My 500 Words

Kamis, 29 September 2011

Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan Edisi Cetak, 29 September 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Saya bukan penulis sejak muda, dan baru memulai pekerjaan ini secara serius setelah berusia 40 tahun. Mulai dari menulis biografi, konsultan penulisan di berbagai media, dan menulis artikel di media cetak dan online.

Untuk informasi anda, saya telah menulis sekitar 14 buku otobografi dan biografi dalam kurun waktu delapan tahun. Artikel ini, adalah tulisan saya yang kesekian kalinya diterbitkan di berbagai media.

Menulis membutuhkan selain kemapuan dan pengetahuan yang terus ditingkatkan, juga perlu inspirasi untuk tetap bersemangat menulis. Salah satu cara saya meningkatkan kemampuan dan menjaga semangat untuk terus menginspirasi menulis adalah belajar dari pengalaman mereka yang sukses.

Menulis sebagai profesi bukan seperti meteor turun dari langit. Tiba-tiba saja melejit, bercahaya. Pekerjaan ini membutuhkan dukungan yang berasal dari diri sendiri, dari luar dan peralatan.  Mari belajar dari mereka yang sukses, ketimbang mengeluh soal penghargaan.

Mari sharing bersama tentang pengalaman saya kemaren!. Kemaren saya berselancar (searching) di internet dan membaca berbagai buku di Buku Google.

Mengeluh?: Malu Dong!

Membaca buku ”Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia” memberi inspirasi bagi saya bahwa menulis secara total akan memberikan hasil dan penulis sukses itu bekerja dan berjuang hingga mereka mencapai status mereka sekarang.

Buku tersebut ditulis oleh Albert Marbun dan diterbitkan Ide Media, 2008. Informasi ringkas buku itu bisa anda peroleh di Buku Google, karena sudah didigitalkan 25 Juni 2010 lalu. Albert juga seorang penulis novel: ”Jatuh Cinta di NAD”.

Di dalam buku itu ada daftar nama Alberthiene Endah, mantan wartawan, kemudian penulis novel dan terakhir sangat terkenal menulis biografi, Jennie S Bev penulis Indonesia yang kini berjaya di Amerika Serikat, Elizabet Lutter serta ratusan penulis lain yang sudah sukses.

Kalau mau sukses sebagai penulis, seseorang harus total menulis. Tidak ada penulis sukses berhasil tanpa usaha maksimal. Anda tidak hanya menulis sekali saja, langsung meraup milaran rupiah, seperti penulis Andrea Hirata. Menjadi seorang penulis sukses harus menghasilkan tulisan yang laku di pasar. Ada pembacanya atau pengguna tulisan itu.

Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas, dan mampu menulis dari topik yang khusus yang diperlukan orang-orang tertentu, kalau bisa juga dibutuhkan sebagian besar penduduk negeri (dunia) ini.

Membaca buku “Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia”, ada rasa geli kalau mendengar keluhan-keluhan para penulis, seperti kurang penghargaan, kurang dukungan, kurang macem-macem. Tidak ada gunanya. Sebab nasib penulis bukan di tangan siapa-siapa.

Harus diingat, penulis bergantung kepada lingkungan. Bukan sebaliknya lingkungan tergantung pada penulis. Peduli amat lingkungan kepada penulis!. Anda yang harus membuat para pembaca merasa penting untuk membaca tulisan anda. Anda harus mampu membuat tulisan anda: ”Enak Dibaca dan Perlu”, seperti semboyan Tempo, majalah berita terkemuka di Indonesia.

Tentu malu kalau kita para penulis mengeluh, sementara dalam keadaan seperti sekarang ini begitu banyak penulis sukses dan kaya di negeri ini.

Persiapan Diri

Saya kemudian mempelajari lebih lanjut pengalaman Elizabeth Lutter. Dia adalah penulis skenario dan menuliskan pengalamannya dalam buku:”Kunci Sukses Menulis Skenario, Elizabeth Lutter (orang Indonesia Asli).

Buku ini memberi tips bagi saya bahwa seorang penulis (dalam hal ini penulis skenario), bagi saya itu sama saja dengan penulis bidang yang lain, harus memiliki persyaratan sebagai berikut.

Pertama harus ada dorongan dari diri sendiri, seperti minat dari dalam diri seperti bakat, motivasi, disiplin, kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, komunikasi (dengan berbagai pihak, memperoleh informasi tentang bahan tulisan, media tempat menulis dll), belajar (seorang penulis adalah pembaca tentang apa saja yang mampu mendukung kualitas tulisan)  dan  memiliki pengalaman perjalanan (untuk memperkaya tulisan tentang lokasi).

Belajar tidak hanya dari buku-buku, koran atau televisi/radio, internet, tetapi juga memaknai catatan pengalaman hidup, perjalanan yang pernah dilakukan atau merencanakan perjalanan.

”Belajar adalah kutuk masa kecil, minyak masa dewasa, dan obat di masa tua”, Walter Savage Landor, seperti dikutip Elizabeth.

Penulis harus terus belajar dari apa saja yang dilihatnya. Mendalami makna dari fakta yang ada, sehingga penulis mampu ”Menulis Fakta dan Memberi Makna”. Jika tidak maka tulisan akan kering, tak bermakna. Pembaca bosan dan tulisan tidak laku.

Hal lain adalah disilplin. Elizabeth menulis setiap hari dengan jam-jam yang sudah ditetapkannya dan konsep yang sudah ditulisnya.

”Saya sendiri terus terang belum bisa mengatur waktu dengan pasti. Sehingga saya membiarkan lapotop saya terbuka mulai pukul 11.00 (setelah pekerjaan rumah tangga beres, hingga pukul 01 non stop, setiap hari. Apa yang saya kerjakan hari ini sudah saya konsep terlebih dahulu. Meski laptop saya terbuka dari pukul 11.00 dampai 01, bukan berarti sepanjang 14 jam itu saya bekerja terus menerus di depan laptop. Di sela-sela jam itu, kadang-kadang saya masih bisa membaca atau becanda ria dengan keluarga, jika tiba-tiba saya mendapat ide, saya langsung ke laptop untuk mengetiknya”.

Sebagai perbandingan, Elizabeth mengutip pengalaman Norah Lofts penulis roman sejarah yang melakukan pekerjaannya mulai dari jam 09.00-13.00, dan mulai lagi 16.30-19.30, setiap hari.

Kedua, harus mendapat dukungan dari luar diri seperti keluarga, lingkungan, mengatur kedatangan tamu/kerabat, memiliki rekan kerja (Asisten dan Sekretaris, bagi penulis yang volume pekerjaannya sudah besar), penonton (penulis scenario), pembaca (penulis buku, media cetak), pemirsa (radio, televisi) dan sesama penulis.

Hambatan besar saya menulis adalah dukungan keluarga dan lingkungan. Pengalaman kami di Medan, keluarga atau lingkungan masih memandang pekerjaan menulis bukan sesuatu yang menjanjikan. ”Penulis?”. Apa itu?. Orang belum percaya kalau penulis itu bisa hidup dari menulis.

Selain itu, tamu-tamu yang datang tanpa memberi tahu kedatangannya sering menjadi pengganggu. Karena mereka tidak mengerti pekerjaan saya,  maka dikira saya main-main. Ini bukan salah mereka. Memang sayalah yang harus menjelaskannya. Beberapa saya beritahu agar kalau mereka datang memberitahu terlebih dahulu.

Kalau menghadapi masalah saya senantiasa ingatkan kata-kata Nurheti Yuliarti dalam bukunya ”Menjadi Penulis Professional”: ”Ungkapan hati seorang penulis yang penuh ketulusan dan keikhlasan lebih berharga dari sekadar kemewahan duniawi”.(Nurheti Yuliarti, Menjadi Penulis Professional).

Meski pendapatan menulis saat ini masih kecil, tetapi sesuatu yang lebih berharga saya peroleh. Pekerjaan apapun yang saya lakukan, tidak mungkin membuat saya lebih dikenal dan dihargai seperti sekarang ini.

Ketiga, harus memiliki dukungan fasilitas, seperti peralatan kerja, tempat kerja, perpustakaan. Ruangan tempat anda menulis harus nyaman dan memiliki peralatan kerja, komputer yang tersambung dengan internet. Menurut saya peralatan ini mutlak.

Sangat tidak layaklah kalau masa sekarang ini penulis masih menggunakan mesin ketik lama. Sangat menyusahkan tidak hanya dirinya, karena kita tidak bisa bekerja cepat dengan mereka. Penulis harus mampu menghasilkan tulisan dalam format mikrosoft word yang bisa dikomunikasikan menggunakan e-mail. Para redaktur mediapun akan bekerja dua kali menghadapi penulis yang menggunakan mesin ketik tradisional seperti ini.

Penulis harus memiliki perpustakaan pribadi, sekecil apapun ukurannya. Setidaknya beberapa referensi-referensi penting tersedia di dekat meja anda saat menulis. Sekali-sekali harus berkunjung ke perpustakaan, demikian juga mengunjungi beberapa perpustakaan digital di internet.

Kalau anda belum sukses, berarti anda harus belajar cara-cara mereka yang sudah sukses dan mengembangkannya.

Penutup

Menulis sebagai sebuah profesi adalah merebut pasar. Itu tidak mudah. Hal ini perlu supaya anda tidak kecewa dan mengutuk pekerjaan menulis.Harus diingat: No gain without pain. Tidak ada hasil tanpa pengorbanan. Melakukan pekerjaan apapun tidak bisa sambilan, tidak bisa setengah-setengah. Sukses menulis,  sama dengan sukses di pekerjaan lain, harus total.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi anda!

Artikel ini juga bisa diakses di :
http://medan.jurnas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65978:belajar-dari-para-penulis-sukses-indonesia&catid=57:opini&Itemid=65.

Minggu, 25 September 2011

Suka Duka Isteri Pendeta, Floriana Tobing: ”Berdoa dan Menebar Kasih” (Harian Sinar Indonesia Baru, Minggu 25 September 2011)

Siswa Sekolah Diakonia Pertama ke Jerman

Oleh: Jannerson Girsang 

Biografi Floriana Tobing, 2009 

“Setelah saya menjadi istri pendeta, maka pekerjaan sebagai bidan saya lepas. Saya harus penuh mendampingi suami sebagai pendeta,”ujar Floriana Tobing, siswa Sekolah Diakonia Jerman yang dikirim Huria Kristen Batak Protestan pada 1952.

