My 500 Words

Sabtu, 07 Januari 2012

2012: Keluar Dari Terowongan Gelap (Batak Pos, 7 Januari 2012 Hal 1)

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: nasional.news.viva.co.id

Memasuki 2012, negeri ini membutuhkan pemimpin di segala level yang mampu memahami situasi, merumuskan persoalan serta memutuskan langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk keluar dari persoalan.

Pasalnya, kita sudah sesak rasanya menyaksikan kasus Century, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Gubernur Muda Bank Indonesia, dan belakangan ini soal Mesuji, persoalan Lapindo, masalah Tambang di Bima, kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kecelakaan di darat, serta berbagai kasus yang tidak tuntas-tuntas di tanah air. Terlalu lama kita berputar-putar di terowongan gelap, banyak aksi mubajir tanpa arah yang jelas untuk mewujudkan negeri yang aman, sejahtera dan harmonis.

Untuk sekedar menyegarkan pemikiran di awal tahun ini, kami menyajikan kisah sederhana menyelesaikan persoalan, dan menghimbau para pemimpin untuk belajar dari cara yang sederhana ini.

Pengalaman Seorang Pegawai Kereta Api

Tahun lalu, saya membantu penulisan buku”Bagaikan Rel Kereta Api”, otobiografi Osmar Simatupang, kelahiran Pardede Onan Tarahudi, 10 Februari 1936. Dia adalah seorang pegawai biasa di Perusahaan Jawatan Kereta Api (Sekarang PT Kereta Api Indonesia).

Jabatan tertingginya adalah Kepala Urusan Perencanaan Kereta Api Indonesia di Kantor Pusat Bandung. Sekolahnyapun tidak tinggi-tinggi amat. Dia hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah dan mendapat beberapa training atau pelatihan-pelatihan seputar perkeretaapian di dalam negeri. Namun, dia menyimpan pengalamannya yang menarik.

Alkisah, suatu sore di era 1980-an, Osmar mengakat telepon yang berdering di kantornya. Dia menerima pesan yang cukup singkat: Gerbong KA Surabaya-Blitar terjepit tanah longsor, persis  di ujung terowongan Karangkates ke arah Blitar, sepanjang 1000 meter”. Wilayah itu memang dikenal dengan tanahnya yang labil dan sering terjadi longsir

Sebagai Kepala Inspeksi X Jawa Tengah ketika itu, dia bertanggungjawab menggeser gerbong, sehingga tidak mengganggu arus kereta api lainnya yang melintas.

Dia bergerak ke lapangan dan ketika tiba di lokasi, jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dia berdiri di ujung terowongan yang berbeda dari tempat terjebaknya kereta api oleh longsoran tanah itu. Dia punya dua pilihan, kalau mengikuti jalan raya, maka dia harus menempuh jarak sekitar 6 kilometer, sementara kalau melintasi terowongan dia hanya menempuh terowongan sepanjang 1 kilometer.

Sebagai catatan, di erah 80-an belum ada telepon genggam dan Osmar hanya bisa berkomunikasi dengan anak buahnya kalau bertatap muka. Dalam kesendirian di tengah kegelapan, dia harus mengambil keputusan yang terbaik agar gerbong yang terjebak bisa digeser. Dia memilih menembus terowongan meski dalam keadaan gelap.

Memasuki terowongan gelap dia butuh penerangan. Padahal, ”Saya tidak perokok, dan tidak memiliki alat apapun untuk penerangan. Benar-benar gelap. Di tangan saya hanya ada batang ubi kayu!” katanya.

Tongkat ubi kayu!. Itulah satu-satunya alat yang akan digunakan untuk menuntunnya menyeberangi terowongan. Osmar yang sudah bertahun-tahun bekerja di daerah itu, paham benar keadaan di dalam terowongan.

Meski pandangan matanya tidak memungkinkan melihat benda-benda di sekitarnya, pengalamannya melintasi rel itu hari-hari sebelumnya memberinya gambaran besar terowongan itu. Ditambah dorongan rasa tanggungjawabnya, dia berani menembus terowongan gelap.

Berbekal tongkat ubi kayu, dia berjalan merangkak menembus kegelapan. Tongkat ubi kayu itu digunakannya untuk menyentuh rel di sekitarnya sebagai petunjuk arah, mengidentifikasi dirinya berada pada posisi yang tepat.

”Kalau tongkat masih menyentuh rel, maka saya berada pada arah yang seharusnya,”ujarnya.

Singkat cerita, dia berhasil menuju lokasi terjebaknya kereta api dan bersama anak buahnya mampu menggeser gerbong yang terjebak itu.

Osmar memahami tujuan, permasalahan, merumuskan tindakan dan analisa sumber daya yang tersedia, untuk menyelesaikan permasalahan. Selain itu, dia memiliki rasa tangungjawab yang besar untuk mewujudkan tujuan. Persyaratan yang harus melekat pada setiap pemimpin.

Keluar Dari Terowongan Gelap

Memaknai pengalaman Osmar di atas, saya teringat sebuah buku yang sungguh-sungguh menginspirasi. The Seat of Soul yang ditulis Gary Zukav membahas tentang perubahan (tantangan) dan jalan menuju tujuan.

Zukav mengatakan: ”Kita sedang berada di tengah perubahan yang mendalam. Kita akan bergerak melewati perubahan dengan lebih mudah jika kita mampu melihat jalan yang akan kita lewati menuju tujuan kita, kita mencermati apa yang sesungguhnya sedang berlangsung”.

Banyak gambaran suram tentang negeri ini diungkapkan di awal tahun ini. 2011 misalnya, ada yang menyebutnya tahun kebohongan, atau julukan lainnya. Entahlah!. Tentunya, hal-hal seperti ini bukan datang dari seorang pemimpin, pasti itu datang sari pengamat yang hanya melihat kulit luarnya. Pemimpin yang benar tidak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Mereka mampu berbicara terang di kegelapan.

Sudah terlalu sering kita mendengar para tokoh di negeri ini membuat seolah-olah bangsa ini sudah kiamat. Padahal, kenyataannya tidak. Persiapan Wisma atlet yang digambarkan gagal, tapi berakhir dengan baik. Pemilu yang digambarkan chaos, tetapi ujung-ujungnya tidak terjadi apa-apa, Pemilu berjalan lancar.

Banyak orang seolah ahli menggambarkan situasi seperti tujuh orang buta menggambarkan seekor gajah. Hanya melihat persoalan secara sepotong-sepotong.  Padahal, dia tidak memiliki pemahaman apa yang diungkapkannya sedalam Osmar memahami terowongan gelap, serta mengambil tindakan untuk keluar dari terowongan itu.

"Mendengar gemuruh sudah menganggapnya  guntur, melihat asap sudah mengatakan itu api". Lantas mengambil keputusan hanya berdasarkan ”tampak seperti”, bukan kenyataan masalah yang sebenarnya.

Untuk keluar dari kegelapan, para pemimpin harus benar-benar mengambil keputusan bukan berdasarkan dari apa yang "tampak seperti", tetapi keputusan yang benar-benar didasarkan atas gambaran situasi yang sesungguhnya.

