My 500 Words

Sabtu, 11 Juli 2015

Musibah Jatuhnya Hercules C 130 Milik TNI AU

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi ini sekitar jam 07, saya bersama anak saya Bernard Patralison Girsang melihat lokasi jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI AU. Posisi pesawat jatuh terbalik--bagian atas pesawat berada di atas tanah.

Salut melihat aparat kepolisian, TNI, Basarnas yang sejak kemaren terus menerus melakukan pencarian jenazah, pengumpulan puing-puing pesawat serta melakukan pembersihan lokasi kecelakaan pesawat.

Mereka terlihat sabar merespon masyarakat yang melintasi garis batas polisi, daerah yang tidak boleh dimasuki siapapun, kecuali petugas, atau orang yang diberi izin. Masyarakat yang antusias ini melihat peristiwa  mengenaskan itu, terus saja melanggarnya.

"Wah, garis polisi tidak berlaku," kata seorang polisi bergurau, dan membiarkan saja masyarakat menembus garis polisi. Mungkin karena masih pagi.  Saya sendiri tidak mengalami hambatan melintasi batas garis itu, dengan jalan kaki, hingga saya bisa melihat dari dekat, ke lokasi jatuhnya pesawat.

Para warga sangat antusias melihat dari dekat peristiwa jatuhnya pesawat Hercules 130 yang menewaskan 12 kru, 101 penumpang dan puluhan penduduk yang tewas.

Berkali-kali polisi meminta kesadaran mereka untuk tidak melintasi pita kuning itu. Tetapi masyarakat tidak peduli. Cuma, sewaktu mereka memulai kehiatan, para petugas sudah memulai pekerjaannya, mereka lebih tegas dan meminta agar masyarakat tidak menggangu jalannya evaluasi. Masyarakat mulai mundur dan sebagian pulang ke rumah masing-masing.

Simpang Rumah Sakit Jiwa--sebagai batas garis polisi, menjadi tempat parkir ratusan sepeda motor. Demikian juga tempat terbuka di sepanjang Jalan Jamin Ginting menjadi tempat parkir bagi pengunjung yang ingin melihat lokasi. Sungguh jadi pekerjaan berat lain yang harus diawasi pihak kepolisian. Jalan macet, dan lalu lintas terpaksa dialihkan ke rute lain.

Masyarakat  semua harus maklum, ini semua agar evakuasi bisa berjalan lancar.  

(Laporan sebuah Televisi swasta menyebutkan 141 kantong jenazah (11.00 WIB), sudah berhasil dievakuasi ke rumah sakit Adam Malik, yang berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari lokasi).

Melihat dari dekat lokasi peristiwa jatuhnya C-130 milik TNI-AU, sungguh membuat hati trenyuh. Ngerinya kecelakaan sebuah pesawat. Tak ada yang bisa selamat. Sudah jatuh dari ketinggian, berbobot di atas 70 ton, kecepatan tinggi, menembus bumi dan terbakar. Ratusan nyawa manusia tiba-tiba melayang dalam beberapa detik, dan sulit dikenali karena terbakar. Kita kehilangan puluhan perwira AU pilihan.

Bekas peristiwa kebakaran masih terlihat di dinding ruko yang ditabrak yang terlihat menghitam, bekas terbakar. Demikian juga plang BS Oukup yang terletak di pinggir jalan, terlihat sebagian menghitam.

Lokasi jatuhnya pesawat adalah Oukup BS1, yang terletak di sebelah kanan, km 10 jalan Medan-Pancurbatu. Kira-kira lima puluh meter dari Simpang Rumah Sakit Jiwa, Medan.

Oukup itu pagi ini sudah bersih dan bangunan sudah dibersihkan, sebagian badan pesawat sudah diangkut dan tinggal ekor pesawat. Kabarnya, semua akan diangkut untuk bahan penyelidikan selanjutnya.  Dari rumah saya, lokasi itu bisa dicapai dengan jalan kaki sekitar 10 menit, sekitar 600-700 meter. "Wah, saya kaget dan langsung keluar rumah,"kata istri saya menuturkan pengalamannya kemaren siang.

Saat itu dia berada di rumah. Beberapa menit kemudian, warga lain berteriak. "Pesawat jatuh...pesawat jatuh," katanya, menirukan teriakan tetangga. Tapi dia tidak pergi ke lokasi, hanya monton televisi.

Menurut harian-harian yang terbit di Medan, sebelum jatuh, pesawat menabrak tower milik Perguruan Bethany. (Tower di atas sekolah itu patah dan masih belum diperbaiki).

Di jalan mau pulang, saya menanyakan seorang pemilik warung, sekitar 100 meter dari lokasi kejadian. "Wah...kami kaget sekali Pak. Ledakannya menggetarkan atap rumah, dan terasa goyang,"ujarnya.

