My 500 Words

Kamis, 10 November 2011

Mengenal Lucya Chriz, Penulis Novel Amang Parsinuan. “Tinggalkan Pekerjaan Mapan, Fokus Menulis!”

Oleh: Jannerson Girsang

Membaca novel Amang Parsinuan, perasaan saya seperti membaca novel Raumanen, karya Marianne Katoppo.Kisah percintaan Raumanen si gadis Manado berusia 18 tahun dengan Monang, laki-laki (Batak) seorang insinyur muda yang begitu memukau. Ingin membacanya sampai buku tamat, tanpa henti. Demikianlah novel ini saya baca hanya dalam beberapa jam, karena tidak begitu tebal, hanya 125 halaman.

Novel Amang Parsinuan ditulis apik dan bahasa yang renyah, sarat dengan muatan lokal Batak, dengan gaya Medan yang kental.

Kisahnya secara ringkas saya tuturkan berikut ini.

Sebagai seorang kepala keluarga dari Suku Batak Toba, hampir setiap hari Lomo berdoa agar memiliki anak laki-laki  yang kelak menjadi penerus marganya. Namun, istri pertamanya, Uli hanya mampu memberikannya 5 putri yang cantik. Lalu, desakan keluarga pihak keluarga Lomo yang menganjurkan dirinya menikah, sampai ke telinga istrinya. Istrinya frustrasi dan nekad bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dengan pisau tajam, tanpa seorangpun mengetahuinya.

Lomo menikah lagi dengan istrinya yang kedua, Roma, walau hanya mangalua, karena keluarga perempuan tidak menyetujui perkawinan anak gadisnya dengan duda beranak lima. Seiring waktu, segala impian Lomo terwujud. Dari istri keduanya—wanita muda dan cantik serta berasal dari keluarga kaya di Medan, Lomo memperoleh tiga anak laki-laki dan juga memberinya keberhasilan dari segi materi—percetakannya membuka cabang dimana-mana.

Kebaikan dan kesetiaan isteri keduanya merawat anak-anaknya,  baik dari istri Lomo pertama dan keduanya  ternyata dimaknai berbeda oleh  Lomo. Kesibukan mengurus anak-anaknya, membuat Lomo merasa istrinya kurang memperhatikannya, kurang memberinya kepuasan pelayanan kebutuhannya.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan istrinya, Lomo  menikah lagi dengan wanita lain, Pinta, bekas karyawan perusahaan percetakan miliknya, dan menelantarkan ke delapan anak-anak dari istri pertama dan keduanya.

Waktu berjalan, meski tidak diberi nafkah, Roma istri keduanya--dengan modal cincin kawin dan kalung yang nilainya tak seberapa, dia membuka usaha kecil-kecilan dan mampu menghantar ke delapan anak, dari istri pertama Lomo dan tiga laki-laki yang dilahirkan dari rahimnya,  ke jenjang keberhasilan. Semua anaknya sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.

Puluhan tahun tak memperdulikan anak-anak dan istrinya,tiba-tiba  di usianya melewati 70 tahun, Lomo muncul di hadapan istrinya Roma. Selama ini status perkawinannya dengan istri ketiganya Pinta tidak jelas secara adat. Dia datang menggugat cerai isteri keduanya, supaya ketika dia meninggal, mayatnya diberangkatkan secara adat Batak yang semarak. Malum, dia orang kaya, memiliki percetakan di berbagai tempat.

Keterlaluan memang. Mau matipun pengen "sangap" (terhormat), meski kelakuannya bejat. Kisah ini mampu mengundang rasa geram, marah, sedih dan sangat menginspirasi. Silakan baca sendiri bukunya deh!

Itulah imaginasi luar biasa seorang Lucya Chriz. Perempuan  kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 itu adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, dan bergabung dengan Komunitas Sastra Medan Indonesia (KSI) Medan, sejak Maret 2011.

Di sampul belakang buku itu kami kutip beberapa komentar pembaca buku itu. ”Cerita Amang Parsinuan, menarik dan indah sekali. Seindah Danau Toba dan Tanah Batak, dengan tradisinya yang sangat hebat,” ujar Kirana Kejora, seorang novelis yang tinggak di Surabaya. ”Etnisitas yang sangat tinggi dan bagus. Lucya Chriz, mampu memperkenalkan budaya Batak, walau secara halus dia mengkritiknya,”ujar Nestor Rico Tambunan, novelis yang tinggal di Jakarta.

Sambutan mediapun cukup lumanyan. Hal ini tampak dari berita Peluncuran novel yang diselenggarakan di Galeri Seni Medan Payung Teduh di Jalan Sei Bingei, 14 Oktober lalu. Harian Medan Bisnis memuat peluncuran itu dengan judul Lucia Luncurkan Novel Amang Parsinuan, Harian terbesar di Sumatera, Analisa melansir sebuah ulasan panjang dengan judul Novel "Amang Parsinuan", Muatan Lokal Pertentangan Adat dan Gereja), serta berita dan ulasan di media cetak dan online lainnya.

Sebagai penulis pemula, Lucya telah berhasil memikat perhatian para novelis, media serta para pembacanya dan menempatkannya sebagai seorang penulis berbakat dan memiliki potensi sebagai penulis handal ke depan.

Jadi Penulis?. Orang Tua Awalnya Tidak Setuju

Tidak hanya novelnya yang menarik, ternyata kehidupan wanita kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 ini juga tak kalah unik. Keyakinannya akan dunia tulis menulis ke depan adalah sebuah inspirasi bagi penulis-penulis muda daerah ini ang cenderung memandang dunia satu ini sebelah mata.

Menjadi penulis adalah pilihannya dan bahkan meninggalkan pekerjaan yang sudah sempat digelutinya di sebuah perusahaan beberapa lama. ”Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis,”ujar lulusan Sarjana Psikologi Universitas Medan Area ini.

Sebuah pilihan yang langka di kalangan anak muda masa kini yang cenderung mengejar materi dan kemewahan. Baginya pilihan ini tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukungnya. ”Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda,”ujarnya mengenang!.  .

Keberuntungan memihak pada Chriz. Belum setahun sesudah berikrar di depan orang tuanya, Lucya Criz berhasil menerbitkan novel Amang Parsinuan, yang menempatkan dirinya sebagai penulis muda yang berbakat dan memenangkan beberapa penghargaan.

Dalam waktu singkat, Lucya berhasil memperoleh beberapa penghargaan dari berbagai pihak, dan menjadi penulis cerpen yang produktif di harian Analisa. .

Lucya merasakan betapa pentingnya seseorang mendapat pembinaan. Sejak bergabung dengan KSI Medan dirinya mendapat bimbingan menulis. "Merekalah yang membina saya sehingga bisa menulis lebih produktif,:"katanya.

 Orang tuanya kini sudah menyadari bakat anaknya yang membanggakan sebagai penulis. Beberapa hari setelah peluncuran novel pertamanya, Lucya Chriz berkunjung ke rumah orang tuanya di Jalan Sisingamangaraja, Sidikalang. ”Orang tua saya bangga saya berhasil menulis. Mereka tidak malu lagi  menceritakan pekerjaan saya sebagai penulis,”ujar Chriz terharu.

Wawancara Tertulis dengan Lucya Chriz.

Untuk mengenal pikiran-pikiran dan keresahan hati salah satu penulis dalam buku antologi ”Kerukunan Umat Beragama” yang diselenggarakan Badan Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Maret 2011 ini, kami melakukan wawancara tertulis. Silakan ikuti kisahnya.

Kapan muncul niat untuk menulis cerpen dan novel?

Sejak dulu saya suka menulis, tapi hanya menjadikannya sebagai hoby. Pelajaran Bahasa menjadi pelajaran favorit saya dan sangat senang ketika diberikan tugas mengarang, membuat laporan, dsb yang berhubungan dengan menuliskan sesuatu. Setiap hari saya menyalurkan hobby tersebut di atas lembaran-lembaran buku harian, hal yang dilakukan banyak anak seusia saya.

Ketika duduk di bangku SMA, saya mencoba membuat beberapa cerpen, yang saya tulis dengan tangan di atas kertas folio dan saya jilid dengan rapi. Di akhir setiap naskah selalu saya tuliskan tanggal penulisan dan tidak pernah lupa membubuhkan nama dan tandatangan, merasa saya adalah seorang penulis professional.

Setelah saya kuliah dan berhadapan dengan banyak tugas dan aktif di berbagai kegiatan, hoby itu pun lama-kelamaan terlupakan. Saya tak pernah lagi menulis.

Setelah lulus dan mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota Medan, tiba-tiba kerinduan itu muncul kembali. Saya bisa duduk berjam-jam di depan komputer untuk menuliskan berbagai hal yang saya rasakan dan saya pikirkan. Tapi lagi-lagi, tulisan itu hanya saya jadikan sebagai arsip pribadi.