Kita membutuhkan orang yang bisa membuat terang di kegelapan. Bukan menyalakan api sembarang api, tetapi butuh penyala lilin, lampu untuk menerangi jalan. Bukan hanya membakar-bakar api, sehingga persoalan tidak selesai, bahkan malah menimbulkan kerugian yang lebih besar. Pembakaran-pembakaran berbagai fasilitas pemerintahan di akhir tahun lalu adalah contoh. 

Permasalahan negeri ini tentu tidak sesederhana kisah di atas. Namun prinsipnya sama, memahami tujuan yang akan dicapai secara benar, masalah atau tantangan, tau jalan keluar dari persoalan dengan keputusan yang terbaik,  tepat dan cepat.

Semoga memasuki 2012, pemahaman para pemimpin di segala level tentang persoalan yang dihadapi pada levelnya sedalam pemahaman Osmar soal terowongan. Para pemimpin belajarlah dari kisah sederhana ini. Kita merindukan suasana di luar terowongan gelap. Sudah sesak rasanya berada di ruang yang terus menerus dililit persoalan korupsi, pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum.


Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Kamis, 05 Januari 2012

Artikel dan Buku yang Saya Tulis 2011

Oleh: Jannerson Girsang

 

Menulis dan menularkan pengetahuan menulis mendapat porsi besar dalam kegiatan saya pada 2011. Selain menulis artikel dan buku, saya berkesempatan sharing pengalaman menulis dengan wartawan-wartawan pemula di Nias dan Pematangsiantar.

Sepanjang 2011 saya menulis 50 artikel yang dipublikasikan di berbagai media, serta meluncurkan 2 buku otobiografi. Saya merangkumnya dalam artikel ini, sehingga memudahkan saya dan pembaca yang ingin mencarinya kalau diperlukan. Sebagian besar artikel-artikel ini masih bisa diakses di media-media online.

Saya ingin berbagi dengan pembaca soal pendokumentasian karya-karya tulis, sebagai salah satu hal penting dalam kegiatan menulis. Pasalnya, topik yang pernah kita tulis sebelumnya bisa muncul kemudian. Selain itu, dengan artikel seperti ini, maka saya dan Anda akan termotivasi untuk mengatakan: "Akh gitu aja!. Bisa juga akh luar biasa, saya harus menulis sekarang". Itu pengalaman saya dahulu ketika seorang penulis memaparkan hasil karya yang ditulisnya.

"Do not tell but show", itu salah satu prinsip untuk mengajak seseorang melakukan sesuatu. Banyak orang berteori menulis itu mudah, menulis itu gampang. Gampang kalau hanya menulis satu artikel dalam satu tahun, atau satu buku dalam lima tahun. Tetapi kalau merujuk seorang teman yang bisa menulis 3 artikel setiap hari di koran bergengsi di Amerika, bukan hal mudah.

Buat Anda tahu, produksi tulisan terbanyak yang pernah saya hasilkan adalah di 2011. Saya mencapainya setelah menjalani  proses yang tidak mudah. Proses yang memberi kepuasan tersendiri, meski  bagi yang lain itu hanya biasa-biasa saja.Alasan ini pula yang  mendorong saya menceritakan proses itu. Terus terang, saya belum bisa bercerita seperti penulis lain, soal uang yang diperoleh atau ketenaran. Mungkin suatu ketika!

Setiap tahun, sejak 2007, saya membuat daftar artikel per tahun. Lalu saya hitung. Saya sedih dan jengkel sekali, ketika  2007 saya hanya bisa menulis 6 artikel per tahun. Kemudian merangkak, merangkak dan merangkak. Bukan saya tidak tau menulis, bukan karena tidak ada masalah yang bisa dibahas. Tetapi kadang saya anggap enteng, sehingga artikel yang sudah dimulai, dibiarkan tidak selesai dan akhirnya malas menulisnya lagi. Artinya tidak dikirim ke media.

Sama dengan proses menulis biografi dan otobiografi. Saya memulainya sejak 2002,dan sampai 2009 sudah menulis sekitar 12 buku otobiografi dan biografi. 2010 kosong. Syukur, tahun 2011i saya mampu membantu penulisan  dua buku otobiografi dan selesai, artinya diluncurkan.

Dengan Misi: "Menulis Fakta Memberi Makna" atas keresahan hati selalu membakar semangat saya untuk terus menulis, meski honor menulis belum memadai. Menulis adalah merekam peradaban. Barangkali ini belum begitu berharga saat ini. Sepuluh, dua puluh atau bahkan ketika saya sudah tiada, goresan-goresan yang masih jauh dari sempurna ini mungkin bisa bermanfaat.

Jumlah atau kualitas tulisan yang saya hasilkan setahun ini masih jauh dari apa yang dihasilkan para penulis handal. Kalau saya membaca buku Albertiene Endah tentang otobiografinya Titik Puspa misalnya. Jauhlah. Rasa ketinggalan itu, akhirnya menghasilkan sebuah artikel di 2011:Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” . Saya memang berbeda dari dirinya, baik dalam kemampuan dan pengalaman, namun tidak perlu merasa iri atau rendah diri. Kalau saya bekerja seperti dia, pasti juga bisa. Tapi memerlukan proses. Membaca artikel ini semoga  rekan-rekan saya sesama penulis yang mulai down, termotivasi lagi melanjutkan karya-karyanya untuk dinikmati masyarakat kita di daerah ini.

Selain mengejar jumlah dan kualitas, niat kami untuk mendorong yang lain terus menulis barangkali merupakan hal yang tidak kalah penting. Pengalaman memberikan training jurnalistik bagi 8  orang wartawan mediaonline http://www.nias-bangkit.com dan 10 orang wartawan pemula Harian Sinar Indonesia Baru, merupakan hal yang menarik bagi saya.

Kegiatan ini  memberi semangat baru bagi saya sebagai seorang penulis, karena berkesempatan melakukan sharing dan menebar pengetahuan menulis. Saya senang melihat munculnya bibit-bibit penulis yang baru. Mereka bukan tidak tau menulis, tetapi belum memperoleh pembekalan yang baik.  Saya berharap semakin banyak warga Sumut yang menulis.

Sumbangan ini barangkali masih kecil untuk saat ini, tetapi saya yakin lima atau enam tahun ke depan, mereka akan menjadi penulis yang baik. Sekecil apapun itu kiranya tentu ada manfaatnya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para pembaca artikel-artikel saya. Respon dan kritikan anda adalah energi baru, "penjaga roh"  bagi saya untuk terus melakukan pembelajaran dan koreksi terus menerus.

Ejaan, sekali lagi ejaan, memang menjadi masalah karena saya adalah lulusan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Saya butuh editor, butuh kritikan soal ejaan. Tapi, keterbatasan bukan alasan. Saya harus memperbaikinya sedikit demi sedikit. Saya yakin kesempurnaan hanya diperoleh dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan. Dan tak seorangpun mencapai kesempurnaan selama dia hidup, tetapi kita terus berusaha bergerak ke sana.

Mari belajar mengejar keunggulan, mendorong karya-karya unggul, tidak merendahkan atau meremehkan sekecil apapun yang dilakukan teman.

