My 500 Words

Sabtu, 01 Agustus 2009

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (4)

Pak Munthe Terbaring Lemah

Oleh : Jannerson Girsang

Salah satu ruangan menghadap taman, berjarak hanya beberapa meter dari sebuah ruang operasi di rumah sakit Herna, Medan. Di depan pintu ruangan tertulis ”Dilarang bertamu lebih dari dua orang”. Menunjukkan penyakitnya serius dan tidak boleh terganggu oleh pengunjung. 

Dua orang pria, Elisa dan salah seorang Saudara pak Munthe sedang berada di dalam ruangan menjaganya. Beliau sedang ”tertidur”, tetapi mendengar suara saya, beliau langsung memutar mukanya ke arahku. Tabung oksigen membantu pernafasannya terpasang. ”Ai ise do on”katanya. (Siapa ini?). Aku sangat sedih. Hari Kamis, lima hari sebelumnya, pria yang sangat kukagumi ini masih tegar dan tidak ada menunjukkan sakit apapun. Bercerita dengan lancar dan penuh rasa humor. ”Kini beliau tidak mengenalku lagi”. 

Barangkali sensor syarafnya sudah tidak secepat dulu lagi. Setelah saya mendekat dan membisikkan: ”Ini Jannerson”, beliau meneteskan air mata. Aku berdoa disamping telinganya sambil mengusap keningnya. ”Ya...a.....ah”, hanya itu yang keluar dari mulut yang selama ini menjadi sumber kata-kata bernas diselingi senyum dan tawa yang bisa membuatku melupakan segala kepenatan hidup. 

Di akhir doa aku berkata: “Amen”. Beberapa saat kemudian kesadarannya makin bertumbuh. “Bukutta pe lape sae,”katanya. (Buku kita belum selesai). Khayalan burukku hilang dan kembali menemukan Munthe sahabatku yang sebenarnya. Beliau mulai ingat pekerjaan kami yang terakhir. Membuat buku kenangan bagi seorang istri yang sangat disayanginya, Floriana Tobing. Hadiah Ulang Tahunnya ke 78, yang jatuh pada 16 September 2009 mendatang. 

Tapi, aku kembali sedih, setelah memeriksa tangan dan kaki kirinya. ”Badannya sebelah kiri lumpuh,”kata Elisa. Aku cubit, memang tidak ada reaksi. ”Tuhan, mengapa ini terjadi,” demikian jeritku dalam hati dengan tangis yang tertahan. Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua pertolongan ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani. 

Aku mengambil gambarnya dengan kamera beberapa kali. Mungkin ini kenang-kenangan bersejarah di kemudian hari. Beliau sangat senang ketika itu. Beliau bahkan mengatur posisi orang-orang di sekitarnya. ”Kau disini, kau di sana,”katanya. 

Bertemu dengan pak Munthe selama ini seolah kita bertemu malaikat penolong. Semua ada padanya. Kini, beliaulah yang terbaring dan harus dilayani. Kehidupan yang paling pahit baginya. Beliau tidak pernah mau dilayani. 

Kondisinya memang tidak labil. Kemudian beliau beberapa kali menanyakan siapa saya, saiapa istri saya. Kemudian beliau katakan kepada Elisa supaya Vorhanger Pekanbaru ditelepon. Hanya sekitar 20 menit saya berada di ruangan. ”Saya hanya berfikir, andaikata beliau tidak bisa berbicara lagi. Begitu banyak cerita dari mulut pak Munthe yang belum sempat terekam, begitu banyak kata-kata indah yang belum kudengar”. 

Aku sempat memperhatikan daftar orang di buku tulis tiga puluh dua halaman--buku tamu, yang disediakan istrinya. Aku mengetahui ada sekitar 20-an orang yang bertamu sejak hari Sabtu. Mungkin ada beberapa lain yang tidak terdaftar. Tak perlu kusebutkan bagaimana perasaanku melihat buku tamu itu!

Aku keluar dengan seribu perasaan cemas dan sedih. Kawanku selama 22 tahun, harus menderita penyakit seperti ini. Beliau merasa sepi, tidak bisa mengunjungi jemaatnya. Karena beliau hanya bisa besyukur, kalau bisa melayani. Kini beliau dilayani seratus persen!

Tidak ada terbetik dalam hati, kalau Armencius akan segera meninggalkan kami. 

Saat itu aku hanya berfikir, beliau akan mengalami sakit yang lama. Kami sempat berbincang dengan Berkelina Munthe (adik perempuan satu-satunya dari pak Munthe) yang tiba beberapa saat di belakang kami. Bicara soal usaha yang mungkin bisa menolongnya. Tapi, itu hanya basa basi saja. Yang menentukan perawatan adalah dokter yang merawatnya. 

Aku meninggalkan rumah sakit bersama ayah dan ibu saya. Sesampainya di rumah kami beberapa saat mendiskusikan kejadian yang menimpa pak Munthe. Semua merasa sedih. Ayah saya yang baru berulang tahun ke-72, 5 Juli lalu merasa terpukul. ”Saya mendapat hadiah pulsa Rp 50.000,” katanya ketika itu. Itu dari pak Munthe. Beliau tidak hanya memperhatikan orang-orang besar. Orang kecil di pelosok, masuk dalam doanya, masuk dalam pelayanannya. 

Hari-hari berikutnya aku hanya mendapat informasi melalui telepon dari inang. ”Tidak ada perubahan. Kondisinya sama seperti ketika masuk ke rumah sakit,”ujarnya, ketika kuhubungi besoknya. 

Jumat 24 Juli. Saya menjenguknya ke rumah sakit bersama istri saya, St Lerpin Girsang dan anaknya Melisa, dan Hendra Girsang. Saat itu dua orang teman kami Lae Tarihoran dan Romi Junover Girsang dirawat di rumah Sakit Herna. 

Aku bertambah pesismis melhat pak Munthe, kondisnya tidak berubah. Beliau tidak mengenalku lagi. Tak ada kata-kata yang bisa kuingat keluar dari mulutnya. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan. Sekali-sekali beliau menarik nafas panjang. Kepalanya digerak-gerakkan mulutnya bicara tanpa bisa kmengerti dengan jelas.

Istri saya menyerahkan serantang makan siang kepada inang Floriana Tobing. ”Hanya ini yang bisa kami bawa nang”ujar istriku. Inang yang baik hati itu menyambutnya dengan senyum. ”Serantang nasi bagi penjaga pak Munthe”, untuk kebaikan pak Munthe. Disaksikan pak Tjipta Sitepu dan pendeta Aruan yang saat itu berada di ruangan tiga kali tiga meter itu. Tjipta Sitepu nama yang sering disebut-sebut pak Munthe dan Aruan adalah asisten pribadinya di rumah dalam penulisan buku-bukunya. 

Tak ada tanda-tanda beliau akan pulih secepatnya, tetapi tidak ada firasatku beliau akan pergi. Kami meninggalkannya di rumah sakit. Beliau ditemani istri tercintanya dan beberapa teman dekatnya. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (3)

”Iboto ho do pak Munthe i RS?”. 

Oleh : Jannerson Girsang

Pagi-pagi hari Senin, 20 Juli 2009 di gereja GKPS Padang Bulan Medan. Saya menghadiri upacara pemberkatan Rina br Girsang anak bapa anggi almarhum Sudiman Girsang dari Pasar I. Salah seorang keluarga namboru Berkelina br Munthe (saudara perempuan satu-satunya dari Dr Armencius Munthe) mendekati saya dan berkata: “Ai ibotoh ho do lae Armencius Munthe sedang irawat di RS Herna. Nina terkena stroke ringan” katanya. Apakah anda tidak tau ipar saya Armencius Munthe dirawat di RS Herna. Katanya kena stroke ringan.  