Saya juga bertemu Evangelis Yusak Purba, yang rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian. Beliau mengatakan mendengar pesawat itu melintas di atas rumahnya, dan mendengar beberapa ledakan terjadi sebelum pesawat jatuh dan diakhiri dengan ledakan besar.

"Saya mendengar beberapa ledakan dan ledakan besar itu. Kemudian saya ke luar rumah, dan menyuruh anak-anak masuk ke rumah. Saya melihat asap sudah mengepul," katanya sambil menunjukkan video yang berhasil direkamnya dari depan rumahnya kemaren, beberapa saat setelah pesawat jatuh.

"Suaranya keras sekali, seperti bom," katanya.

Setelah itu, Evangelis Yusak langsung ke lokasi dan mengambil foto-foto dan video yang berhasil direkamnya. Saya sempat menyaksikan beberapa video yang menunjukkan peristwa awal setelah beberapa menit peristiwa menyedihkan seluruh bangsa Indonesia itu.

"Itu tower yang ditabrak pesawat sebelum jatuh, katanya sambil menunjuk ke arah tower itu. Tower itu hanya berjarak beberapa rumah dari yang terletak di Jalan Jeruk--beberapa puluh meter dari jalan Raya Jamin Ginting.  Kemudian kami berpisah. Beliau berjalan menuju ke lokasi kecelakaan peswat sambil membawa kameranya, saya pulang ke rumah.

Di rumah, saya berfikir-fikir. Ternyata rumah kami di sekitar Jalan Jamin Ginting, berada di lokasi yang rentan terkena musibah jatuhnya pesawat.

Trauma jatuhnya pesawat Mandala 5 September 2005, masih membekas. Kecelakaan Mandala merenggut nyawa 109 penumpang dan 47 orang yang sedang melakukan kegiatan di sekitar lokasi jatuhnya pesawat dan puluhan rumah dan kenderaan rusak atau terbakar.

Untunglah 2 tahun lalu, 25 Juli 2013, bandara komersial Polonia--yang berdampingan dengan pangkalan AU, sudah pindah ke Kuala Namu. Sekarang bekas Bandara Polonia, hanya digunakan sebagai pangkalan TNI-AU (Pangkalan AU Suwondo, Medan).

Sebelum bandara Polonia pindah, ngeri rasanya setiap melintas di jalan, sementara di atas kita terbang burung besi yang beratnya puluhan ton, sebelum mendarat di  Bandara Polonia. (Gimana kalau tiba-tiba jatuh!)

"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak," saya memahami peristiwa naas kemarin.

Sedih melihat keluarga yang ditinggalkan. Sedih membaca berita di koran-koran hari ini, kalau ternyata ada penumpang yang naik pesawat yang dibiayai negara harus membayar. Pesawat TNI AU seharusnya hanya digunakan untuk keluarga TNI-AU dan tidak dipungut biaya. Meski hal ini tetap dibantah para pejabat terkait. Tidak perlu bantah membantah, yang penting ini membuat kita malu, dan jangan terjadi lagi di hari-hari mendatang.    

Kita menyambut modernisasi peralatan TNI. DPR seharusnya juga mendukung rencana ini. Barangkali dana aspirasi sebaiknya dialihkan untuk memodernisasi peralatan pertahanan kita.

Duka cita mendalam untuk seluruh korban kecelakaan pesawat Hercules 130. Semoga kejadian menyedihkan ini membuka mata pemerintah, anggota parlemen agar memprioritaskan perhatian pada modernisasi peralatan TNI.

Medan, 1 Juli 2015 

Jangan Pikirkan Hal di Luar Kontrol atau Kuasa Kita

Oleh: Jannerson Girsang

Sesuatu keadaan di luar kontrol, kita hanya bisa pasrah, berdoa dan mengikuti aturan yang sudah berlaku. Menjalani kehidupan, kita harus belajar hal-hal yang berada di luar kontrol kita, hal-hal yang tak perlu masuk dalam pikiran, apalagi harus khawatir dan masuk dalam perencanaan kegiatan kita.

Saya tidak perlu mengatur kapan bisa tiba tepat saat lampu hijau di persimpangan jalan, karena saya tidak bisa mengatur kapan lampu itu hijau atau merah.

Kalau kebetulan merah saya berhenti, meski sedikit kesal karena menunggu, kalau hijau saya lega karena berarti mempercepat saya sampai di tujuan.

Malam ini, pulang dari kantor saya melintasi beberapa lampu merah, perempatan A Yani dengan, perempatan Imam Bonjol-Kp Keling, Lampu Merah depan Perguruan Immanuel, Lampu Merah Sudirman-Cik Di Tiro, Lampu Merah S Parman-Jamin Ginting, Medan.

Kebetulan di semua tempat itu, saya tiba tepat pada waktu lampu hijau. Saya lega, bisa jalan terus.

Peristiwa seperti itu hampir tak pernah terjadi selama puluhan tahun saya melintasi rute tersebut. Paling untung, kalau saya bisa "persis" hijau di satu atau dua lampu perempatan jalan. .