Setiap perjalanan karier selalu memerlukan dukungan. Tanpa dukungan media, tentu kegiatan penulisan tidak mungkin berlangsung. Saya mengucapkan terima kasih kepada media atau orang yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk berkarya, diantaranya Analisa, Jurnal Medan, Sinar Indonesia Baru, http://www.nias-bangkit.com serta media lainnya.  Demikian pula beberapa mediaonline diantaranya http://www.kompas.com, http://www.detik.com, serta berbagai mediaonline lainnya yang memuat kembali artikel-artikel saya (tentu dengan menyebut sumber media dimana saya  menulis).

Sepanjang hayat, saya tidak akan pernah lupa rekan-rekan, J.Anto dan Bersihar Lubis, yang memberi  bekal dan semangat untuk menulis. Semoga kalian berdua tetap semangat, dan hari-hari ke depan mendapat berkat kesehatan yang prima. Demikian juga sesama rekan penulis yang meluangkan waktu  sharing untuk memperkaya ide dan menumbuhkan semangat menulis.

Seraya berdoa agar Tuhan menguatkan saya terus menulis, merekam peradaban di daerah ini, serta memotivasi yang lain untuk menulis,  saya berharap pada 2012 masih diberi berkat kesehatan dan kejernihan berfikir untuk terus menghasilkan artikel, buku untuk dinikmati. .

Berenanglah, jangan hanya belajar teori berenang!

Harian Analisa

  1. Pelajaran dari Kekalahan Timnas Indonesia Melawan Malaysia: ”Sepakbola, Persatuan dan Kesatuan” (Analisa 4 Januari 2011)
  2. Kampanye Minat Baca : Meneladani Pengalaman Membaca Para Tokoh (Analisa, 21 Januari 2011)
  3. Menggantung Lonceng di Leher Kucing (Analisa, 22 Februari 2011)
  4. In Memoriam Rosihan Anwar: Penulis Orbituari Handal (Analisa, 16 April 2011)
  5. Christine Lagarde: Perempuan Pertama Direktur IMF (Analisa, 5 Juli 2011)
  6. Amanda Hocking, Sukses Penulis Self Publishing:  Dua Tahun Meraup Jutaan Dollar (Analisa, 13 Juli 2011)     
  7. PM Perempuan Pertama di Thailand Yingluck Shinawatra (Analisa, 18 Juli 2011)
  8. Pemicu Ide Menulis (Analisa, 29 Juli 2011)
  9. Menyambut e-Procurement 2012 (Analisa, 9 Agustus 2011)
  10. In Memoriam: Charles Breijer (1915-2011) (Analisa, 3 September 2011)
  11. Sepenuh Hati Menyenangkan, Setengah Hati Menyakitkan.(Harian Analisa Edisi Cetak, 4 Oktober 2011)
  12. Belajar dari Kesalahan (Analisa, 12 September 2011)
  13. Bila Kamera Tersembunyi KPK Bicara (Analisa, 26 September 2011)
  14. Menulis Kegelisahan dan Impian (Harian Analisa Cetak, 19 Oktober 2011)
  15. 83 Tahun Sumpah Pemuda: Mencintai Bahasa Indonesia yang Kian Mendunia (Analisa, 28 Oktober 2011
  16. In Memoriam: Titi Said (1935-2011) ”Jadilah Angin dan Air yang Baik” (Analisa Cetak, 28 Oktober 2011)
  17. Google Book dan Demokrasi Pengetahuan (Analisa, 7 Nopember 2011)
  18. Dakka Hutagalung, Pencipta Ratusan Lagu Batak, Lagunya di Puja, Tinggal di Rumah Kontrakan (Analisa, 18 Nopember 2011)
  19. Medan! Kapan Punya KA Seperti Jakarta (?) (Analisa, 30 Nopember 2011 Hal 25)

Harian Jurnal Medan

  1. Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut (Jurnal Medan, 30 Juli 2011)
  2. Di Era Internet: Say No, to Plagiat! (Jurnal Medan, 3 Agustus 2011).
  3. Kemajuan Pembangunan dan Stress di Jalan Raya (Jurnal Medan, 08 September 2011)
  4. Memaknai 106 Tahun PDAM Tirtanadi (Jurnal Medan, 10 September 2011)
  5. Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan, 29 September 2011)
  6. Penegakan Hukum Sepakbola dan Korupsi       ( Jurnal Medan, 8 Oktober 2011)
  7. Belajar dari Kisah Tiger Woods Lilin Itu Meleleh. Lalu......! (Jurnal Medan, 13 Oktober 2011)
  8. Sisi Lain dari Sumpah Pemuda ke 83: Tegakah Anda Tidak Menghafal Indonesia Raya? (Jurnal Medan, 26 Oktober 2011)
  9. Motivasi Menulis (Harian Jurnal Medan, 3 Nopember 2011)
  10. Mengenal Alberthiene Endah ”Karya dan Prestasi Perempuan dalam Biografi” (Harian Jurnal Medan, 7 Nopember 2011)
  11. Renungan SEA Games 2011 (Harian Jurnal Medan, 12 Nopember 2011)
  12. Juara Umum, Tanpa Emas Sepakbola (Harian Jurnal Medan, 24 Nopember 2011)

http://www.nias-bangkit.com

  1. Merasa Asing di Negeri Sendiri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 25 Nopember 2010.
  2. Hadiah Tahun Baru dari Delasiga, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 24 Januari 2011.   
  3. Laporan dari Nias Selatan (1): Pertanian Bergairah tapi Pelabuhan Terbengkalai, Kolom. www.nias-bangkit.com. Posting 26 Maret 2011.
  4. Laporan dari Nias Selatan (2): Antara Teluk Dalam dan Hilizo’ayamböwö,Kolom,  www.nias-bankit.com. Posting 26 Maret 2011.
  5. Apolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan Kamus Li Niha, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting, 26 Maret 2011.
  6. Ria Telaumbanua: Hotel Itu Ambruk, Sahabat Saya Meninggal, Figure: www.nias-bangkit.com. Posting 2 April 2011
  7. Pelesir ke Nias Barat (1): Gunungsitoli-Sirombu Mulus, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting: 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  8. Pelesir ke Nias Barat (2): Desir Rupiah di Pantai Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  9. Pelesir ke Nias Barat (3): Gerakkan Ekonomi Sirombu, Kolom/Travel: www.nias-bangkit.com. Posting, 12 April 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  10. Nirwan Zendratö: Kembali Jadi Sopir Rental, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting: 29 April 2011
  11. Bawomataluo: Keindahan dan Misteri, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 3 Mei 2011. Selain www.nias-bangkit.com, kemudian juga dimuat di www.detiktravel.com dan Jarak Pantau, Nias..
  12. Regenerasi Hombo Batu, Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 17 Mei 2011. Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  13. Fafiri, Permainan Tradisional Nias yang Terlupakan (ditulis bersama Nitema Mendrofa), Kolom, www.nias-bangkit.com. Posting 19 Mei 2011.Artikel ini dimuat juga di http://www.detiktravel.com
  14. Junisan Ndraha, Penyiar Muda Berbakat di RRI Gunungsitoli, Figure, www.nias-bangkit.com, 19 Mei 2011.
  15. Hikayat Manao: Beban Moral Menurunkan Nilai Budaya, Figure, www.nias-bangkit.com. Posting 1 Juni 2011. Artikel oni dimuat juga di http://www.kompas.com.