Sebelum menikah, istri mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Pendeta Dr Armencius Munthe ini, dikenal sebagai perawat di RS Bethesda GKPS Saribudolok, dan di luar tugasnya sebagai istri Ephorus dan ibu rumah tangga, juga aktif dalam berbagai organisasi sosial, hingga sekarang.

16 September 2011 Floriana genap berusia 80 tahun. Hari itu, sekitar duapuluhan lansia (usia lanjut) berkumpul di Wisma GKPS Tuluy, Medan. Di sana hadir Pendeta Belman Purba Dasuha (mantan Ephorus GKPS periode 2005-2010), Pdt Jawalden Sinaga, Pendeta Resort GKPS Medan Selatan, anggota keluarga dan beberapa orang undangan. Usai acara kebaktian, dilanjutkan dengan pemotongan kue dan acara ulang tahun. Sederhana sekali!

Di usia 80, wanita berkulit putih dan tinggi badan kurang dari 160 cm ini, masih mampu membagikan kue ulang tahun dan dengan ramah menyapa teman-temannya sesama anggota kelompok lansia GKPS Maranatha.

Dua tahun setelah ditinggal suaminya Pdt Dr Armencius Munthe MTh, 25 Juli 2009, ibu dari Elisa Munthe, Paul Munthe, Markus Munthe, Ruth Munthe ini mengarungi bahtera keluarga dengan merangkap sebagai bapak dan ibu bagi anak-anaknya. Putri mantan pejabat penting di Kantor Gubernur Sumatera Utara ini, dalam kesendirian setelah ditinggal suami, di luar kegiatan sosialnya, rajin menghadiri pesta-pesta perkawinan, kebaktian-kebaktian dan pertemuan-pertemuan lansia.

”Hidup adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Sepeninggal bapak, saya beberapa kali jatuh sakit dan dirawat beberapa kali. Hari ini, saya bahagia karena Tuhan senantiasa menolong orang yang berserah kepadaNya,”ujarnya memaknai Ultahnya ke-80 itu.

Sekolah Perawat ke Jerman, 1952

Bagi seorang gadis Batak di era 50-an, ditawari sekolah ke Jerman adalah sebuah kesempatan yang langka. Saat itu kebanyakan perempuan Batak, bahkan perempuan Indonesia pada umumnya, menghabiskan sebagian besar waktu mereka bekerja di ladang atau sawah, masih sedikit keluar dari desanya dilahirkan.

Saat-saat seperti itulah Floriana HKBP mengirimnya Sekolah Diakonia ke Jerman pada 1952. Mereka memperoleh bea siswa Sekolah Diakones dari RMG (Rheinische Mission Gessellschaft) yang berkedudukan di Wuppertal, Jerman. Dirinya berangkat bersama dua temannya Nuria Domdom Gultom dan Bonaria Hutabarat.


Ia menyelesaikan Sekolah Diakones di Kaiserwerth (1956) dan Tubingen (1958).
Di dua lokasi pendidikan itu, Floriana menguasai ilmu kebidanan dan berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggeris dan Belanda.

Sekembalinya ke Indonesia, selama dua tahun, cucu pendeta HKBP Amon Lumbantobing ini mengawali kariernya sebagai bidan di Rumah Sakit HKBP Balige—milik gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Dari sana HKBP memindahkannya ke Rumah Sakit Bethesda di Saribudolok—sebuah rumah sakit milik GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun). GKPS adalah sebuah gereja yang saat ini memiliki 200 ribu lebih jemaat.

Menikah dengan Pdt Armencius Munthe

Wanita berkulit putih dan bertubuh pendek ini menikah dengan Armencius Munthe—lulusan Master Theologia, Universitas Hamburg, Jerman, pada 1966. Pernikahannya mengakhiri kariernya sebagai bidan di rumah sakit yang terletak 1400 meter di atas permukaan laut, yang berjarak 112 kilometer dari Medan.

Menjadi isteri pendeta baginya adalah sebuah pelayanan total mendukung tugas-tugas suami dan melepas pekerjaannya sebagai bidan. ”Itu sudah menjadi prinsip hidup saya,” ujarnya dalam buku otobiografinya ”Berdoa dan Menebar Kasih”, yang diluncurkan di Medan, 16 September 2009 lalu, tepat pada hari Ulang Tahunnya ke 78.
Waktunya dicurahkan mendampingi suaminya sebagai pendeta yang pernah bertugas di pulau Nias, Sondiraya dan menjadi Pimpinan Pusat GKPS yakni menjadi Sekjen dan Ephorus selama 25 tahun (1970-1995).

Di sela-sela tugas mendampingi suami. Floriana terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Perempuan yang mampu berbahasa Inggeris, Jerman dan Belanda ini pernah menjadi penerjemah dalam program KNH (Kinder Not Hilfe) GKPS dan bagi para tamu-tamu GKPS saat melakukan peninjauan atau perjalanan ke jemaat atau program-program gereja lainnya.

Selain itu, selama 22 tahun, sejak 1986, Floriana menjadi Sekretaris Yayasan Harapan Jaya, sebuah Yayasan Katolik yang didirikan di Pematangsiantar pada 1982. Yayasan ini bergerak membantu anak-anak cacad. Bersama pengurus yayasan lainnya, pengabdiannya di yayasan itu mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Drs Rudolf Pardede, bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun ke 25 yayasan itu pada 2007. Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi wanita gereja seperti Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI).


Pada 1995-selepas suaminya mengakhiri jabatan sebagai Sekjen GKPS, Floriana dan keluarganya pindah ke Medan. Sejak itu ia mendampingi suaminya yang bekerja sebagai dosen, aktif sebagai pengkhotbah di berbagai gereja di Sumatera Utara (GKPS, HKBP, GKPI, Gereja Methodist, GBKP, BNKP dan lain-lain), representasi Crossway International-sebuah lembaga berpusat di Minneapolis, Amerika Serikat, Perguruan Immanuel Medan, dan berbagai yayasan sosial lainnya.

Almarhum suaminya Pendeta Dr Armencius Munthe yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, menggambarkan Floriana sebagai seorang perempuan yang senantiasa "Berdoa dan Menebar Kasih".

Anak Pejabat


Floriana Tobing  lahir di Flores pada 16 September 1931. Flores adalah sebuah pulau yang terletak beberapa ratus kilometer sebelah Timur pulau Balim, ketika bekerja sebagai seorang klerk di kantor pemerintah Hindia Belanda di pulau itu.

Ayahnya hijrah ke Jakarta pada era 1920-an dan sebelum bertugas di Bengkulu, pernah menjadi klerk di kantor Pemerintah Belanda di Palembang.

Putri pasangan Alfred Lumbantobing dan Hilderia Panggabean ini, menjalani masa kecil sampai remajanya di Flores, Lombok, Bengkulu dan Lampung.

Sebagai seorang anak pegawai Belanda, Floriana memperoleh pendidikan dasar di Europese Lagere School (ELS) di Bengkulu dan Lampung. ELS adalah sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda. Dia dibesarkan dalam keluarga dengan pengantar Bahasa Belanda.

Masa penjajahan Jepang adalah masa-masa penderitaan keluarganya. Ayahnya ditahan Jepang di sebuah penjara di Jambi. Kehidupan keluarganya bertambah sulit, karena puluhan keluarga mereka yang tinggal di Jakarta mengungsi ke Lampung karena situasi keamanan. Selain itu, buruknya pelayanan kesehatan di masa penjajahan Jepang, menyebabkan adiknya Jhony Lumban Tobing yang ketika itu berusia 10 tahun meninggal akibat tetanus.
Di masa sulit itu, nenek dari enam cucu itu melakukan berbagai pekerjaan untuk membantu keluarganya. Mulai dari menyanyi bersama grup band di berbagai acara untuk mendapatkan hadiah sabun, mengikuti lomba bahasa Jepang demi sebungkus rokok ”Davros” untuk ditukar dengan garam, bahkan kasir di Kawasaki Jidosha — sebuah perusahaan bus angkutan, dengan imbalan sabun atau minyak makan.

Ayahnya, abang kandung Pdt Dr Andar Lumbantobing—mantan Bishop Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), pindah tugas dari Lampung ke kantor gubernur Sumatera di Medan, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.

Di kota inilah, anak tertua dari tiga belas bersaudara ini menyelesaikan IMS (Indonesische Middlebare School) pada 1950.

Selamat Ulang Tahun Inang Floriana, semoga pelayananya menjadi teladan khususnya bagi para istri pendeta, dan warga jemaat lainnya. Tuhan memberkati.

Catatan: Beliau meninggal dunia 29 Maret 2013 di rumahnya kompleks Perumahan Pemda, Tanjung Sari, Medan.

Senin, 12 September 2011

Belajar dari Kesalahan

Oleh: Jannerson Girsang

Albert Einstein berkata: “Seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak pernah mencoba sesuatu yang baru. A person who never made a mistake never tried anything new”.

Sejak duduk di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa kesalahan adalah sifat yang melekat pada diri manusia. Tidak seorangpun yang sempurna. Itulah yang membedakan kita dari Tuhan yang maha sempurna. Makanya setiap hari hari besar keagamaan ada acara maaf-maafan.

Dalam hidup berbangsa dan bernegara, seseorang yang melakukan kesalahan mendapat ganjaran menurut aturan yang sudah disepakati bersama sebagai bangsa: undang-undang yang berlaku. Hukuman sebenarnya bukan tujuan akhir dari sebuah kesalahan, tetapi apa yang mereka lakukan menjadi pelajaran berharga bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Mengapa?. Karena manusia adalah mahluk yang istimewa. Mereka dianugerahi Tuhan kemampuan memperbaiki kesalahan yang dibuatnya—baik kesalahan dirinya sendiri maupun kesalahan yang pernah dibuat sesama umat manusia lainnya. Itulah yang membedakan mereka dari binatang, mahluk ciptaan Tuhan yang lain.

Semua bangsa ini yakin bahwa manusia belajar hidup lebih baik dan lebih mudah, karena belajar  dari kesalahan yang pernah dibuatnya, atau kesalahan orang lain. Makanya manusia memiliki pepatah,:”Jangan terperosok ke lobang yang sama”.

Di tengah-tengah kegemaran sebagian warga bangsa memperlakukan sebuah kesalahan menjadi adegan sinetron yang never ending, pikiran saya menerawang kepada peristiwa tragis 25 tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar mampu menjadi pelajaran, bukan bahan olok-olokan, apalagi digunakan sebagai alat untuk saling menjatuhkan antara sesama warga bangsa.