Saat lain, saya bisa tiba pada lampu perempatan jalan kebetulan merah. Saya harus berhenti dan mengikuti aturan, menunggu sampai lampu itu menyala hijau kembali.

Saya juga tidak perlu mengatur langkah saya agar tepat berhenti di lampu persimpangan jalan persis menyala hijau. Pekerjaan sia-sia, karena menyalanya lampu bukan dalam kontrol saya.

Demikianlah perjalanan hidup kita ini, Banyak hal yang berada di luar kontrol. Dimana kita harus pasrah dan berdoa.

Tidak perlu khawatir, atau melawan aturan alam atau Tuhan yang sudah berlaku.

Kalau naik pesawat, kita hanya bisa pasrah, berdoa, mengikuti keahlian pilot dan perintah-perintahnya mengendalikan pesawat dalam keadaan cuaca baik dan buruk.

Keadaan anak-anak yang jauh, kita tidak bisa berbuat selain menyerahkannya kepada teman terdekat/keluarga, dan berdoa saja!.

Di luar itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan berfikir lebih jauh dari sana, kalau tidak mau kita bertindak sia-sia, apalagi sampai menimbulkan rasa khawatir, tidur tidak tenang dan menyakiti badan.

Kematian, musibah, dan banyak hal yang lain berada di luar kontrol kita. Jangan habiskan waktu untuk memikirkannya.

Tak perlu dipikirkan gimana nanti kalau tiba di lampu persimpangan jalan kebetulan merah?. Gimana nanti kalau pesawat jatuh?. Gimana nanti kalau anak saya sakit? Gimana nanti kalau saya tidak punya anak?

Kita hanya bisa pasrah dan berdoa. Itu saja!

29 Juni 2015

Guru dan Kreativitas

Oleh: Jannerson Girsang

Ketika guru mengeluh pendapatan mereka di masa lalu, mengeluh soal kurikulum, pemerintah memenuhinya. Gaji guru naik, ditambah lagi sertifikasi, Kurikulum 2013 tidak berlaku lagi.

Apakah usaha pemerintah akan memperbaiki kinerja mereka sebagai pendidik? Kita masih menunggu!.

Seorang guru sah-sah saja mempersoalkan kedua hal di atas, tapi jangan melupakan tugas sebagai seorang pengamat yang penuh kreasi mengatasi segala hambatan mendidik anak didik.

"The teacher must derive not only the capacity, but the desire, to observe natural phenomena. The teacher must understand and feel her position of observer: the activity must lie in the phenomenon". (Maria Montessori).

Guru tidak hanya mempertahankan sebatas kapasitasnya, tetapi keinginan untuk mengamati fenomena alam. Guru harus mengerti dan merasakan posisinya sebagai pengamat, dia mendasarkan kegiatannya pada fenomena itu.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Prof Dr Masrukhi menegaskan seorang guru harus terus mengembangkan kreatifitas agar menghasilkan peserta didik yang juga kreatif.

“Saya tekankan pada guru, apapun kurikulumnya, jika guru kreatif akan mengembangkan peserta didiknya,” tandas Masrukhi.

Perubahan-perubahan kurikulum tidak banyak memperbaiki pendidikan kita, kalau guru-gurunya cuma mengejar sertifikasi, dan tidak menumbuhkan usaha-usaha meningkatkan keinginan mengamati, mengembangkan kreativitas.

Jadi, pendapatan, kurikulum hanya alat, penentu adalah kreativitas guru. Yang sering dikeluhkan adalah sebaliknya. Kalau pendapatan rendah, kreativitas rendah.

Kita perlu merenungkan mana yang benar? Berapa kali lipat gaji sudah naik, berapa kali kurikulum diganti: ranking pendidikan kita di dunia belum bergeser banyak dari level paling bawah!

29 Juni 2015

Negeri Besar, Polisi Tangguh, Lambat Selesaikan Kasus Engeline

Oleh: Jannerson Girsang

Menyaksikan Diskusi Menyingkap Tabir Kematian Engeline di JLC, TV One, malam ini.

Pengantar diskusi, sebuah putra Juan Felix Tampubolon melantunkan sebuah lagi dalam bahasa Inggeris tentang Engeline. Syahdu, sedih!.

Adakah jawaban peertanyaan di atas dalam diskusi ini?.

Atau mirip dengan pokrol bambu, diskusi ngalor ngidul, hanya membuat sensasi-sensasi baru?. Semoga menyenangkan! Itulah harapan saya di awal.

Kebenaran hanya satu. Berdiskusi dengan orang yang marah, tidak akan menghasilkan sesuatu kebenaran sejati. Kalau semua membela diri tanpa hakim, maka diskusi hanya "ngalor ngidul".

Kesal, ketika Hotma Sitompul bicara! Ibu kandung Engeline terpancing emosi, Ratna Sarumpaet juga terpancing emosi.