Harian Sinar Indonesia Baru

  1. Kampung Silau Marawan: Rakyatnya Kreatif, Tapi Sarana Jalan Memprihatinkan (Sinar Indonesia Baru, 22 Juni 2011)
  2. 80 Tahun Floriana Tobing: Siswa Sekolah Diakonia Pertama ke Jerman (Sinar Indonesia Baru, 18 September 2011)

Harian Simantap News

  1. Malam ini 2 Tahun Lalu: Pdt Dr Armencius Munthe Pergi untuk Selama-lamanya (Harian Simantap News, 29 Juli 2011)

http://www.ponijanliaw.com.

1. Mengenal Ponijan Liaw di Dunia Maya (posting 2011)

http://termanis.com/interview-dengan-jannerson-girsang

1. Mengenal Lucya Chriz. Penulis Novel Amang Parsinuan (2011). Artikel ini juga diposting di http://www.harangan-sitora.blogspot.com, http://www.blogindonesia.com,  www.yasni.com.

Buku-buku

1. Tuhan Pemimpin Hidupku (Otobiografi, 2011)
2. Bagaikan Rel Kereta Api (Otobiografi, 2011)

(Catatan: Tahun ini saya dengan dibantu beberapa teman menulis buku biografi dan otobiografi ke 13 dan 14 sejak 2002)

Training Jurnalistik

Maret-Juni 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan http://www.nias-bangkit.com.
Agustus 2011: Training Jurnalistik bagi wartawan Harian Sinar Indonesia Baru Biro II Pematangsiantar.

Senin, 26 Desember 2011

Peringatan 7 Tahun Tsunami

Pengantar: 

Mengenang tujuh tahun Tsunami Aceh Nias. Tujuh tahun lalu, sekitar pukul 08.00 pagi, kami menghadiri acara memasuki rumah seorang warga di Jalan Nyiur, Perumnas Simalingkar, Medan. Acara tertunda beberapa menit, karena semua orang keluar rumah. Gempa besar!. Tiang listrik, kayu kapuk bergoyang-goyang, kepala rasanya pening. Kejadian berlangsung beberapa menit. Kemudian acar dimulai dan tidak ada berita sampai acara usai. Ternyata, di belahan bumi lain, Aceh dan Nias, lebih dari 200 ribu tewas, 500.000 kehilangan tempat tinggal, dan sebagian besar infrastruktur dan pelayanan publik provinsi paling ujung Barat Indonesia itu rusak berat. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini.


Kami sendiri akhirnya bertugas di daerah Gempa/Tsunami Aceh selama dua tahun. Untuk mengenang awal-awal penanganan peristiwa itu kami memposting artikel yang menggambarkan situasi di sebuah desa di daerah Pidie, setelah 10 bulan peristiwa itu berlangsung. Artikel yang kami tulis Nopember 2005,  masih bisa diakses pada mediaonline dimana kami pernah bekerja sebagai Information Officer: http://www.act-intl.org. 

 

Ten months after the tsunami, people yearn to go back home

By Jannerson Girsang, ACT International

Pidie, Aceh, Indonesia, November 2, 2005--After ten months of living in barracks and tents, internally displaced persons (IDPs) yearn to leave these temporary living quarters and to return to their original villages. These desires are more intense for Indonesians during these times of Muslim and Christian religious celebrations (Idul Fitri and Christmas) because of the custom of gathering in one’s hometown.

The desire to return home had been previously constrained by the lack of shelter, water and sanitation, earnings and other reasons. Now, some of these constraints have decreased.

Among the people who want to return to their homes are residents of one small village in Indonesia’s Aceh province that was hit by the Dec. 26 earthquake last year, measuring 8.7 on the Richter scale, and the ensuing tsunami.

“I get fish enough for our daily needs and installment payments,” said 30-year-old Ramli with sparkling eyes on a day in late October. Three days earlier, the resident of Lampoh Kawat in Pidie district had moved into a new, 36-square-meter house after he and his family had lived in a settlement of barracks and tents for several months.

Ramli explained that he lost his house and boat in the tsunami, but he has been able to resume his job as a fisherman.

“We are very happy. We have our own house now. Compared to former days, now we have our private water and sanitation facilities,” said the father of a 3-year-old son. Ramli is a beneficiary of the shelter and livelihood-recovery program of Church World Service (CWS), one of three members of the global alliance Action by Churches Together (ACT) International responding to the tsunami in Indonesia.

Another fisherman, Zakaria, 45, is also involved in CWS-ACT’s shelter and livelihood-recovery program, which has provided him with a boat to return to work. “If we went to the sea for several hours, we can catch fish, and in the afternoon we could go to the field or conduct other activities for additional income,” said Zakaria, whose house and all his possessions were swept away in the tsunami.

“I am thankful to CWS. The boat helps my family. I have now more choices to earn money,” he said. Zakaria’s other activities include transporting people to the market on his motorcycle and volunteering for the ACT member in its house-construction program.

Zakaria said he has participated in all the phases of house construction with CWS-ACT, from planning to implementation. “I myself participated in interior design and also the supervision of the construction. I am satisfied with my house-to-be,” the father of three school-aged children explained.

Ramli and Zakaria are two of the many people who have expressed out grateful they are to be going home.

Everybody is busy earning an income in various ways while they wait for their new houses to be built. Some have even provided carpentry services themselves to hurry the construction along.


Ummiah Abbah and Ainsyah Amin are two examples of women who are actively supporting their families economically while waiting for their new houses to be completed.

While harvesting oysters in the river beside Lampoh Kawat sub-village, Ummiah, 45, said she does not feel comfortable in the temporary barracks where she has been living since the tsunami struck.


“My house was destroyed by the tsunami, but I miss this place to live and to work again,” she said, referring to the river near her original home. “It is too far from the barracks to work here. No place can replace the harmony in this village. When can I occupy my house, sir?” she asked with slight impatience.

Ainsyah, a 60-year-widow, slashed sike (a plant used as a raw material for woven products) next to her house, which is under construction. Ainsyah can make three mats from sike in ten days and sells them at the local markets. She is living in a temporary shelter built from the ruins of her house, like many other families in this village.

“I prefer to stay here because I can do my routine job and socialize with people. I miss the harmony of life,” said Ainsyah, whose husband died several years ago. Some of her five adult children are married, some of whom also live in this village.

The village where Ummiah and Ainsyah live is 200 kilometers southwest of Banda Aceh, the capital of Aceh province. The village is two kilometers off the main road. When the earthquake and tsunami struck here ten months ago, houses and property - boats, cattle, shrimp ponds and personal belongings – were damaged or destroyed. One woman was killed, and many people were injured. Before the tsunami, Lampoh Kawat was rich in resources. It is located near the coast of Malacca Straits, where people catch fish in abundance, raise shrimp in ponds, raise animals and grow coconuts. Plenty of pandanus trees, used as a craft material, also grow naturally in this tiny village of 34 households.

CWS, with the support of partners and ACT members around the world, began working here in April and has contributed to a significant change of the lives of the village’s residents.

Beginning with health services provided through mobile clinics, CWS started a livelihood program and has distributed 26 boats to fisherman to replace their boats that were swept away by the tsunami. In its livelihood program, CWS-ACT cooperates with PASKA, a local foundation. Fisherman who receive a boat also participate in a community-based revolving loan system as a token of social accountability to the community.