Semakin lama kerinduan itu semakin besar dan rasanya tidak bisa saya bending lagi. Sampai kemudian pada Agustus 2010, saya menuliskan sebuah novelette rohani dan memberanikan diri untuk mengirimkannya kepada panitia sebuah lomba yang tengah mengadakan festival kepenulisan. Desember 2010, diumumkan bahwa saya berhasil meraih posisi sebagai juara harapan. (Catatan: Lucya Chriz berhasil meraih Peringkat Harapan II dalam Lomba Menulis Novelet FPPK, Festival Pembaca dan Penulis Kristiani, yang diselenggarakan oleh Saat Teduh dan BPK Gunung Mulia, Desember 2010)

Itu adalah kemenangan pertama saya dalam kepenulisan dan benar-benar berhasil mendongkrak semangat dan rasa percaya diri saya. Setelah itu, saya mulai mengikuti beberapa lomba menulis cerpen dan puji Tuhan, hampir semua lomba yang saya ikuti, saya termasuk salah satu pemenang di dalamnya.

Saya lalu bertekad untuk menjadi seorang penulis yang konsisten dan professional.

Mengapa Anda melakukannya?

Awalnya saya menulis hanya untuk menyalurkan hobby saja. Tapi lama-kelamaan, mindset saya mulai bergeser. Saya menulis dengan sebuah harapan penuh. Saya ingin menjadi berkat bagi orang lain melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga ingin bisa memuliakan nama Tuhan melalui karya saya.

Saya sangat sadar bahwa saya bukanlah siapa-siapa di dunia ini. Tapi saya merasa, bahwa saya bisa berpendapat dan mengeluarkan aspirasi saya. Caranya adalah, melalui tulisan.

Keresahan apa yang ada di hati Anda, sehingga melakukannya?

Saya membaca banyak buku dari luar maupun dalam negeri, tapi saya selalu merasa bahwa seperti ada yang berbeda antara penulis Indonesia dengan penulis luar. Ketika penulis luar dengan bangganya menuliskan tentang kondisi budaya, sosial dan ekonomi negerinya sendiri, penulis Indonesia justru bangga jika bisa menuliskan tentang luar negeri.

Banyak penulis yang mengambil setting di luar negeri demi prestise. Dan ironisnya, hal tersebut sepertinya disambut gembira oleh para pembaca.

Hal itulah yang membuat saya terbebani untuk bisa menuliskan tentang negeri sendiri, karena sesungguhnya di negeri ini terdapat banyak sekali keindahan yang bahakn tidak dimiliki oleh Negara lain. Setelah Negara, saya mulai menyempitkan pikiran. Saya, selaku suku Batak, mencoba untuk mengangkat cerita tentang lokalitas. Tentang kota Medan dan suku serta kebudayaan yang ada di dalamnya.

Semakin saya pelajari, semakin saya bersemangat. Seolah mendapatkan harta karun, saya mengetahui jika Medan dan segala kebudayaannya ternyata memiliki banyak sekali aspek yang menarik. Dan semuanya itu menunggu untuk diangkat ke dalam tulisan.

Saya mencoba menuliskan tentang lokalitas, karena hanya melalui tulisanlah saya bisa menggaungkan kepada seluruh negeri atau bahkan seluruh dunia, tentang keadaan ini. Selain puja-puji, melalui tulisan saya juga bisa mengkritik dan melemparkan pendapat saya dan juga orang lain mengenai kondisi yang sebenarnya.

Kebanyakan anak muda sekarang mencari pekerjaan mapan. Bagaimana dengan saya?
Semuanya tergantung prinsip seseorang. Selepas kuliah, saya mengikuti prosedur yang diyakini semua orang. Bekerja. Saya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang mapan di kota Medan. Saya bekerja selama setahun. Secara financial saya tercukupi, tapi tidak dengan bathin. Saya sangat tidak nyaman dan merasa bahwa hidup saya tidak berada di sana.

Saya merasa kosong dengan segala hasil kerja saya, tapi sebaliknya akan merasa sangat bersemangat ketika membiacarakan dunia kepenulisan. Sehingga pada akhir 2010, saya membuat sebuah keputusan ekstrim. Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis.

Tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukung saya. Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda.

Saya lalu bernegosiasi dengan keluarga. Saya meminta mereka memberikan saya waktu selama satu tahun.

Jika dalam waktu setahun saya tidak bisa menghasilkan karya apa-apa, saya akan mundur dan akan mengikuti ke mana pun mereka perintahkan. Tapi jika dalam setahun saya bisa menghasilkan suatu karya, mereka harus merestui saya dengan profesi ini.

Saya berjuang sekuat tenaga. Saya ingin mewujudkan mimpi saya sebagai seorang penulis. Saya tidak bisa mundur begitu saja, karena sudah terlalu banyak yang saya korbankan.

Puji Tuhan, belum setahun, Tuhan menyatakan kuasa-NYA. Lima buku antologi, cerpen yang dimuat di media, serta novel “Amang Parsinuan” telah saya kantongi.

Bagaimana pandanganmu tentang minat baca dan tulis generasi muda yang sekarang?

Kalau melihat anak dan remaja generasi yang sekarang, terus terang saya merasa miris. Pergaulan yang terlalu bebas yang tak jarang membuat saya terkaget-kaget. Anak yang masih saya anggap ingusan, ternyata sudah lebih banyak tahu dari saya tentang berbagai hal. Ironisnya, hal itu adalah yang berkonotasi negative.

Satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan, anak-anak sekarang memiliki minat baca tulis yang sangat sedikit. Dengan bersemangat saya sering menghadiahi teman-teman buku-buku inspiratif, berharap mereka bisa menuai nilai positif di dalamnya. Sayangnya, harapan saya takkan pernah terkabul, karena hadiah saya hanya akan dijadikan penghuni rak paling bawah.

Dua sisi mata uang, syukurlah kalau ternyata masih banyak juga pemuda yang memiliki semangat besar untuk berkarya. Memiliki daya juang tinggi agar bisa menyuarakan hati dan pikirannya melalui tulisan. Hal itu membuat saya sangat bahagia dan ingin mengajak mereka bergandengan tangan, agar kami bisa bersama-sama membuat perubahan besar melalui tulisan.

Artikel ini bisa diakses di : http://www.harangan-sitora.blogspot.com. Anda dibenarkan memperbanyak artikel ini dengan menyebut sumber dan nama penulis. Tulisan ini belum pernah dimuat di media manapun.

Untuk mengenal karya-karya Lucya Chriz, anda bisa mengunjungi websitenya: http://termanis.com, http://lucya-chriz.blogspot.com.

Senin, 07 November 2011

Berkat di Hari Idul Adha (Renunganku di Harian Analisa,30 Nopember 2009)


Oleh Jannerson Girsang

(Artikel ini adalah pengalaman keluarga kami di saat Idul Adha, dua tahun lalu. Semoga memberi makna pada perayaan Idul Adha 1432 H).

27 Nopember 2009 sepanjang hari cuaca begitu cerah di Medan. Secerah suasana hati rekan-rekan saya yang beragama Islam menyambut hari Raya Idul Adha. Warga Muslim berbondong-bondong menuju sejumlah mesjid. Ketika saya keluar rumah, pembagian daging kurban sudah mulai terlihat di beberapa tempat. Arus lalulintas di Kota Medan di Hari Raya Idul Adha 1430H, terlihat sedikit lengang di pagi hari. Warga cukup antusias menyambut dan melaksanakan solat Idul Adha.

Hari Raya Idul Adha, tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi umat Muslim, tetapi juga bagi tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama. Sebagai tetangga, kami sekeluarga yang beragama Kristen turut merasakannya. Rumah kami bersebelahan dengan pak Halim,seorang Muslim.

Sepulang dari diskusi finalisasi sebuah buku otobiografi, sore hari, ibu Yuli, istri pak Halim menghampiri saya, tidak lama setelah memarkir mobil. Beliau menyapa dengan muka ceria. “Pak Girsang, mana ibu,”ujar ibu Yuli sambil tersenyum, seraya menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Saat itu, istri saya sedang tidak berada di rumah. Dia keluar bersama anak bungsu saya memanfaatkan libur hari Raya Idul Adha dengan jalan-jalan. Mungkin beberapa jam sebelumnya, ibu Yuli sudah mencari-cari kami. ”Dari tadi rumahnya tutup ya,” katanya.

Saya menerima bungkusan plastik itu dengan rasa senang yang luar biasa, karena bungkusan seperti itu, layaknya tahun-tahun sebelumnya, pasti berisi daging sapi. Berkat luar biasa bagi kami di saat tetangga kami merayakan Idul Adha.

Benar saja. Ketika bungkusan ini saya buka, isinya adalah daging sapi yang cukup untuk lauk dua kali makan bagi kami bertiga dengan istri dan anak bungsu saya. Kami ikut merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Adha melalui tetangga kami yang luar biasa baiknya. Bukan  soal nilai daging sapinya, tetapi perhatiannya.