Saya diam sejenak. Tak menjawab. Ada rasa malu, karena saya memang tidak tau apa-apa. Bahkan beliau menimpalinya lagi, ”Seharusnya kau yang lebih tau, malah kau tidak tau,”. 

Aku memang harusnya lebih tau dari beliau. Tetapi begitulah terkadang. Tidak semua informasi bisa kita lebih dulu tau, walau kita lebih dekat dengan seseorang. Saluran informasi bisa tertutup atau hal-hal lain yang membuat informasi tidak mengalir. .  

Wah, pak Munthe steoke. Tidak mungkin!. Langsung saya telepon inang Floriana, istri pak Munthe. ”Ya memang benar, bapak dirawat di Herna. Madabuh ia ari Sabtu, sanggah i pesta au”, katanya dengan suara lemah dan serak. 

Saat itu, kami hanya komunikasi lewat handphone. Saya mengatakan kami sedang di pesta. ”Oh pesta boru Girsang itu ya. Nasiam homa suhut tene”katanya mengaminkan alasan saya tidak menjenguk pak Munthe hari Senin itu. . 

Pesta itu adalah pesta Rina boru Girsang anak almarhum Saridin Girsang dari pasar I. Saya menjadi salah seorang wakil suhut dan tidak bisa meninggalkan pesta itu sampai selesai, sekitar jam 18,00 WIB. Saya memutuskan menjenguknya ke rumah sakit besoknya. Malamnya saya mengirim sms kepada teman-teman dekat.  

Selasa 19 Juli 2009. Sekitar jam 07 saya berangkat ke Rumah Sakit Herna. Kebetulan ayah dan ibu saya sedang berada di Medan, merekapun saya ajak ke sana. Tiba di rumah sakit, saya bertemu Elisa, anak tertuanya dan salah seorang saudara pak Munthe yang tinggal di Pematangsiantar. 

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (2)

Kaget Terima Pulsa 500 Ribu, Menyesal Tolak Tawaran Makan Siang 

Oleh : Jannerson Girsang

14 Juni 2009, Pesta Syukuran Ulang Tahuun ke 21 GKPS Simalingkar dan Pengumpulan Dana Pembangunan baru saja usai. Sebagian Panitia masih berkumpul di gereja. Bercengkerama minum kopi dan sebagian masih sibuk dengan perhitungan-perhitungan uang yang masuk dan keluar. Beberapa orang panitia, termasuk pendeta Jonesman Saragih, seorang pendeta pembantu di Resort Medan Selatan kebetulan berbincang dalam satu kelompok dengan saya. 


Tiba-tiba, sekitar pukul 19.20. WIB, handphone saya berbunyi, ada sms masuk. Alangkah kagetnya saya, ketika saya membukanya. ”Nomor handphone anda berhasil ditopup sebesar Rp 500 ribu”. Pertama kali dalam hidup saya mendapat kiriman sebesar itu. Bahkan pengisian pulsa paling banyak yang pernah saya lakukan one saya, hanya sebatas Rp 200 ribu. Tak lebih. Sms itu saya tunjukkan kepada teman-teman saya berbincang, termasuk pendeta Jonesman Saragih STh. 

Mereka terheran-heran bahkan ada yang berseloro minta dibagi. Kebetulan kami menggunakan handphone yang berbeda operator, jadi tidak bisa dibagi. Memang, ada seseorang yang sering mengirim saya pulsa akhir-akhir ini. Beliau bukan orang yang berkelebihan. Saya tidak yakin kali ini, pulsa itu berasal dari orang yang sama. Jumlahnya itu yang membuat saya tidak yakin. Tapi, siapa?

Beberapa jam kemudian, saya penasaran juga menelepon kepada orang yang biasa mengirim pulsa itu. Ternyata benar, pengirimnya adalah Pendeta Dr Armencius Munthe.Walaupun beliau tidak mengaku, tetapi saya yakin 100 persen pulsa itu berasal dari pria yang baik ini. 

Besoknya, 15 Juni 2009, telepon di rumah saya berdering. Yang menelepon adalah orang yang sama. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Termasuk kiriman sms hari sebelumnya. Ketika kiriman sms itu saya singgung, beliau tidak menanggapi, malah beliau mengatakan. ”Boi do ham roh hu rumah, laho mangan siang hita hu luar,”katanya. Saat itu sekitar pukul 11.00 WIB. Jadi kami disuruh datang jam 13.00. Awalnya saya setuju dan beliau memang serius menunggu.  

Tetapi oleh sesuatu hal, kami tidak bisa menepati janji itu dan dari nada suaranya, saya menduga beliau kecewa berat. Saat itu, istri saya pergi keluar rumah dan saya tidak tau waktunya kembali. Handphonenya mati. Akhirnya, saya menelepon pak Munthe supaya makan siangnya dibatalkan. ”Nantilah, kan masih banyak waktu,” demikian saya memghiburnya. Tapi jawaban dari seberang bernada kecewa berat. Namun, saya berfikir, terlalu banyak perbuatan baik pak Munthe akhir-akhir yang bagi saya terasa sebagai beban. Karena beliau tidak pernah mau dibayarin. 

(Beberapa bulan yang lalu, beliau mengajak kami makan bersama di salah satu restoran di Medan. Istri saya, saya dan pak Munthe. Ketika itu, istrinya tidak ikut. Kami baru pulang melakukan penghiburan dari rumah pak Washington Sipayung, yang beberapa hari sebelumnya mengalami musibah. Rumahnya dimasuk perampok).  

Undangan yang tidak saya penuhi ternyata membuat Pak Munthe sangat kecewa. ”Saya sudah membatalkan semua acara saya siang itu, tetapi kalian tidak datang,”ujarnya tetapi tidak menunjukkan raut wajah marah atau emosi. Beliau tidak pernah mau menyakiti hati. Menurut istri saya, yang beberapa hari kemudian bercerita dengan istrinya Floriana, pria berusia 75 tahun itu, begitu kecewa. 

Pasalnya, 15 Juni adalah hari bersejarah bagi mereka berdua. Hari perkawinan sekaligus pentahbisan Pak Munthe sebagai pendeta. Inilah kekecewaan pertama dan terakhir kali dari seorang teman, guru dan tempat saya curhat selama 22 tahun ini.  

17 Juli 2009, penasaran saya dan istri berkunjung ke rumahnya. Basa-basi sebentar, kemudian saya mengalihkan pembicaraan. ”Saya terima pulsa Rp 500 ribu, apakah pak Munthe yang mengirimnya,” demikian saya mencoba menghilangkan rasa penasaran itu. Tau apa jawabnya : ”Saya biasa mengirim pulsa untuk orang yang mau melakukan tugas-tugas sosial dan penulisan,” katanya enteng sambil tertawa. 

Di rumah, saya bercerita kepada istri saya, bagaimana saya membalas budi baiknya pak Munthe selama ini. Saya bingung menerima semua kebaikannya. Lantas muncul di benak saya, ide untuk mengerjakan biografi istrinya. Saya menelepon pak Munthe, beliau sangat senang. Itu akan menjadi hadiah bagi istrinya Floriana Tobing, yang akan merayakan Ulang Tahunnya yang ke-78, 16 September mendatang. 

