My 500 Words

Sabtu, 08 September 2012

Renungan saat Meninggalnya Soeharto “Tidak Ada Manusia yang Sempurna"


Oleh: Jannerson Girsang
 http://seputarnusantara.com/?p=4621
Catatan tercecer ini saya share untuk para pembaca.Catatan ini saya tulis, 27 Januari 2012, malam hari. Sudah lama tersimpan di komputer saya. Dulunya ingin dikirim ke media, tetapi tidak jadi-jadi. Anggaplah ini sebagai pandangan mata. Namanya pandangan mata, bisa salah lihat, bisa salah dengar. Tapi setidaknya, ini bisa menggugah ingatan kita hampir lima tahun lalu, saat-saat penting ketika beliau meninggal. Belajar dari kesalahan, itulah yang bisa saya sampaikan dalam artikel ini. Semoga bermanfaat. 


                                        **** 


”Presiden Suharto menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 13.10, karena seluruh sistem organnya tidak berfungsi”, demikian pengumuman mengejutkan kami di sore hari Minggu 27 Januari 2008, melalui siaran televisi, selepas acara Kebaktian Minggu.   

Ayah enam anak, kelahiran desa Kemusuk, Jawa Tengah, 8 Juni 1921 itu, menghembusan nafasnya yang terakhir 27 Januari 2008, setelah 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. 

Terus terang, saya pribadi tak begitu banyak kepentingan dengan Suharto. Karena saya bukan penguasa, pengusaha atau tokoh politik. Saya hanya rakyat biasa dan lebih objektif tentunya.  Sok kali ya. 

Jujur saja, sosoknya memberi rasa kagum saya atas beberapa hal. Walau sebagaimana banyak orang, saya juga melihat kelemahannya. 

Didorong rasa kagum dan keingintahuan besar, beberapa hari sebelum beliau meninggal, saya sempat menaruh perhatian khusus ketika ”Bapak Pembangunan Nasional” di masa Orde Baru itu dilaporkan kritis, 9 Januari 2008.  

Saat itu, saya mengikuti berita televisi sampai sekitar jam 02 dini hari. Begadang, hanya untuk memenuhi keingintahuan bagaimana perjalanan akhir seorang Suharto yang begitu banyak mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. 

Tak salah saya kira kalau saya kagum melihat Soeharto, manakala saya melihat presiden-presiden di belakangnya, yang membuat saya kecewa. Mereka seolah malaikat yang tak punya salah, padahal tak berbuat banyak seperti Soeharto. Mereka takut bertindak, dan lebih ingin populer, supaya seolah tidak salah.     
****

Sore hingga malam, saya dan jutaan penduduk Indonesia menyaksikan secara langsung berita kematiannya di rumah sakit, kemudian disusul pemberangkatan dari rumah sakit dan setibanya di rumahnya di Jalan Cendana Jakarta.

Melalui kecanggihan teknologi komunikasi yang turut diprakarsainya dulu, seluruh jaringan televisi berhasil menghantarkan detik-detik perjalanannya sesudah menjadi mayat, menembus dinding-dinding rumah-rumah jutaan penduduk mulai dari  desa-desa terpencil sampai ke kota-kota besar.

Sebuah peristiwa yang secara transparan dan langsung disiarkan dari ibu kota Jakarta. Melalui televisi, kami melihat dengan jelas situasi rumahnya di Jalan Cendana—yang mungkin bagi orang Medan selama ini hanya dapat dibayangkan melalui cerita dan berita di koran-koran.

Dalam peristiwa biasa, tentu televisi atau media lainnya tidak akan diperbolehkan menyorot rumah itu sedemikian bebasnya. Apalagi di masa Orde Baru. 

Televisi kadang menayangkan Astana Giri Bangun—tempat pemakaman Suharto, menyusul istrinya yang sudah mendahuluinya 12 tahun sebelumnya. 

Ada pemandangan unik. Rumah  tempat kelahirannya di desa Kemusuk, ternyata hanya tinggal puing-puing. Makam keluarga orang tuanya, serta rumah kelahirannya sendiri terkesan tidak menarik perhatiannya, dibanding dia memperhatikan nasib sejarah keluarga istrinya. Menyaksikan  siaran televisi, saya terkesan bahwa Soeharto jauh lebih memperhatikan peninggalan  keluarga istrinya Tien Soeharto, ketimbang sejarah orang tua yang melahirkannya. Suharto lupa kacang akan kulitnya, entahlah!.

Saya dan jutaan pemirsa televisi secara langsung melihat betapa sedih seorang Probo Sutejo, yang harus minta ijin dari penjara Penjara Sukamiskin untuk melihat abang tirinya untuk terakhir kali.

Terlihat di televisi, bagaimana Probosutejo keluar dari penjara Sukamiskin dengan kawalan petugas tidak berseragam naik ke atas mobil. Tragis, nasib seorang Probo yang selama pemerintahan Soeharto dikenal pengusaha besar dan orang kuat. Sedih juga!. Hanya diizinkan keluar penjara untuk sementara, hanya dengan alasan yang sangat kuat : melayat  ”abangnya”, seorang mantan Presiden.