“Every time when the earnings of the fisherman is more than Rp 50,000 [US$5], they should contribute 15 percent of the excess earnings to this community-based revolving fund system, compiled by chosen members of the community,” explained Evy Kaban, CWS-ACT’s livelihood-recovery program coordinator in Banda Aceh. “The money collected from all fishermen will be used as a revolving fund to the 16 people who haven’t had earnings yet. They can use the money as seed capital for small enterprises.”

Since August, CWS-ACT has completed some of the 34 houses in the shelter program for the families of Lampoh Kawat whose houses were destroyed. CWS-ACT plans to build 300 houses across Aceh, but is finding it difficult to locate the right land for new houses. A lack of coordination and persistent claims from other donor agencies over land ownership has led to confusion among the local authorities and community members.

Constructing houses in Aceh is not a simple task. Indra, CWS-ACT’s technical shelter officer stationed in Banda Aceh, said he faces constraints in providing materials for the housing construction. “We have to take legal logging material from Medan. It takes time to deal with administration of things,” he said.

In order to increase the local income, CWS-ACT also outsources the work of windows and doors to local carpenters and the construction to the local people and the owners of the houses. “It is easy to build houses if not considering the local participation. We just let contractors build, but I worry if we do so, the continuation and sense of belonging will be different,” said Indra.

One factor in the success of the CWS-ACT housing program, according to Indra, is that the small sub-village is easy to manage and monitor. “They are very cooperative and contribute their talents that make this construction take place well,” said Indra.

Indra said the government and local people are working together to preparing land and when it comes to construction.

In the village, the French Red Cross is taking care of the drinking water supply with water trucks and a tank. However, the long-term supply of drinking water for the village is uncertain. CWS-ACT is ready to take on this responsibility, but has to consider many other players and factors, such as other agencies competing and the fact that the government’s rehabilitation and reconstruction program began late.
Source: http://www.act-intl.org.

Rabu, 14 Desember 2011

”Asa Diboto Hamu, Ise Na Mate On, Ise Ahu” (Supaya Kamu Tau Siapa yang Meninggal ini dan Siapa Saya)

Oleh: Jannerson Girsang

Di tengah panas terik menjelang tengah hari, ratusan orang sedang berkumpul di sebuah rumah di perumahan murah di sebelah Selatan Medan. Dua hari sebelumnya salah seorang penghuni rumah tipe 36 yang sudah dikembangkan itu meninggal dalam usia 70 tahun.

Orang Batak menyebutnya mate saur matua. Selain meninggal dalam usia lanjut, dua putri dan satu anak laki-lakinya sudah menikah dan masing-masing sudah memberinya cucu.

Orang tua yang meninggal seperti ini akan mendapat penghormatan terakhir baik secara keagamaan dan secara adat sebelum diantar ke pemakaman. Terdengar lagu-lagu gereja serta suara gendang Batak melalui pengeras suara yang dipasang di dua sudut halaman, persis di ujung enam taratak untuk melindungi tamu dari panas dan hujan. Para undangan duduk di kursi yang disediakan.


Sementara jenazah yang sudah berada dalam peti mati diletakkan rumah  dan dikelilingi anak-anak dan cucunya. Posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Laki-laki memakai jas dengan ulos Batak di bahunya, wanita memakai kebaya. Semuanya serba hitam. Warna berkabung. Wajah mereka mengguratkan kesedihan.

Pagi harinya sudah berlangsung acara memasukkan jenazah ke dalam peti dan diikuti dengan kebaktian singkat dari pihak gereja.  Lantas acara manortor yang diawali dongan tubu, hula-hula, boru, dongan sahuta serta kolega-kolega alamarhum.

Seorang pria bertubuh tegap, rambut putih disisir rapi, dengan jas necis warna biru mendekati mikrofon, setelah beberapa saat sebelumnya,  protokol sudah memberi aba-aba giliran ucapan duka dari kolega almarhum. Dia berbicara mewakili kolega almarhum.


Sambil merapikan dasi berwarna merah  buatan Prancis itu, dia mulai berkicau. Matanya memandang datar ke depan, sedikit mendongakkan kepalanya ke atas. Dia tidak menunjukkan perasaan sedih, sebagaimana wajah-wajah para keluarga di depannya.

“Keluarga almarhum dan saudara-saudara yang sedang berduka,” ujarnya mengawali pidatonya, sambil melirik seorang pria di sebelahnya, teman satu kelasnya di SMA.

Tak seperti orang yang mengucapkan ungkapan duka, dia layaknya seperti seorang yang sedang berkampanye, seperti Caleg mencitrakan dirinya seorang yang luar biasa.

“Kalian pasti belum tau bagaimana hubunganku selama ini dengan almarhum. Saya satu sekolah dengan beliau mulai dari SD hingga ke SMA”ujarnya. Suaranya ditahan sejenak, seraya berfikir sebentar dan mengancingkan jasnya yang terbuka,

“Di SD, saya juara I kelas dan almarhum juara III”, sambungnya dengan sedikit menoleh ke samping sambil tersenyum kepada seorang perempuan tua. Perempuan itu memandangnya lirih dan kurang simpatik.

Pria ini terus bersemangat dan menceritakan kisah mereka ketika duduk satu bangku di SMP.Padahal orang-orang di sekitarnya sudah gelisah atas kata-katanya yang bertendensi melecehkan almarhum.

“Ketika kami di SMP, tiga tahun saya Juara Umum dan almarhum, paling-paling Juara 1-atau Juara III Kelas,”ujarnya tak peduli sikap seorang pria beruban di depannya yang dari tadi sudah garuk-garuk kepala.

Kisahnya berlanjut dengan kebersamaan mereka di SMA. Dengan bersemangat tak memperdulikan cibiran orang sekelilingnya, pria itu melanjutkan pidato pencitraan dirinya.

“Di SMA, kami sudah berbeda jurusan walau masih satu sekolah. Dia masuk Jurusan Bahasa, saya masuk Jurusan IPA, jurusannya Habibie,”katanya membusungkan dada dan menatap tajam pemain musik yang sejak dari tadi membunyikan gitar elektroniknya.

”Setelah tamat SMA, kami berpisah. Saya masuk ke ITB jurusan Pertambangan, almarhum masuk ke Universitas Swasta, di Jawa Tengah, jurusan Sastra,”ujarnya dan disambut gemuruh celotehan para keluarga yang sedang berduka.

”Bah, naboha  do amanta on? (Bagaimana Bapak ini?)”ujar seorang pria setengah baya.

Tanpa peduli sekelilingnya, pria yang datang dengan berpenampilan parlente itu tetap melanjutkan kisahnya.

”Setelah lulus dari Perguruan Tinggi, kami kemudian bekerja.Saya menjadi Konsultan Pertambangan Asing di Jakarta, almarhum menjadi penulis cerpen yang hanya dimuat sekali seminggu,”ujarnya sambil memandang ke sebelah kiri kemudian memutar kepalanya hingga dia bisa memandang seluruh undangan yang hadapan matanya.