Sepakat, akan mengadakan wawancara pada 29 Juni 2009. Kami bertemu di rumahnya usai makan siang. Wawancara berlangsung sampai sore hari. Kedua pasangan ini kelihatannya begitu gembira. Mereka kembali teringat masa-masa lalu mereka yang indah. Kadang pak Munthe dengan gayanya membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Inang Floriana kadang tersenyum simpul pada kisah-kisah yang lucu dan kadang muka sedikit emosi pada kisah-kisah yang menyedihkan. 

Saat wawancara pak Munthe menemani kami sebentar dan permisi, karena harus mengantarkan Theo cucunya ke Polonia. Theo berlibur di Jakarta di tempat tantenya. Usai wawancara, pak Munthe Pulang. Kami melanjutkan lagi pembicaraan sampai jam 19.00 WIB. Saya tidak memenuhi tawaran makan malam karena harus mengikuti sermón di GKPS Simalingkar. 

30 Juni 2009. Saya tiba di rumah sekitar pukul 10 pagi. Wawancara berlangsung dengan ditemani penuh oleh pak Munthe. Kami makan siang bersama. Saat itu kebetulan saya membawa kamera dan moment mereka bedua makan menjadi dokumen penting kehidupan pak Munthe. 

2 Juli 2009. Wawancara melanjutkan materi penulisan. Inang terlihat banyak batuk di sela-sela pembicaraan. Pak Munthe mendampinginya dan membuat suasana begitu bersemangat dan diiringi gelak tawa. Ketika beliau membaca tanggapan istrinya bahwa beliau adalah seorang pria yang ideal, beliau hanya senyum-senyum saja. Tanpa komentar.  

3 Juli 2009. Wawancara lanjutan dan pak Munthe begitu bersemangat. ”Tenang ma nasiam, ganupan beres do holi in. Ulang pala gobir nasiam,”. Kalian tenang semuanya akan beres. Jangan khawatir. Inilah pernyataanya, yang aku tidak tau apa maksudnya saya tidak tau sampai sekarang!. 

15 Juli 2009. Setelah Minggu sebelumnya tertunda karena ibu kurang sehat, wawancara lanjutan berlangsung dengan baik. Pak Munthe sepanjang pembicaraan mendampingi kami. 

16 Juli 2009. Sebagaimana sudah dijadwalkan, saya tiba di rumah sekitar pukul 10.20. Pak Munthe menyambut saya di depan pintu rumahnya. Seperti biasa kami bersalaman, sapaan akrab dan senyumnya yang tak terlupakan. 

Rumah begitu sepi. Hanya ada seorang pembantu, di luar kami bertiga. Kami duduk di ruang tamu. Pak Munthe duduk di kursi dekat pintu, saya di kursi membelakangi dinding rumah sebelah garasi dan Floriana di kursi sebelah kananku. Betul-betul ideal sebagai posisi wawancara. Berkali-kali pak Munthe bolak balik ke kamar mengambil foto. 

Beliau memberikan satu foto yang bekesan baginya. Keluarga Dr Kayser. ”Tidak ada yang memiliki foto ini, kecuali di rumah ini,”katanya bangga.

Wawancara hanya berlangsung sekitar 1.5 jam. Hari itu kami banyak membicarakan rencana teknis penyelesaikan buku. Pak Munthe akan mengerjakan koleksi foto dan percetakan buku. ”Saya punya teman yang memiliki percetakan di Jakarta,”katanya. 

Tiba waktunya makan siang. Pak Munthe mengatakan : ”Hari ini kita harus makan siang disini”. ”Oh, kali ini saya tidak menolak karena lebih sakit ditolak memberi daripada ditolak meminta,” saya bercnada. Pak Munthe tertawa. ”Baen...baen..baen. Lang boi lang mangan siang hita. Domma loja ham,”katanya. 

Usai makan siang, saya bercerita bahwa orang tua Bendahara Jemaat kami St JE Purba meninggal di Raya Humala. Saya akan ke sana Jumat sore dan Sabtu pagi baru tiba di Medan. ”Halani laho berangkat menjenguk na marujung do ham, hupaborhat do ongkos ni ham”, katanya sambil memasukkan amplop ke kantong saya.

Saya pamit pulang. Beberapa kali saya pamit, tetapi masih molor juga, karena pak Munthe masih ingin bercerita lebih banyak. Pak Munthe banyak bercerita tentang istrinya, Dokter Kayser, GKPS dan masalah operasi katarak yang gagal dilaksanakan pada bulan Juni lalu. Andaikata saya punya alat perekam ketika itu ya!. 

Karena alasan ayah saya sudah menunggu di rumah, maka beliau mengizinkan saya pulang. Sekitar pukul 13.30 saya pulang dan Markus Munthe, anak keduanya tiba di rumah. 

Pak Munthe mengantar saya sampai ke pintu gerbang rumahnya. Bahkan sampai ke luar gerbang, persis dipinggir jalan depan gerbang. Melalui kaca jendela mobil saya melambaikan tangan. ”Permisi ma au da pak Munthe, sampai ketemu Senin!”.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dalam kondisi badannya yang prima. Hari Sabtu, ketika saya sedang menulis hasil wawancara dengan istrinya, beliau mengalami musibah. ”Beliau terjatuh tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit,” demikian informasi yang kudengar beberapa hari kemudian. 

Tak kusangka kalau itu merupakan yang terakhir kalinya beliau menyertai saya dan istrinya Floriana wawancara. Andaipun penulisan buku itu dilanjutkan, tak ada lagi orang pintar dan bijak yang mendampingi kami, sebijak dan sepintar pak Munthe.  

Sebagaimana biasa, setiap minggu istri saya mengirimkan sms ucapan hari Minggu kepada Dr Armencius Munthe. Biasanya, tidak sampai lima menit sms seperti itu sudah dibalas. Inilah sms terakhir dari istri saya kepada pak Munthe. Ternyata saat itu beliau sudah berbaring di Rumah Sakit Herna, karena terkena stoke hari Sabtu sebelumnya. Tidak ada berita kepada kami.

Mungkin keluarga begitu panik dan tidak sempat memberitahukan. "Saya mengurus resep, mengurus rumah dan banyak lagi yang harus saya lakukan,"demikian Floriana istrinya mengakui banyak teman-teman dekat bahkan keluarga ang tidak terinformasi saat pak Munthe masuk Rumah Sakit.  

Hari-hari Terakhir Bersama Pdt Dr Armencius Munthe MTh (1)

Persahabatan Dipisahkan Kematian

Oleh : Jannerson Girsang

Usai upacara pemakaman Pendeta Dr Armencius Munthe, MTh, yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, saya mencoba menuliskan kembali kenangan-kenangan di hari-hari terakhir dengan beliau sekaligus mencurahkan kesedihan.  Sama seperti kesedihan mendalam yang juga dirasakan ribuan orang yang mengasihinya.   

22 tahun sejak pertemuan pertama kami sekitar 1987 di Pematangsiantar—saat kami bertugas sebagai dosen di Universitas Simalungun, persahabatan kami tidak pernah terputus. Persahabatan yang direkat dengan ikatan emosional kekeluargaan, diskusi kreatif, membuatnya menjadi persahabatan sempurna hingga akhir hayat. 

Beliau adalah guru saya dan sebaliknya Beliau mengganggap saya adalah temannya, bukan anaknya atau cucunya. Dalam setiap pertemuan, kami senantiasa berbicara akrab dan saling memuji satu sama lain. Topiknya mulai dari keadaan keluarga, kondisi GKPS, soal penulisan buku-bukunya, soal sekolah anak-anak dan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam setiap pembicaraan, beliau senantiasa memberi semangat, berfikir positif. Bersahabat dengan Dr Armencius Munthe, adalah berteman dengan orang yang berhikmat. 