Sesudah itu, dia harus kembali lagi ke penjara walau masih dalam dukacita.

Rakyat secara langsung bisa melihat putra-putri Suharto. Tidak selengkap ketika pak Harto dan ibu Tien masih hidup. Bisa melihat siapa yang hadir dan siapa yang tidak hadir di malam pertama kematiannya. Tampak jelas tingkah laku dan ekspresi wajah-wajah mereka. Pasangan mana yang tidak menampakkan batang hidungnya.

Pendek kata, selama beberapa jam itu, semua yang terjadi pada diri Suharto, bisa terlihat secara langsung dan transparan.

Sikap para pemimpin juga terlihat jelas. Saya bisa mendengar dan melihat pengumuman resmi  pemerintah atas meninggalnya Suharto yang disampaikan Mensesneg Hatta Rajasa, beberapa saat setelah tim dokter kepresidenan dan Mbak Tutut mewakili keluarga menggelar jumpa pers.

Begitu cepatnya penjelasan rinci, sehingga meninggalnya Suharto tidak mengundang misteri, dan tidak ada berita yang dualisme dan membingungkan rakyat.

Hanya ada pertanyaan wartawan yang agak menggelikan saat Menseskab Sudi Silalahi memberi penjelasan. Seorang wartawan bertanya: ”Apakah ini ditanggung negara pak!”. 

Pertanyaan konyol dan tidak prinsipil saat orang-orang sedang terfokus pada  rasa simpati atas meninggalnya seorang kepala Negara.    

****

Andaikata transparansi, kualitas pemberitaan dan etika pers kita ditampilkan saat meninggalnya Soeharto, sama seperti ini selama tigapuluh dua tahun berkuasa sebagai RI 1 di negara yang kita cintai ini, barangkali negeri ini  tidak begitu sulit menerima Suharto sebagaimana Suharto adanya.

Sebaliknya, begitu banyak kontroversi yang terjadi, karena kegagalan kita mewujudkan ketiga hal di atas. Informasi yang tidak konvergen sesuai dengan kepentingan bangsa secara utuh telah menimbulkan begitu banyak awan-awan yang saling menyelimuti satu informasi dengan informasi lain.  

Ada banyak hal yang masih ”misterius” dan mungkin akan lenyap dengan kematiannya pada sore hari Minggu itu.

Transparansi pemberitaan terjadi, justru hanya soal  kematian Soeharto dan penghormatan terakhir melalui layar kaca. Saat dia tidak punya perasaan lagi, tidak punya ambisi dan kepentingan.

Berani terbuka, saat dia tidak takut dihukum atau masuk penjara. Soeharto saat itu sudah memiliki tempat yang tidak dapat dijangkau dunia lagi. Surga atau neraka, yang hanya bisa diketahui dan ditentukan oleh Tuhan,  sang PenciptaNya.  

Peristiwa meninggalnya Suharto memberikan pelajaran bagi kita pentingnya transparansi, kualitas dan etika pemberitaan. Rakyat menerima informasi yang tidak membingungkan.

****
Jalan hidup Suharto memang sesuatu yang misterius dan tidak pernah bisa diprediksi orang. Tidak pernah ada orang yang menyangka, kalau proses akhir kejatuhannya justru terjadi saat kunjungannya ke Mesir pada bulan Mei 1998.

Situasi di Tanah Air memaksanya memperpendek kunjungan resmi terakhirnya sebagai Kepala Negara, setelah 32 tahun berkuasa. Saya ketika itu masih berfikiran Soeharto kembali dari Mesir--tempat berkuasanya Raja Firaun yang sangat kejam itu, masih mampu mengamankan negeri ini. Dugaan itu ternyata terlalu berharap. Itulah detik-detik akhir kejayaan dari seorang Suharto.

Setibanya di Indonesia, dia berhadapan dengan kerusuhan hampir menyebar di seluruh Indonesia. Jakarta, ibu kota dilanda pembakaran dan penjarahan. 

Tidak ada angka yang pasti : Yang jelas banyak manusia tak berdosa tewas, luka-luka dan bahkan hilang tak kembali ke rumah dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. 

Perubahan luar biasa cepat terjadi di Indonesia dan melucuti kekuatan Suharto. Hampir tak percaya, beberapa hari sebelum kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di pintu Sudako yang saya tumpangi sepulang kantor di Medan terpampang tulisan-tulisan “Turunkan Soeharto”. 

"Beraninya mereka ya," demikian pendapat saya dan tak menyangka sama sekali, kejatuhan Soeharto hanya beberapa hari sesudahnya.  

Informasi dan pemaknaan informasi memang dituntut bagi seorang pemimpin. Dalam pandangan saya, Soeharto tidak dengan seksama mengikuti langkah-langkah anak buahnya. Akbar Tanjung dan Ginanjar Kartasasmita justru mensponsori 12 menteri untuk menolak duduk dalam kabinet bentukannya atas tuntutan reformasi yang akhirnya gagal dibentuknya.