Bayangkan, pernyataan yang menjijikkan itu terus dimunculkan Hotma. "Kenapa sih begitu banyak orang membela Engeline. Kenapa tidak membela banyak anak-anak terlantar yang lain?"

"Ada kebiadaban sedang terjadi. Saya sangat sedih kalau membicarakan hal ini kita tertawa," kata Ratna geram.

"Kok negara sebesar ini, kepolisian sebesar ini tidak mampu menyelesaikan masalah ini;" lanjut Ratna.

"Engeline terlantar, terlunta-lunta, mati menyedihkan karena dia miskin," sambung Ratna. "Kita perlu berhenti memiskinkan rakyat"

"Seharusnya Menteri Sosial bisa mengambil kebijakan yang membuat rakyat tidak miskin. Kofifah itu seorang menteri yang pintar," katanya.

Mendengar pernyataan pedas Ratna yang mengeritik Jokowi dan Menteri Sosia, Menteri Kofifah agak tertunduk.

(Aku berharap, Kofifah memang pintar!. Semoga dia mampu membuat kebijakan yang tidak menciptakan Engelin-Engelin yang baru).

Benar dugaanku. Berjam-jam mengikuti JLC, berakhir dengan informasi yang itu-itu saja.

"Kok negara sebesar ini, kepolisian sebesar ini, tidak bisa menyelesaikan kasus Engeline?". tanya Ratna Sarumpaet.

28 Juni 2015


Memberi Lebih Berbahagia dari Menerima

Oleh: Jannerson Girsang

Apa yang kita dapat dengan memberi? Memberi adalah mengajarkan ketulusan. Menyaksikan kebahagiaan!.

Malam ini saya sekilas membaca Buku Skill People (2001), tulisan Les Giblin. Saya berhenti sejenak pada sebuah bab "Memahami Orang dan Kodrat Manusia".

Sebuah kutipan menarik perhatian saya. "Orang lain sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya dari pada tertarik pada Anda. Sebaliknya, Anda lebih tertarik pada diri Anda dari pada kepada orang lain manapun di dunia ini".

Selanjutnya dikatakan:

"Ingatlah, bahwa tindakan manusia diatur oleh pikirannya sendiri, kepentingan dirinya--sifat ini sangat kuat dalam diri manusia. Pikiran yang menonjol dalam kasih sayang adalah kepuasan dan kenikmatan diperoleh si pemberi dengan memberi, Bukan orang yang menerima!"

Mungkin itulah sebabnya mengapa sampai Kitab Suci mengingatkan kita. "Memberi lebih berbahagia dari menerima".

"Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima" (Kisah Rasul 20:35).

Memberi, tidak seperti definisi yang biasa di mengerti, harus menyumbang besar-besar. Memberi adalah melakukan sesuatu yang positif bagi orang lain. Memberi dengan hati, sekecil apapun itu, akan membahagiakan si pemberi.

Prof. David McClelland (seorang peneliti dari Harvard University, AS) menambahkan: “Melakukan sesuatu yang positif terhadap orang lain akan dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh, sebaliknya orang kikir cenderung terserang penyakit. Mengapa demikian, karena orang kikir biasanya cinta uang, bila uangnya sedikit berkurang maka dia akan stres dan tubuhnya akan mengeluarkan hormon kortisol yang akan mengurangi kekebalan tubuh. Memberi dapat memperpanjang umur.”

Sebuah kisah orang kaya yang menyumbangkan hamoir seluruh kekayaannya untuk menolong orang papa adalah Rockefeller.

Rockeffeler adalah orang kaya yang tidak bahagia dan sulit tidur. Dokter memvonis hidupnya tidak akan lama.

Lalu Rockeffeler memutuskan mengubah hidupnya, orang pengumpul uang, mengalihkan hartanya menolong kaum papa dan orang miskin..

Apa yang terjadi ?.. kesehatannya membaik dan berlawanan dengan perkiraan dokter, ia hidup sampai umur 98 tahun, sebagai ahli filantropi dan darmawan yang terkenal.

Memberi mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa, ketika kita mengulurkan tangan untuk menolong sesama dan berbagi dengan kehidupan mereka maka kita akan merasakan kebahagiaan yang mendalam, hidup jauh lebih berarti karena memberi.

Setiap orang yang suka memberi tidak pernah berkekurangan. .dia akan membaikkan orang lain, dirinya sendiri dan menyenangkan hati Allah, sang pincipta dan Allah tidak akan pernah berhutang kepada orang yang suka memberi.

Mari memberi apa yang sudah kita miliki, jangan dengan sesuatu yang tidak kita miliki. Melakukan sesuatu yang positif bagi sekeliling kita, sekecil apapun itu!.

Saya hanya bisa menyumbangkan artikel ini untuk Anda!

28 Juni 2015

Bahagia: Perasaan Beruntung Melakukan Sesuatu yang Berguna

Oleh: Jannerson Girsang

Pagi hingga siang ini, saya melakukan beberapa kegiatan, selesai menuliskan beberapa lembar tambahan mengisi sebuah buku yang sedang saya tulis.