Kesalahan dengan Kerugian Besar

Dua puluh lima tahun lalu, suatu sore awal 1986, saya bersama beberapa rekan kerja di salah satu ruangan di kantor USESE (Unit Studi Evaluasi Sosial Ekonomi), salah satu unit di Proyek Citanduy II di Ciamis Jawa Barat, terhenyak atas sebuah berita televisi.

Melalui siaran TVRI—satu-satunya stasion televisi ketika itu, sebuah berita meluncur: ”Pesawat Ulang-alik Challenger meledak hanya 73 detik setelah tinggal landas, 28 Januari 1986,”.

Di layar pesawat televisi kami menyaksikan bagaimana suasana keriangan di pusat pengendali  NASA, Cape Canaveral berubah menjadi kesedihan yang luar biasa. Kepingan-kepingan pesawat meluncur seperti meteor dan jatuh di atas Samudera Atlantik.  Wajah panik terlihat di wajah para petugas.

Keluarga korban terlihat histeris menyaksikan anggota keluarga kebanggaannya tewas seketika dan tubuhnya hancur berkeping-keping .Tujuh awak pesawat dan seorang guru yang ikut dalam misi penerbangan luar angkasa itu tewas. Mereka adalah Michael J. Smith , Dick Scobee , Ronald McNair; Ellison Onizuka ,Christa McAuliffe , Gregory Jarvis , Judith Resni. Mereka adalah putra putri terbaik Amerika. Christa McAuliffe misalnya adalah pemenang dari 11 ribu calon NASA asa Teacher in Space Project.

Kecelakaan ini menimbulkan kerugian dengan total 5.5 Milyar US Dollar, yaitu 2 milyar Dollar untuk penggantian pesawat dan sisanya untuk biaya penelitian, investigasi, dan lain-lain. Angka yang tidak sedikit, dua kali lipat dari bantuan IMF kepada BI tahun 2009 sebesar US $ 2,7 juta.

Merumuskan Kesalahan dan Memaknai Kesalahan

Segera setelah kecelakaan pesawat itu, Pemerintah Amerika Serikat membentuk komisi khusus dengan ketua : William P. Rogers—mantan Menteri Luar Negeri AS; wakil : Neil A. Armstrong—mantan astronout yang pertama kali mendarat di bulan untuk menginvestigasi kecelakaan dan kemudian menghasilkan beberapa fakta sebagai dasar untuk menjelaskan penyebab kecelakaan tersebut.

Enam bulan kemudian, Juni 1986, komisi ini sudah mampu menemukan penyebab kecelakaan dan mengumumkannya secara terbuka kepada publik. Kesalahan yang mereka temukan bisa dilihat di http://www.aerospaceguide.net/spaceshuttle/challenger_disaster.html.

Kesalahan-kesalahan diperbaiki dan proyek peluncuran pesawat ulang-alik berlanjut dengan penyempurnaan-penyempurnaan.

Dua puluh lima tahun kemudian, seperti diberitakan Associated Press, Sabtu (29/1), ratusan orang, berkumpul di lokasi peluncuran kapal ulang alik milik NASA untuk memperingati 25 tahun kecelakaan Challenger.

Mereka adalah mantan manajer NASA, mantan astronaut, keluarga dan teman astronot yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut serta para pelajar yang belum lahir saat kapal ulang alik yang akan mengantarkan seorang guru asal Concord, New Hampshire, meledak di udara.

Kecelakaan pesawat ulang alik Challenger bukan yang pertama dan terakhir terjadi di NASA. Dalam upacara tersebut, Scobee Rodgers dan Kepala Operasi Luar Angkasa NASA Bill Gerstenmaier meletakkan sebuah karangan bunga berwarna merah, putih, dan biru di dasar Space Mirror Memorial, tugu setinggi 13 meter yang bertuliskan nama 24 astronaut yang tewas saat menjalankan tugas sepanjang sejarah NASA.

Hal menarik adalah reaksi para keluarga korban yang cukup simpatik. Mereka tidak terus-terusan mengutuk kesalahan yang terjadi, meski keluarga mereka menjadi korban. Simaklah pernyataan June Scobee Rodgers, janda dari komandan kapal ulang alik Challenger Dick Scobee.

Dia meminta mereka yang berkumpul di Cape Canaveral untuk tidak hanya melihat ke belakang namun menatap ke masa depan terutama di bidang pendidikan mengenai luar angkasa dan ilmu pengetahuan.

Semangat para astronaut diangkat menjadi motivasi bagi rakyat Amerika. "Seluruh dunia telah mengetahui bagaimana para astronaut Challenger meninggal. Kini kita harus mengingatkan mereka mengenai kehidupan mereka dan apa yang mereka pertaruhkan saat memasuki kapal ulang alik tersebut," tegas Scobee Rodgers.

Belajar Dari Kesalahan

Kisah jatuhnya pesawat ulang alik Challenger dan pemaknaan atas peristiwa itu menjadi sebuah refleksi bagaimana kita menyikapi sebuah kesalahan.

Artikel ini menghimbau agar sebagai bangsa, di benak kita muncul kesadaran bahwa kesalahan yang sudah terjadi tidak mungkin dihapus dan akan melekat selama-lamanya sebagai bagian dari perjalanan bangsa ini .

Kasus Century, Gayus, Nazaruddin, kecelakaan pesawat, kecelakaan kapal laut, hukuman mati bagi TKI di luar negeri dan pengelolaan TKI itu sendiri, dan ribuan kesalahan yang sudah dilakukan pejabat, pribadi atau bangsa ini secara keseluruhan.

Kita teralalu banyak membuang energi membicarakan kesalahan dan kadang mempolitisir kesalahan itu sendiri. Sebuah kesalahan seharusnya disikapi dengan memberi makna, karena kesalahan telah menyebabkan kerugian besar. Menatap ke depan dan memperbaiki kesalahan.

Sampai sejauh ini, kebanyakan kesalahan itu masih disikapi dengan asyik mencari kambing hitam, belum mampu menarik pelajaran berharga. Buktinya, kasus Century justru diikuti kasus Gayus dan Nazaruddin. Kita tetap berputar-putar di lubang yang sama.

Kasus TKI dari dulu hingga sekarang tak habis-habisnya menjadi sorotan, tanpa sesuatu usaha yang sistematis untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Kita baru mampu membuat moratorim pengiriman TKI, suatu keputusan yang tentunya kurang bijak dalam jangka panjang, mengingat besarnya minat TKI dalam negeri (Kompas, 23 Juli 2011), menyikapi kasus PNS yang membebani APBN dengan penandatanganan moratorium PNS oleh Tiga Menteri (Kompas 24/8/2011).

Peristiwa Tsunami dan Gempa Aceh-Nias, Yogya, Mentawai yang menelan korban ratusan ribu jiwa dan harta benda triliunan rupiah belum mampu memberi pelajaran bagi bangsa ini. Kita masih mengulangi kesalahan yang sama ketika Tsunami menerjang Mentawai. Berhari-hari setelah peristiwa sebagian masyarakat tidak memperoleh bantuan makanan. Pembentukan tim terpadu penggulangan bencana masih mengalami keterlambatan.

Marilah kita semua, media kita, bersama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya menggiring bangsa ini menatap masa depan, ketimbang berasyik ria memanfaatkan kesalahan untuk mewujudkan tujuan pribadi, kelompok atau golongan, yang kadang tidak luput mengundang rasa dendam satu sama lain.

Jadilah bangsa yang mampu merumuskan kesalahan yang diperbuat warganya dan bangsanya secara keseluruhan, memaknai kesalahan itu sebagai sebuah batu loncatan kearah kehidupan yang lebih baik dengan melakukan perbaikan-perbaikan. Akh…tidak mudah tentunya!.

 Penulis Biografi, tinggal di Medan
Dimuat di Edisi Cetak Harian Analisa, 12 September 2011. 






Rabu, 07 September 2011

100 Tahun Sesudah Kematiannya, Otobiografi Mark Twain Diluncurkan

Oleh: Guy Adams di Los AngelesDiterjemahkan oleh:  Jannerson Girsang

Pengantar dari Penerjemah

Peluncuran buku otobiografi Mark Twain—penulis buku Tom Sawyer, Hucleberry Finn, berjudul Autobiography of Mark Twain (Perennial Classics), sungguh unik. Sebelum meninggal, Mark Twain sudah selesai menulis 5000 halaman kisah hidupnya. Tetapi, dia berpesan agar kisah hidupnya itu tidak diterbitkan sebelum  melewati 100 tahun dia meninggal, terhitung sejak 1910. Pesan penting itu dipatuhi dan selama kurun waktu tersebut naskah itu disimpan dalam sebuah lemari besi di  University of California, Berkeley.

Renungan kita, sudahkah kita memiliki sistem penyimpanan naskah seperti ini dan menghargai karya  penulis seperti ini di negeri kita?. Kerja sama antara universitas, penerbit, pemasaran yang baik, memungkinkan karya Mark Twain dapat dinikmati penduduk dunia, setelah 100 tahun dia berada di liang kubur.    


Setelah menunggu satu abad, Mark Twain akhirnya mengungkapkan semua. Ternyata, penulis besar Amerika itu meninggalkan instruksi untuk tidak mempublikasikan otobiografinya sampai 100 tahun setelah kematiannya.

Nopember 2010 lalu, tepat satu abad setelah rumor kematiannya yang sepenuhnya akurat, salah satu keinginan Mark Twain menjelang kematiannya akhirnya menjadi kenyataan: sebuah otobiografi, mendalam, vokal dan mengungkap banyak hal, yang secara khusus ditulisnya pada dekade terakhir hidupnya, akan diterbitkan.

Ketika meninggal pada 1910, penulis Tom Sawyer, Huckleberry Finn meninggalkan 5.000 halaman memoir yang belum diedit, bersama dengan catatan tulisan tangan yang mengatakan bahwa dia tidak ingin hasil tulisannya menyentuh toko-toko buku setidaknya selama seabad.

Batas waktu itu tiba Nopember 2010. Pada bulan November University of California, Berkeley, di mana naskah itu disimpan dalam sebuah lemari besi, akan merilis volume pertama otobiografi Mark Twain. Trilogi akhirnya dipilih untuk menerbitkan setengah juta kata karya Twain, dan memberi cahaya baru pada novelis Amerika.