Harmoko, sebagai Ketua MPR ketika itu, secara terbuka melalui konferensi pers meminta pak Harto mundur dari jabatannya sebagai presiden. 

Walaupun kemudian pembelaan dari Jenderal Wiranto, yang ketika itu menjabat Panglima ABRI muncul kemudian.  Bahkan dia menyelenggarakan konperensi pers tandingan. Wiranto mengumumkan melalui media elektonik dan cetak bahwa pernyataan Ketua MPR itu sifatnya  individual, walaupun disampaikan secara kolektif. Sayapun tidak mengerti apa maksudnya.

**** 

Di sini, Suharto harus diacungi jempol. Melihat dirinya sudah tak memiliki kekuatan lagi mengendalikan situasi, sebuah keputusan yang luar biasa kami saksikan di televisi.  

Dengan langkah pasti dan perhitungan matang, Kamis,  21 Mei 1998 pagi sekitar jam 10.00, melalui media cetak dan elektronik, Suharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden.

Ketika itu kami sedang berada di sebuah desa kira-kira 100 kilometer di sebelah Selatan kota Medan. Habibie yang saat itu menjadi Wakil Presiden  kemudian secara otomatis menggantikannya menjadi Presiden Republik Indonesia. Rasanya ketika itu tak yakin Indonesia akan lebih baik. Entahlah!.  

Pelajaran ke depan, seorang pemimpin perlu berfikir realistis, jangan terus menganggap dirinya besar padahal sudah tidak ada apa-apanya. Tak punya persiapan pengganti, lalu lengser tanpa persiapan. Kepemimpinan ke depan akan rapuh. 


****

Langkah misterius Suharto ini, dan salah satu tuntutan reformasi: adili Soeharto dan kroni-kroninya, tak bisa direspons dengan baik oleh empat presiden selama 10 tahun terakhir ini, hingga saat meninggalnya.

Selama itu pula takaran atas sisi gelap dan terang Suharto kabur, atau mungkin berhasil dikaburkannya. Sebuah strategi yang mantap telah dipersiapkan Suharto untuk menghempang usaha pemimpin sesudahnya mengadili dirinya dan kroni-kroninya, yang ternyata jauh ”dibawah kualitas kepemimpinannya”.

Tak mengherankan sebenarnya. Bagi yang masih ingat strategi Suharto di awal kepemimpinannya, dia sudah teruji dengan baik. Bagaimana hebatnya Suharto pada saat awal kepemimpinannya. Dia bukan presiden, tetapi mampu bertindak sebagai presiden.

Pelan tapi pasti, selama dua tahun dualisme kepemimpinannya dengan Sukarno yang ketika itu masih dicintai rakyatnya, Suharto dapat mengubahnya dengan strategi yang luar biasa jitunya, hingga terbit Supersemar dan dirinya akhirnya menjadi Presiden. 

Jangan-jangan presiden-presiden sesudahnya hanya jabatannya saja presiden tetapi pola pikirnya masih pola pikir prajurit. Mentok dan tak mampu melakukan  terobosan-terobosan strategis, dan banyak menutupi kelemahannya dengan pencitraan-pencitraan, bukan menuntaskan persoalan bangsa yang mendasar.

Empat presiden penggantinya hanya mampu mengutak atik Yayasan yang dipimpinnya dengan hasil yang masih misterius.

Belakangan, malah pemerintah berhasil dipermalukan oleh strategi Suharto yang sungguh-sungguh mempertontonkan betapa tololnya pemerintah sesudah beliau.

Secara hukum, ketika beliau masih sehat walafiat, Suharto dengan sukarela menghadiri pemeriksaan oleh Kejaksaan. Tapi, akhirnya, kesehatan Pak Harto, kemudian menjadi alasan persidangan tidak bisa dilanjutkan dan kemudian dikeluarkan SP-3. Artinya secara pidana hal tersebut sudah selesai. 

Merespons keinginan berbagai pihak untuk menggugatnya secara perdata, pihak kejaksaan kemudian menjeratnya dengan hukum-hukum perdata. 

Langkah inipun, mentok, karena kemudian beliau meninggal. 

**** 

Memang, sama seperti manusia lainnya, Soeharto juga manusia, memiliki sisi terang dan gelap semasa hidupnya.

Sampai sekarang kita tidak bisa memperkirakan korban jiwa maupun kerugian materi akibat kebijakan politik pasca 1965 yang menyebabkan ratusan ribu tewas dan jutaan orang menderita. Korban di Papua, Aceh, Kasus Tanjung Priok dan lain-lain. Kebijakan politiknya membesarkan Golongan Karya sebagai mayoritas tunggal dengan segala fasilitasnya, berbeda dengan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang terkesan di "kebiri". Kebebasan Pers yang dikebiri dengan UU Kode Etik Pers No 12 Tahun 1982. Kasus korupsinya sendiri masih misteri dan tak seorangpun mampu mengungkapnya, apalagi mengadilinya sampai tuntas.