Melakukan pekerjaan kantor yang belum beres, sesuai dengan beban yang diberikan.

Dan waktunya makan siang!.

Tiba-tiba saya teringat banyaknya keluhan jemaat karena bertahun-tahun tidak memperoleh materi yang banyak, sukses seperti orang lain. Ada yang belum punya anak, ada yang belum punya rumah, ada yang belum punya mobil..

"Gimana yah, kok teman-teman saya kelihatannya kerja santai saja, tetapi memiliki apa yang mereka inginkan," kata seorang. Dan "Saya selalu berdoa tetapi yang saya doakan tidak juga terwujud," kata yang lain.

Saya balik bertanya: "Apakah mereka yang sudah punya semua itu bahagia?"

"Kayaknya ya Pak"

""Belum tentu kan?"

Kebahagiaan bukan terletak pada apakah kita menerima hasil doa kita, tetapi terletak pada pemaknaan kita atas apa yang kita miliki sekarang.

Seorang teman pernah saya tanyakan: "Berapa lama Anda bahagia, senang, ketika memiliki mobil baru".

"Hanya beberapa saat saja. Saya kemudian mengeluh karena harus membayar pajak, keserempet becak dan harus mencat kembali mobil itu,.Yang membuat saya tidak bahagia, mobil itu dipinjam teman dan dikembalikan dengan sompelan-sompelan dimana-mana. Yang membuat pusing, adalah ketika muncul mobil model baru, sementara untuk beli mobil baru tidak cukup uang"

Kebahagiaan bukan terletak pada banyaknya hasil yang kita peroleh. Jangan pernah berkecil hati akan harta atau talenta yang kita miliki sekarang.

Kalau memang kekayaan, ketenaran bisa membuat bahagia, maka Whitney Houston--pelantun lagu the Power of Love, yang terkenal di seluruh dunia itu. tidak akan mati karena kelebihan dosis obat penenang.

Bersyukurlah dan lakukan sesuatu dengan apa yang kita miliki, sekecil apapun itu, untuk sesuatu yang berguna.

Saya kerjanya cuma menulis, ngobrol (wawancara). Itulah talenta yang saya miliki dan saya lakukan setiap hari.

Apakah kegiatan yang saya lakukan bisa menghasilkan sesuatu seperti yang lain, tidak menjadi soal. Yang penting saya masih bisa melakukan sesuatu yang berguna.

Dan, ketika saya melakukannya, saya bahagia dan mungkin satu dua orang juga turut merasakannya. Tidak perlu mengeluh, orang-orang tidak memperdulikan pekerjaan saya. . .

Kebahagiaan manusia terletak pada perasaan beruntung ketika Tuhan masih memberi kesempatan baginya melakukan sesuatu yang berguna, membahagiakan orang lain.

Sekali lagi, jangan kecil hati atas apa yang kita miliki sekarang, sejauh kita masih bisa melakukan seuatu yang berguna. Di sanalah letak kebahagiaan itu.

Selamat siang, dan selamat beraktivitas untuk teman-temanku semua.

Medan, 23 Juli 2015

Kasih dan Kebersamaan

Oleh: Jannerson Girsang

Ketika orang tua mengajarkan sukses kepada anak-anak hanya sekedar pintar, memiliki jabatan, uang, mampu memanfaatkan peluang bisnis, lupa menebar benih kasih dan persatuan, maka kita sebenarnya bersiap-siap menerima anak-anak kita, keturunan kita tercerai berai. .

Orang tua yang mengajarkan "sukses" di atas, tanpa membekali anak-anak dengan cinta kasih dan pentingnya persatuan, merupakan akar pemisahan, dan sebagian anak-anak kita akan merasa terbuang!.

Orang tua seperti itu menghargai anak-anaknya hanya senilai "tebu giling". Menilai sukses hanya dari sisi kepemilikan "material" hal-hal yang terlihat, melupakan kasih, mengabaikan pewarisan benih persatuan diantara anak-anak. .

Tiap hari orang tua sibuk dengan anak-anak yang hanya menguntungkannya saja, anak yang membuatnya senang, membuatnya dipuji orang. Menebar benih persaingan tidak sehat, karena tidak semua anak-anak akan memperoleh sukses seperti itu.

Parahnya, sebagian orang tua mengabaikan anak-anaknya sendiri, yang tidak "beruntung" tadi.

Bukannya memberi semangat, malah menjadikannya bahan olok-olokan. Kejam sekali!

Anehnya, tidak jarang orang tua membanggakan-anak-anak orang lain dan menyayangi mereka yang hanya menguntungkannya saja, punya jabatan, banyak uang dan pandai memanfaatkan peluang bisnis.

Bahkan "mengangkat" anak orang lain yang "sukses" sebagai anaknya sendiri, tetapi melupakan anaknya sendiri yang tidak "sukses".