Beliau sangat menghormati teman-temannya. Demikian juga terhadap saya. Beliau memanggil saya ”sintua nami”, dan tidak pernah memanggil nama, sebagaimana biasanya orang Simalungun yang lebih tua memanggil yang lebih muda. Meski usia kami berbeda hampir 26 tahun, tetapi beliau senantiasa menjaga dirinya bukan sebagai seorang senior. Kami berteman. ”Kalian seperti dua orang bersaudara,”ujar Floriana pada suatu kesempatan kami bicara berdua di rumahnya.  

Sebagai orang Batak seharusnya kami memiliki ”tutur”. Namun, kami tidak menggunakannya. Pak Munthe—demikian saya memanggilnya, acapkali bertindak sebagai pengkotbah pada acara peluncuran buku yang saya tulis. Itulah sebabnya, kami sering tampil berdua di depan publik. Di pesta-pesta atau acara gereja, kami akan megusahakan duduk bersama. Berbicara lama dan selalu ada hal yang baru. 

Setelah mengakhiri tugasnya sebagai Sekjen GKPS pada 1995, keluarga Pdt Dr Armencius Munthe pindah ke Medan. Jarak yang makin dekat (saya tinggal di Simalingkar dan hanya 10 menit dengan mobil ke rumahnya di Tanjungsari), mendukung persahabatan kami yang semakin erat. 

Sampai kemudian saya diberi kesempatan menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga”. Penulisan yang banyak dimotivasi oleh bapak Bungaran Saragih bersama teman-temannya. 

Beberapa kali peluncuran buku biografi yang kami tulis seperti Bukan Harta Duniawi (2002), Ketegaran Seorang Perempuan (2005), Haholongan (2008), beliau tampil sebagai pengkhotbah. Kalaupun beliau tidak pengkhotbah, saya senantiasa memberi undangan agar beliau bisa hadir. 

Beliau akrab dengan anak istri saya. Beliau peduli, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam perbuatan. Tidak ada persahabatan saya seakrab beliau dan seluruh keluarganya. Kami saling mengisi dan saling membesarkan satu sama lain, saling menghibur satu sama lain. Kami selalu berbicara hal-hal yang tidak membuat satu sama lain merasa tersinggung. Dua puluh dua tahun persahabatan kami berlangsung tanpa cacad.

Bahkan, secara tidak formal saya sudah menjadi bagian anggota keluarga pak Munthe. Demikian diungkapkan Paul Munthe, saat acara adat penutup dari tondong pada malam hari usai acara penguburan di rumahnya. Ungkapan itu tidak penting bagi saya, tetapi perasaan saya memang sungguh-sungguh demikian. Saya bangga menjadi bagian keluarga yang membanggakan ini. Armencius Munthe lebih dari orang tua bagiku. Dia begitu hormat kepada kedua orang tuaku yang orang desa dan jauh dari kemewahan, sekali lagi ”Bukan hanya dalam kata-kata”.  


Dr Armencius Munthe mengasihi temannya dengan segenap hatinya. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Demikian persahabatan kami selama ini. Persahabatan yang sungguh-sungguh, bukan persahabatan ”ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”, seperti banyak persahabatan ”hampa” yang beberapa kali saya alami. Bukan persahabatan ”numpang keren” sebagaimana sering terjadi dalam era reformasi ini. Bukan pula persahabatan yang bisa terganggu karena aliran ”politik”

Mungkin, persahabatan yang demikianlah hingga saya berkesempatan mendampingi beliau di dua bulan terakhir, hari-hari dimana pertemuan kami begitu intensif, sebelum Tuhan memanggilnya. Sebuah persahabatan yang dipisahkan oleh kematian yang tanpa cacad.  

Banyak kisah yang diutarakannya beberapa hari sebelum beliau harus dilarikan ke rumah Sakit Sabtu sore 18 Juli 2009. Tentunya, tidak semua harus kuceritakan disini. Lukisan ini hanya kumaksudkan bagi mereka yang merasa perlu membacanya dengan ”hati”, bukan dengan rasio. Tak ada analisa, hanya sebuah pandangan sekilas untuk sebuah persahabatan,menghormati seorang sahabat. Mudah-mudahan ada gunanya bagi yang lain. 

Jumat, 03 Juli 2009

Menulislah!, Maka engkau akan abadi.!


RESENSI BUKU

“Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis”

Oleh: Jannerson Girsang.

Ali Murthado, penulis buku motivasi penulisan, “Menulis di Surat Kabar Gampang” dan “Menghasilkan Uang Lewat Tulisan”, kembali meluncurkan buku barunya ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel” di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, 1 Juli 2009 lalu. Buku yang diterbitkan Wal Ashri Publishing ini merupakan kumpulan tanya jawab seputar motivasi penulisan artikel di media.

Buku setebal 115 halaman ini mengarahkan Anda menumbuhkan motivasi memulai menulis di media, sekaligus menghasilkan uang. Penulis yakin, salah satu peluang yang saat ini dilirik adalah menulis di media cetak maupun elektronik.

Jika Anda terbelenggu menulis karena alasan kemampuan bahasa, pengetahuan tulis menulis, tidak memiliki hasil observasi yang lengkap, tidak punya bakat menulis. Jangan frustrasi!. Buku ini menjawab masalah anda. Karena ternyata, masalahnya menulis bukan soal itu!

Tokh, sebanyak apapun anda mengetahui teknik menulis, tetapi ”Anda sendiri belum tergerak untuk menulis, sama saja itu hanya mimpi”, demikian ditegaskan dalam bab Pendahuluan buku ini. Lakukan menulis. Action!. Baru lengkapi diri Anda dengan teori atau informasi yang berhubungan dengan artikel yang akan anda tulis. Motivasi, kemauan menulis dan disiplin. Itulah kuncinya!.

Penjelasan dengan gaya Dialog—yang merupakan ciri khas buku ini dimulai dari Bab II hingga Bab VII. Membaca bab-bab ini anda akan termotivasi dalam mengatasi masalah Persiapan Menemukan Ide, Mulai Menulis, Mengikat Makna, Kesulitan yang Sering Terjadi, Mengutip Sumber dan Hambatan Menulis.

Bagian paling akhir Bab Penutup, menyajikan 4 contoh artikel yakni Artikel Umum, Artikel Agama, Artikel Iptek, Artikel Wisata, memudahkan Anda melihat model dan memilih topik artikel yang dipilih memulai menulis.

Secara umum, buku ini cukup memenuhi unsur-unsur mencerdaskan, mencerahkan, sekaligus memotivasi pembaca memulai menulis. Namun, mengingat bahasanya yang terkesan sedikit ”intelek” walau disajikan dengan gaya populer, kami menyarankan buku ini adalah bacaan bagi para mahasiswa.

Tak lupa, beberapa kritik disajikan disini dalam rangka perbaikan buku ini. Masih ditemukan kealpaan dalam pekerjaan pencetakan. Dalam buku yang kami pegang terdapat 2 halaman 82. Sebaliknya, bagian VIII: sub bab Penutup dalam daftar isi ditunjuk pada halaman 87, ternyata tidak tercantum dan tidak terdapat di halaman manapun. Sayang sekali, bio data penulis yang sebenarnya bisa menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi bagi pembaca tidak dicantumkan di bagian belakang buku. Selain itu, terdapat halaman-halam kosong sebelum dan sesudah bab pembatas. Sebaiknya halaman-halaman tersebut diisi gambar atau teks.
Terlepas kekurangan kecil buku ini, di tengah-tengah langkanya buku tentang motivasi penulisan yang ditulis putra-putri Sumatera Utara saat ini, kehadiran buku ini layaknya ”oase” di gurun pasir. Kegigihan dan konsistensi penulisnya memproduksi buku-buku jenis ini, pantas diacungi jempol!.