Tiga anak saya di Jakarta, pernah merasakan pemberian ibu Yuli. Istri saya memberitahukan bahwa kami sudah menerima daguig kurban Idul Adha dari ibu Yuli. ”Salam sama ibu Yuli ya bu,” demikian jawaban mereka kepada istri saya. Mendengar hal itu, mereka turut memaknai perayaan Idul Adha. Meski mereka tidak ikut menikmati daging pemberian bu Yuli, tetapi anak-anak saya ikut merasakan kebahagiaan yang kami nikmati.   

Setiap tahun, pada Hari Raya Idul Adha, ibu Yuli selalu menyisihkan daging sapi bagi kami. Meskipun kami bukan Muslim. Ibu Yuli melakukan hal yang sama, sejak 1996, awal kami mulai bertetangga. Kami merasakan sebuah kedamaian bertetangga sesama umat yang berbeda agama. Kami tidak pernah terkungkung oleh perbedaan, tetapi kami melihatnya sebagai sebuah karunia Tuhan.

Saya teringat pengalaman saya di Ciamis, Jawa Barat di era 1980-an, ketika kami bertugas di sana. Almarhum Haji Badrudin pemilik rumah  kos yang kami tempati di Jalan Sudirman 132 di kota itu,  senantiasa menyisihkan daging kurban Idul Adha kepada keluarga kami.  Begitu indahnya bertetangga andaikata kita memahami persamaan : saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Ibu Yuli dan pak Halim adalah keluarga yang sederhana dan berbahagia. Keduanya telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Saat mereka berangkat haji, kami juga diundang dalam acara selamatan. Ibu Yuli bekerja pada sebuah surat kabar dan suaminya pak Halim adalah seorang redaktur senior di salah satu surat kabar lokal berpengaruh di Medan.

Di Hari Raya Idul Adha ini, penting bagi kita semua untuk memikirkan cara-cara sederhana dalam bertetangga dan memelihara kedamaian dengan sesama. Kami merasakan makna dalam perbuatan, tanpa sibuk membahas hal-hal yang terkadang rumit. Mengambil cara sederhana, tetapi menciptakan suasana yang saling tergantung dan saling membutuhkan. Kami mampu melaksanakannya, meski kami tidak mengetahui secara mendalam soal teologis, karena kami memang bukan ahli agama.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai tetangga ibu Yuli dan suaminya menunjukkan sikap saling membutuhkan dan kedamaian yang menyejukkan hati. Hal-hal sederhana sering kami lakukan sesama tetangga. Kalau hujan datang dan kebetulan tidak ada orang yang tinggal di rumah kami, sementara ibu Yuli kebetulan di rumah, maka dengan cekatan dia akan mengamankan kain jemuran kami ke rumahnya. Kalau kebetulan salah seorang anak saya atau istri saya di rumah dan kejadiannya seperti di atas, maka mereka melakukan hal yang sama. Ujung-ujungnya, ibu Yuli pasti memberikan hadiah. Anak-anak saya acapkali menerima kiriman makanan atau apa saja dari ibu Yuli.   

Sebagai tetangga, karena kesibukan masing-masing, maka kami hanya memiliki waktu tertentu untuk bersilaturahmi. Khususnya pada Tahun Baru dan Lebaran. Saat merayakan Tahun Baru, mereka berdua selalu berkunjung ke rumah kami. Sebaliknya, kami senantiasa berkunjung ke rumah mereka pada saat Lebaran. Memang, di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, kami kadang hanya sempat saling tegor atau ”say hello”. Tetapi memiliki makna persahabatan dan saling menghargai.

Selamat merayakan Idul Adha bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kita berbeda karena Tuhan menginginkan kita berbeda. Marilah melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk membuahkan kedamaian dengan tetangga kita dan pada akhirnya kedamaian di bumi Indonesia ini.

Semoga kisah-kisah seperti ini bisa dialami oleh rekan-rekan saya sebangsa dan se tanah air.

Artikel ini dimuat di Harian terbesar di Medan Analisa Edisi Cetak, 30 Nopember 2009 di halaman Opini.

Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” (Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011) l



Oleh: Jannerson Girsang
Albertine Endah
 sumber foto: http://didipi.net/blog/albertine-endah/

Goresan prestasi dan karya-karya perempuan sejak dulu masih tertinggal dari kaum laki-laki. Langkah-langkah penulisan tentang karya perempuan adalah usaha mulia yang mengejar ketertinggalan prestasi kaum hawa ke tengah publik.

Albertiene Endah salah salah satu diantaranya. Setelah sukses menulis novel, dia menulis sedikitnya lima biografi perempuan yang berprestasi di bidangnya sejak 2003. Prestasinya dalam waktu singkat menghasilkan sejumlah biografi kaum perempuan Indonesia patut diacungi jempol.

Para pembaca novel Cewek Matre, Dicintai Jo, Ilove My Boss, Jangan Beri Aku Narkoba, Nyonya Jetset, Ojek Cantik ini, pasti sudah mengenal perempuan lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini.

Lewat biografi, Alberthiene Endah mengangkat perempuan Indonesia dengan menulis hal-hal yang mereka pikirkan, lakukan dan maknai.

****

Alberthiene Endah—akrab dengan panggilan AE, adalah seorang jurnalis, penulis novel dan biografi best seller Indonesia dan sosok inspirasi, khususnya penulisan karya dan prestasi perempuan.

Selain menulis novel, sejak 2003, perempuan kelahiran Bandung ini telah menulis buku biografi diantaranya, Seribu Satu KD (2003), Anne Avantie: Aku, Anugerah dan Kebaya (2007),  Titiek Puspa: A Legendary Diva (2008), Catatan Hati Krisdayanti – My Life, My Secret (2009), Jejak Batin Jenny Rachman: Kutemukan Ridha-Nya (2010), Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit (2010).  Selain itu, dia juga menulis tentang biografi beberapa tokoh laki-laki seperti penyanyi legendaris Chryse dan lain-lain.

Dengan kemampuan menulisnya yang mendapat pujian banyak pihak, Alberthiene Endah memberi inspirasi bagi pembaca tentang kisah perempuan Indonesia yang sukses di bidangnya. Pemenang Adikarya IKAPI 2005 itu telah memperkaya khasanah perbukuan di negeri ini dengan kisah yang membanggakan.
Dia berhasil menghiasi media cetak, online dan televisi, mengisi nuansa baru tentang perempuan Indonesia, mencuri ruang media di tengah berita-berita kasus korupsi yang telah merusak sendi-sendi bangsa ini.

***

Perlakukan diskrimintif atas penulisan karya perempuan sudah melegenda sejak ribuan tahun yang lalu, sejak jaman pra sejarah, revolusi peranian, revolusi industri, hingga ke masa era informasi ini.

Gail Meyer Rolka, penulis buku 100 Wanita yang Mengguncang Dunia, mencatat, hingga abad keduapuluh, penulisan sejarah masyarakat Barat mendominasi dan mengeksploitasi prestasi kaum pria
”Dengan pengecualian yang jarang, informasi dalam karya-karya referensi tradisional (ensiklopedia dan buku-buku sejarah), menunjukkan bias yang nyata terhadap kontribusi laki-laki ketika mengabaikan atau merendahkan kaum wanita. Sebagai contoh, meskipun banyak ilmuwan wanita dikenal dan dihormati di masa mereka, sejarawan cenderung mendiskreditkan kontribusi mereka, atau karena wanita seringkali tidak menerbitkannya dengan nama mereka, gagal mengenalkan usaha mereka” ujar Gail Meyer Polka.

Mayer mengambil contoh peran Marie Lavoisier, yang selama 25 tahun berkolaborasi dengan suaminya meletakkan landasan bagi kimia modern, Emiliedu Chatelet yang sangat mempengaruhi karya temannya Voltaire, Chaterine Green yang membantu menemukan alat pemintal kapas bersama Eli Whiney. Nama-nama yang muncul dan terkenal adalah nama laki-laki.

****

Aneka perjuangan perempuan dalam usahanya keluar dari hanya sekedar penjaga dapur rumah tangga tetap menyala dan membesarkan anak-anak sudah berlangsung selama 5.000 tahun, hingga sekarang ini.

Sebutlah beberapa di antaranya. Sophie Germain (tidak dibenarkan orang tua masuk universitas—bekerja sendiri mengembangkan sejumlah teori), Madame CJ Walker (jutawan pertama di Amerika), Dorothea Dix dan Elizabeth Fry (reformasi penjara), Emmeline Pankhrust (memperjuangkan hak mengeluarkan pendapat di Inggeris), Susan B Anthony dan Charrie Chapman Catt (menjamin hak pilih bagi wanita), serta tokoh-tokoh lain dengan berbagai hambatan yang mereka hadapi.