Para undangan merasa gelisah dan nyeletuk.Pemain musikpun terus menggangunya dengan petikan gitar supaya pidato jangan berlanjut.

”Orang sudah mati kok masih diremehkan. Gila ini orang,”ujar seorang ibu bekulit sawo matang, berwajah cantik yang berdiri di belakangnya.

Sambil memperhatikan sikap orang di sekitarnya, pria tadi berhenti berbicara. Seolah meraih tenaga baru. Lantas, kembali  berbicara lantang. “Kalian tau mengapa ini saya ceritakan?,”ujarnya beretorika kepada para undangan.

“Biar kalian tau siapa saya, siapa yang meninggal ini!. Sekian dan Terima Kasih,” katanya.

Dasar hanya ingin mencitrakan diri, usai berkicau, tanpa menyalami keluarga dia langsung beranjak menuju sedan mewah yang diparkir di pinggir jalan sempit menuju rumah duka.

Apakah Anda geram membacanya?. Jangan tiru perilaku pria ini. Barangkali kita tidak sadar sering melakukannya dalam bentuk yang lain. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Versinya sedikit berbeda dengan di atas. Kejam sekali, orang meninggalpun sering dijadikan sebagai ajang pencitraan diri.

Artikel ini belum dimuat di media manapun. Bagi yang ingin mempublikasi harus seizin penulis. 

Selasa, 13 Desember 2011

Buku Berhentinya Soeharto Fakta dan Kesaksian Harmoko



Oleh: Jannerson Girsang

 
 Sumber foto: antarafoto.com

21 April 1998, hampir 14 tahun yang lalu, sama dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya, kami menyaksikan peristiwa pengunduran diri Soeharto melalui layar televisi di kampung kelahiran saya, Nagasaribu, saat berlibur bersama anak-anak. Desa ini terletak sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Medan, Sumatera Utara.

Saya bersyukur, kemajuan teknologi memungkinkan saya menyaksikan peristiwa penting di ruang Istana Kepresidenan, ruang pengendali negeri berpenduduk 200 juta jiwa ketika itu.  Saat itu tidak banyak yang saya tau. Ternyata di balik peristiwa di atas, banyak fakta yang samar-samar bahkan gelap.

Apa yang terjadi di balik peristiwa di layar kaca pada saat pengunduran diri Soeharto, bagi saya yang jauh dari informasi seputaran istana dan mungkin juga generasi muda lainnya merupakan misteri.

Beberapa hari ini, kami merampungkan membaca buku ”Berhentinya Soeharti, Fakta dan Kesaksian Harmoko”. Walau buku itu sudah lebih dari tiga tahun kami peroleh dari bapak Moh. Yazid, mantan Ketua PWI Sumut. Maklum, bacanya hanya saat tertentu saja.

Firdaus Sam, pengarang buku itu, dan dikenal sebagai seorang dosen Ilmu Politik di berbagai Universitas di Indonesia, menggambarkan suasana pengunduran diri Soeharto sebagai berikut: 

“Kamis 21 April 1998, Presiden  Soeharto, mengenakan safari warna gelap dan berpeci, dengan langkah tenang meninggalkan Ruang Jepara menuju Ruang Credentials, berdiri di depan mikrofon. Dengan nada datar tanpa emosi, diawali dengan ucapan : Bismillahirrahmanirrahim,  ….”.

Kata-kata Soeharto dan sebagian kondisi ruangan di Istana Presiden dapat secara langsung menyaksikan melalui layar televisi peristiwa di pagi hari 21 April 1998 itu. Cuma mengungkapkannya dengan kata-kata seperti di atas, mungkin tidak mampu lagi, karena sudah banyak lupanya. Itulah gunanya buku ini.  Kehadiran buku ”Berhentinya Soeharto : Fakta dan Kesaksian Harmoko” membantu memahami apa yang terjadi di balik peristiwa 21 April 1998.

Saya seolah dibawa menelusuri sebagian lorong samar-samar perjalanan bangsa Indonesia, khususnya, saat-saat menjelang kejatuhan Soeharto.

Buku setebal 298 halaman yang diterbitkan PT Gria Media Prima, Jakarta pada Mei 2008 ini, terdiri dari enam bagian yakni Bagian 1 : “Prolog”,  Bagian 2: “Ketika Palu Itu Patah”, Bagian 3: “Bulan Menegangkan Yang Mengawalinya”, Bagian 4: “Angin Reformasi Yang Dinamis”, Bagian 5: “Detik –Detik Terakhir” dan ditutup dengan Bagian 6: “Epilog”.

Buku ini menjadi menarik karena mengisahkan kesaksian Bung Harmoko. Apa dan bagaimana peran yang dimainkan Bung Harmoko, sebagai sosok politisi yang  ”piawi”, cerdik, lincah dan populer pada saat itu. Seorang yang saat peristiwa memegang jabatan Ketua MPR dan Ketua Umum Golkar, serta sebelumnya dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Selama hampir separuh masa kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dia senantiasa berada di sekitar pusaran kekuasaan.

Buku ini memfokuskan pembahasan tentang peran serta keterlibatan Harmoko khususnya dalam kisaran kurang dari tiga bulan atau 70 hari masa jabatan Presiden Soeharto, yakni saat terpilihnya Soeharto melalui sidang MPR sampai berakhir kekuasaannya menjadi sangat menarik. Dalam masa kurang dari 70 jam sejak sebagai Pimpinan MPR menyampaikan pernyataan Pers, meminta Soeharto mundur. Masa-masa saat menentukan dari peristiwa reformasi dan berhentinya Soeharto dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun memegang jabatan Presiden Negara Republik Indonesia.

Di awal buku, dijelaskan kisah-kisah aneh serta kisah yang selama ini mungkin hanya ada di benak Bung Harmoko. Misalnya, kenapa palu sidang MPR itu pada saat Soeharto terpilih sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya (1998-2003), Kenapa Bung Harmoko meminta Soeharto mundur, kenapa Harmoko begitu berani dan lugas,mengingat selama ini dia begitu loyal kepada Soeharto?.

Selain itu, buku ini juga menjawab spekulasi yang beredar ketika itu tentang siapa yang bermain di belakang grand desain dalam mempercepat situasi buruk di tanah air pada 1997-1998.

Dalam menjelaskan rentetan  proses kejatuhan Soaharto, buku ini mencatat dalam salah satu sub-bagian 3, Tragedi Trisakti: ”Awal dari Semua Mesti Berakhir”.  Tragedi Tri Sakti 12 April 1998 mengingatkan aksi mahasiswa di tahun 1966, ketika Arif Rahman Hakim tertembak pasukan Cakrabirawa di depan Istana Negara, saat melakukan demonstrasi terhadap penguasa Orde Lama. Lantas diikuti gelombang protes terus membesar seperti dikisahkan dalam sub bagian berikutnya :”Mahasiswa Membara”-”Jakarta Membara”.

Ketakutan yang memuncak melanda sebagian masyarakat, hingga orang-orang asing dan non-pribumi berbondong-bondong meninggalkan Jakarta.

Langkah-langkah yang diambil Harmoko dalam suasana yang tegang itu dijelaskan dalam sub bagian : Langkah ”Bung Harmoko” : Aksi dan Reaksi.