Para ilmuwan terbagi atas pertanyaan mengapa Twain menginnginkan tulisan tangannya tentang hidupnya dirahasiakan begitu lama. Beberapa percaya karena Mark Twain ingin berbicara bebas tentang isu-isu seperti agama dan politik. Sisanya berpendapat bahwa jeda waktu itu mencegahnya dari kekhawatiran menyinggung teman-temannya.

Satu hal yang pasti, dengan menunda publikasi itu, penulis, yang menyukai status selebritinya itu, telah memastikan bahwa ia akan bergunjing tentang abad ke-21. Bagian dari memoar akan menjelaskan hubungannya yang sedikit diketahui kecuali hubungan skandalnya  dengan Isabel Van Kleek Lyon, yang menjadi sekretarisnya setelah kematian istrinya Olivia pada tahun 1904. Twain begitu dekat dengan Lyon sehingga ia pernah membelikan mainan seks listrik (vibrator).  Tapi Lyon tiba-tiba dipecat pada tahun 1909, setelah Mark Twain mengaku Lyon "menghipnotis"nya memberikan kuasa atas tanahnya.

Hubungan mereka yang malang itu akan diceritakan secara penuh dalam adendum setebal 400-halaman, yang ditulis Twain pada tahun terakhir hidupnya. Ini menyediakan ruang yang luar biasa tentang bagaimana di bulan terakhir menjelang kematiannya, Mark Twain dibayangi oleh pergolakan pribadi.

"Kebanyakan orang berpikir Mark Twain adalah semacam Victoria beradab  Nah,. dalam dokumen ini ia menyebut Lyon pelacur dan mengatakan dia mencoba merayunya. Ini benar-benar bertentangan dengan kesan kebanyakan orang tentang dia," kata sejarawan Laura Trombley , yang tahun ini menerbitkan buku tentang Lyon yang dikenal sebagai Perempuan Lain Mark Twain.

"Ada persepsi bahwa Twain menghabiskan tahun-tahun terakhirnya berjemur dalam pujaan penggemar. Otobiografinya akan menunjukkan bahwa hari-hari terakhirnya bukan waktu yang bahagia.. Ia yang menghabiskan enam bulan tahun terakhir hidupnya menulis naskah yang penuh asam garam (vitriol) , mengatakan hal-hal bahwa ia tidak pernah menyebut tentang siapapun dalam penerbitan bukunya sebelumnya. Ini benar-benar 400 halaman pahit"

Twain, yang terlahir dengan nama Samuel Langhorne Clemens, memulai usaha penulisan  otobiografinya awal 1870, tetapi baru benar-benar dikerjakan secara serius pada tahun 1906, saat dirinya menunjuk seorang stenograf untuk menulis kenangannya dengan mendiktenya.

Motivasi lain yang potensial untuk membiarkan buku tersebut jadi warisan anumerta yang tidak diterbitkan memprihatinkan legalitas Twain sebagai  orang Amerika yang Agung (Great American). Michael Shelden, yang tahun ini akan menerbitkan White Man (Laki-laki Suci)--kisah tahun terakhir Twain, mengatakan bahwa beberapa pandangan pribadinya bisa merusak citranya di mata  publik.

"Dia memiliki keraguan tentang Tuhan, dan dalam otobiografinya, ia mempertanyakan misi kekaisaran AS di Kuba, Puerto Rico dan Filipina Dia juga kritisi dari  [Theodore] Roosevelt, dan memiliki pandangan bahwa patriotisme adalah perlindungan terakhir  para  bajingan Twain juga tidak menyukai pengiriman misionaris Kristen ke Afrika Ia mengatakan mereka memiliki cukup banyak urusan di dalam negeri: dengan hukuman mati tanpa pengadilan yang terjadi di Selatan, dia berpendapat mereka seharusnya mencoba untuk mengubah orang-orang kafir di sana ".

Dalam bagian lain dari otobiografi, Twain membuat pengamatan yang kejam tentang teman-temannya seharusnya, kenalan dan salah satu landladies nya.

Bagian-bagian  buku ini telah memperlihatkan terang dalam publikasi lain. Ringkasan pendek dipublikasikan majalah AS sebelum kematian Twain (karena ia membutuhkan uang). Estatenya telah memungkinkan bagian untuk diadaptasi untuk publikasi dalam tiga buku sebelumnya yang digambarkan sebagai "otobiografi".

Namun, Robert Hirst, yang memimpin tim di Berkeley adit teks lengkap, mengatakan bahwa lebih dari setengah bahan yang mereka tangani belum pernah muncul dalam penerbitan sebelumnya. Hanya akademisi, penulis biografi, dan anggota masyarakat yang dipersiapkan  untuk perjalanan ke perpustakaan penelitian Universitas Bancroft yang membacanya secara penuh. "Ketika orang bertanya kepada saya 'apakah Mark Twain sungguh-sungguh untuk mengambil 100 tahun untuk bisa terbit', saya mengatakan 'dia pasti orang yang tahu bagaimana membuat orang ingin membeli buku'," kata Dr Hirst.

Publikasi November itu disahkan oleh estatenya, karena tidak adanya keturunannya yang masih hidup (putrinya Clara meninggal pada tahun 1962, dan cucunya Nina bunuh diri pada 1966), mendanai museum dan perpustakaan yang melestarikan warisannya.

"Terdapat begitu banyak biografi Twain, dan banyak dari yang sudah ditulis menggunakan potongan-potongan otobiografi," kata Dr Hirst. "Tapi penulis biografi memilih apa yang dikutip. Dengan penerbitan buku Twain secara penuh, kami berharap bahwa orang akan sampai pada kesimpulan mereka sendiri secara lengkap seperti apa pria itu"

Diterjemahkan bebas dari : Independent News, Minggu, 23 Mei, 2010.http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/books/news/after-keeping-us-waiting-for-a-century-mark-twain-will-finally-reveal-all-1980695.html.. Artikel ini tidak ditujukan untuk penerbitan secara komersial,hanya untuk pengembangan wawasan semata, mendorong orang  untuk menghargai karya-karya agung manusia.

Penjelasan Buku

Ketika meluncurkan buku itu 15 Nopember 2010 lalu, www.amazon.com,  dalam penjelasannya  tentang buku The Autobiography of Mark Twain (Perennial Classics), mengatakan:

"Aku menyerangnya!", Mark Twain menulis dalam sebuah surat ke teman pada 1904. "Dan aku akan memberikannya - untuk Anda. Anda tidak akan pernah tahu berapa banyak kenikmatan yang telah hilang sampai Anda mampu mendikte otobiografi Anda.." Jadi, setelah puluhan kepalsuan dimulai dan ratusan halaman, Twain memulai  "Akhir Rencana (dan Benar)" nya untuk menceritakan kisah hidupnya. Gagasan inovatifnya - untuk "berbicara hanya tentang hal yang menarik minat Anda untuk saat ini" - berarti bahwa pikirannya bekisar tak terbatas (range freely).

Instruksi yang ketat bahwa banyak dari teks-teks tetap tidak diterbitkan selama 100 tahun berarti bahwa ketika waktunya tiba, dia sudah "mati, dan tidak menyadari lagi, dan masa bodoh," dan dia bebas berbicara "seluruh pikiran terang"nya.  Tahun 2010 menandai peringatan 100 kematian Twain. Dalam merayakan tonggak penting dan untuk menghormati tradisi penerbitan karya Mark Twain, UC Press bangga menawarkan pertama kalinya otobiografi Mark Twain tanpa sensor secara keseluruhan dan persis seperti dia meninggalkannya.

Acara sastra besar itu membawa pesan kepada pembaca, pengagum, dan para sarjana dari tiga volume dan menyajikan suara otentik dan bebas dari tekanan Mark Twain, penuh dengan humor, ide, dan pendapat, dan berbicara dengan jelas dari kubur sebagaimana dia inginkan. http://www.amazon.com/Autobiography-Mark-Twain-Vol-1/dp/0520267192

Sabtu, 03 September 2011

In Memoriam: Charles Breijer (1915-2011) Charles Breijer (1915-2011). Harian Analisa Cetak 3 September 2011

Oleh : Jannerson Girsang.

Minggu sore 21 Agustus 2011, setelah menonton beberapa tokoh Indonesia yang menginspirasi di sebuah televisi swasta, saya tertarik dengan sebuah berita di www.jejaringnews.com, sebuah situs berita online. Judulnya cukup menarik. "Saksi Kedaulatan RI Meninggal di Belanda".

Bagi saya nama itu begitu asing. Sama seperti saya, mungkin banyak pembaca artikel ini setali tiga uang. Meski sudah melewati usia 50-an, secara jujur saya mengakui belum pernah mendengar nama itu, sebelumnya.

Saya menjadi sadar, dan ingat kata pepatah lama: Good Work No Name. Perbuatan baik sering tak disebut, sebelum orangnya meninggal. Sama halnya dengan Charles Breijer. Barangkali, sejak kepulangannya ke Belanda 1953, tidak banyak karyanya diperbincangkan. Maklum, kita terhanyut oleh berita-berita korupsi, dan asyik membicarakan Nazaruddin, Gayus, Century. Publikasi meninggalnya Breijerpun tidak banyak di media kita. Entah kenapa.

Siapa sebenarnya Charles Breijer, sehingga sebagai bangsa yang dikatakan mampu menghargai karya-karya manusia tidak bisa begitu saja melupakannya? Mari bersama-sama mengikuti kisahnya, dan mengambil pelajaran darinya.

Mengungkap Kebenaran Lewat Foto

"Photography is truth", ungkapan Jean-Luc Godard, pendiri bioskop French New Wave, dengan film kontroversialnya, Breathless (1960), dan Hail Mary (1985) barangkali cocok menggambarkan aktivitas dan karya-karya Breijer.

Biografi yang diterbitkan RNW mengungkapkan, Breijer memulai karirnya sebagai fotografer profesional untuk De Arbeiderspers, pada tahun 1937. Dia mengerjakan, antara lain, laporan foto untuk Wij. Ons werk ons leven, sebuah jurnal dengan desain modern, yang menyediakan banyak ruang untuk fotografi dan photomontase.

Segera setelah invasi Jerman, pers di Belanda mengalami sensor yang ketat. Fotografer dipaksa menjadi anggota Verbond van Nederlandsche Journalisten (Persatuan Wartawan Belanda), yang diawasi oleh Bereau Fotopers (Foto Kantor Pers). Breijer mendaftar sebagai syarat untuk dapat terus bekerja sebagai fotografer dan berada di garis depan kegiatan bawah tanah.