Emansipasi yang diperjuangkan Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia pada awal abad 20, sebenarnya tidak hanya peran dalam turut serta mengukir peradaban, tetapi juga penghargaan atas karya-karya mereka. Semangat Putri Sejati Indonesia itu juga menuntut pentingnya persamaan hak untuk ditulis dan dipublikasikan atas prestasi dan karya yang secara proporsional.

Memasuki era globalisasi ini, perempuan memasuki peran di berbagai bidang seperti memajukan teknologi, menemukan tanah-tanah baru, menciptakan seni, musik dan tari inovatif, memimpin pasukan, menambah isi kesustraaan dunia yang penting, memimpin pasukan, menjadi pemimpin nasional berpengaruh, mempertanyakan dan mengubah kepercayaan dan struktur sosial yang sudah ada untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang.

Biografi Titik Puspa  misalnya, mengungkapkan peran perempuan dengan perubahan pandangan yang lebih tegas di dalam rumah tangga. Selain fungsi ibu, penyeimbang keluarga, ”Pada posisi tertentu, perempuan harus maju seperti laki-laki. Mencari nafkah, mengerahkan tenaga dan keberanian, membesarkan nyali, melupakan sejenak kemanjaan sebagai perempuan. Hidup seringkali tak pandang bulu dalam menguji ketangguhan. Perempuan harus seberani laki-laki”

Hal ini tentu menuntut usaha-usaha meningkatkan publikasi karya dan prestasi mereka melalui buku-buku atau media. Pemberitaan suara perempuan di media memang masih perlu ditingkatkan. Simaklah kutipan berikut ini. “Do you see the world from the perspective of women and girls?. Only 22% of the voices you hear and read in the news are women’s. Change your viewpoints,” demikian the IPS Gender Wire dalam http://www.ips.org.

Linda Christianty—pemenang Perempuan Award 2010 yang diselenggarakan Radio Suara Perempuan, Banda Aceh, mengatakan bahwa sampai saat ini di media manapun, bukan hanya di Aceh, perempuan masih diberitakan secara bias dan menjadi objek pelaku kesalahan. "Ini menjadi tugas kita semua untuk lebih banyak menulis tentang tema perempuan,"ujar Linda, dalam diskusi pada acara penganugerahan Perempuan Award akhir Juni 2010 lalu.

Penulis, media perlu lebih peka dan memiliki daya kritisnya atas karya dan prestasi perempuan. Kisah-kisah Marie Lavoisier, Emiliedu Chatelet, Chaterine Green cukup menjadi pelajaran bagi kita! Langkah-langkah Elberthiene Endah menjadi teladan yang perlu ditiru para penulis lainnya. Siapa mau turut?

Dimuat di Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011 

Google Book dan Demokrasi Pengetahuan (Harian Analisa, 7 Nopember 2011)

Oleh : Jannerson Girsang.



Front Cover
 Sumber foto: http://books.google.co.id

Kreasi Google terus berkembang dan membantu meningkatkan pengetahuan penduduk dunia. Bagi para pengguna internet, mungkin masih ingat saya menggunakan Google Translation (terjemahan Google) yang dimuat di harian ini tahun lalu.
Kali ini saya menuliskan pengalaman saya menggunakan Google Book, atau selanjutnya saya sebut Buku Google, sebagai salah satu alternatif memperoleh bacaan-bacaan bermutu dan berguna bagi berbagai bidang pekerjaan.

Buku Google adalah perpustakaan raksasa. 14 Oktober 2010 lalu, Google mengumumkan bahwa jumlah buku yang sudah dipindai (scan) ke dalam Buku Google mencapai lebih dari 15 juta. Suatu jumlah yang tidak sedikit. Google memperkirakan terdapat sekitar 130 juta buku yang unik di dunia (tepatnya 129.864.880), dan Google berniat memindai semuanya pada akhir dekade ini.

Sama dengan beberapa teman saya yang baru-baru ini bertanya bagaimana menggunakan Buku Google, mungkin anda juga belum pernah mencobanya, sama dengan yang saya alami beberapa bulan lalu sebelum menggunakannya.

Demokrasi Pengetahuan

Buku Google adalah layanan Google bagi masyarakat dunia yang sudah dimulai sejak 2004. Dimulai sejak proyek Google Print di Frankfurt Book Fair pada Oktober 2004. Proyek tersebut kemudian berubah nama menjadi Google Book Search dan kini kita kenal sebagai Google Book.

Awalnya proyek ini bernama Google’s Library Project, sekarang dikenal sebagai Google Book Search, yang diumumkan pada bulan Desember 2004.

Oleh banyak pihak proyek ini dipuji sebagai sebuah demokrasi pengetahuan. Penduduk dunia berhak membaca buku dari berbagai negara di dunia baik dalam bahasa mereka sendiri atau bahasa asing.

Buku Google adalah layanan Google yang mencari teks utuh buku yang telah dipindai (scan) oleh Google, dikonversi ke teks menggunakan pengenalan karakter optic (optical character recognition), dan disimpan dalam database digital Google sendiri.

Untuk usaha ini, Google pernah mendapat protes dari berbagai pihak, khususnya penulis yang merasa dirinya dirugikan akibat pemindaian (scanning) atas buku-buku mereka. Google dikabarkan membayar US$ 125 juta untuk melanjutkan pemindaian buku-buku guna mewujudkan demokratisasi pengetahuan dunia.

Google bukan perusahaan sosial. Mereka mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit dari iklan atau pendapatan lainnya. Bagi saya atau anda sebagai pengguna, hasil pekerjaan mereka memberikan peluang membaca buku-buku secara gratis.

Memanfaatkan Buku Google

Bagi yang terbiasa menggunakan internet, mencari buku di Google Book tidaklah sulit. Bagaimana caranya, ikuti pengalaman kami!

Masuklah ke http://books.google.co.id (bahasa Indonesia) atau http://books.google. com. Di layar komputer Anda bagian tengah akan terpampang tulisan Google yang berwarna biru, merah, jingga dan hijau.

Di bawahnya tersedia kolom kosong bentuk persegi panjang, tempat mengisi kata-kata atau judul buku yang saya inginkan.

Suatu ketika saya mencari buku-buku tentang penulisan. Saya mengisi kata kunci "Menulis" ke kolom kosong tadi. Lantas meng-klik tombol "telusuri buku" yang terdapat di bawah kolom pencarian.

Dalam hitungan detik, di depan layar komputer saya sudah terpampang buku-buku referensi tentang menulis. Luar biasa!

Inilah buku-buku tulisan dalam bahasa Indonesia yang saya temukan. Berani Menulis Artikel: Babak Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak (Oleh Wahyu Wibowo), Cara Mudah Menulis Buku (Oleh Dodi Mawardi), Menulis Karya Ilmiah (Oleh Etty Indriati), Terampil Menulis Paragraf (Rev) (Oleh Asul Wiyanto), Asyik Belajar Membaca, Menulis, dan Berhitung (Oleh Nida Rizky), Mahir Menulis Huruf a-z TK (Oleh WS. Pribadie), Menulis Siapa Takut (Oleh Imron Rosidi), Hai, Aku suka Menulis (Oleh Ali Muakhir,Asih Gandana).

Ketika kami memerlukan informasi tentang Facebook dan mengklik Facebook, maka di layar komputer terpampang buku-buku seperti : Gaul Ala Facebook untuk Pemula (Oleh Dirgayuza Setiawan), Facebook (Tony Hendroyono), Ayo Buat Facebook-mu Menarik (Bharata & Al Kalam), Kumpulan Status Facebook Paling Seru (Ira Lathief), 101 Aplikasi Facebook Terdahsyat (Jubilee Enterprise), Step By Step Facebook (Sartika Kurniali), Main Facebook Pakai Ponsel (Ridwan Sanjaya), The Facebook effect: The Inside Story of the Company (David Kirkpatrick), Facebook Fanatic: Explode Your Popularity, Secure Your Privacy (Editors of Bottletree Books LLC), Bengkel Facebook (Alif Harsan).

Buku Google sangat membantu saya dalam memilih buku dan memberikan informasi detil sebelum membelinya di toko buku; mendapat referensi yang baik karena sebagian buku dalam pratinjaunya sudah menjelaskan isi buku beberapa bab secara utuh. Sebagian buku-buku di atas adalah buku-buku baru, bahkan ada yang baru diterbitkan pada 2010.

Membaca buku "Cara Mudah Menulis Buku" di Buku Google misalnya. Saya bisa membaca beberapa bab dalam pra tinjau, yang menampilkan informasi soal latar belakang penulisan, filosofi menulis yang memberi wawasan tentang penulisan. Bahkan buku lain bisa menjelaskan kekurangan buku lainnya. Sehingga kalau saya gabungkan bisa memberikan informasi yang hampir utuh bahan yang saya butuhkan.