Tentu, sisi terangnyapun patut diapresiasi. Dunia mengakui Suharto telah mampu mengangkat negara ini secara ekonomi. Dari pengimpor beras terbesar, Suharto  pernah mengangkat bangsa ini menjadi swasembada pangan, yang mendapat penghargaan dari FAO. Kalau di awal pemerintahannya, investasi sangat langka, beliau mendatangkan investor dari luar negeri untuk turut berpartisipasi membangun ekonomi negeri ini. Ketimbang sekarang ini, untuk mendatangkan investasi saja tidak mampu. Lihat saja, laju pertumbuhan investasi kita. Suharto  menyediakan jutaan tenaga kerja setiap tahunnya yang mampu menahan laju pengangguran dan kemiskinan di negeri ini.

Penutup

Baiklah kita komit  dalam pemberitaan sesuatu yang baik dan buruk, salah dan benar secara transparan. Barangkali pak Harto menyesal dalam hal kekurang terbukaannya selama ini. Mari kita tidak mengulangi, agar kita jangan menyesal di kemudian hari. Inilah pelajaran yang bisa dipetik dari kematian Suharto.   

Seperti kata  Suryo Paloh di Metro TV, beberapa jam sesudah Suharto tutup usia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.

”Tidak ada manusia yang sempurna, semua memiliki kesalahan,” ujar Suryo Paloh seraya menghimbau seluruh bangsa ini belajar semua kelebihan dan kekurangan para pendahulu kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.  

We can't be as good as we'd want to, so the question then becomes, how do we cope with our own badness?. (Nick Hornby). Kita tidak mampu sebaik yang kita inginkan, lalu pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kita mengatasi keburukan atau kejahatan kita sendiri?

Senin, 03 September 2012

Menulis Masa Kecil Lahir 14 Januari 1961


Oleh: Jannerson Girsang 



Discover your family history
sumber foto: http://www.dayoftheweek.org/?m=January&d=14&y=1961&go=Go



Saya termasuk bernasib mujur. Pasalnya,  hingga melampaui usia 51 tahun ini, ayah dan ibu saya masih sehat walafiat, sehingga bisa mengetahui sekilas kisah kelahiran saya dari saksi pertama.

Pengalaman saya menulis biografi beberapa tokoh, mereka kurang memberikan perhatian atas peristiwa proses kelahirannya sendiri.

Bukan hanya yang sudah uzur, teman-teman seusia saya banyak yang tidak sempat bertanya kepada orang tua mereka soal kelahirannya. Bisa karena tidak tertarik, atau terlambat karena orang tuanya sudah meninggal.   
  
Padahal peristiwa seperti ini cukup menarik untuk dikisahkan. Memang, kelahiran bukan sesuatu yang menentukan masa depan seseorang. Chanakya, seorang guru, ahli filsafat dan penasehat kerajaan di India, yang hidup tiga ratus tahun Sebelum Masehi mengatakan “A man is great by deeds, not by birth”.  

Bagi saya  peristiwa kelahiran terlalu sayang untuk tidak dikisahkan. Kisah itu begitu mengesankan dan saya ingin mengisahkannya, setidaknya sebuah refleksi bagi diri sendiri, dan mungkin bisa jadi pelajaran bagi anak-anak saya. 

“Kelahiran dan kematian adalah pintu lewat  dimana anda lulus dari satu mimpi ke mimpi lain,”  kata Paramhansa Yogandanda.

Dalam berbagai kesempatan, saya mendengar ayah dan ibu bercerita tentang peristiwa kelahiran saya. Merekapun senang menceritakannya, kembali mengingat masa-masa indah menanti seorang buah hati untuk pertama kali. Ada kisah menggembirakan, sekaligus membuat hati terharu.

Anak pertama seperti saya pada umumnya, lahir saat orang tuanya belum mapan. Orang tua baru memulai karier dan belum banyak duit atau mapan. 

Ketika saya lahir, ayah dan ibu saya sendiri masih menumpang di rumah kakek saya. Kedua orangtua saya adalah guru Sekolah Dasar. Mereka lulus Sekolah Guru Bawah (SGB) di era limapuluhan. Usai menyelesaikan sekolahnya, mereka menjadi guru. Ayah saya sudah menjadi guru Sekolah Dasar sejak 1954, dan ibu saya 1957. 

Mereka bukan guru yang memiliki gaji besar. Tidak seperti sekarang, sebagian guru yang memiliki sertifikasi dan menerima insentif.  Mereka sungguh-sungguh guru yang hanya mengabdi, dengan gaji yang sangat kecil. 


Selain mengajar di sekolah yang berjarak 1 kilometer dari desa kami, ibu dan ayah saya juga nyambi ke ladang setelah pulang sekolah. Karena gaji mereka berdua hanya bisa membeli 2 kaleng beras. Waktu itu gaji guru masih rendah. Menurut ibuku, mereka kadang bekerja di ladang yang disewa atau memburuh. (Lebih buruk lagi hingga meletus Pemberontakan G 30 S PKI 1965). .   