Pada tahun-tahun awal pendudukan, ia menggunakan kartu persnya untuk membuat foto-foto yang menggambarkan aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang tidak diterima tentara pendudukan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang, misalnya, yang membuat foto penutupan Kantor Pusat Yahudi di Amsterdam.

Dalam perjalanan tahun 1944 ia bertemu Fritz Kahlenberg dan terlibat dengan De Ondergedoken Camera (Kamera Tersembunyi), kelompok fotografer di Amsterdam yang mengambil gambar tahun terakhir pendudukan Jerman. Dalam biografinya dikisahkan tidak kurang dari 260 foto itu, sebagian diambil dari kantong pelana sepedanya di mana ia menyembunyikan kameranya. Dibandingkan dengan foto-foto dari anggota lainnya di De Ondergedoken Camera, gambar-gambar ilegal Charles Breijer penting terutama karena menunjukkan berbagai aspek perlawanan bersenjata.

Pada tahun 1947, Breijer berangkat ke Indonesia sebagai seorang juru kamera hingga 1953. Terdorong oleh idealismenya, sebagaimana diberitakan RNW, ia ikut membantu membangun Indonesia sebagai negeri berdaulat. Ia bekerja untuk perusahaan milik negara Multifilm-Batavia dan bekerja mandiri untuk pemerintahan baru Indonesia.

Selepas penyerahan kekuasaan Belanda ke Indonesia pada 1949, Breijer banyak membuat foto kehidupan sehari-hari, arsitektur, alam. dan potret. Pada 1953, Breijer memutuskan untuk kembali ke Belanda. Setelah kembali ke Belanda, Breijer berfokus terutama pada syuting dan hampir tidak menyibukkan diri dengan fotografi lagi.

Foto-foto Kenangan Breijer di Indonesia

Ciri khas karya Charles Breijer dalam konteks Indonesia menurut RNW adalah koleksi fotonya yang memperlihatkan penyerahan kedaulatan di Indonesia. Selain menunjukkan situasi tegang seputar tahun-tahun terakhir kolonisasi menuju merdeka, karya-karyanya juga menjadi saksi sejarah terkait orang-orang miskin Indonesia yang baru saja merdeka.

Kini, situs http://www. geheugenvannederland.nl, menyimpan ribuan foto karya Charles Breijer.

Di antaranya adalah gambar sebuah masjid di Pontianak di Kalimantan, vila di pusat liburan, percakapan Abdul Kadin dan Hatta selama konferensi Kali Urang, Indonesia (1948). Dalam situs ini anda bisa melihat objek foto-foto yang dibuatnya dalam kurun waktu 1947-1953

Kita juga dapat menyaksikan foto-foto menarik dan bersejarah, seperti "Slogan-slogan Protes Yogyakarta, Pengendara Becak yang membawa dua Orang Kulit Putih, Kompleks Candi Borobudur 1949, Bekas Rumah Gubernur Yogyakarta, 1949, Bagian Belakang Rumah Ketua Serikat Buruh Pak Wongso, 1948. Breijer juga mengabadikan beberapa foto olah raga seperti atraksi sepeda BMX di stadion Solo pada 1948.

Sebuah foto yang sangat menyentuh berjudul "Seorang Ibu di Jakarta, 1947". Di sebuah jalur ijau, seorang wanita berbadan kurus, dengan pakaian yang compang-camping sedang duduk dengan tangan bertumpu dikakinya. Dia menghadap kaleng (tempat memasak) yang ditutup dengan setengah terbuka di atas tungku yang terdiri dari tiga buah batu. Di bawahnya, kayu bakar yang terdiri dari sebatang kayu dan beberapa batang semak belukar yang mungkin dipungut di pinggir jalan. Gambaran kesulitan hidup di masa transisi kemerdekaan.

Foto: Penting dan Harus Disimpan dengan Baik

Melepas kepergiaan Charles kami teringat kepada ungkapan Aaron Siskind, seorang fotografer ekspresionis abstrak Amerika yang meninggal pada 1991 di usia 88 tahun. Aaron mengatakan: "Apa yang telah Anda rekam di film akan disimpan selamanya ... ia mengingat hal-hal kecil, lama setelah Anda sudah lupa segalanya"

Breijer telah mencatat berbagai objek yang mungkin sudah terlupakan oleh kita semua. Tetapi foto-fotonya kembali mengingatkan kita tentang wajah wajah manusia, kehidupan mereka, keindahan dan kekayaan bumi dan langit Indonesia.

Seorang pengunjung situs http://www.geheugenvannederland.nl menuliskan kesannya dalam situs itu sebagai berikut: "His photographs are a model of reality, and vigorous. He was a real blessed artist and professional".

Breijer telah merekam realitas kehidupan masa-masa transisi dekolonisasi Indonesia dan penyerahan kedaulatan. Kini karya-karya Charles Breijer tersimpan di museum foto Belanda Het Nederlands Fotomuseum di Rotterdam.

Ada dua renungan penting hasil kegiatan Breijer semasa hidupnya. Pertama demikian pentingnya pekerjaan fotografer. Foto-fotonya menjadi model realitas suatu peristiwa di suatu masa. Kedua, tidak kurang penting adalah penyimpanan foto itu sendiri, sehingga dapat dengan mudah ditemukan dan dipergunakan untuk mengungkap kebenaran, realitas di masa lalu.

Kalau museum Het Netherland Fotomuseum menyimpan foto-foto Breijer tentang Indonesia, bagaimana dengan perhatian museum kita atas foto-foto karya bangsa sendiri?.

Penulis adalah penulis Biografi, tinggal di Medan.

Aartikel ini dimuat di Harian Analisa Cetak 3 September 2011.

Kamis, 25 Agustus 2011

Menyambut e-Procurement 2012

Oleh : Jannerson Girsang
 
Hati kami tergelitik membaca beberapa media yang membahas soal e-procurement, tender elektronik. Kok e-procurement itu katanya menghemat, tapi kenapa pelaksanaannya lambat? Rakyat harus menyadari bahwa e-procurement bukan hanya kemudahan pelaksanaan anggaran bagi pemerintah, tetapi kesempatan bagi rakyat menikmati anggaran bagi pembangunan di wilayahnya.
E-procurement sangat penting dan mendesak untuk diterapkan. "Pelaksanaan e-procurement mendesak untuk segera dilakukan karena akan mendukung pelaksanaan APBN," demikian Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia P. Nasution saat meresmikan Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di Jakarta 2009 lalu.

Masyarakat hendaknya tidak alpa mengawal penerapan e-procurement. Penerapan e-procurement ternyata memberi sumbangan signifikan dalam menghemat anggaran, dan pemerintah sudah menetapkan batas waktu 2012 melaksanakannya di seluruh kabupaten kota di Indonesia.

Menjanjikan Bagi Rakyat dan Good Governance

Menarik menyimak pernyataan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo di harian Analisa, 22 Juli 2011. Menurut Agus, saat ini e-procurement sudah diperkenalkan, tetapi baru diwajibkan penggunaannya pada tahun 2012.

Menurut Agus, hingga saat ini, proyek secara nasional yang sudah ditenderkan melalui e-procurement baru Rp 24 triliun. Kabar gembiranya, penerapan proses tender melalui e-procurement memberi sumbangan yang sangat signifikan. Sebab, menurut Agus, proses tender melalui e-procurement menghemat sekitar 17 persen anggaran belanja. Agus menyatakan sebelumnya, kebanyakan 17 persen anggaran tersebut habis dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang terkait tender.

Bahkan pengalaman di Kalimantan Timur, penerapan e-procurement menunjukkan angka penghematan yang lebih baik. Menurut Gubernur Kalimantan Timur, HM Aswin, Implementasi Elektronik Procuremen atau E-procurement (E-Proc) dapat menghemat anggaran hingga 25 persen, sekaligus mewujudkan terciptanya pemerintahan yang baik atau good governance.

Uraian di atas benar-benar memberi kesempatan besar bagi rakyat menikmati anggaran yang selama ini bocor di tengah jalan. Selain itu, dengan e-procurement memang akan memberi peluang penghematan anggaran, serta membatasi keleluasaan makelar-makelar proyek seperti Nazaruddin cs.

Sunggguh sebuah berita gembira bagi rakyat. Dalam bahasa rakyat, penghematan ini bisa membantu dana pembangunan berbagai infrastruktur yang kini banyak menunggu. Jalan-jalan di desa yang rusak, gedung-gedung sekolah yang hampir ambruk, mengganti jembatan yang masih terbuat dari pohon kelapa dan lain-lain.

Penduduk beberapa desa tidak menunggu lama lagi menghirup abunya jalan di musim panas, atau kubangan kerbau di musim hujan, karena aspalnya dan batunya sudah lepas-lepas. Penduduk di desa Dolok Marawa, Negeri Dolok akan menikmati jalan mulus. Rumah orang tua Bupati Nias Barat, di desa yang kami kunjungi bulan lalu belum mendapat aliran listrik bisa dialiri listrik.

Penghematan anggaran dengan penerapan e-procurement tentu akan membantu mewujudkan tekad pemerintah yang diungkapkan SBY baru-baru ini. "Yang hendak kita tuju bukan sekedar growth (pertumbuhan). Tapi makin baiknya atau meningkatnya standar kehidupan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, equality of human life. Itu harus kita capai," tegas SBY saat membuka acara Indonesia International Focus on Indonesian Economy di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (21/7) (Analisa, 22 Juli 2011.

Sumut Tertinggal dari Jawa Barat

Anehnya, meski penerapan e-procurement dinilai sangat mengemat anggaran, namun pelaksanaannya di daerah ini masih memerlukan pengawalan dari masyarakat. Jangan sampai sistem yang dianggap menghemat ini, tidak dilaksanakan secara serius. Masyarakat harus mengawal tekad pemerintah menerapkan e-procurement pada 2012.

Melihat performansi pelaksanaan e-procurement di daerah ini, masyarakat Sumatera Utara belum saatnya berpuas hati. Sebagaimana diberitakan beberapa media baru-baru ini, pelaksanaan e-procurement di daerah ini dinilai sementara lambat. Sejak dilaunching pada 16 April 2009 yang lalu, baru 17 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di daerah ini yang menggunakan e-procurement. Di tingkat kabupaten dari 33 kabupaten/kota di Sumut, baru 9 yang telah memiliki SK Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Penerapan e-procurement di Sumut meski terus mengalami peningkatan tetapi jumlah proyeknya masih sedikit. Perkembangannya, 29 paket tahun 2009, 42 paket (2010) dan 97 paket tahun 2011 sehingga total ada168 paket per tanggal 15 Juni 2011.