Buku Google tidak hanya menyediakan buku diital dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing. Sebuah perkembangan baru dalam perbukuan dunia yang sebelumnya tidak pernah kita nikmati.

Bagi masyarakat di daerah ini, mengatasi kekurangan buku bacaan khususnya bagi daerah-daerah yang tidak memiliki toko-toko buku yang lengkap (Nias, Dairi, Samosir dan daerah lainnya), Buku Google bisa dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif sarana mencari pengetahuan.

Dari meja kerja, sambil minum kopi Sidikalang, saya bisa menjelajah buku-buku yang berisi perkembangan pengetahuan dunia! Silakan memulainya!***

Kamis, 03 November 2011

Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)



Oleh: Jannerson Girsang

“Saya menulis supaya menjadi terkenal dan kaya,” itu sebuah jawaban seorang penulis muda, dalam sebuah acara, ketika ditanya mengapa dia mau menjadi penulis.

“Ooooooo….”, demikian suara di dalam ruangan besar dalam sebuah pelatihan penulisan di Medan, seolah mencibirnya. Tidak ada yang salah dalam hal ini.  Kebanyakan di dalam ruangan itu menganggap bahwa penulis tidak boleh kaya dan harus menjadi orang yang menderita. Sementara menurut anakmuda itu, menulis bisa menjadi orang kaya.

Saya tidak ingin mengarahkan Anda membahas situasi di atas, tetapi ingin mengungkapkan bahwa seorang penulis tidak pernah menghitung perolehannya saat menulis. Karena kalau demikian, dia tidak akan pernah menulis. Mereka termotivasi oleh kepedulian atas sekeliling dan ingin memberi kontribusi dalam pengembangan peradaban umat manusia.

Penulis fokus pada memikirkan ide yang ditulisnya sehingga mampu mempengaruhi pola pikir pembacanya ke arah yang lebih baik, sesuai pemikirannya, bahkan rela menggunakan waktu yang tidak sedikit mulai dari menyusun ide, menulis draft, memeriksanya, membuat draft final. Kadang tidak sesuai dengan “materi”—kekayaan yang diimpikan itu.

Kepedulian, Tidak Cukup Kemampuan

Semakin besar kepedulian penulis atas sekelilingnya, maka semakin besar pula niatnya  untuk memperbaiki lingkungannya ke arah yang lebih baik, dan mendorongnya menulis.

Tidak cukup hanya luasnya pengetahuan dan kemampuan menulis!. Tidak sedikit penulis dengan kemampuan biasa-biasa saja, tetapi mampu menulis banyak buku. Sebaliknya, banyak orang yang keahliannya luar biasa tetapi tidak menulis satu bukupun.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa motivasi menulis muncul dari kesadaran dan kemauan untuk berkontribusi bagi negara dan dunia. Karya tulis, baik berupa artikel, puisi, buku merupakan kontribusi besar bagi bangsa dan dunia ini dalam pengembangan peradaban manusia.

”Menulislah sekarang juga. Menulislah apa saja yang bisa Anda tulis. Menulislah tanpa banyak memikirkan dampak yang akan diperoleh dari kegiatan ini. Menulis dan sebarkan sebanyak mungkin kepada orang. Menulis bisa lewat internet, melalui media massa atau buku”. (Cara mudah menulis buku, Dodi Mawardi).

Meski Tangan Diikat, Tetap Menulis

“Meskipun Anda mengikat tangan saya, saya tetap menulis,” ujar JK Rowling. Bagi JK Rowling, menulis merupakan panggilan jiwa, kewajiban. Kalau tidak dilakukan merasa bersalah.

Bagi Mark Twain, menulis adalah mewariskan sesuatu bagi generasi berikutnya. Seratus tahun lamanya Otobiografinya tidak dipublikasikan, meski yang bersangkutan sudah selesai menulisnya  sebelum dirinya meninggal pada 1910. Otobiografinya baru diterbitkan Nopember 2010.

Dia menulis bukan untuk sesuatu yang bisa dinikmatinya semasa hidup. Menulis bukan hanya mengejar materi dan popularitas.

Umumnya penulis sukses terikat sebuah tanggungjawab, jawaban atas pertanyaaan:  kontribusi apa yang harus diberikannya sehingga, lingkungannya semakin mampu memahami keadaan sekelilingnya, mengatasi kesulitannya dan hidup manusia semakin mudah.

Penulis sukses bukan orang yang diberi fasilitas, walaupun itu kadang perlu. Mereka besar dari kekurangannya. Baru-baru ini seorang teman saya kesal, karena tidak ada orang yang mau mensponsori penerbitan bukunya.

Andrea Hirata (penulis novel), pernah ditolak penerbit. Mereka hanya melihat dari sisi bisnis. Karena Andrea bukan penulis terkenal, tentunya dari sisi bisnis tulisan itu kurang menguntungkan. Dengan keyakinannya, Andrea Hirata bahkan membiayai sendiri penerbitan karyanya, dan memasarkannya. Belum ada penulis besar karena menggantungkan diri pada fasilitas orang lain. Mereka bertumpu pada kemampuannya.

Ujung-ujungnya Populer dan Kaya


Para penulis adalah orang yang terpuaskan dengan karyanya dibaca dan dipelajari orang lain sebagai bentuk motivasi, informasi dan pengetahuan baru. Penghargaan-penghargaan seperti honor dan penjualan karya tulis, muncul belakangan. “Pembaca” dan kecintaan mereka atas sebuah karya tulis dan membuat mereka berubah ke arah yang lebih baik, inilah bentuk penghargaan yang paling riel.

Penghargaan ini akan meningkatkan popularitas dan dengan sendirinya karyanya dibeli banyak orang. Dia menjadi kaya. Ini adalah dampak kerja keras dan usaha yang dilandasi motivasi tadi.

Selain itu, semakin orang menulis maka pengetahuannya akan semakin luas. Dia akan menguasai masalah dari berbagai bidang kehidupan yang menyentuh banyak manusia. Tak heran, kalau semakin luas materi sebuah artikel atau buku menyentuh kehidupan masyatakat, maka semakin banyak orang yang dapat terpengaruh.

Buku The Eight Habits (modifikasi dari The Seventh Habits) yang penjualannya melebihi 20 juta eksemplar di seluruh dunia, tidak pelak karena materi yang dibahas di dalam buku itu menyangkut kehidupan banyak orang di dunia ini. Hal itu tercipta dari motivasi penulisnya untuk memperbaiki kepemimpinan, bukan supaya dia terkenal atau kaya.

Steven Covey penulis the Eight Habits tidak pernah menghitung, kalau dia menulis buku akan mendapat sekian juta dollar. Kalaupun itu ditanyakan kepadanya pasti jawabnya: “I have never tought of that, I have just done my best in  writing”.

Jumat, 28 Oktober 2011

In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011 Halaman 38)

Oleh: Jannerson Girsang
 Foto Titie Said. Nomor Foto: 001
Sumber foto: kapanlagi.com

Indonesia berduka!. Bangsa ini kehilangan Titi Said, seorang wanita yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya bagi penulisan, serta dunia perfilman Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel, wartawan dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).

Titi Said, meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 76 tahun di rumah sakit Medistra Jakarta, 24 Oktober lalu, setelah dirawat sejak 9 Oktober karena menderita stroke. Samadikun, suaminya, meninggal hanya berselang 13 hari dari dirinya, tepatnya 11 Oktober 2011 lalu.

Di kalangan perfiliman Titi dikenal sangat keibuan dan sangat teliti dalam menyeleksi film. “Sewaktu masih di LSF, kalau ada hal yang menurut beliau kurang jelas, beliau pasti memanggil sutradara atau produser filmnya," kenang aktor utama film Gie, seperti dikutip kantor berita Antara.

Menulis 25 Novel, Cerpen dan Essei

Bakat menulisnya sudah muncul saat duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen. Bahkan sejak kecil dia dijuluki pelamun kecil. Dia menyelesaikan SMA di Malang, Jawa Timur dan melanjutkan kuliahnya dan lulus Sarjana Muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1959. .

Wanita kelahiran Desa Kauman, Bojonegoro, 11 Juli 1937 ini sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil lantaran ayah ibunya, Mohammad Said dan Suwanti Hastuti, bercerai.

Usai kuliah di Universitas Indonesia, kemudian menjadi wartawan di Majalah Wanita. Selain itu, dia juga aktif menulis di Majalah Kartini dan Famili. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, prestasi Titi Said pantas diacungi jempol. Sepanjang hidupnya, Titi telah menulis 25 buah novel, cerita pendek dan essai di berbagai majalah dan surat kabar.

Diantara novel yang ditulisnya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen) (1962), serta Jangan Ambil Nyawaku, Reinkarnasi, Ke Ujung Dunia, Perasaan Perempuan, Tembang Pengantin, Fatima, Lembah Duka, Selamat Tinggal Jeanette, Dr Dewayani, Putri Bulan, .Bidadari. Dia juga menulis otobiografi Lenny Marlina, seorang bintang film terkenal di Indonesia pada era 70-an.