“Kami sangat susah ketika itu,”ujar ibu suatu ketika mengenang kehidupan mereka menjelang hari kelahiran saya.
Sejak menikah, Maret 1960, mereka tinggal di rumah kakek saya di desa Nagasaribu, sekitar 100 kilometer ke arah Selatan Kota Medan atau sekitar 70 kilometer dari kota Pematangsiantar. 

Desa Nagasaribu terletak di Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa ini memiliki geografi yang berbukit  dan sebuah jalan utama yang membelah kampung dari  uruk (bagian atas) ke toruan (bagian hilir).

Rumah kakek saya terletak di bagian hilir dan menghadap jalan yang membelah desa tadi. Beberapa puluh meter ke sebelah Timur rumah itu terletak makam Raja Kerajaan Silima Kuta. 

Sebelah Timur diapit satu rumah (milik Nan Salomo Sipayung) dan di sebelah Barat diapit rumah (Nan Saludin Simaringga dan di sebelahnya rumah Jonni Purba). 

Berbentuk rumah petak (dinding papan membatasi setiap rumah dan merupakan batas langsung dengan tetangga),  memiliki satu kamar tidur,ruang tamu dan dapur yang kecil, lebar 5 meter dan panjang 6 meter.
Uniknya, terdapat empat rumah dempet dengan tipe yang sama, berbeda dengan model rumah yang lainnya di desa itu.

Saat itu, semua rumah memiliki kolong dan belum ada rumah yang terbuat dari beton.

Saya belum pernah bertanya mengapa hanya empat rumah itu memiliki model seperti itu. (Pasti ada sejarahnya mengapa empat keluarga membangun satu tipe yang sama, berbeda dengan yang lain. Mudah-mudahan masih bisa ditanyakan ke orang tua saya). 

Keunikan lain, rumah yang terbuat dari kayu dan beratap seng itu memiliki tangga dengan tinggi sekitar dua meter. Tangganya lebih tinggi dari hampir semua rumah di desa itu, kecuali jabu bolon (rumah adat besar) yang ketika itu masih ada beberapa buah.  

(Sayangnya semua rumah itu sudah terbakar pada kebakaran desa Nagasaribu yang menghabiskan separuh desa yang berpenduduk sekitar 200 Kepala Keluarga itu pada 1972).   

Di rumah seperti itulah ayah dan ibu  tinggal bersama kakek saya, dan lima orang adik ayah yang masih anak-anak atau menjelang remaja atau dewasa. 

Adik ayah kedua Lortina baru lulus  Sekolah Dasar dari Perdagangan (28 kilomter dari Pematangsiantar kearah Kabupaten Asahan) dan Arlina  tammat SD dari Nagasaribu. Bismar anak keempat dan Jasman masih duduk  di Sekolah Dasar dan Sarmelina anak paling bungsu masih belum sekolah. 

Kakek saya sudah menduda sejak 1958, dan ayah dan ibulah yang turut bertanggungjawab dalam keluarga besar Meski hidup serba kekurangan, mereka turutmemikul   tanggungjawab yang besar.

Seminggu sebelum ibuku melahirkan, beliau mengambil hak cuti hamil selama tiga bulan. Meski cuti mengajar, alih-alih istirahat, ibuku malah setiap hari ke ladang dari pagi hingga sore, sama seperti kebanyakan profesi penduduk desa itu.

Seperti biasa, sehari sebelum saya lahir, 13 Januari 1961, pagi hari,  ibuku berangkat ke ladang sewaan mereka di Paya (ladang Jasiap Sipayung). Saat itu mereka menanam cabe hijau dan diantara tanaman itu terdapat juga daun sup. Hari itu ibuku menyiangi tanaman liar (gulma) dan pulang ke rumah seperti biasanya jam 5 sore. 

Sesampainya di rumah dari ladang, dalam keadaan hamil tua, ibu mandi dan mengambil air sendiri ke pancuran yang terletak di sebuah lembah berjarak sekitar 200 meter dari rumah. Pulang dari pancuran, tidak langsung beristirahat, tetapi harus  memasak makan malam--dibantu adik-adik ayah, untuk keluarga besar.  

Sesudah makan malam, adik-adik ayah saya yang sudah remaja atau gadis, meninggalkan rumah dan tidur di rumah orang lain atau tetangga. Hanya anak-anak yang masih kecil yang tidur di rumah.
 
Di desa itu, biasanya anak-anak remaja atau dewasa yang rumahnya kecil, menumpang tidur di rumah yang penghuninya sedikit (janda atau keluarga yang anak-anaknya sudah berkeluarga). Pagi-pagi mereka kembali ke rumah masing-masing.   

Alkisah, saat semua penduduk desa sedang tidur nyenyak, ibuku merasakan sesuatu yang aneh dan  sekitar pukul 02 dinihari, ibuku merasakan pengalamannya yang pertama seorang  wanita hamil tua. 


Beliau merasakan pegal di pinggangnya dan perutnya mulas-mulas. "Saya yakin akan segera melahirkan,sakit sekali"ujarnya suatu ketika. Saya terharu bercampur bangga mendengarnya. Terbayang ibuku yang meringis kesakitan dan tentunya bingung karena baru pertama kali mengalaminya.  