Menulislah!, Maka engkau akan abadi.!. Selamat membaca!

TOKOH WARTAWAN DI INDONESIA


RESENSI JAGAT WARTAWAN INDONESIA

Membuat profil 111 orang wartawan yang berusia 60 tahun pada suatu masa dengan rata-rata 6-7 halaman setiap profil bukan hal yang mudah. Sebuah hasil kerja keras yang menuntut ketekunan dan kesabaran. Hasil karya ini kemudian dibukukan dalam “Jagat Wartawan Indonesia” setebal 633 halaman dan diterbitkan pada 1980.

Mengenai jumlah 111 orang wartawan ini, menurut penulisnya bukan jumlah yang tepat, karena berbagai alasan. ”Barang tentu jumlah kaum wartawan yang kini (1980) berusia lebih dari 60 tahun atau yang telah wafat, bukan hanya mereka yang namanya tertera di dalam buku ini saja. Ada kalanya mereka itu alamatnya memang tidak diketahui penulis; adapula yang meskipun namanya dikenal, tetapi biodata yang ada pada penyusun sangat minim sekali, ..semisal Amir Hassan Bondan, Mohammad Horman, Housman Babu, A. Acil, A.A Hamidhan dan masih sederetan nama lagi”.

Sekedar mengingatkan, buku ini mungkin sudah tidak ada di toko buku lagi. Kami sendiri memperolehnya di toko buku loak di Titigantung Medan beberapa tahun lalu.  Menurut pendapat saya, buku ini adalah karya seorang wartawan yang pantas diacungi jempol dan seharusnya diterbitkan ulang atau dilengkapi dengan tokoh-tokoh wartawan generasi berikutnya. Sebagaimana pesan penulisnya : ”Kepada rekan-rekanku kaum wartawan generasi penerus”, maka adalah tanggungjawab wartawan lain untuk melengkapi dan melanjutkan tugas yang telah dirintis IN Soebagio ini.

Tidak mungkin menyebut ringkasan prodil satu per satu nama-nama dalam buku ini. Sekedar memberitahukan nama-nama yang ditulis, kami menyanjikan nama-nama wartawan yang diurut sesuai dengan urutan abjad dalam daftar isi buku. Ke-111 nama wartawan tersebut adalah: Abdul Hakim, Abdul Hamid, Abdul Muis, Abdul Rivai, Abdurrachman Baswedan, Abdulwahab Djojowirono, Abisin Abbas (Andjar Asmara), Adam Malik, Ahmad Sumadi Bratakuntjara, Ahmad Zainuddin Palindih, Ajat Djajaningrat, Albert Manumpak Sipahutar, Amarullah Ombak Lubis, Anwar Tjokroaminoto, Arif Lubis,
Arsyad Manan, Asa Bafagih, Asmara Hadi, Atje Bastaman, Bakrie Soeraatmaja, Bambang Sindhu, Bintarti, Bramono, Brotokesowo, Burhanuddin Muhammad Diah,
Drajat Harjakusumah, Darmawijaya, Darmosoegito, Didid Soekardi, Djamaluddin Adinegoro, Djawoto, Douwes Dekker Danudirja Setiabudhi, Elon Muhammad Dahlan, Enggak Bahau’ddin, Firdaus Harun al Rasyid, Goh Tjing Hok, Gusti Majur, SH, Hasbullah Parinduri, Horas Siregar, Husein Sutan Muhammad Noor, Ibnu Muhammad Arifin, Imam Supardi, Inyo Beng Goat, Joenoes Dirk Syaranamual, Joesoef Sou’yb, Karkono Partokusumo, Kasoema, Madikin Wonohito, Mangaraja Hezekiel Manullang, Mashoed Harjakoesuma, Marbangun Harjowirogo, Marco Kertodikromo, Mintardjo Tirtohatmojo, Mohammad Ali, Mohammad Ali Kamah, Mohammad Djamil Gelar Maharadja Ihutan, Mohammad Isnaeni, Mohammad Koerdie, Muhammad Radjab Soetan Maradjo, Mohammad Said, Mohammad Sofwan Hadi, Muhammad Yunan Nasution, Mohammed Basri, M. Tabrani, Muhammad Dimyati, Oemar Dachlan, Ot Pattimaipau, Pancratius Wardoyo, Pandu Kartawiguna, Parada Harahap, Petrus Kanisius Ojong, Rasuna Said, Rivai Marlaut, Ronggo Danukusumo, Sadono Dibyowirojo, Saeroen, Sajuti Melik, Sam Ratulangi, Samawi, Saruhum Hasibuan, Sjamsuddin Sutan Makmur, Sjarif Sulaiman, Soebekti, Soedarjo Tjokrosisworo, Soemantoro, Soemarto Dojodihardjo, Soemarto Frans Mendur, Soenarjo Prawiro Hadinoto, Soendoro Tirto Siwojo, Soepeno Hadisiswojo, Soerono Wirohardjono, Soetomo (mBah Tom), Soetomo Satiman, Soetopowonobojo, Sosrokartono, Suardhy Suryaningrat, Sumanang, Surastri Karma Trimurti, Sutan Mangaradja Sajuthi Lubis, Tadjib Ermadi, Taher Tjindarboemi, Telogomadigondo (Tm Gondo), Tengku Sjahril, Tirtoadisoerjo, Usmar Ismail, Wage Rudolf Soepratman, Wali al-Fatah, Winarno Hendronoto, Wongsokusumo Misralani, Yusuf Abdullah Puar, Zainal Abidin Ahmad.

Ketekunan dan kegigihan seorang IN Soebagio mendokumentasikan rekan-rekannya sendiri sesama wartawan adalah pekerjaan langka, yang mungkin sampai sekarang belum ada tandingannya. Soebagio In sendiri adalah seorang yang setia menekuni pekerjaannya sebagai wartawan hingga akhir khayatnya. Pria kelahiran Blitar 5 Juli 1924 ini adalah seorang penulis sejak jaman Jepang dan kemudian menjadi wartawan di berbagai surat kabar dan majalah. Diantaranya Pandji Poestaka, majalah Api Merdeka, Djiwa Islam, Menara Merdeka, Djajabaja, Pantja Raja, Suara Muda, Sedar, Minggu Pagi, Wakil Pemimpin Redaksi Penyebar Semangat, Antara, Kedaulatan Rakyat, Harian Umum, Surabaya Post, Liberal, Nasional dan lain-lain. Sejak 1958, dia kemudian menjadi Kepala Perpustakaan dan Dokumentasi Antara. (Buku ini pernah diresensi Atmakusumah di Majalah Tempo pada era 80-an).


Wartawan Baru Sempurna setelah Menulis Buku.


Ali Murthado (Kiri) dan Rizal Surya (Kanan)

Di tengah-tengah rendahnya minat penulisan buku oleh wartawan daerah di Provinsi Sumatera Utara, dua orang wartawan muda meluncurkan buku. Atas undangan salah seorang penulis, kami menghadiri acara tersebut. Kedua buku tersebut adalah ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel” karya Ali Murthado dan ”Tulisan Ringan Seorang Jurnalis” karya Rizal Surya. Kedua penulis itu, sehari-harinya adalah wartawan Analisa—media terbesar di pulau Sumatera yang terbit di Medan. Menurut H. Soffyan, penulisan buku adalah kesempurnaan seorang wartawan dalam menekuni dunia jurnalistik.