Kita tentu iri melihat Provinsi Jawa Barat. Sumut masih kalah jauh dibanding provinsi itu yang sudah 100 persen persen kabupaten/kotanya menerapkan e-procurement. Jawa Barat juga merajai jumlah proyek yang ditender melalui e-procurement, mencapai 3.417 paket, bandingkan Sumut yang masih ratusan.

Masalah Teknis, Mindset dan Culturalset

Berbagai keluhan penerapan e-procurement di daerah ini masih terdengar, seperti belum maksimalnya pelayanan pengadaan atau tender secara elektronik, ketika melakukan download dokumen penawaran, kerap tidak dapat dilakukan menyusul sibuknya sistem informasi teknologi pengadaan elektronik itu sendiri (Analisa 14 Juli 2011).

Mulia P. Nasution, Sekjen Departemen Keuangan pernah mengungkapkan adanya persoalan mendasar dalam implementasi e-procurement di lingkungan instansi pemerintah yakni mewujudkan persamaan persepsi dan filosofi dalam rangka transformasi mindset dan cultural set di bidang pengadaan barang/jasa di lingkungan instansi pemerintah untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa yang efektif, efisien, dan akuntabel.

Sebuah tugas berat tentunya. Tapi itu adalah janji dan tekad pemerintah yang sudah diungkapkan ke publik. Masyarakat harus turut aktif mengawal dan menyambut e-procurement 2012, agar harapan penghematan seperti yang dijanjikan di atas tidak hanya sekedar isapan jempol.

Mari kita kawal penerapannya sebagai sebuah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara konsisten mulai dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. ***

Penulis adalah Pegiat Sosial dan Kemasyarakatan, tinggal di Medan, juga penulis Biografi.

Artikel ini dimuat di Edisi Cetak Harian Analisa, 9 Agustus 2011.

Di Era Internet: Say No, to Plagiat!

Oleh : Jannerson Girsang

Berkembangnya mesin pencari (search engine) akan mempersempit persembunyian para plagiator khususnya mereka yang memasuki surat kabar atau koran online. Sayangnya aksi ini tidak pernah padam. Perlu kampanye: Say No more Plagiat di era internet!. Selain melanggar hukum, pekerjaan itu sungguh-sungguh tidak merepotkan penulis asli dan media.

Defenisi plagiat bisa dilihat di Kamus Bahasa Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta (2006). Plagiat, adalah mengambil atau pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat sendiri). Pelakunya disebut plagiator.

Di tengah kemajuan teknologi sekarang ini,  plagiator tidak perlu menunggu lama akan ketahuan. Barangkali hanya usai seminggu menikmati honor, kegiatannya sudah ketahuan!. Bahkan sebenarnya, sebelum naik cetak, hal tersebut bisa terdeteksi, kalau pengelola medianya jeli.

Aksi plagiat kini dengan mudah terdeteksi di internet, karena peralatan makin canggih. Misalkan anda mengcopy paste tulisan saya Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumatera Utara dari Jurnal Medan terbitan 29 Juli 2011, dan mempublikasikannya di media cetak yang memiliki media online. Anda tidak menyebut sumbernya, seolah itu karya Anda, maka anda tidak akan luput. Dunia ini menyebut anda plagiator. Para akademisi menyebutnya, “kegiatan tercela”.

Mencerahkan/Menghibur versus Mengejar Uang/Popularitas


Menciptakan karya tulis, berupa artikel, buku dll, merupakan kegiatan yang membutuhkan pengorbanan (keahlian, waktu, kesabaran, dan lain-lain). Menghasilkan sebuah tulisan seberapapun tinggi atau rendah kualitasnya, pasti melalui sebuah proses yang tidak sesingkat rasanya makan cabe, yang ces plang. Langsung terasa pedasnya, langsung dihasilkan tulisannya.. Butuh proses dan waktu!
Seperti diungkapkan Gunawan Muhammad, seorang penulis kawakan di negeri ini, para penulis mengawali kegiatan tulis menulis dari sebuah rasa resah atas keadaan di sekitarnya. Penulis terdorong menjembatani keresahannya itu. Jadi sebuah tulisan merupakan buah renungan seseorang yang berkeinginan mulia untuk menjelaskan, menawarkan solusi, atau hanya sekadar memperingatkan atas sesuatu bagi pembacanya.

Para penulis terdorong menulis karena keinginan mencerahkan dan menghibur sehingga berubah ke arah yang lebih baik. “Menulis tanpa berfikir hasil dalam arti sebuah hasil, tetapi memikirkan menulis dalam bentuk penemuan (discovery)”, pengalaman yang diungkapkan Gertrude Stein seorang penulis Amerika yang mempelopori perkembangan seni modern dan sastra Modernis.

Saya belum bisa membayangkan, kalau seorang penulis di daerah ini, menulis sambil membayangkan duit dan popularitas. Pengalaman kami, menulis untuk uang, belumlah rasional untuk kondisi saat ini sebagai pendorong orang menulis, apalagi di media lokal.

Mengingat keadaan itu, tentu perasaan miris akan menghingapi setiap penulis yang dengan susah payah, tapi seseorang sampai hati menjiplak karya, hanya dengan cara melakukan copy paste. Di atas keringat orang lain, mereka memperoleh popularitas.

Filter Makin Berlapis

Para ahli yang menjunjung tinggi nilai sebuah karya, semakin giat menciptakant alat yang bisa menangkal kegiatan para plagiator. Bahkan, saking canggihnya, sesama perusahaan mesin pencari sudah saling mengawasi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Google berhasil mencatat bukti-bukti bahwa Bing menjiplak data pencarian Google.

Caranya sangat sederhana sekali. Dengan memasukkan kata-kata kunci yang berhubungan dengan artikel di atas ke dalam mesin pencari Yahoo, Google, Bing dll, artikel itu akan muncul. Di era intenet ini, menggunakan mesin pencari (search engine)  Yahoo, Google atau search engine lainnya bisa mendeteksi seluruh tulisan yang masuk di media online.

Kini, para penanggungjawab media lokal seperti Analisa, Medan Bisnis, Waspada, Berita Sore, Jurnal Medan, Sumut Pos, dan lain-lain bisa melakukannya sendiri.

Seorang penanggungjawab media yang jeli dan mau meluangkan sedikit waktu memasukkan isi artikel atau kata-kata penting ke kolom search di mesin pencari Google atau mesin pencari lainnya, maka menunggu beberapa setik, dengan cepat mampu menemukan apakah seseorang hanya mengutip, atau justru menjiplak secara utuh dari artikel aslinya.

Seorang editor akan dengan mudah mendeteksi seorang penulis yang memasukkan tulisannya di media yang terbit di Banda Aceh, Padang atau Palembang, sejauh artikel tersebut masuk di media online. .
Saringan deteksi aksi plagiat sudah semakin berlapis. Kalaupun seorang penulis asli atau penanggungjawab media tidak mendeteksinya, maka dengan akses yang luar biasa luasnya sekarang ini, ada saja orang yang menemukannya dan melaporkan dengan kesadaran sendiri.

Jadi, meski plagiator lolos dari pantauan pengelola media, masyarakat melalui surat pembaca masih saja bisa menyeleksinya. Masyarakat semakin aktif memantau sebuah artikel. Dari hasil pantauan mereka, tidak jarang surat protes  meluncur baik dari pembaca atau penulis aslinya.

Selain itu, sudah pula diciptakan alat mendeteksi tulisan jiplakan di internet. Sebut saja beberapa contoh seperti: http://www.plagiarismchecker.com, http://www.articlechecker.com/, http://www.plagiarism.org/, http://blogoscoped.com.

Kalau seseorang berlagak pintar dan menjiplak artikel dari The New York Time, Yomiouri Shimbun, Hsin Hua atau media utama dunia lainnya tanpa menyebut sumbernya dari media itu, maka pasti bisa dilacak dengan cepat, sebelum tulisan itu naik cetak.

Tidak hanya tulisan yang bersumber dari media, tulisan yang bersumber dari bukupun sama. Kini buku-buku sudah banyak yang online atau dikenal dengan e-book. Jadi seseorang yang menjiplak sebuah buku, bisa dilacak dengan judul buku dan isinya.

Plagiator Menikmati: Penulis Kecele, Media Meminta Maaf.Meskipun secara otomatis seluruh artikel atau tulisan yang masuk dalam media online tersambung dan dapat dibaca secara transparan di seluruh dunia, kegiatan plagiat masih terus berlangsung.

Tahun lalu, sebuah artikel saya berupa hasil pengamatan pelaksanaan upacara adat dengan judul “Huda-Huda dan Toping-toping” yang saya publikasi di blog saya sendiri, http://www.harangan-sitora.blogspot.com, dijiplak habis oleh sebuah lembaga kesenian terhormat di negeri ini tanpa menyebut sumbernya.

Setelah saya menyurati lembaga itu, mereka kemudian meminta maaf dan mencantumkan sumbernya dari blog saya. Saya tidak menuntut, karena lembaga itu melalui humasnya meminta maaf, dan saya tidak merasa dirugikan karena artikel saya tersebar luas. Hanya itulah upah seorang penulis—karyanya,pesannya bisa dibaca dan dinikmati orang lain.

Dari pengamatan kami di media-media internasional, nasional, regional kegiatan plagiat masih banyak ditemukan. Tidak sedikit artikel diterbitkan hanya dengan melakukan  copy paste dan memindahkan begitu saja sebuah artikel yang dipersiapkan susah payah oleh seorang penulis.

Peristiwa paling menggemparkan tahun lalu adalah ketika seorang guru besar menjiplak karya seseorang dan memuatnya di harian The Jakarta Post, harian berbahasa Inggeris terkemuka di negeri ini. Harian The Jakarta Pos harus memasang pengumuman di Media itu yang terbit Kamis 4 Februari 2010. Menarik sebuah artikel yang ditulis seorang profesor dari Universitas Parahyangan, Bandung yang dinilai menjiplak tulisan dari sebuah jurnal ilmiah Australia. (The Jakarta Post, 4 Februari 2010).

The Jakarta Post harus meminta maaf, dan si guru besarnya menikmati popularitas dan honor. Walau hanya untuk sementara waktu, karena akhirnya dirinya harus merasakan malu yang tak terhingga dan mendapat hukuman dari universitas tempatnya bekerja.