Bagian 4 dan 5 mengisahkan detik-detik terakhir kejatuhan Soeharto. Hari yang  menentukan, yakni Senin 18 Mei 1998. ”Senin, 18 Mei 1998, mendebarkan, menegangkan dan penuh ketidakpastian. Segenap tenaga dan kekuatan politik rakyat berada dalam ’jurang perpecahan’ membahayakan persatuan Indonesia, ”bila” tidak menggunakan ”akal sehat” terhadap solusi mengatasi ketegangan politik yang sedang mencapai puncaknya”.  

Hari itu, jam 09 pagi WIB, di ruang kerja Bung Harmoko telah berkumpul wakil Ketua Syarwan Hamid, Ismail Hasan Mettareum, Abdul Gafur dan Fatimah Ahmad. Mereka berdiskusi serius, sementara di luar bukan hanya semata lautan manusia berupa ribuan mahasiswa, hal lain adalah munculnya spanduk-spanduk dan poster diantaranya bertuliskan ”Soeharto Harus Mundur”.

Akhirnya, hari itu juga, Pimpinan DPR memutuskan untuk mengutamakan kepentingan rakyat, yaitu ;bagaimana mencegah dan menghindarkan pertumpahan darah. Sekitar jam 16.00 WIB Harmoko membacakan keterangan pers, yang mengatakan : ”demi persatuan dan kesatuan meminta agar secara arif dan bijaksana Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri”.  

Tiga hari kemudian, 21 April 1998, Soeharto benar-benar mengundurkan diri. Ketika itu saya kaget dan setengah tidak percaya. Mungkinkah?

Pengenalan Harmoko atas sosok Soeharto, falsafahnya dan  prestasinya dikisahkan dalam bagian Epilog. ”Pak Harto juga manusia biasa, memiliki kekurangan selain kelebihannya, kita harus akui, itu Sunnatulah, karena itu memaafkan adalah sangat mulia”, kata Bung Harmoko.  Kisah sakitnya Soeharto dan kemudian meninggal dunia 27 Januari 2008 turut menjadi bagian terakhir yang dibahas secara lengkap dalam sub-sub bab Epilog seperti: Pengakuan Kesalahan, Masa-masa Kritis Soeharto, Hidup dan Kematian serta sambutan Presiden Republik Indonesia Selaku Inspektur Upacara pada Pemakaman Almarhum Jenderal Besar (TNI) Haji Muhammad Soeharto.

Makin saya sadar, dalam politik tidak ada yang abadi. ”Tidak ada kawan atau lawan yang abadi yang ada kepentingan”, demikian salah satu kutipan dalam buku ini.

Dari keterangan dalam buku ini, buku yang hanya dipersiapkan selama satu bulan terasa memiliki kekurangan di sana sini dan terkesan diterbitkan secara terburu-buru. Buktinya, ralat di bagian belakang sampai 2 halaman. Kadang penulis terpaksa mengejar deadline.

Terlepas dari kekurangan itu, buku ini bagus dibaca para generasi muda serta mereka yang ingin mengetahui lebih jauh tentang peristiwa 21 April 1998.  Bagi yang tertarik, silakan membacanya!.

Pertanyaan kita sekarang, sudahkah tuntutan Soeharto mundur, bisa terpenuhi era Reformasi yang sudah memasuki usia 14 tahun ini?. Mari kita renungkan bersama.

Kita jangan hanya pintar menyuruh orang mundur, tetapi meniru konsep Soeharto saja belum mampu membangun negeri ini. Jembatan saja tidak bisa dipelihara, jalan-jalan rusak, listrik mati idup, air PAM berhenti bebeberapa jam sehari, petani menjerit.Sudahkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme salah satu agenda reformasi sudah terhapus dari negeri ini, HAM ditegakkan, kasus Munir terungkap dengan terang benderang, para koruptor tidak ada lagi, demokrasi sudah memilih kualitas pemimpin seperti masa Orde Baru?. Akh kok jadi pesimis ya. Mari optimis, tetapi juga realistis.   


Medan, 12 Desember 2011.

Kamis, 01 Desember 2011

Menyambut Hari AIDS Sedunia: Menulis Suara ODHA

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: Tipsivan.blogspot.com
Salah satu upaya sosialisasi HIV AIDS adalah menulis dan mempublikasikan suara ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Dalam kenyataannya, kisah pengalaman mereka belum banyak ditulis dalam bentuk cerita-cerita yang menginspirasi.

Dalam menyambut Hari AIDS Sedunia,  sebuah acara peluncuran dan bedah buku: Kumpulan Cerpen dan Artikel Kisah AIDS, Karya dr Umar Zein dan Forwakes digelar di  Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu, Medan, 30 Nopember 2011 lalu. Acara ini diselenggarakan Perhimpunan Dokter Pedulia AIDS (PDPAI) Sumut, Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) dan Baperasda Pemprovsu.

Peluncuran buku bertajuk HIV AIDS ini memberi arti yang strategis dalam sosialisasi penyakit itu di daerah ini. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Kesehatan Pemprovsu dalam buku itu, baru sekitar 11,4% masyarakat daerah ini yang benar-benar paham mengenai infeksi HIV AIDS. Sehingga sosialisasi HIV AIDS masih sangat dibutuhkan.

Tak heran, kalau masih banyak perilaku masyarakat maupun pelayan kesehatan yang aneh kepada penderita HIV AIDS. Tidak mau duduk berdampingan, membakar rumah penderita, perlakuan diskriminatif dalam pelayanan kesehatan, serta berbagai sikap negatif  lainnya yang justru membuat mereka semakin menderita.

Meski kegiatan ini tampak kecil, tetapi merupakan langkah yang memberi sumbangan dalam mensosialisasikan pemahaman masyarakat tentang infeksi HIV AIDS.. Ada dua hal penting yang menjadi catatan saya dari acara tersebut, yakni mendengar kisah secara langsung serta menuliskannya dalam kisah yang menginspirasi, sehingga bisa dibaca masyarakat luas.

Kesaksian Ibu Muda Penderita HIV AIDS

Berbeda dengan acara peluncuran buku sudah berkali-kali saya ikuti dan merupakan salah satu acara rutin di Baperasda Pemprovsu, acara kali ini memang istimewa. Seorang penderita HIV AIDS, tampil sebelum peluncuran dan bedah buku.

Sebagai peserta dalam acara peluncuran itu, saya menyaksikan seorang ibu muda (saya tidak mencantumkan namanya) berparas manis duduk menghadap para peserta. Sebelumnya saya sama sekali tidak mengenalnya. Dia duduk disamping Chandra Silalahi, Sekretaris Baperasda Pemprovsu.

“Sebelum acara dimulai, marilah kita dengarkan terlebih dahulu kesaksian seorang rekan yang terinfeksi HIV AIDS,” demikian Chandra Silalahi mempersilakan ibu muda tadi memulai kesaksiannya.

Saya sedikit kaget. Ternyata ibu muda berwajah manis yang duduk memandang kami dengan senyuman adalah pengidap HIV AIDS. Dalam bayangan saya orang yang awam soal HIV AIDS, wajahnya kurus, seperti tengkorak, wajahnya lesu, tak bersemangat dan tertutup.