Tulisan Ringan Seorang Jurnalis : Pileg 2009, dinilai beberapa pembanding mampu memberikan pencerahan kepada setiap orang tentang pemilu legislatif yang baru berlangsung April lalu dan menjadi satu pemikiran aktual bagi pelaku politik dan masyarakat dalam menyikapi pemilu legislatif mendatang. Para pembanding mengatakan penulis buku ini paham terhadap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Dia mencatat sejarah pertama kalinya pemenang caleg dari etnis Tionghoa dengan menempatkan 11 etnis tersebut duduk di lembaga legislatif di Sumatera Utara—salah satu dari 33 provinsi di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa itu. Sementara buku ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel”, adalah sebuah pengalaman penulis yang dinilai mampu memberikan bimbingan bagi penulisan artikel pemula di media.

Peluncuran buku dilakukan di Aula Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Sumut, Jalan Brigjen Katamso Medan, Rabu, Juli 2009. BPAD bekerja sama dengan Lembaga Baca Tulis (eLBeTe).
Beritanya lengkap bisa dibaca di Harian Analisa 2 Juli 2009 dan www.analisadaily.com

Minggu, 21 Juni 2009

Melongok Upacara Ritual Acara Pemakaman: Toping-toping dan Huda-huda dari Simalungun


Oleh Jannerson Girsang

Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas dalam acara ritual pemakaman. Peninggalan budaya ini sungguh menarik untuk dipelajari dan dimaknai, khususnya para generasi saat ini. Salah satunya adalah Toping-toping dan Huda-huda.


Cerita berikut ini adalah laporan perjalanan kami. Pandangan mata dan sedikit keterangan dari tokoh desa dimana kami memperoleh ceritanya. Bagi yang mengetahui secara rinci, silakan diberi masukan!.
 
Alkisah, 7 Juni 2009 kami berkunjung ke Hampung, sebuah desa kira-kira 1 kilometer dari Negeri Dolok di Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa berpenduduk mayoritas suku Simalungun ini terletak sekitar 100 kilometer dari Medan. Dari Pematangsiantar, jaraknya hampir sama. Sayang, ketika kami ke sana jalan menuju ke sana  rusak dan harus menempuhnya lebih dari tiga jam. Saat kami berkunjung, upacara pemakaman seorang tokoh desa yang meninggal empat hari sebelumnya sedang berlangsung. Suasana berduka nampak di desa bependuk sekitar 100 Kepala Keluarga itu.

Memasuki pekarangan rumah duka, kami menyaksikan puluhan papan-papan bunga dari berbagai kalangan. Berjajar mulai dari jalan raya dan beberapa diantaranya di pajang halaman gereja di desa itu. Papan bunga itu berasal dari dari perangkat desa, para anggota legislatif Kabupaten, para pejabat kecamatan dan kabupaten dan keluarga besar berjajar rapi. Ungkapan duka yang marak menyusul pemilihan langsung pilkada dan pemilu ini.

Di tengah-tengah ucapan duka bergaya modern tersebut, berlangsung juga gaya orang Simalungun menghormati seseorang yang meninggal ”sayur matua”. Sebuah pesta besar dan menggelar berbagai upacara adat. Dari serangkaian acara yang digelar, Toping-toping dan Huda-huda menyedot perhatian kami. Upacara ritual ini merupakan sebuah bentuk Tari Topeng menyambut para pelayat dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Kecuali di desa ini, seumur hidup, kamibelum pernah menyaksikannya. Bahkan di kampung kami di Nagasaribu, Silimakuta, upacara seperti ini, dalam memori kami, penduduk desa dimana kami dilahirkan tidak pernah lagi digelar.

Secara umum toping-toping dan huda-huda terdiri dari tiga aktor, yakni mereka yang memainkan burung enggang dan dua topeng. Mengiringi penari topeng, digelar seperangkat alat musik tradisional Simalungun, gong kecil (panganak) dan lain-lain.

Musik tradisional mengawali pertunjukan. Bunyi musik dengan gendang dan gong bertalu-talu menggerakkan tiga orang penari mulai menari-nari di halaman rumah. Mereka berputar-putar dan  sesekali menghadap penonton seolah menyapa mereka. Mengamati dari dekat, ternyata ada tiga penari. Dua orang penari topeng berwajah manusia, ditutup kain berwarna biru dan topeng di masing-masing wajah mereka. Seorang lagi, dengan tubuh tertutup kain dan dikepalanya dikenakan paruh enggang.

Beberapa saat kemudian, setelah ketiganya melakukan gerakan-gerakan di halaman rumah, lantas mereka memasuki ”rumah duka”. Didahului patung yang berbentuk burung enggang, kemudian disusul dua pemakai topeng berwujud manusia. Ketiganya menari dan ”menyapa” satu persatu para keluarga yang sedang berduka.

Acara ritual tersebut hanya berlangsung beberapa menit, lantas ketiganya keluar dari rumah. Mereka lenyap begitu saja. Konon, tak seorangpun mengenal para pelakon. Dan tidak boleh seorangpun dibenarkan memberitahu identitas mereka.

Menurut seorang tokoh desa, dulu, pagelaran acara ritual ini mengandung ”magis” dan para aktornya tidak jarang kerasukan roh orang meninggal. Tetapi, kini acara seperti ini hanya merupakan acara budaya yang tidak mempertunjukkan unsur magis lagi. Setidaknya, saat itu kami tidak menyaksikan adanya kerasukan roh.
Topingtoping dan Huda-huda, merupakansebuah kekayaan budaya yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.  Saat ini, peralatan tari topeng masih dipelihara dan dirawat oleh penduduk desa itu dan beberapa desa di sekitarnya. Untuk memainkan upacara ritual ini, keluarga yang berduka menyewanya dari pemilik.

Lebih lanjut tokoh desa itu meneritakan bahwa upacara Toping-toping dianugerahkan kepada mereka yang meninggal di usia lanjut, memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari masig-masing mereka (sayur matua). Selain itu, juga memperhatikan ketokohan orang yang meninggal.

Kisah Toping-toping dan Huda-huda

Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk.

Penghuni istana serta pendudukpun terusik dengan keadaan yang tidak nyaman itu dan ingin berbuat sesuatu membujuk sang permaisuri. Berbagai cara sudah dilakukan, namun permaisuri tidak mengindahkannya.

Hingga di suatu talun sekelompok laki-laki yang sedang ”martambul” turut prihatin. Talun adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan memasak air aren (tuak) untuk membuat gula merah atau gula aren. Saat itu, di talun sedang berlangsung acara memasak binatang hasil buruan mereka. Salah satu binatang buruan itu adalah burung enggang.

Masalah ketidaksediaan permaisuri melepas mayat anaknya untuk dikebumikan menjadi topik pembicaraan mereka. Intinya, bagaimana caranya agar sang putri mau melepas mayat anaknya yang sudah membusuk itu untuk dimakamkan.

Alhasil, salah seorang dari mereka memiliki ide. Membuat pertunjukan lucu di depan sang putri, hingga nantinya mayat anaknya terlepas dari tangannya. Lantas mereka mencurinya dan memakamkannya!.