Novelnya  Jangan Ambil Nyawaku adalah best seller pada zamannya. Novel yang bercerita tentang seorang yang terserang penyakit kanker itu dikerjakannya setelah melakukan wawancara dengan puluhan dokter.

Sebagian novel-novelnya kemudian dijadikan film. Tahun 1977, Titi menerbitkan bukunya Jangan Ambil Nyawaku dan disusul tahun 1979 dengan Lembah Duka. Bersama tiga penulis wanita lainnya, Titie Said menghimpun cerita pendeknya dalam buku Empat Wajah Wanita (1979).

Kegiatannya dalam perfilman sejak 1973 (novel pertamanya difilmkan), membawa dirinya aktif di LSF (dulu Badan Sensor Film) .  Kemudian, dia dipercaya menjadi LSF pada 2000 dan sampai akhir hidupnya ia masih aktif sebagai anggota LSF.

Dengan posisi sebagai ketua LSF, wajahnya senantiasa muncul ketika sebuah film yang telah beredar memicu kontroversi dalam masyarakat.

Meski kesibukannya menjadi Ketua LSF, Titi Said menulis novel, seperti Diana dan menulis buku Prahara Cinta.

Tak Memaksakan Anak Jadi Penulis

Titi menikah dengan seorang anggota kepolisian yang berpindah-pindah tugas. Tak lama setelah menikah, pada 1965 Titie ikut suami pindah ke Bali. Di sana dia aktif di masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD di provinsi yang pendapatannya berasal dari industri pariwisata itu. Pada 1973 Titie ke Jakarta dan tinggal bersama lima anaknya.

tidak memaksakan anak-anaknya menjadi penulis. Dari lima anaknya, masing-masing yang tertua berprofesi sebagai pebisnis (lulusan ITB), kedua lulusan ITB, sekarang di Bappenas, ketiga di perminyakan, sekarang di Kuwait, keempat di Amerika, bekerja di perminyakan, dan anak bungsunya bekerja di Bank Mandiri.

Hidup baginya adalah menjadi orang yang berguna, dibutuhkan oleh manusia. ”Kita ini seperti angin. Angin dan air bisa menjadi angin yang baik, air yang sangat berguna. Tapi, angin juga bisa menjadi badai dan air juga bisa menjadi banjir. Jadilah angin dan air yang baik, yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Angin dan air adalah kesenangan saya,”ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Republika (2005).

Selamat jalan Titi Said, semoga dedikasimu untuk sastra dan perfilman di Indonesia menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam mengembangkan dunia tulis menulis dan perfilman Indonesia.

(Diolah dari Berbagai Sumber)

83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Edisi Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang. 

 Sumber foto: harunarcom.blogspot.com

Sebagai pemakai dan peminat bahasa Indonesia, saya cukup berbangga dengan perkembangan yang dicapai bahasa nasional kita. Saya bisa menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bisa dimengerti orang asing dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari perdagangan, diplomasi dan bahasa ilmiah, jurnalistik dan lain-lain.
Dengan perkembangan teknologi terjemahan online seperti Terjemahan Google, bangsa lain sudah mampu mengartikan artikel saya dalam bahasa Indonesia. Suatu ketika seorang teman saya dari Chekoslovakia merasa senang sekali, ketika berhasil menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Cheko, dengan menggunakan Google. "Understandable" katanya.

Sebagai bangsa berdaulat, kita beruntung Sumpah Pemuda 1928 mengikrarkan bahwa bangsa Indonesia berbahasa satu: Bahasa Indonesia. Selain dua sumpah lainnya Berbangsa Satu dan Bertanah Air Satu. Bahasa Indonesia, kini telah menjadi bahasa Dunia.

Ketika bekerja di sebuah kantor Konsulat Asing di Medan, era 1990-an, saya terkejut kemampuan staf asing yang semuanya mampu berbahasa Indonesia, meski hanya untuk komunikasi sederhana. Bahkan setiap saat mereka membuka kamus dan belajar perbendaharaan kata dan tatabahasa. "What is the meaning of this in Bahasa?," katanya. Bahasa adalah sapaan akrab mereka terhadap Bahasa Indonesia. Bangga dong, orang asing belajar bahasa Indonesia!

Sayang sekali, pengalaman saya saat belajar sekolah atau perguruan tinggi minat belajar bahwa Indonesia tidak sebesar sebelum saya mulai aktif bekerja di konsulat asing itu dan kemudian harus menulis dalam bahasa Indonesia. Anda jangan seperti saya, belajarlah bahasa Indonesia secara intensif sejak dini.

Menulis, Memacu Minat Belajar Bahasa Indonesia

Mungkin, banyak orang seperti saya, bergaul dengan orang asing dan menulis menjadi salah satu faktor pendorong saya belajar bahasa Indonesia kembali. Tetapi, menulis menjadi faktor terbesar mendorong saya belajar Bahasa Indonesia. Mungkin yang lain punya pengalaman lain—bisa menjadi bahan bagi para ahli bahasa mengajarkan dan menanamkan rasa cinta bangsa ini lepada bahasa nasionalnya.

Belajar Bahasa Indonesia, lucu?. Tidak kawan!. Meskipun sudah belajar bahasa Indonesia sejak Sekolah Dasar, saya tidak luput dari kesalahan tata bahasa dan ejaan ketika menulis.

Saya masih sering diejek ahli bahasa Indonesia, karena belum menggunakan ejaan dan tata bahasa yang baik. Kritikan itu wajar saja, karena saya bukan ahli bahasa. Memang seorang penulis—juga rekan saya sesama bangsa dengan profesi berbeda tidak bisa luput dari kesalahan dua hal penting di atas.

Farid Gaban, seorang mantan wartawan Tempo, misalnya mengatakan sewaktu menulis seseorang harus memperhatikan tata bahasa dan ejaan, menaati bahasa Indonesia yang baku dan benar. "Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip". Kesalahan menggunakan tanda baca, bisa merubah ide yang terkandung dalam pesan dimaknai secara tidak benar atau tidak bias.

MediaOnline dan Pelajaran Bahasa Indonesia

Tidak ada usaha memperbaikinya selain terus belajar menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dimana, dan siapa mengajar anda? Tak perlu takut, mediaonline memberi peluang besar dan praktis bagi kita belajar bahasa Indonesia.

Saat menulis di komputer yang tersambung dengan Internet, saya lebih sering menggunakan referensi bahasa Indonesia secara online dan mengusahakan sedapat mungkin dari referensi yang sudah standar.

Untuk mencari kata-kata sulit atau persamaan kata, saya menggunakan http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/, situs yang berisi Kamus Besar Bahasa Indonesia online, yang dikenal dengan sebutan KBBI terbit pertama 28 Oktober 1988 saat Pembukaan Kongres V Bahasa Indonesia. Ini merupakan rujukan yang dipercaya baik di kalangan pengguna di dalam maupun di luar negeri. Setiap ada permasalahan tentang kata, KBBI selalu dianggap sebagai jalan keluar penyelesaiannya.

Andaikata saya ingin menulis bahasa yang benar, saya kerap mengunjungi http://www.editorbahasa.blogspot.com/. Website ini mengajarkan cara menempatkan tanda baca, dan lain-lain. Blog ini menyebut dirinya "Sekadar teman dalam mencari berbagai jawaban kebahasaan". Selain itu, http://www.bahtera.org/kateglo/ mengajarkan saya Kamus, Glosarium Peribahasa, Singkatan dalam bahasa Indonesia.

Saat merasa penting melihat perkembangan bahasa, saya mengunjungi situs http://rubrikbahasa.wordpress.com/. Blog ini adalah koleksi artikel tentang berbagai aspek tentang bahasa Indonesia yang diambil dari berbagai media massa arus utama.

Tersedia ratusan artikel yang membahas Bahasa Indonesia.

Karena saya sering membaca sumber dari bahasa asing, maka saya mengunjungi http://www.kamus.net/. Situs yang menyebut dirinya the world’s largest and most popular Indonesian dictionary, menyediakan terjemahan kata-kata dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan sebaliknya. Saya menggunakan situs ini untuk melihat kata-kata sulit terjemahannya.

Di sudut kanan ada pilihan Click on "English - Indonesia" yang menterjemahkan kata bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggeris dan, Click on "Indonesia - English" menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggeris. Praktis dan tidak usah capek buka-buka kamus.

Tentu, saya juga harus belajar dari berbagai bahan dalam bentuk buku-buku cetak yang sudah baku.

Beberapa terbitan yang saya gunakan adalah Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku? (Dirgo Sabaryanto), buku yang membimbing saya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tentu banyak lagi yang lain seperti Menulis Populer, karya Ismail Marahimin (2005).