Mungkin memiliki instink (atau sudah pernah belajar soal cirri-ciri melahirkan), merasakan sesuatu yang tidak biasa, ibuku memberitahu ayah. Ayah  kemudian memberitahu tetangga kami sebelah Barat (ompung Nan Saludin Simaringga). Beliau kemudian memanggil seorang paraji, Nan Loyar br Payung ke rumahnya di Ruma Parik, kira-kira 300 meter.

Menunggu proses kelahiranku, ibuku ditemani para ibu-ibu yang usianya lebih tua (Nan Saludin, Nan Salomo, Nan Lena, Nan Josep, ompung si Letnan), ayahku dan kakek (ompung) saya sendiri.

Kecuali ayah saya dan inangtua Nan Lena, semua nama-nama ini sudah meninggal. Betapa besar jasa mereka untuk saya.

Tiga jam kemudian, sejak ibu mulai merasakan ciri-ciri mau melahirkan (kontraksi), dengan pertolongan paraji nan Loyar boru Payung, menggunakan peralatan medis yang sangat  sederhana,  berhasil menolong proses kelahiranku.
Bisa dibayangkan, andai kata ada kelainan, pasti saya tidak bisa tertolong. Rumah sakit jauh dan angkutan belum sebaik sekarang. 
Membandingkan proses kelahiran saya dengan beberapa kisah yang pernah saya dengar,  ternyata sedikitnya selangkah lebih maju.
Pengalaman ibunya RE Nanggolan—calon gubernur Sumatera Utara 2013-2018), saat saya menulis biografinya: Haholongon, beliau mengaku pernah melahirkan sendiri beberapa anaknya, dan memotong-ari-ari sendiri. Ngeri ah!.
 
Yang lebih ngeri lagi, di abad modern sekarang ini, Ines Ramirez, seorang penduduk yang hidup di pedesaan Mexico, menjadi satu-satunya wanita yang diketahui melakukan operasi caesar sendiri pada proses melahirkan anaknya, tengah malam 5 Maret 2000. Saat itu, paraji (midwife)  terdekat berjarak 50 mil (80 km) dari rumahnya. Sementara, suaminya sedang berada di kantin dan tidak ada telepon untuk menghubunginya. Karena waktunya sudah tiba, Inez Ramirez melakukan operasi sesar sendiri. (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/In%C3%A9s_Ram%C3%ADrez). 
Akh tak bisa kubayangkan, kalau saya lahir seperti itu. Syukur kepada Tuhan, proses kelahiran saya berjalan normal. Saya menghirup udara luar untuk pertama kalinya, 14 Januari 1961, sekitar pukul lima pagi. 

Kata ibuku saya lahir sehat dan gemuk. Ayah dan ibuku, termasuk kakekku bangga punya anak pertama atau cucu pertama yang sehat. 

(Aku belum banyak bertanya tentang hal-hal menarik lainnya. Saya berdoa agar ayahku panjang umur dan masih ada waktu bertanya). 

Penduduk desa kami dan di Simalungun pada umumnya, memiliki pemahaman waktu kelahiran dengan makna yang berkaitan dengan masa depan anak itu. Saya lahir menjelang mata hari terbit, mereka menyebutnya "gok hudon” (periuk yang penuh, artinya rezeki melimpah).

Dalam Kalender Jawa kelahiran saya adalah  26 Rejeb 1892, Setu Kliwon dan Kalender Islam  26 Rajab 1380 H. 

Saya memiliki bintang Capricorn. Dalam astrologi, Capricorn dianggap sebagai tanda introvert, tanda bumi, dan salah satu dari empat tanda kardinal. Capricorn kadang-kadang digambarkan sebagai kambing laut. Alasan untuk ini tidak diketahui, tetapi citra kambing laut kembali setidaknya ke masanya Babel. Kata sebuah lagu: Sederhana tapi pendendam. Entahlah!. 

Di kemudian hari, saya mengetahui bahwa 14 Januari  1961 adalah hari kelahiran Pramuka di Indonesia, kelahiran Robert Edwin Hall, seorang pengusaha dan pendaki gunung (meninggal pada 1996 di Mount Everest) dan seorang penyanyi  Denmark, Mike Tramp. 

(Ibu dan ayah saya masih hidup berbahagia menikmati masa-masa pensiun mereka berdua di desa. yang berada di ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut itu. Keduanya  sudah berusia 75 tahun dan kemanapun mereka pergi selalu berdua, ke ladang  atau berkunjung ke rumah saya di Medan, ayah saya masih mampu menyetir mobil kijangnya buatan 1987).

Kisah perjuangan dan tantangan yang mereka hadapi menjelang kelahiran saya senantiasa membuat saya tegar menghadapi berbagai masalah. Ayah dan ibu saya menjadi inspirasi.


"Your birth is a mistake you'll spend your whole life trying to correct," demikian kata Chuck Palahniuk, seorang penulis novel dan penuls bebas berkebangsaan Amerika. 