Usai bersantap, salah seorang diantara mereka memperhatikan sisa-sisa peralatan dan makanan tadi. Sisa daging enggang (paruh dan tulang lehernya) dicoba dikenakan di kepala salah seorang dari mereka. Terlihat lucu!. Maka ide lainpun muncul. Pelepah pinang yang biasa mereka gunakan tempat cuci tangan diukir menjadi ”patung” manusia berwujud laki-laki dan dikenakan di muka seorang lagi. Terlihat lucu juga!. Lantas dibuat satu lagi ”patung” manusia berwujud perempuan.
Ide membuat patung ini selesai. Masalahnya, siapa yang akan melakonkannya di depan sang putri. Karena tidak ada seorangpun berani melakukannya. Alasannya, apabila ada orang yang tau maka mereka pasti dihukum.  Mereka mempersiapkan tiga orang memainkannya di depan permaisuri.
Kini, mereka memikirkan cara agar aktor-aktornya tidak dikenali siapapun. Lantas, muncullah ide menutup seluruh tubuh mereka dengan kain. Pelakon burung enggang tadi seluruh mukanya ditutup dengan kain,  dan dikepalanya dikenakan paruh dan kepala enggang. Dua pelakon patung manusia muka ditutup dengan topeng dan tubuhnya ditutup dengan kain.
Setelah semuanya dipersiapkan dan mereka yakin pertunjukkan itu akan menarik perhatian sang permaisuri, ketiganya diberangkatkan memasuki istana raja. Singkatnya, mereka masuk ke ruang sang permaisuri. Saat permaisuri melihat ketiga patung aneh itu, dan dia terkejut. Mayat bayi di pangkuannya lepas!. Para penari topeng itu merebut mayat anak tadi. Melarikannya ke hutan dan menguburkannya.

Sejak itu, persoalan mayat bayi membusuk dapat diselesaikan tanpa seorangpun mengetahui orang yang ”mencuri” dan menguburkan mayat itu. Demikian kisahnya.

Upacara ritual ini masih dilaksanakan penduduk hingga di abad globalisasi dan informasi ini. Termasuk di Hampung, Negeri Dolok. Menurut keterangan seorang tokoh penduduk desa ini, beberapa desa di wilayah Silau Kahean dan Raya Kahean masih melaksanakan upacara ritual ini.

Selain itu pada acara ritual pemakaman, Toping-toping dan Huda-huda acapkali digelar pada acara-acara budaya Simalungun seperti pada Pesta Rondang Bintang atau pagelaran budaya bersama di Sumatera Utara.

Sebuah peninggalan masa lalu Simalungun yang seharusnya tidak punah begitu saja. Perlu dipelajari para generasi muda!.


Kamis, 11 Juni 2009

Renungan Pribadi Menjelang Pilpres Juli 2009




Pemilu dalam Persaudaraan

Oleh Jannerson Girsang



Angin lembut dan segar berhembus dari Jakarta 9 Juni 2009. Melalui media elektronik  saya dan berjuta-juta penduduk Indonesia lainnya menyaksikan Pasangan Calon presiden-calon wakil presiden Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto, Soesilo Bambang Yudhoyono-Budiono, dan Yusuf Kalla-Wiranto bergandengan tangan usai mengucapkan Deklarasi Pemilu Damai 2009. Tak ada alasan bagi kami menolak bahwa merekalah putra-putra bangsa ”terpilih” dan memiliki catatan perjalanan hidup ”terunggul”. Karena alasan itulah mereka ditetapkan KPU sebagai kandidat presiden memimpin lebih dari 200 juta penduduk Indonesia lima tahun ke depan. KPU kami percayai menetapkan mereka sebagai calon pemimpin ke depan.

”Dengan semangat persatuan dan persaudaraan menyatakan siap menciptakan pemilu yang aman, tertib dan damai semi terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan bangsa serta terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, demikian bunyi Deklarasi Pemilu Damai 2009 yang diucapkan dengan semangat oleh seluruh Capres dan Cawapres Disaksikan ratusan pengunjung pada acara yang diselenggarakan KPU itu, tentunya deklarasi ini tidak hanya diucapkan sebagai sebuah kewajiban, atau hanya lip service, tetapi sebuah tanggungjawab yang memiliki konsekensi-konsekwensi.

Bagi warga negara seperti saya, yang tak masuk hitungan dalam pertarungan kepemimpinan nasional (kecuali terdaftar di DPT), deklarasi yang berbunyi sangat indah itu bak air yang disiram kepada penonton yang kepanasan di tengah pertunjukan band Peterpan di lapangan terbuka. Sebuah siraman segar atas panasnya ”suhu” politik sejak Pemilu Legislatif dan Pencalonan Capres dan Cawapres periode 2009-2014.

Tekad persaudaraan dan menciptakan damai sebelum masuk ke gelanggang pertarungan Capres dan Cawapres meemberikan harapan bagi rakyat pemilih tidak terulang lagi cara-cara tidak sehat dalam persaingan merebut kepemimpinan nasional. Sudah cukup banyak waktu, pikiran dan tenaga yang tersita percuma karena dagelan para pemimpin yang tidak cukup dewasa memahami kondisi rakyatnya.

Para pemimpin hendaknya menyadari kalau sebuah keluarga, ayah dan ibunya tidak rukun, maka anak-anaknya akan terpengaruh. Pada pemilu legislatif lalu rakyat seperti kami sering terganggu pikirannya, pekerjaannya dan bahkan ekonominya, demi mensukseskan pemilu. Berbulan-bulan kecewa, bahkan ketika para pemimpin ramai-ramai mengatakan  boikot Pilpres, ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan atau melegalkan cara-cara yang tidak etis menjatuhkan lawannya. Dengan deklarasi ini, rakyat berharap saling ”caci maki” atau saling cerca diantara para pemenang tidak terjadi lagi. Hingga pemerintahan yang terbentuk akan kuat dan mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis.

Deklarasi ini  tidak memiliki kekuatan kalau para pengucapnya tidak melaksanakannya dengan konsisten. Dia harus disemaikan di hati rakyat serta seluruh pimpinan partai pendukung, penyelenggara pemilu serta aparat keamanan. Deklarasi ini menuntut para pemimpin memiliki jiwa besar dan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.

Semua harus menyadari bahwa Pilpres membutuhkan pengorbanan yang besar. Selain biaya yang sangat mahal  saya dan jutaan rakyat lainnya harus berkorban meluangkan waktu ke TPS. Harus meninggalkan kegiatan  memenuhi nafkah keluarga untuk hadir saat hari pemilihan ataupun menyaksikan penghitungan suara.

Untuk itu, rakyat berharap usai  Pilpres  tidak lagi menghadapi kekhawatiran baru.  Perlu diingatkan, tidak mungkin tiga calon menang. Yang pasti harus ada yang kalah. Masing-masing harus siap menang dan siap kalah. Yang kalah mengakui dan mendukung yang menang secara tulus. Tidak lagi mempersoalkan apakah sistem kita ini sudah jujur atau tidak. Bagaimana kalau rakyat ikut-ikutan menyatakan sistem kita tidak bagus. Mereka tidak mau memilih. Apakah mungkin para calon presiden terpilih jadi presiden?

Kita memiliki DPR,  KPU, MK yang seluruhnya dibiayai rakyat. Kita serahkan mereka menetapkan dan mengawasi proses berlangsung sesuai dengan aturan. Susahnya, para calon-calon pemimpin kami sering tidak jujur. Ketika "kalah" mencari alasan, tetapi kalau menang diam saja.

Semua telah sepakat melalui pemimpin-pemimpin, para founding father bahwa negara ini Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) dan hidup damai dibawah Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, menuju masyarakat yang adil, makmur dan demokratis. Kita tentunya dihimbau jangan lagi mempertentangkan perbedan suku, agama, warna kulit. Justru itulah kekayaan kita dan para pemimpin hendaknya mengelola perbedaan itu menjadi kekuatan.