Apa yang ingin saya kemukakan adalah bahwa saat ini tidak ada masalah bagi mereka yang ingin belajar bahasa Indonesia meski dilakukan secara otodidak. Bahannya tersedia, tinggal memilih mana yang paling menarik dan menyediakan informasi yang lebih lengkap dan memenuhi syarat-syarat standar.

Penutup

Tingkatkan kemampuan anda dan kecintaan anda terhadap bahasa Indonesia. Jangan kecil hati menulis dalam nasional sendiri.

Menulis artikel dalam bahasa Indonesia sudah bisa dimengerti orang asing. Perkembangan teknologi terjemahan Google misalnya, sudah mampu menerjemahkan Bahasa Indonesia (meski belum sempurna betul) ke dalam puluhan bahasa dunia.

Sebagai bangsa, sepantasnya kita bangga memiliki bahasa sendiri. Jika kita ingin Indonesia eksis dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia ini, maka masyarakat Indonesia harus mencintainya, mengembangkannya dengan dilandasi semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dirgahayu Sumpah Pemuda ke 83. ***

Senin, 24 Oktober 2011

Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)


Oleh : Jannerson Girsang.

Menulis tidak sekedar menulis tanpa memikirkan kebutuhan pembacanya. Melalui sebuah tulisan, pembaca bisa mempelajari teladan untuk sebuah cara nyaman mencapai impiannya, mengatasi kegelisahan menuju impian. Itulah salah satu kunci penting yang harus diingat agar seseorang tergerak untuk membaca.

Buku produksi Mark Plus: "Anxieties and Desires: 90 Insights Marketing to Youth, Women and Nitizen to Indonesia", mengatakan bahwa di era new wave (gelombang baru) ini, seorang marketer harus bisa memahami tidak saja ekspektasi dan persepsi seperti di era transisi, tetapi dituntut bisa menangkap apa yang menjadi kegelisahan (anxiety) sekaligus impian (desire) pelanggan (customer)-nya.

Konsumen seorang penulis adalah "Pembaca". Pembaca harus merasa berdialog dengan sang guru yang mampu menangkap masalah mereka, sekaligus menawarkan cara keluar dari masalah dan menawarkan impian. Makin dalam pemahaman penulis atas kegelisahan dan tawaran impian yang konkrit, pembaca makin meminati produk tulisannya.

Impian manusia secara umum adalah memiliki pekerjaan/usaha/aktivitas mengisi waktu, merasa nyaman di dalam pekerjaan atau usahanya, berguna bagi sekelilingnya. Dalam perjalanan mencapai impian itu manusia tidak luput mengalami kegelisahan yang menurut pendapat para ahli bersumber dari empat hal yakni: gelisah terhadap dosa-dosa dan pelanggaran (yang telah dilakukan); gelisah terhadap hasil kerja (tidak memenuhi kepuasan spiritual), takut akan kehilangan milik (harta dan jabatan) dan takut menghadapi keadaan masa depan (yang tidak disukai).

Kisah-kisah yang membawa manusia merasa nyaman menjalani impiannya dan mengurangi rasa gelisah dalam hidupnya, merupakan topik-topik yang memiliki pembaca yang sangat luas dan tidak lekang waktu.

Membaca Impian dan Kegelisahan Pembaca
Banyak orang berpendapat, "Menulis itu mudah, tulis sajalah apa yang ada di benakmu!. Jangan terlalu kaku". Pernyataan ini tidak salah. Dan sangat benar bagi orang yang memulai menulis.

Tetapi tidak seluruhnya benar kalau seseorang ingin menjadi penulis yang memiliki pembaca secara luas. Puisi-puisi Chairil Anwar, Shoe Hok Gie begitu diminati masyarakat luas karena mereka mampu menangkap kegelisahan dan impian pembacanya. Tulisan bukan sekedar merangkai kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf yang kosong makna. Dia harus mengandung impian dan kegelisahan, kesenjangan antara yang seharusnya dan yang terjadi.

Coba simak kesaksian seorang pengagum Chairil Anwar: "Saya, yang sejak kecil sangat gemar membaca buku-buku filsafat dan sastra, tanpa sadar mengagumi sosok penyair yang mati muda : Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang singkat, tak punya riwayat pendidikan tinggi, Chairil Anwar bisa jadi legenda sastra Indonesia. Barangkali hidup yang tak mudah itulah yang membuatnya lebih peka terhadap sekitar. Barangkali kegelisahannya, rasa kecewanya, rasa tertekannya-lah yang kemudian menjadikan karyanya "bernyawa". (http://rosepr1ncess.blogspot.com/2010/12/yang-ku-kagumi-setengah-mati.html).

Para penulis memiliki multi-tasking: menulis, memilih topik yang dibutuhkan pembaca—memahami kategori pembacanya.

Anda tentu pernah mendengar komentar seperti ini. "Artikel anda sangat inspiratif, dan mendorong saya melakukan............ Saya menunggu artikel Anda berikutnya". Itu adalah bukti bahwa artikel yang menawarkan impian dan kegelisahan dibutuhkan setiap saat.

Tulisan seharusnya mampu menggerakkan orang lain berpindah dari suasana dirinya sebelum membaca, kepada kondisi yang ditawarkan penulisnya. Para pembacanya larut dalam pikiran penulis dan mengikuti alur pikirannya yang benar, lebih mudah dan mengerakkan tindakannya ke arah yang lebih baik.

Keluar dari Kegelisahan Menggapai Impian

Tugas seorang penulis adalah mengungkap serta menjembatani kondisi yang seharusnya dan kenyataan yang terjadi. Para penulis harus memahami fakta dan impian, mengungkap kesenjangan dari cita-cita yang ingin dicapai. Misalnya. Fakta yang terjadi seperti kemajuan ekonomi menyebabkan jalan-jalan macet, kecelakaan meningkat, kriminalitas meningkat, korupsi meningkat, makin banyak penghuni rumah sakit jiwa. Padahal, kita menginginkan dengan kemajuan ekonomi hidup menjadi lebih nyaman dan aman.

Memasuki era new wave dengan segala macam perubahan yang terjadi membuat tidak sedikit anggota masyarakat moderen mengalami perasaan gelisah dalam kehidupan sehari-hari. Perasaan gelisah yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan gangguan perilaku atau neurose. Konon saat ini di kota-kota besar, jumlah penderita neurose semakin meningkat.

Setiap orang memiliki impian dan cara mewujudkannya. Untuk mencapainya mereka menempuh proses dan waktu. Dalam perjalanan menuju impian, mereka memerlukan kisah-kisah atau cerita, ilmu pengetahuan untuk memahami cara melakukan sesuatu, memerlukan bacaan-bacaan yang dihasilkan seorang penulis. Mereka memerlukan cara sekaligus idola untuk menggambarkan impian itu, meski tidak selalu mencapai seperti apa yang mereka idolakan. Sebaliknya, tidak sedikit pembaca yang mampu melebihi idolanya itu.

Ada kesenjangan di dalamnya dan penulis menawarkan jalan keluar untuk mencapai impian. Bisa dari pengalaman penulisnya, bisa juga meramu pengalaman orang lain.

Life Without Limit

Soegianto Hartono, Pelatih dan Konsultan Citra Diri Sukses, Penulis Buku "Untuk Apa Hidup Susah" menawarkan empat cara menghilangkan kekhawatiran, yakni mempelajari semua data dan fakta, berfikir rasional, percaya kepada diri sendiri dan percaya kepada Tuhan.

Buku-buku atau tulisan yang membicarakan hal di atas sangat diperlukan pembaca!. Sekedar sebuah contoh. Sebuah buku best seller Life Without Limit yang ditulis oleh Nick Fujivic mengisahkan kisah sukses dirinya yang terlahir tanpa lengan dan tungkai, hingga menjadi seorang yang tidak hanya mampu mandiri, tetapi juga kaya, menjadi teladan bagi siapapun yang mencari kebahagiaan abadi.

Dia menulis kisah hidupnya sendiri atas suksesnya mengatasi kekhawatiran akibat cacat yang dimilikinya menuju impian. Nick menceritakan cacat fisik dan pertempuran emosi yang dialaminya saat berusaha mengatasi keadaannya semasa kecil, remaja, dan menjelang dewasa muda. "Untuk waktu yang terasa sangat lama dan sepi, aku bertanya-tanya apakah ada orang lain di dunia yang seperti aku, serta apakah ada tujuan lain dalam kehidupanku selain rasa sakit dan terhina."

Saat ini Nick Fujivic merupakan pembicara motivasi yang sukses secara internasional. Pesan utamanya: tujuan terpenting siapa pun adalah menemukan tujuan hidup, terlepas dari kesulitan apa pun atau rintangan apa pun yang sepertinya mustahil dilalui.