Media-media lokal di daerah ini juga masih menghadapi masalah yang sama. Saya sering bertemu dengan para editor di daerah ini yang masih mengeluhkan soal artikel yang dijiplak asli dari media lain. Dari pengamatan saya sejauh ini, kalau ketahuan, maka plagiator akan mendapat sanksi berupa peringatan dan akhirnya bisa sampai hukuman black list—tidak lagi dibenarkan menulis di media bersangkutan. Media sumber tulisan awalnya juga melakukan hal yang sama.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca keberatan seorang penulis asli sebuah artikel di salah satu media lokal. Bayangkan, media itu sendiri harus meminta maaf, padahal yang melakukannya adalah seorang pemalas, seorang plagiator.

Kita memang tidak perlu berkecil hati, karena hal seperti ini tidak hanya terjadi di negara kita. Media-media asing juga acapkali masih memberitakan soal yang satu ini. Tidak hanya negara-negara yang terbelakang, tetapi juga terjadi di negara maju, bahkan orang-orang yang tingkat pendidikannya di atas rata-rata.  Bukan bermaksud memberikan pembenaran. Kita harus mengkampanyekan anti plagiat. Say no to Plagiat!.

Penutup

Jujur pada diri sendiri, jujur pada kemampuan sendiri, itulah kunci utama menulis di era internet sekarang ini. Tidak usah meniru-niru penulis yang hebat. Jadilah diri sendiri.

Menjadi penulis yang sukses tidaklah mudah. Mereka menjalani proses jangka panjang, untuk mendapatkan materi dan popularitas. Lihat Andrea Hirata, para penulis hebat lainnya seperti Arswendo Atmowiloto dll.

Program-program yang mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan mahalnya kreativitas dan apresiasi kepada penulis asli, perlu terus digalakkan. Kompetisi menulis buku, artikel, serta karya-karya kreatif yang selama ini terlupakan mungkin solusi yang jitu.!

Media, sebagai filter bagi para plagiator hendaknya memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menyaring setiap tulisan yang masuk ke meja redaksi. Say No More Plagiat in Internet Era!.

Artikel ini dimuat di edisi cetak Harian Jurnal Medan, 4 Agustus 2011

Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut

E-mail
Oleh: Jannerson Girsang   

Meski buku merupakan pengusung peradaban, produksi buku kita masih cukup rendah. Usaha-usaha mendorong produksi buku selayaknya mendapat apreasiasi. Sebuah catatan ringan mengikuti Bedah Buku dan Peluncuran Hasil Karya Pengarang Sumatera Utara, di Hotel Antares, Medan, 26 Juli 2011, kami sajikan bagi anda, sebagai sebuah bentuk apreasiasi.

Sekitar 75 orang peserta bedah buku yang dibuka Kepala Baperasda,Pemprovsu Nurdin Pane, SE, MAP, selama lebih kurang lima jam mendengar paparan, pembahasan dan diskusi tentang lima buku baru. Kelima buku itu adalah Ekstrak Sambiloto sebagai Anti Malaria (Dr Umar Zen), Mutiara Kota Kerang Tanjung Balai Asahan (Watni Marpaung MA), Langkat Mendai Tuah Berseri (Datuk OK Abdul Hamid), Adat dan Budata Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga (Syawal Pasaribu), Ramadhan di Hatiku (Muhammad Syukri Albani, MA).

Para penulis mempresentasikan bukunya, para pembahas menyampaikan saran dan kritiknya atas buku itu, lantas diskusi yang melibatkan para peserta. Demikian dilakukan secara bergantian oleh lima penulis tersebut.
Menarik, karena para penulis seperti Ali Murthado dan lain-lain yang juga dikenal sebagai penulis yang produktif di daerah ini, dan pesertanya yang terdiri dari para dosen, mahasiswa, para tkoh adat, agama dan masyarakat di daerah ini.

Memasuki ruang peradaban Sumatera Utara. Itulah perasaan saya berada di antara sekitar 70-an peserta, saat menghadiri acara Bedah Buku 5 Buku yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda), Pemprovsu itu.

Selama bedah buku berlangsung, saya kerap mendengar kata-kata “Bongak” dari Tanjungbalai, “Bulek Kato” dari Sibolga dan idiom-idiom daerah yang sungguh-sungguh lucu terdengar dan disambut gelak tawa dan riang para pengunjung. Pantun-pantun Melayu nan bermakna serta enak didengar membuat suasana segar. Rasanya beberapa jam terlepas dari pembahasan hiruk pikuknya berita korupsi di negara ini.

Buku yang ditampilkan cukup menarik. Meski tidak membahas seluruh budaya yang ada di daerah ini (karena hanya lima buku), tetapi rasanya di sana kita serasa berkaitan satu dengan yang lain. Ketika Watni Marpaung mempresentasikan bukunya tentang Tanjungbalai, maka dia tidak terlepas membahas penduduk Simalungun, Tapanuli, Karo, Mandailing dan berbagai suku lain.

Berbagai suku di Sumatera Utara sudah kawin-mawin dengan suku-suku di hampir seluruh wilayah ini. Hal ini mampu membangkitkan perasaan saya sebagai warga Sumatera Utara. “Kami berasal dari Tapanuli, tetapi sudah beberapa turunan tinggal di Tanjungbalai,ujar Watni.

Bedah buku seperti ini memberikan pemahaman asal usul, budaya, agama, adat serta potensi daerahnya. Bahkan peserta juga disuguhi dengan potensi obat-obat herbal yang banyak tumbuh di daerah ini, yakni Sambiloto. Melalui bedah buku seperti ini, peserta sedikitnya akan mendengar dan memahami secara umum budaya suku-suku di luar sukunya sendiri.

Sebuah pembelajaran berinteraksi dengan sesama warga Sumatera Utara—memahami perbedaan dan merasakannya sebagai sebuah kekayaan. Saya berfikir lebih jauh, andaikata bedah buku dan diskusi seperti ini bisa dikembangkan melibatkan lebih banyak masyarakat dan meningkatkan frekuensinya, alangkah indahnya provinsi ini.

Patut menjadi catatan, bahwa bedah lima buku berlangsung kurang dari  5 jam. Waktu memang menjadi pembatas untuk mendiskusikan beberapa hal yang memerlukan pembahasan secara lebih mendalam. Bayangkan, sebuah buku dipresentasi oleh penulisnya dalam waktu 15 menit, kemudian dibahas dua puluh menit dan kemudian dilakukan diskusi.

Terlepas dari soal di atas, hal menggembirakan adalah antusias para undangan yang terdiri dari para penulis, peminat buku, peminat perpustakaan, tokoh agama, sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara itu. Ternyata minat peserta atas pembahasan sejarah dan budayanya cukup tinggi.

Akibatnya, permintaan tambahan waktu dan dalam setiap sesi tak bisa dihindari. Bahkan peserta tidak kebagian waktu bertanya. “Waktunya habis dan kita masih membahas beberapa buku lagi,”demikian pembawa acara senantiasa mengingatkan.

Banyak kritik yang dilontarkan kepada para penulis. Diantaranya soal desain, isi dan judul, editing yang belum dilakukan secara benar.

Ada hal yang cukup lucu. Semua buku didesain sendiri oleh penulisnya. Penulisnya merangkap disainer baik sampul maupun isinya. Mungkin juga karena mahalnya biaya desain.

Padahal, menurut Ali Murthado, sampul sangat menentukan sebuah buku agar diminati pembaca. ”Meski isinya bagus, tetapi kalau desain sampulnya tidak menarik, maka pembaca tidak akan tertarik,”ujarnya saat tampil sebagai pembahas buku Ramadhan di Hatiku.

Para pembahas dan peserta banyak mengritik kaidah-kaidah penulisan buku. Mulai dari judul yang belum mencerminkan isi buku. ”Buku ini bukan buku sejarah, karena sejarahnya hanya satu halaman dari sekian halaman buku,”ujar salah seorang dosen sejarah dari sebuah perguruan tinggi, saat mendiskusikan buku Mutiara Kerang Tanjung Balai Asahan: Mengungkap Sejarah Asal Usul Nama, Kesultanan, Adat Istiadat, Tradisi, Makanan Daerah, Kesenian, Pendidikan dan Sosial Budaya.

Cuma banyak hal-hal yang masih terlupa oleh penulis. Ada buku yang dikritik karena alpa menuliskan sumber tulisan, padahal penggalan kisah yang ditulisnya besumber dari tulisan orang lain. ”Kita bisa bingung nantinya, apakah kisah itu sudah ditulis orang lain atau baru pertama kali ditulis,”ujar seorang ahli sejarah dari sebuah perguruan tinggi di Medan.

Mendengar kritikan itu para penulispun tidak mau kalah. ”Saya memang belum penulis profesional, tetapi kalau tidak sekarang dimulai, kapan lagi tulisan saya bisa dinikmati pembaca,”ujar Datuk OK. Abdul Hamid, penulis buku Langkat Mendai, Tuah berseri.

Tulis, cetak, terbitkan dulu, soal kekurangan bisa diperbaiki. Demikian kira-kira pendapat sebagian besar penulis yang tampil kali ini. ”Kritik itu akan mendorong kami untuk memperbaiki penerbitan selanjutnya,”ujar kelima penulis menghargai semua kritikan para peserta dan pembahas.

Terlepas dari semua kekurangannya, penerbitan buku dan bedah buku yang disponsori oleh Baperasda ini diharapkan memberi dorongan para penulis menerbitkan buku dengan konten lokal yang ditulis penulis daerah ini. . “Kita memberi insentif kepada penulis dan biaya cetaknya,”ujar Chandra Silalahi menjelaskan bentuk dukungan yang dilakukan lembaganya.

Syawal Pasaribu, penulis buku Adat dan Budaya Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga, dalam kesempatan itu, mengaku tidak mungkin menerbitkan bukunya tanpa bantuan Baperasda. Bukunya sudah selesai dua tahun lalu, tetapi dia kesulitan mencai penerbit dan biaya mencetak bukunya.

Menurutnya belum banyak pihak yang mau mendukung penerbitan buku-buku konten lokal, apalagi budaya atau sejarah. Dia mengaku pergi kesana kemari meminta bantuan untuk menerbitkan dan mencetak bukunya. “Padahal, sebagai penulis, saya tidak memiliki cukup uang untuk biaya penerbitan dan cetaknya,” ujar Syawal.