Deklarasi pemilu damai ini, bermakna lebih luas. Tidak hanya mewujudkan perdamaian dan persatuan dalam suasana menuju Pilpres saja, tetapi hendaknya dijadikan momentum untuk tidak mengulangi lagi kemunafikan kita. Bangsa dengan toleransi yang tinggi, ramah tamah, gotong royong, tentunya kami berharap rasa permusuhan di kalangan elit, konflik, kerusuhan dan serta berbagai pengalaman pahit lainnya tidak terjadi lagi.

Sebagai rakyat biasa kami sering merenung-renungkan kutipan yang pernah diucapkan mantan presiden Amerika Serikat, Benyamin Franklin lebih dari seratus tahun yang lalu. ”Hal terbaik diberikan kepada musuhmu adalah pengampunan, kepada penentangmu, toleransi, kepada sahabatmu, hatimu yang tulus, kepada anak-anakmu, keteladanan, kepada seorang ayah, rasa hormat, kepada ibumu, melakukan hal yang membuatnya bangga denganmu, kepadamu sendiri, rasa hormat, kepada semua orang, kemurahan hati. “The best thing to give to your enemy is forgiveness; to an opponent, tolerance; to a friend, your heart; to your child, a good example; to a father, deference; to your mother, conduct that will make her proud of you; to yourself, respect; to all men, charity”.

Ketertinggalan bangsa ini, menurut kami salah satunya adalah karena belum berhasil mewujudlan identitas bangsa kita yang cinta damai, kerukunan dalam praktek politik dan kehidupan sehari-hari. Bukan isapan jempol, kalau para pendiri negara ini menekankan persatuan dan kesatuan bangsa. Ingat, berkat tidak mengalir kepada bangsa  yang warganya atau pemimpinnya tidak rukun. ”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!.....Sebab kesanalah Tuhan akan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya”. Semoga!.

Medan 9 Juni 2009

Jumat, 29 Mei 2009

Richest Man Who Ever Lived

“Perjalanan Hidup Yang Menakjubkan”

  
Jannerson Girsang

Pengalaman hidup seorang bijak memiliki kekuatan yang luar biasa. Steve Scott telah membuktikannya. Dia adalah salah seorang pendiri American Telecast Corporation--satu dari selusin lebih perusahaan multimillion dollar miliknya. Steven dan rekan-rekannya membangun perusahaan-perusahaan itu dari nol, dari sebuah kegagalan.

Anda mau tau kunci suksesnya?. Steve Scott menuangkannya dalam buku ”Richest Man Who Ever Lived”--sebuah pengalaman mempraktekkan Amsal Sulaiman (Proverbs)--salah satu buku dalam Perjanjian Baru (New Testament) ke dalam bisnis di zaman modern sekarang ini.

Bagi anda yang pernah membaca kitab Amsal Sulaiman (Proverbs) atau dalam Bibel Bahasa Simalungun disebut Podah, buku ini sangat membantu menjelaskan bagaimana praktek strategi Salomo dalam bisnis modern dan kehidupan sehari-hari. Barangkali selama ini anda membaca kitab setebal 31 pasal ini hanya berkekekuatan biasa-biasa saja, tidak ada salahnya anda bertukar pengalaman dengan Steven.

Dalam Kitab Amsal disebutkan bahwa strategi Salomo tidak hanya membuat Raja Israel yang terkenal itu memiliki reputasi, sebagai orang paling bijak sepanjang sejarah umat manusia, tetapi juga memberinya nilai kekayaan yang legendaris, sebagai orang terkaya sepanjang sejarah. Nilai emas yang dimilikinya saja, kalau dikonversi dengan nilai dollar saat ini, mencapai triliunan dollar.

Steve mengaku menerapkan strategi ini setelah terinspirasi dengan beberapa tokoh-tokoh besar Amerika yang menerapkan strategi Salomo dalam kehidupannya. Terukti mereka sukses dalam karier dan kehidupannya. Buku ”Richest Man Who Ever Lived” menyebut beberapa presiden Amerika seperti Abraham Lincoln, Thomas Jefferson dan tokoh-tokoh penting di negara Paman Sam itu umumnya menerapkan strategi Salomo.

Awalnya Steve sama seperti para pekerja biasa di Amerika Serikat sana. Dalam waktu enam tahun pertama kariernya, Steve mengalami sembilan kali berganti pekerjaan. Dalam buku yang diberi pengantar oleh Gary Smaley--penulis buku laris The Hidden Value of Man, disebutkan bahwa pengalaman Steve menerapkan strategi Salomo sungguh-sungguh luar biasa. Setelah terpuruk dalam kegagalan, dengan modal awal kurang dari $5,000, Steve dan rekannya memulai sebuah bisnis dengan menerapkan strategi Salomo. Kurang dari enam bulan Steve dan rekan-rekannya telah menghasilkan penjualan lebih dari satu juta dollar per minggu. Dari sebuah kehancuran, sukses kemudian menyusul dengan terbangunnya lebih dari selusin perusahaan multi-jutaan dollar dan mencapai penjualan miliaran dollar.

Selama 28 tahun terakhir menerapkan strategi Salomo, Steve mengakui tidak hanya mengalami perubahan hidup—merubah keuntungan menggunakan strategi Salomo dalam kehidupannya, tetapi mampu meraih kebahagiaan pribadi.

Buku “Richest Man Who Ever Lived” mejelaskan strategi Salomo dipraktekkan oleh Steve. Strategi itu diantaranya: Mencapai keberhasilan maksimum dalam waktu minimum, Menguasai keahlian penting kehidupan, Mengambil langkah-langkah paling kritis ke keberhasilan yang luar biasa, Menghindari penyebab utama kerugian keuangan, Merubah impian menjadi kenyataan, Memenangkan dan menyelesaikan setiap konflik, Menghindari jebakan yang selalu membuat jatuh, Memaksimumkan Persahabatan, Menaklukkan kekuatan perusak nomor satu persahabatan dan banyak lagi strategi jitu lainnya.

Satu catatan penting dari pengalaman Steve adalah bahwa saat menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan strategi Salomo, dia mengakui kehilangan hampir seluruh nilai, keluarganya, kebahagiaannya, dan jutaan dollar miliknya. Dengan menerapkan kebijaksanaan Strategi Salomo secara penuh, dia memperoleh kembali hal-hal yang selama ini hilang.

Selain membaca buku ini, Steve menyarankan anda membaca kitab Amsal yang berisi 31 pasal itu, satu pasal satu hari. Kalau kebetulan satu bulan--seperti Mei atau Juli berisi tiga puluh satu hari, maka selama satu bulan penuh kitab ini akan rampung. Dengan membaca kitab ini secara teratur, maka anda akan memperoleh sesuatu yang luar biasa. Silakan mencoba!.

Buku ”Richest Man Who Ever Lived”, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Steven K. Scott (2006). The Richest Man Who Ever Lived : Menyingkap Rahasia Orang Terkaya yang Pernah Hidup di Muka Bumi. Think, Yogyakarta. Buku ini layak dibaca oleh para pemimpin dan pengusaha, demikian juga setiap pribadi yang meinginginkan sukses dan kebahagiaan.

Buku ini bisa diperoleh di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Untuk mengetahui lebih jauh, anda bisa mengunjungi website-website. http://www.stevenkscott.com. Perjalanan kehidupan yang menakjubkan!

Medan, Mei 2009.