Mengunjungi anak orang lain yang "sukses", tetapi "lupa" alamat rumah anak sendiri.

Sikap seperti ini akan menimbulkan anak-anak yang "hilang", merasa tidak diperhatikan, menjadi masalah keluarga yang serius di masa depan.

Anak-anak akan tercerai berai.

Hati-hati!. "Orang tua harus dapat menetralisir perasaan anak yang merasa diperlakukan berbeda oleh orang tuanya. Orang tua harus cepat tanggap sebelum anak menjadi resisten terhadap orang tuanya sendiri".

Tidak jarang, orang tua menderita di masa tuanya, karena anak-anaknya tidak bersatu.

Bukankah mimpi setiap orang tua mempersiapkan sebuah keluarga besar yang tugasnya menerbar benih-benih kasih dan persatuan diantara anak-anaknya?

Sukses anak-anak adalah kalau mereka bisa merubah perangainya menjadi lebih baik dan lebih baik. Bersatu dan saling mengasihi.

Sukses adalah ketika anak-anak berusaha saling mengasihi, saling membantu dan menempatkan kebersamaan di dalam keluarga kecil, besar dan masyarakat sebagai "prestasi tertinggi".

"Molo sada hamu, sude do boi ulaonmu". Kalau kalian bersatu semua akan bisa kalian kerjakan. Benih unggul, ajaran yang seharusnya tidak dilupakan setiap orang tua!

Medan, 22 Juni 2015

Verba Volan, Scripta Manen

Oleh: Jannerson Girsang

Menulis adalah mengabadikan peristiwa, opini atau ungkapan orang-orang, dan alam sekitar dalam bentuk rangkaian kata-kata bermakna yang tertulis.

Manusia memiliki daya ingat yang terbatas. Ketika orang-orang sudah lupa, dokumen tertulis akan mengingatkan mereka.

Verba volan srcipta manen, demikian pepatah Romawi, yang artinya kira-kira" yang terucap lenyap dan yang tertulis tetap.

Apalagi kini, kita berada di abad internet. Tulisan bisa disimpan di berbagai media sosial, dan website.

Saya sendiri sadar menulis juga mengabadikan diri saya sendiri, mengenalkan diri ke dunia luar.

Selain mendapat sedikit uang, saya mendapat banyak sekali teman, keluarga baru karena menulis.

Setiap buku biografi yang saya tulis akan menambah ratusan keluarga baru, setiap menulis opini di media, saya dikenang ribuan orang yang membacanya.

Semoga mereka menikmati sesuatu hal baru yang saya dengar, lihat dan saya beri makna, sehingga mampu menginspirasi mereka, membuat pikiran lebih jernih.

Itulah upah terbesar seorang penulis!

Seorang penulis akan abadi, dan dikenang karena kekuatan peristiwa, opini atau ungkapan orang, serta daya tarik alam yang ditulisnya dan memberi manfaat, pembelajaran bagi orang lain.

Kalau saya tidak menulis, maka setengah teman saya sudah melupakan saya.

Saya merasa beruntunglah karena diberi sedikut kemampuan menulis!.

Saya percaya, "Menulislah maka kamu akan abadi," seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer.

Itu sebabnya, saya terus menulis, memberi makna sebuah peristiwa! Membuat teman-teman selalu ingat padaku.

Menulis juga membuat pikiranku jernih. Itu sebabnya, setiap pagi sebelum kemana-mana saya tetap menulis.

Jangan bosan yah membaca tulisanku! Meski belum sehebat para penulis beken, tetapi saya akan terus menulis.

Jangan lupa kunjungi blog saya. Kumpulan sekitar 500-an artikel sejak 2009, baik itu berupa renungan, opini, profil orang-orang, baik sudah diterbitkan di media maupun yang hanya terbit di FB ini.

Semoga bermanfaat!

Medan, 19 Juni 2015

Kamis, 18 Juni 2015

Orang Tua adalah Guru, Pendidik Bagi Anak-anak

Oleh: Jannerson Girsang

Orang tua adalah pewaris kebaikan bagi anak-anaknya, dan anak-anak adalah penerus keturunan.yang lebih baik.

Orang tua adalah seorang pendidik, mereka bukan hanya pencari nafkah fisik, bukan hanya pemberi "uang". Jangan puas hanya mampu memberi kebutuhan fisik, kebutuhan rohani-teladan kasih, kebaikan, jauh lebih penting!.

"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them" (Mother Theresia).

Bersyukurlah kita ada orang yang masih rela menjadi orangtua tua, pasangan suami istri. Jika tidak, maka dunia ini hanya tinggal satu generasi lagi.

Orang tua, ayah dan ibu adalah seorang pendidik. Seorang pendidik ibarat seorang penabur, yang setiap hari menaburkan rupa-rupa benih : benih kepribadian, benih kedisiplinan, benih perilaku, benih iman, benih ilmu, benih pengharapan, benih pelayanan, benih kejujuran, benih keuletan, benih kemandirian, benih moral, benih kasih, dan hal positif lainnya, supaya keturunannya menerimanya, dapat belajar darinya dan mengalami pertumbuhan.