Bayangan itu makin pudar saat menyaksikannya dengan bersemangat dan terbuka menuturkan pengalamannya selama mengidap HIV AIDS sejak 2008. Didepannya, sekitar 50-an peserta mendengarkannya dengan serius dan rasa haru. Mereka diantaranya Parlindungan Purba, SH, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Utusan Sumatera Utara, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, mewakili Dinas kesehatan Provinsi, Kepolisian Daerah, perguruan tinggi, serta para pegiat AIDS seperti dr Lily Waas, MPH,  dan dari berbagai latar belakang.

 “Saya terinfeksi HIV AIDS melalui transfusi darah ketika saya menjalani operasi cesar saat kelahiran anak saya yang pertama”ujarnya tanpa menunjukkan wajah menyalahkan siapapun. Dia meyakinkan bahwa tidak semua orang yang terkena HV AIDS itu berhubungan dengan perilaku buruk. Dia adalah salah satu diantaranya.

Tak tampak sedikitpun kekhawatiran di wajahnya. “Saya sudah mengidap HIV AIDS selama 3 tahun, tetapi saya merasa segar bugar. Penderita HIV AIDS masih bisa bertahan dengan perawatan. Awalnya saya khawatir, tetapi setelah mendapat pengetahuan tentang AIDS dan perawatan, memakan obat secara teratur, saya tidak khawatir. Dulu memang badan saya sempat drop dari 40-an kilogram lebih lebih menjadi hanya 28 kilogram,”ujarnya.

Di dalam keluarganya sendiri, ibu muda ini, menurut pengakuannya dirinya mendapat perlakuan yang baik dari keluarga maupun suaminya sendiri. Bahkan selama menderita HIV AIDS, dirinya masih bisa melaksanakan hubungan suami isteri secara normal. “Kami masih melakukan hubungan suami isteri memakai kondom,” ujarnya dengan wajah sedikit tersipu, menjawab pertanyaan salah seorang peserta.

Ibu muda ini mengisahkan betapa mereka sebagai penderita HIV AIDS masih mendapat perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat dan pelayan kesehatan. “Saya pernah ingin mencabut gigi, tetapi tidak diizinkan oleh dokter,”ujarnya.

Usai menyampaikan kesaksiannya, sang ibu tadi kembali ke tempat duduknya dan disambut tepuk tangan yang meriah dari peserta. Beberapa wanita, termasuk dr Lily Waas memberinya ciuman diikuti beberapa wanita lainnya. Penderita HIV AIDS tidak tertular melalui kulit.

Bagi pembaca yang budiman, mendengar kesaksian ibu muda tadi merupakan peristiwa luar biasa dalam hidup saya, merubah pandangan saya terhadap seorang penderita HIV AIDS. Mendengar suara dan melihat penderita HIV AIDS memberi pemahaman baru tentang mereka.

Saya menuliskan apa yang saya dengar, saksikan dan maknai untuk anda. Meski anda tidak secara langsung melihatnya, membaca kisah di atas mudah-mudahan menggugah anda..

Menulis Kisah Penderita HIV AIDS

Dalam kaitan kisah ibu muda tadi, saya sangat mengapresiasi usaha teman-teman yang berhasil mengadakan acara Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Artikel yang ditulis Dr Umar Zein dan Forwakes. Menulis kisah seperti ini tidak mudah, tetapi di satu sisi menjadi penting dalam sosialisasi HIV AIDS. Justru, dalam kenyataannya belum banyak kisah penderita HIV AIDS yang ditulis dan dapat disebarkan dan dinikmati masyarakat luas.

Dengan segala kekurangannya, dr Umar Zein, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan itu, telah membuat langkah yang perlu diikuti para dokter, pegiat HIV AIDS, wartawan, penulis melakukan penulisan lebih banyak lagi kisah-kisah seperti ini.

Buku Rangkuman Cerpen dan Artikel Kisah AIDS adalah kumpulan cerpen dan artikel kisah-kisah penderita HIV AIDS.yang dirangkum dalam buku setebal 153 halaman. Selain tulisan dr Umar Zein, artikel-artikel di dalamnya merupakan sumbangan tulisan dari para wartawan yang tergabung dalam Forwakes, seperti Zulnaldi, Khairuddin Arafat, Mursal Alfa Iswara, Eko Agustyo Fitri, Novita Sari Simamora dan Kesuma Ramadhan.

Cerpen dan artikel yang ada di dalamnya merupakan kisah nyata penderita HIV AIDS yang dikumpulkan dari daerah Sumatera Utara, serta beberapa artikel yang membahas tinjauan AIDS, sosialisasi AIDS. 

”Buku ini merupakan sosialisasi HIV AIDS dalam bentuk penyampaian yang cukup informatif dan muda dicerna dan ditulis oleh pakarnya dan para wartawan yang selalu meliput bidang kesehatan. Sehingga layak untuk disebarluaskan di semua kalangan masyarakat dan merupakan bagian dari promosi kesehatan,”ujar Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Dr Candra Safei, Sp.OG, dalam buku tersebut.

Dua orang pembahas masing-masing kritikus sastra sekaligus Dekan FKIP UISU, Drs Mihar Harahap MM dan dari akademisi USU, dan akademisi dari Universitas Sumatera Utara, dr Linda Maas MPHdr Lily Waas. Keduanya menyambut baik penulisan kisah penderita HIV AIDS sebagai sebuah usaha menyadarkan masyarakat memperlakukan dan mendukung mereka.

Hanya saja, buku itu masih menuai beberapa kritik terutama soal pemilihan genre penulisan. Dalam kritiknya, Mihar Harahap mengungkapkan bahwa penulisan cerpen dalam buku ini belumlah mencerminkan cara penulisan cerpen yang sesungguhnya. ”Perlu ada usaha untuk mengatur plot yang lebih baik, karakterisasi tokoh dan alur cerita yang mengalir sehinga sehingga lebih menggugah pembaca” ujar Drs Mihar Harahap.

Linda Maas mengaku, kandungan materi HIV dan AIDS, buku Kisah AIDS tersebut cukup bagus dan layak dibaca setiap orang karena mengandung pesan dan informasi yang kuat tentang HIV dan AIDS yang terjadi di Sumatera Utara.

Menulis kisah penderita HIV AIDS dalam bentuk cerita yang mudah dipahami dan menginspirasi pembaca adalah sosialisasi dalam bentuk praktis kepada masyarakat luas. ”Selama ini masyarakat kebanyakan membaca petunjuk-petunjuk dan kebijakan-kebijakan dengan bahasa yang kaku,”ujar seorang aktivis HIV AIDS dari Kabupaten Simalungun. Padahal, menurutnya kampanye HIV AIDS dengan kisah-kisah dalam bentuk cerita sangat kuat untuk menggugah sikap empati para pembaca kepada mereka yang menderita.

Tak ada gading yang tak retak. Meski belum sempurna betul, menulis kisah penderita HIV AIDS seperti langkah yang ditempuh dr Umar Zein dan Forwakes adalah langkah yang pantas mendapat apresiasi dan perlu diikuti para penulis lainnya. Pihak pemerintah mungkin bisa mengadopsi cara sosialisasi ini: Mendengar Kesaksian Penderita dan Menulisnya untuk Masyarakat Luas.

 [1]Penulis Biografi, Tinggal di Medan