangkan dengan mudah dan suasana tenang. Hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa karakter dapat semakin diperkuat, visi dibersihkan, ambisi diilhami, dan keberhasilan dicapai"

Karakter dapat dibentuk, tapi ada prosesnya!  Mari kita bersama-sama berproses. Kita semua tidak sempuna. Proses perjalanan hidup akan menyempurnakannya.

Selamat Pagi!


Medan, 19 September 2014 

Kamis, 18 September 2014

Pengalaman Bahasa Oral dan Tulisan

Oleh: Jannerson Girsang


Pengalaman menggunakan bahasa Indonesia, menulis dalam bahasa Indonesia saya cukup unik.
Sampai usia 16 tahun saya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara oral, karena tinggal di desa dan hampir tidak ada lawan bicara.

Kalau sekali-sekali orang-orang kota datang, kami hanya diam-diam saja. Pernah saudara saya datang, selama tiga hari, tidak berkomunikasi. Bersama tapi tidak bicara. Baru dua hari, dia belajar bahasa di kampung dan kami berkomunikasi dalam bahasa kampung kami .

Kadang kami pergi kalau disapa dengan bahasa Indonesia. Mungkin malu

Kadang pakai bahasa tubuh, atau sekali-sekali menggunakan bahasa Indonesia yang "menggelikan". "Sudah rata semua", maksudnya, "Sudah hijau semua". Bahasa Simalungun "rata" artinya hijau.

Mirip, ketika saya berkunjung ke desa di pedalaman Nias pada 2005-2006, bahkan 2011. Lucu sekali kalau mengingatnya.

"Berapa anaknya Ibu," saya sapa seorang ibu di desa padalaman Nias.

"Ha..ha..ha..," katanya sambil memilin-milin sirihnya dan tidak ada jawaban atas pertanyaan saya. .

Saya baru menggunakan bahasa Indonesia saat sekolah di SMA. Setahun lebih, saya bergaul dengan teman-teman SMA di SMA 2 Pematangsiantar. Bahasa Indonesianya masih "berpasir-pasir".

Dengan bermodalkan kemampuan berbahasa seperti itu, belum fasih benar berbahasa Indonesia, kemudian tahun kedua saya hijrah ke SMA 22 Jakarta.

Pasti kang Ahmad Hilmi, teman satu kelas saya di SMA tersebut ketawa-ketawa kalau mengingat saat ketika pertama kali saya sapa di SMA 22 Jakarta..he..he.

Seorang siswa perempuan orang yang pertama saya temui dalam perjalanan dari halte Bea Cukai ke SMA 22 di Utankayu, langsung mengejek saya: "Orang Medan ya". Walau kemudian dia sangat suka menyapa saya di hari-hari berikutnya dan menjadi teman akrab selama SMA .

Awalnya sekolah di Jakarta, saya seringkali bingung mendengar teman-teman yang bicaranya cepat sekali. Layaknya saya mendengar percakapan bahasa Inggeris seorang Amerika sedang berbincang.

Lama-lama, telinga terbiasa dan otomatis memahaminya.

Belajar bahasa Inggeris juga saya peroleh dengan bekerja dan berpartner dengan orang asing. Saya pernah menjadi kontributor media asing, pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing.
Saya punya pengalaman berbicara dan menulis dalam bahasa Inggeris meski hanya untuk dimuat di mediaonline asing atau lembaga asing saja(dengan sedikit edit tentunya). Belum media cetak terkenal.

Belajar bahasa itu harus terjun dan berenang di kolam. Harus mengalami bagaimana rasanya tenggelam, kemasukan air (diejek, khususnya ketika SMA di Jakarta--dibilang BTL), baru kemudian memperbaikinya terus menerus.

Belajar bahasa Sunda saya memperolehnya ketika tinggal di rumah seorang Sunda di Bogor dan tinggal tiga bulan di desa Jasinga, dan selama dua tahun bertugas di Ciamis.

Bahasa Batak Toba juga saya kuasai ketika duduk di bangku SMA di Pematangsiantar, Jakarta dan ketika kuliah di IPB, dari teman-teman Batak Toba.

Belajar bahasa melalui teori tidak banyak menyelesaikan kemampuan berbahasa, juga kemampuan menulis. Belajar bahasa, menulis adalah sebuah ketrampilan, hanya bisa dikuasai dengan praktek, banyak latihan.

Sama dengan menulis biografi atau otobiografi, atau artikel. Saya belajar dengan metode "terjun ke kolam".

Tulis, tulis, tulis dulu, kemudian perbaiki di buku kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya.
Sekarang saya mau tanya, apakah bahasa Indonesia saya sudah cukup baik, secara oral dan tulisan?


Mari sharing pengalaman berbahasa oral dan lisan kita, mungkin ada gunanya buat anak cucu kita.

Medan, 18 September 2014