Orang tua bukan pendidik otoriter: hanya mengatakan: "kerjakan apa yang saya perintahkan, tetapi tidak berani mengatakan kerjakan apa yang saya lakukan, kembangkan dengan kebenaran yang sudah kamu pelajari!".

JANGAN DIPIKIR MUDAH MENJADI ORANG TUA!.

Tidak ada orang tua yang mampu mendidik anak dengan sempurna, tanpa mengalami pergulatan: gagal berkali-kali, mengakui kegagalan dan sharing dengan anak-anak.

Tidak ada kata tamat mendidik anak. Semua dalam proses belajar dan belajar hingga akhir khayat.
Tugas orang tua sebagai pendidik adalah berlaku baik, menabur kebaikan, berserah dan berdoa, setiap hari, setiap saat!.

Optimisme seorang orang tua tentunya didasari sikap yang realistis. Mereka harus belajar realita.
Tidak semua benih yang kita tabur sebagai pendidik dapat bertumbuh dengan subur, karena pastinya ada benih yang jatuh di pinggir jalan, jatuh di tanah berbatuan, dan juga jatuh di antara semak duri, sehingga akan menghambat pertumbuhan dari benih-benih tersebut.

Kita harus sadar, bahwa setiap anak memiliki daya tangkap yang berbeda dan memiliki cara yang berbeda mendidiknya. Ada yang harus mendapat perlakuan ekstra. Ibarat menaburkan benih di tanah yang subur atau mempersiapkan lahan yang kondusif terlebih dahulu.

Menabur benih pun memerlukan banyak tindak lanjutnya. Tanahnya digemburkan supaya menjadi subur, setiap hari tanaman disiram dengan air, rumput liar disekitarnya dicabut, hama pengganggu disingkirkan, dan secara periodik diberi pupuk.

Demikian halnya bagi orang tua!. Semua itu perlu dilakukan dengan teliti, tekun, terus-menerus, serta dituangan penuh kesabaran dan ketabahan.

Kita bersyukur menjadi orang tua, tetapi jangan lupa: tugasnya adalah pewaris keturunan dan kebaikan.

Dunia harus bersyukur masih ada orang tua. Keturunan yang baik bagi dunia ini terletak di tangan orang tua!

Medan, 16 Juni 2015

Hari Pertama Bekerja Putri Bontotku

Oleh: Jannerson Girsang

"Selamat sore Father!. Enak banget  di kantor ini. Lawyernya ramah. Smua baik. Terus makan siang disediakan ternyata...he..he,",

Demikian bunyi sms dari putri bontotku, Devee Girsang​, sore ini sesaat menjelang pulang kantor,

Kesan  dari bontotku yang menyenangkan bekerja di hari pertama   di sebuah kantor Lawyer di bilangan  CBD Kuningan, Jakarta, setelah wisuda dari President University, 6 Juni 2015 lalu.

Sebagai orang tua, mendengar kesan pertama hari pertama anak bekerja, khususnya si bontot, memupus semua kekhawatiran,  kesusahan dan penderitaan selama ini.

Ibarat kata pepatah: "Kemarau setahun, pupus oleh hujan sehari"

Terharu, bangga dan bersyukur. Anak bontot yang kebanyakan manja ternyata tidak dengan putriku yang satu ini.

Teringat beberapa tahun lalu.  Bontotku selalu ingin melakukan sesuatu sendiri.

Mencari kampusnya sendiri. Bahkan sebelum lulus SMA Methodis di Medan, diam-diam dia sudah mengikuti testing di President University, sebuah ampus yang relatif sangat mahal di bilangan Cikarang, Jakarta.

"Nanti kalau tidak lulus di SNMPTN, saya sudah punya tempat kuliah," katanya tiga setengah tahun yang lalu.

Memang, perkiraannya benar. Dia tidak lulus SNMPTN, tidak mengikuti  kakak-kakak dan abangnya yang masuk PTN di Jakarta. Sempat sedih sebentar!

Lalu, dia akhirnya memutuskan kuliah di President University, sebuah kampus  dengan pengantar bahasa Inggeris, padahal dia adalah BTL, Batak Tembak Langsung dari Medan! .

Tak pernah saya bermimpi mengirim anak-anak saya kuliah di kampus ini.  Bukan hanya karena saya ragu kemampuan bahasa Inggeris putriku, tetapi karena mahalnya uang kuliah.

Kalau saya jumlah: jumlah uang kuliah ketiga kakak-kakak dan abangnya, 2 kali lipat dari uang kuliahnya sendirian. .

Ternyata President University adalah sebuah kampus bernuansa "asing" di sebuah kompleks industri di bawah asuhan Kawasan Industri Jababeka, sekitar 50-an kilometer sebelah Timur Jakarta. (Nuansa asing itu terasa saat wisuda, pidato, sambutan semuanya disampaikan dalam bahasa Inggeris).