Cobalah gali peristiwa kelahiran Anda. Peristiwa kelahiran di atas, bila dilengkapi dengan sejarah dan berbagai peristiwa menarik saat itu akan menghasilkan kisah yang setidaknya menginspirasi diri sendiri.  


In Memoriam Neil Alden Armstrong (5 Agustus 1930-26 Agustus 2012) 
Orang Pertama Mendarat di Bulan


Oleh: Jannerson Girsang


Minggu, 26 Agustus 2012 yang lalu, orang yang pertama menginjakkan kakinya di bulan, telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Neil Amstrong—nama lengkapnya  Neil Alden Armstrong, telah menginspirasi para pelajar dari berbagai generasi di seluruh dunia selama empat puluh tahun terakhir.  

The New York Times mengutip keluarganya mengatakan dalam sebuah pernyataan, penyebab kematiannya adalah  “complications resulting from cardiovascular procedures.”. Dia menjalani operasi bypass jantung bulan ini di Cincinnati, dekat tempat tinggalnya. Pemulihan sudah berjalan dengan baik, menurut orang-orang yang berbicara dengan dia setelah operasi. Kematiannya mengejutkan bagi banyak orang dekatnya, termasuk sesama astronot Apollo. Media di dalam negeri  dan luar negeri di seluruh dunia meliput kematian Neil Amstrong, orang pertama menginjakkan kaki di bulan, 20 Juli 1969..

Memutar Memori ke Belakang

Membaca media tentang kematian Neil Amstrong, memutar memori ke belakang 43 tahun yang lalu, 20 Juli 1969 adalah saat penulis masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar di kampung Nagasaribu, sekitar 100 kilometer kearah Selatan kota Medan.

Pergi dan pulang sekolah masih kaki ayam melintasi jalan berbatu, belum aspal.Belum mengenal pakaian seragam. Belum memiliki televisi, baru radio transistor 2 Band. Sepeda motorpun belum punya, baru memiliki sepeda ondel. Harian Sinar Indonesia Barupun belum lahir ketika itu.

Ayah saya bercerita peristiwa besar itu setelah mendengar Radio Malaysia, Kuala Lumpur yang ketika itu terdengar lebih terang dari radio-radio lainnya. Bahkan ketika itu, penduduk desa kami paling ada satu atau dua orang yang pernah naik pesawat.  Begitu jauhnya perbedaan kampung saya denan Amerika Serikat.

Sebuah  perstiwa besar terjadi di Amerika Serikat. Mereka berhasil mendaratkan Apollo 11 di bulan. Selama ribuan tahun mimpi menginjakkan kaki di bulan hanya terungkap dalam dongeng dan nyanyian.

Gambar dan Nama Neil  Armstrong yang memakai baju luar angkasa di samping pesawat laur angkasa sangat popular bagi para pelajar karena kemudian menghiasi buku buku-buku pelajaran Fisika atau ilmu Bumi. Dia  menjadi orang yang istimewa dan mengisnpirasi miliaran orang di dunia ini.

“Dengan mengembangkan teknologi, manusia mampu mewujudkan hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin, tetapi dengan teknologi, semuanya menjadi  mungkin”itulah petuah guru kami, saat mengajar di depan kelas.

Lahir di Perladangan, Mencintai Aeronautika

Menurut situs harian The Post and Courier, http://www.postandcourier.com, Armstrong dilahirkan pada 5 Agustus 1930, di sebuah perladangan dekat Wapakoneta di sebelah Barat Ohio, Amerika Serikat. Dia terbang pertama kali pada usia 6 tahun dan ketertarikannya pada penerbangan bertumbung, yang mendorongnya membangun model pesawat dan melakukan eksperimen di terowongan angin buatan sendiri.

Di masa kecilnya, Neil Armstrong bekerja di sebuah farmasi dan belajar mata pelajaran penerbangan. Dia memiliki izin terbang pada usia 16 tahun, sebelum memperoleh surat izin mengemudi. .

Armstrong memasuki Purdue University di negaranya dalam bidang teknik aeronautika (aeronautical engineering),pada 1947. Di sekolah tinggi dia unggul dalam ilmu pengetahuan dan matematika serta memenangkan beasiswa US Navy di Purdue University di Indiana, mendaftar pada tahun 1947. Dia meninggalkan kuliahnya, saat berusia 19 tahun, setelah dua tahun menjadi pilot Angkatan Laut, dan menerbangkan misi tempur di Perang Korea dan memenangkan tiga medali. Dia bertugas di Angkatan Laut (Navy)  pada 1949 dan menerbangkan 78 kali missi pasukan di Korea.

Sesudah perang, Armstrong menyelesaikan sarjananya dari Purdue University, kemudian memperoleh gelar master aerospace engineering dari University of Southern California.

Dia menjalani tes pilot  di lembaga yang kemudian berkembang berkembang menjadi National Aeronautics and Space Administration (NASA), menerbangkan lebih dari 200 jenis pesawat dari glider sampai jet. Dia bergabung dengan program astronot pada 1962. Kemudian, Neil Amstring terpilih menjadi komandan Apolli 11, missi pendaratan di bulan berawak yang pertama.