Lima buku yang sudah dibedah itu sudah berada di tangan para peserta. Kisah tentang buku dan diskusi tersebut akan menyita sedikit waktu di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Ribuan buku akan dipajang di rak-rak buku perpustakaan yang terdapat di berbagai kota yang siap disantap para pengunjung perpustakaan atau sebagian dibagikan kepada masyarakat umum.

Bedah buku semacam ini akan memberikan dorongan kepada Pemda-pemda di seluruh provinsi ini untuk memperhatikan karya-karya penduduk yang selama ini terdokumentasi belum dalam bentuk buku. Usaha seperti ini akan mendongkrak jumlah buku yang siap saji bagi masyarakat yang saat ini masih sangat rendah. Memang, harus diakui bedah buku ini menambah jumlah buku yang belum signifikan, mengingat produksi buku secara nasional  yang cukup rendah. Meski jumlah penduduk kita 250 juta, setiap tahun buku yang diterbitkan baru mencapai 10.000 judul. Sekadar untuk perbandingan, Vietnam setiap tahun menerbitkan 15. 000 judul buku, Jepang 60.000 judul, China 140.000 judul buku pertahun.

Semoga usaha-usaha seperti ini bisa terus dilanjutkan di tahun mendatang dan mampu merangsang para penulis daerah ini menulis karya-karya dengan konten lokal yang akan memperkaya warisan budaya yang terdokumentasi dan memperkaya khasanah perbukuan di daerah ini.

Artikel ini dimuat di Edisi Cetak Harian Jurnal Medan, 30 Juli 2010.

Pemicu Ide Menulis

Oleh : Jannerson Girsang.  
 
Suatu ketika Anda pasti pernah kehilangan ide menulis artikel
dan membutuhkan alat-alat pemicu, layaknya jantung yang lemah butuh alat pacu.
Meski sudah menulis selama bertahun-tahun, tetapi saya masih tetap menghadapi kebuntuan memperoleh ide menulis, karena pemicu untuk menulis tidak kunjung muncul ke permukaan. Meski ide muncul, masalahnya tidak sampai memenuhi unsur-unsur yang layak dijadikan sebagai artikel—unsur kebaruan atau sedang hangat dibicarakan, mampu mencerdaskan dan menghibur, atau memberikan solusi memecahkan masalahnya sendiri serta lingkungan.

Apa yang harus dilakukan?. Banyak trik yang disodorkan para ahli. Berikut ini beberapa tips yang bisa memunculkan ide awal anda memulai menulis. Langkah-langkah ini kami sajikan berdasarkan pengalaman menulis selama delapan tahun terakhir. Semoga bisa memicu ide Anda menulis dan bila anda punya pengalaman lain tentu bisa saling melengkapi.

Membaca Buku

Membaca buku How To Run Writing Business, karya Herman Holtz memberi pengetahuan kepada saya tentang pengalaman seorang penulis terkenal. Bagaimana penulisnya seorang berlatar belakang teknik mampu menjadi penulis yang luar biasa. Saya terinspirasi idenya tentang peluang bisnis jasa penulisan cukup besar, namun baru sedikit penulis yang meraih sukses. Ada kontradiksi, dan pasti menarik!

Karena saya belum sukses, maka bersama pembaca ingin belajar dari penulis buku itu. Lantas saya mengembangkan ide di atas. Bagaimana menulis dan memasarkan tulisan. Saya berhasil menulis artikel: "Berguru dari Para Penulis Sukses (Harian Analisa, 11 Juni 2010)".

Anda bisa membaca buku dengan topik lain. Bisa saja anda membaca buku yang lain dengan topik yang lain. Masalah kesehatan misalnya. Kalau dalam sebuah buku anda mendapatkan data tentang kandungan pestisida yang berbahaya dalam kentang. Ide itu bisa dikembangkan menjadi "Awas, ternyata di dalam kentang ada pestisida yang mengandung banyak bahan kimia mematikan!".

Membaca Koran dan Majalah

Koran dan majalah merupakan ladang informasi. Anda bisa menemukan hal-hal baru yang up to date di sini. Misalnya, di koran ditulis berita terbaru mengenai Keong Racun. Dua orang mahasiswi yang mengunduh lypsinc di YouTube.

Ternyata dua orang itu menjadi sangat terkenal. Lalu muncul ide, ternyata di dunia internet sekarang ini orang yang tidak dikenal sebelumnya bisa dalam beberapa hari menjadi terkenal, tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh jagad raya ini. Sesuatu yang baru dan menarik bagi pembaca. Kami akhirnya mengembangkannya menjadi sebuah artikel: "Keong Racun" dan Maknanya bagi Kita Analisa, 10 Agustus, 2010.

Jadilah sebuah artikel.

Mengunjungi Website

Di era gelombang baru (new wave era) ini, kita menemukan sumber informasi yang tidak terbatas. Bagi Anda yang ingin mencari berita dan penemuan-penemuan baru yang diterbitkan di suratkabar online, silakan mengunjungi website ini: http://www.onlinenewspapers.com/. Anda bisa mengunjungi The Wall Street Journal, Time, Asia Wall Street Journal, Bangkok Post, China Post dan puluhan ribu surat kabar online di seluruh dunia.

Secara rutin, saya mengakses website yang menyebut dirinya sebagai The No 1 Newspaper Directory itu. Melalui website ini, saya bisa menjelajah ribuan surat kabar di berbagai belahan dunia, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia Pacifik, Asia Tenggara, Amerika Tengah, Afrika. Puluhan surat kabar dalam negeri bisa anda temukan melalui website ini. Anda bisa memperoleh informasi yang bisa menumbuhkan ide menulis di sana.

Mengunjungi website ini saya terinspirasi menulis artikel tentang surat kabar online, yang berjudul: Menyambut Hari Pers 9 Februari 2010: Media Online Dunia (Analisa, 9 Febrari 2010). Topiknya sendiri adalah tentang website itu. Bagaimana di era internet ini, kita bisa mengunjungi puluhan ribu surat kabar melalui satu website.

Banyak website lainnya yang bisa menggugah ide anda untuk menulis. Demikian juga Facebook, Twitter dan jejaring sosial lainnya merupakan sumber pemicu ide anda untuk menulis.

Menonton Televisi dan Mendengarkan Radio

Televisi dan radio merupakan sumber informasi yang melimpah, seperti berita, gosip artis, korupsi dan lain sebagainya. Anda bisa merangkumnya atau bahkan menggali informasi tersebut dari berbagai sumber lain di internet, lengkap dengan fotonya, lalu dirangkum jadi sebuah artikel yang wah…!

Menyaksikan televisi menyiarkan Gunung Sinabung meletus tengah malam 29 Agustus 2010 membuat kami terhenyak sejenak. Apa ya?. Saat itu kami sedang berkunjung ke tempat kos anak-anak kami di Depok, 1500 kilometer dari tempat kejadian.

Berita itu begitu menarik.Pasalnya, Gunung Sinabung tak jauh dari desa tempat saya dilahirkan. Muncul kekhawatiran. Bagaimana dengan orang tua saya di kampung?. Rasa khawatir, bisa menimbulkan ide setelah menonton sesuatu di televisi.Akhirnya, saya menulis artikel : Gunung Sinabung "Babak Baru" dan" Bukan Peristiwa Biasa" (Harian Sinar Indonesia Baru 4 September 2010).

Dengan menonton televisi saya bisa mendapatkan ide menulis tentang Pemilu dan Asian Idol dengan judul: Asian Idol dan Pemilu "Budaya Mengakui Kekalahan" (Analisa, 6 April 2009

Mengamati Sekeliling Kita

Di sekeliling kita banyak sekali ide yang bisa dijadikan bahan tulisan. Misalnya, saat saya berjalan-jalan ke museum Jayakarta di Jakarta. Saya sangat terkesan dengan minat anak-anak di Jakarta yang lebih menyukai berkunjung ke Plaza dari pada ke museum. Nah, kesan saya terhadap anak-anak tersebut bisa menjadi ide untuk menulis. Saya akhirnya menulis artikel: Bermain, Rekreasi dan Belajar Anak :Tidak Cukup Hanya ke Mall (Analisa, 20 Juli 2011).

Bertemu Orang-orang

"Ketika api semangat anda padam, maka pertemuan dengan orang-orang akan menyalakan kembali api semangat Anda!". Tinggalkan rumah atau kantor anda, bertemulah dengan orang-orang atau hadirilah pertemuan-pertemuan penting berhubungan dengan topik yang anda tulis. Ide menulis bisa dipicu oleh orang-orang yang kita temui, atau pertemuan yang kita hadiri. Dengar apa yang dibicarakan di tempat anda bertemu.

Pertemuan saya dengan tiga orang penulis, Muhammad TWH dari Medan memasuki usia 78 tahun, St Japiten Saragih dari Desa Pematangraya, Simalungun, berusia 74 tahun dan Haji Arifin 69 tahun dari Kota Tanjung Balai, menghasilkan ide menulis artikel tentang-orang-orang yang tidak berhenti menulis.Pertemuan itu sendiri saya tulis dengan judul: Catatan Ringan Pertemuan Penulis Pembaca Sumut: Menulis Sampai Uzur (Analisa, Sabtu 6 Nopember 2010 Hal 13).

Membuka Kembali Artikel yang Pernah Ditulis dan Arsip/Kliping

Dengan membaca kembali artikel Anda bisa mengundang ide baru muncul. Oleh sebab itu simpanlah artikel yang pernah ditulis di tempat yang mudah ditemukan. Ketika saya hendak menulis artikel Menyambut Hari Kartini 2009: "Kartini Baru dan Keterwakilan Perempuan" (Analisa 21 April 2009), saya harus membuka kembali beberapa data dari artikel saya sebelumnya, Selamat Datang 2008: "Tahun Kebangkitan Politik Perempuan" (Analisa 11 Januari 2008). Selain itu, arsip dan kliping koran sangat berguna untuk memicu ide, sekaligus menyediakan data yang diperlukan.

Penutup

Langkah-langkah di atas menolong anda memicu ide sekaligus sebagai bahan dasar menemukan perumusan masalah, bahan awal penulisan, membimbing anda untuk langkah penulisan artikel selanjutnya.

Buatlah komitmen untuk menulis satu artikel secara teratur (walau tidak langsung dimuat, mungkin untuk sementara konsumsi sendiri). Lakukan kombinasi alat pemicu di atas, niscaya tidak ada jalan buntu bagi Anda menulis artikel secara reguler. Semoga!***

Penulis adalah Penulis Biografi dan artikel di berbagai media.

Artikel ini dimuat di Harian Analisa Cetak, Jumat 29 Juli 2011.