Saya sering mengatakan kepada teman-teman, "Anak-anak kita sekarang ini jauh lebih pintar dan lebih berani dari kita. Mereka hidup di dekade yang jauh berbeda dari kita, Kita tak berhak menggurui mereka".

Saya selalu yakin itu. Makanya tidak pernah meragukan pilihan mereka!

Saya yang lulusan IPB Bogor tahun 80-an, dan sudah tinggal di Medan sejak 1990, sebelumnya tidak pernah tau dimana dan bagaimana itu President University.

Mencari pekerjaan juga dia melakukannya sendiri. Dia tidak pernah mau menggunakan dukungan orangtuanya. Padahal, saya punya banyak keluarga dan teman lawyer. '

 "Tidak usah bapak yang mencari pekerjaanku, biarkan putrimu mandiri Pak. I love you Father. You are my hero," katanya suatu ketika, saat saya menawarkan bantuan untuk membantunya mencari pekerjaan.

Saya menurutinya. Ternyata dia bisa!

Seperti menabur benih, kami sebagai orang tua tidak pernah mengetahui bagaimana prosesnya putriku ini menjadi Sarjana Hukum, kapan dia akan memperoleh pekerjaan.

Kami tidak pernah khawatir seorang gadis harus kos sendiri di tempat yang jauh. Dari jauh saya hanya berdoa, memberi arahan.

Tuhanlah yang menumbuhkan benih yang kutabur itu dan kini sudah mampu mandiri, dalam usianya menjelang 22 tahun (bontotku lahir 19 Oktober 1993).

Perkuliahan bontotku adalah sebuah perjalanan iman saya dan istri  yang luar biasa,

Dia kuliah di kampus yang mahal, saat tenaga sudah lemah, di saat persediaan sudah menipis, setelah tiga kakak dan abangnya menyelesaikan perkuliahannya.

Awalnya saya ragu dan tidak mampu membayar uang kuliahnya. Saya bukanlah orang yang berkelebihan. Tetapi semua cukup dan tersedia saat dibutuhkan.

Kami hanya bermodal prinsip. "Kuliah adalah investasi prioritas! Apapun dikorbankan demi kuliah anak-anak".

Itulah terjemahan kami: "Anakkon hi do hamoraon di ahu"--anak-anak harus mendapatkan pendidikan terbaik, tanpa membedakan perempuan atau laki-laki.

Menjelang perkuliahannya selesai tak ada lagi barang berharga yang bisa dijual. Bahkan belakangan ini, saya harus menahan diri tidak pergi ke restoran bayar sendiri!. Pesan saya selalu:"Usahakan jangan terlambat lulusnya ya sayang" .

Doa dan air mata, itulah senantiasa membuat saya dan istri bersemangat dalam keadaan yang sangat terbatas.

Ibarat bermimpi, ternyata tak terasa, kami sudah tiba di "ujung"!.

"Saya sudah lulus meja hijau, Pak. Wisuda nanti Juni, "katanya beberapa bulan lalu. Lega. Tetapi sedih karena tidak ada hadiah yang bisa kuberikan, kecuali doa dan kata-kata yang membesarkan hatinya..

Semangat dan doa membuat kita kuat menghadapi apapun persoalan dan tantangan hidup. Kita diberi kebijaksanaan melakukan yang terbaik bagi anak-anak!

Terima kasih Tuhan, semua Engkau buat indah pada waktunya.

Buat putriku Devee: orang tuamu akan selalu mendoakanmu dari jauh sayang!.

Kejujuran, ketekunan, kerendahan hati, kerja keras dan doa adalah kunci sukses. Semoga Devee tetap berada di jalur yang selama ini kita tempuh, di tempat kerja!

Ingat ya sayang: "Sukses bukan karena kamu menjadi orang kaya, berkuasa, tetapi karena kamu berhasil menjadi orang yang baik!". Orang tua akan bangga kalau anak-anaknya disenangi banyak orang, karena kebaikannya, bukan karena kekayaannya atau kekuasaannya..

Terima kasih buat bere kami Grace Sibarani​, yang beberapa bulan terakhir membuat tulang yakin, karena tinggal dekat dengan bontotku!. Grace menjadi tempatku bertanya, orang yang kupercaya dan paling tau tentang keberadaan bontotku ini.

Teman sejati adalah teman yang hadir pada saat kita susah. Grace; Kau baik sekali nang, Tuhan akan membalas kebaikanmu!. Tuhan memberkati kalian ya nang:

Terima kasih untuk kedua kakak bontotku,  Clara, dan Patricia, putri adikku Christin serta kedua menantuku yang senantiasa memonitor keadaan bontotku, memberi bantuan moril bahkan material dan tempatku bertanya selama dia kuliah jauh di luar Jakarta.

Medan, 15 Juli 2015.