Dia mengisahkan bagaimana imannya terhadap Tuhan menjadi sumber kekuatan utamanya dan menjelaskan bahwa begitu dia menemukan tujuan kehidupan—menginspirasi orang lain untuk menjadikan kehidupan mereka serta dunia lebih baik—dia mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun kehidupan tanpa batas yang produktif dan membawa berkah.

Kisah Nick hanya salah satu contoh. Beberapa penulis di Indonesia berhasil menggali kegelisahan dan impian para pembacanya. Coba simak, karya-karya Alberthiene Endah, Andrea Hirata, dengan buku-buku best seller mereka (Selebriti, Lasykar Pelangi) yang sarat dengan suara kegelisahan dan impian.

Menulis kegelisahan dan impian adalah kebutuhan pembaca yang besar dalam era perubahan ini! Manusia memerlukan teladan dalam perjalanan menuju impian dengan sumber kegelisahan yang makin beragam. Percaya atau tidak, silakan buktikan sendiri! ***

 Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Selasa, 04 Oktober 2011

Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)

Oleh : Jannerson Girsang.

 
 Sumber foto: etwien-budi.blogspot.com

Sadarlah para pemimpin negeri ini, bahwa bekerja setengah hati tidak akan membuat diri nyaman tetapi menyakitkan banyak orang. Sebaliknya bekerja sepenuh hati akan menyenangkan kita semua.

Pembicaraan dengan seorang tukang urut langganan saya sejak tiga tahun terakhir ini benar-benar menyentuh perasaan saya. Betapa pekerjaan yang setengah-setengah hati berdampak tidak baik bagi diri sendiri dan orang lain.

Dia seorang ayah dari dua anak berusia sekitar tiga puluhan. Yang tertua berusia 12 tahun. Orangnya sangat menyenangkan diajak bicara dan dia suka curhat saat mengurut saya.

Dalam kisahnya, beberapa waktu lalu dia bercita-cita menanam kopi di atas lahan satu hektar di kampungnya. Harapannya, bila kopinya sudah berbuah akan memberikan penghasilan tambahan baginya di samping penghasilannya sebagai tukang urut di kota. Dia terdorong menanam kopi karena menyadari, penghasilannya sebagai tukang urut ke depan tidak akan mampu membiayai keluarganya, khususnya kalau anak-anaknya nanti sudah semakin besar. Sementara dia ingin agar kedua anaknya bisa menginjak bangku kuliah seperti anak-anak lainnya.

Untuk itu dia mengumpul sejumlah uang. Ternyata sebagai tukang urut, dia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk investasi kecil-kecilan di kampung. Memenuhi harapan itu, dia membuat rencana mulai dari pembersihan lahan, pengolahan, hingga penyediaan bibit dan pupuk, serta orang-orang yang akan mengerjakannya. Dia juga menghabiskan uang bolak-balik ke kampungnya untuk mengurus penanaman kopi itu.

Empat orang penduduk kampung dikerahkannya dalam persiapan untuk mewujudkan cita-citanya. Para pekerjanya itu terdiri dari orang tua dan anak-anak dari satu keluarga di kampungnya. Kebetulan tukang urut saya memiliki hubungan famili dengan mereka.

Keluarga ini sudah bersedia mengerjakan rencana penanaman kopi itu selama satu bulan penuh. Sebagai keluarga yang pekerjaannya memburuh di ladang orang, merekapun sudah menolak semua pekerjaan pada bulan itu. Janjinya, tukang urut saya akan menggaji mereka bekerja di ladangnya selama sebulan penuh.

Para pekerja itu tidak lagi menerima pekerjaan lain, kalau pekerjaan mereka belum selesai hingga penanaman kopi selesai. Kedua pihak sepakat dan pekerjaan dimulai. Tapi tentunya tidak pakai kontrak seperti di perusahaan-perusahaan besar.

Tugas pembersihan lahan berjalan dengan baik dan si pekerja yang digajinya itu bekerja sepenuh hati. Hanya dalam beberapa hari pembersihan lahan selesai.

Permasalahan justru terjadi pada tukang urut saya. Berbeda para pekerja yang digajinya, dia mengaku di tengah jalan dia berubah pikiran. "Saya ragu, kalau uang saya nanti tidak cukup untuk menutup biaya sampai kopi berbuah. Secara sepihak, saya menghentikan pekerjaan itu. "ujarnya.

Rasa ragunya juga membuatnya pusing, bahkan tidak berani segera memberitahukan perubahan pikirannya itu kepada pekerja yang digajinya. "Saya malah tidak mendatangi mereka, dan hanya berfikir-fikir saja" ujarnya.

Beberapa hari para pekerjanya menunggu dan menunggu. Selama itu mereka tidak bekerja dan tidak mendapat penghasilan. Hingga beberapa hari kemudian, tukang urut saya mendatangi mereka dan memberitahukan perubahan rencananya. Apa yang kemudian diperolehnya bukan sesuatu yang menyenangkan.

Ketidakseriusannya, membuat para pekerjanya merasa rugi dan marah. "Para pekerja saya marah besar dan sayapun merasa tidak nyaman. Uang habis, dapat cacian pula," ujar tukang urut saya sedih, sambil menyeka keringatnya dengan kain lap.

"Kalau sesuatu kita kerjakan tidak sepenuh hati, hasilnya seperti ini. Uang habis dan orang-orang sakit hati," ujarnya. Dia mengaku uang simpanannya beberapa tahun hilang begitu saja, tanpa menghasilkan apa-apa.

Ada pelajaran berharga dari kisahnya. "Dia mengerjakan sesuatu dengan setengah hati dan ragu-ragu, tidak hanya membuat dirinya susah dan kecewa, tetapi juga membuat orang lain sakit hati, khususnya pekerja-pekerja yang bekerja dengan dia"

Sayapun tidak ingin hanya kisah sepihak, kisah sedih dari sebuah pekerjaan yang dia kerjakan setengah hati. Lantas, pembicaraan informal itu saya alihkan tentang kisah dua orang anak muda yang berhasil menjadi pengusaha besar karena bekerja dengan sepenuh hati.

Meski dia tidak begitu paham, tapi saya yakin kisah saya juga bisa menguatkannya. Pasalnya kisah itu berasal dari sebuah buku yang mungkin belum pernah dibaca maupun didengarnya. Tokohnya adalah Sergei Brin dan Larry Page, pendiri perusahaan mesin pencari (searching machine) Google.

"Apa itu Google," tanyanya serius. Saya tidak begitu peduli pertanyaannya itu. Karena kalaupun saya jelaskan dia pasti tidak mengerti. Saya bercerita panjang lebar, bagaimana Sergei Brin dan Larry Page hingga berhasil.

Apa yang ingin saya nasehatkan kepadanya adalah bahwa kedua tokoh di atas bekerja dengan sepenuh hati, mengatasi masalah yang muncul di tengah perjalanan rencana mereka. Mulai dari permodalan, cara mengatasi masalah listrik, tenaga yang mereka butuhkan, serta dorongan semangat atas diri mereka serta orang-orang yang bekerja bersama mereka.

Diapun menghentikan sejenak pekerjaannya ketika saya bercerita soal penghasilan kedua orang itu.

"Sejak keduanya mendirikan Google pada 1998, perusahaan ini memperoleh penghasilan lebih dari USD 26 milyar per tahun. Tidak hanya itu, mereka mempekerjakan dan membuat bahagia ratusan ribu orang serta mencerahkan miliaran orang pengguna internet di seluruh dunia,"ujar saya.

Dia terpukau mendengar kisah ini dan mencoba menyimpulkan kisah yang saya ceritakan. Kesimpulannya kira-kira begini. "Orang yang bekerja sepenuh hati, akan menuai perasaan senang bagi dirinya sendiri, serta orang lain.

Sambil melanjutkan pekerjaannya mengurut di bagian kepala saya dia berujar: "Akh, kalau saya sudah cukup uang, saya akan mengerjakan kebun kopi dengan sepenuh hati. Saya pasti akan menyenangkan pekerja itu kembali".

Saya yakin, dia pulang dan hatinya dikenyangkan oleh prinsip. "Kalau mengerjakan pekerjaan dengan setengah hati tidak hanya mengecewakan diri sendiri, tetapi juga menyakiti orang lain. Sebaliknya, bekerja sepenuh hati, hasilnya akan menyenangkan diri sendiri dan orang lain".

Mudah-mudahan kisah kecil di atas mengingatkan para eksekutif, legislatif, yudikatif di setiap tingkatan di negara ini. Seriuslah menangani Kasus Century, Nazaruddin, Gayus dan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini.

Sadarlah bahwa ketidakseriusan anda, sikap ragu-ragu anda bekerja akan menyebabkan anda tidak nyaman, terlebih lagi masyarakat akan menderita. Bila anda bekerja serius dan sepenuh hati, maka rakyat akan senang, anda akan merasa nyaman. Kita semua akan berbahagia. ***

Penulis Biografi, Tinggal di Medan