James Hansen, penulis "Orang Pertama: Kehidupan Neil Armstrong" mengatakan, "Hidupnya adalah tentang terbang. Hidupnya tentang menerbangkan pesawat," kata Hansen, kepada CBS, seperti dikutip situs http://www.france24.com. .

Neil Armstrong: Mewujudkan Pidato Visioner Jhon F Kennedy

Peristiwa bersejarah itu diawali dengan peluncuran pesawat Apollo 11  oleh  Roket Saturn V  dari  Launch Complex 39A di Pusat Ruang Angkasa Kennedy di  Florida. pukul  9:32 pagi tanggal 16 Juli, 1969. 

Di dalam pesawat terdapat Neil Armstrong yang menjadi komandan pesawat ruang angkasa itu. Di lapangan  pusat ruang angkasa itu, lebih dari 3.000 wartawan, 7.000 pejabat, dan sekitar setengah juta wisatawan menonton kesempatan penting ini.

20 Juli 1969, saat memasuki usia 39 tahun, Neil berhasil mendaratkan Apollo 11 di bulan, setelah menempuh jarak 380 ribu kilometer dalam waktu 3 hari , 3 jam dan 49 menit.  Sesaat setelah mendarat,para astronot menerima telepon dari Presiden Richard Nixon. 

"Halo, Neil dan Buzz saya berbicara dengan Anda melalui telepon dari Ruang Oval di Gedung Putih.. Dan ini pasti menjadi telepon paling bersejarah yang pernah dibuat. Saya hanya bisa memberitahu Anda bagaimana bangganya kami dari apa yang telah Anda lakukan ".

Pentingnya dukungan pejabat tertinggi Negara atas sebuah prestasi besar warganya yang  menciptakan sejarah baru yang sangat spektakuler bagi Amerika Serikat dan bagi umat manusia.

Setelah mendarat, Neil memimpin missi menginjakkkan  kaki di bulan, mengambil sample batuan bulan dan menancapkan bendera negaranya di sana, dan kembali ke bumi dan mendarat di Samudera Pasifik, sebelah barat daya Hawaii, hanya 13 mil laut dari USS Tawon yang dipersiapkan menjemput mereka.

Setibanya di bumi, mereka disambut sebagai pahlawan. Mereka diterima Presiden Nixon dan dihadiahi ticker-tape parade. Neil Armstrong telah mencapai apa yang pria selama ribuan tahun hanya dalam mimpi- berjalan di bulan.

Merunut ke belakang beberapa tahun, missi Apollo 11 berhasil mewujudkan mimpi Presiden John F Kennedy dan mimpi umat manusia, yang selama beribu tahun hanya berani berangan-angan ke bulan.  Mimpi John F Kennedy terinspirasi oleh ketertinggalan Negara itu, setelah Uni Soviet meluncurkan Sputnik 1 pada 4 Oktober 1957.

Rasa ketertinggalan itu terungkap ke permukaan oleh seorang pemimpin tertinggi negeri itu dalam sebuah pidato empat tahun kemudian.  25 Mei 1961, Presiden John F. Kennedy memberi inspirasi dan harapan kepada rakyat Amerika dalam pidatonya di Kongres. "Saya percaya bahwa sebelum dekade ini berakhir bangsa ini harus memiliki komitmen untuk mencapai tujuan, pendaratan manusia di bulan dan kembali dengan selamat ke bumi”

Mimpi besar terwujud, hanya delapan tahun kemudian. Apollo 11 yang dikomandoi Neil Armstrong, diluncurkan dari Launch Complex 39A,  Pusat Pengendalian Ruang Angkasa Kennedy di Florida, dan mendarat di bulan 20 Juli 1961, melakukan pengumpulan sample batuan, mencapkan bendera Amerika Serikat, serta kembali dengan selamat di bumi pada 24 Juli tahun yang sama. .

Peristiwa empat puluh tiga tahun yang lalu itu, adalah titik balik kehidupan Nei Armstrong yang mnginspirasi dunia sepanjang masa, dimana perkembangan teknologi, keberanian  dan kecermatan untuk menerapkannya memungkinkan manusia mencapai hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.  Singkatnya, pengembangan dan penguasan teknologi mengubah dunia.    

Missi Apollo 11 ke bulan, ternyata menjadi penerbangan ruang angkasa terakhir bagi Armstrong. Tahun berikutnya dia diangkat menjadi wakil administrator asosiasi NASA untuk aeronautika di kantor penelitian lanjutan dan teknologi.

Penutup

Mengutip ucapan Neil Armstrong setelah menjadi orang pertama menginjakkan kaki di bulan, Neil Amstrong mengatakan: “Ini adalah satu langkah kecil bagi seorang laki-laki, tetapi langkah raksasa bagi umat manusia. That’s one small step for man, one giant leap for mankind,” kata Armstrong.

Tentu kita tidak mampu membuat Apollo 11 yang besar itu.  Bangsa ini mampu membuat langkah-langkah kecil yang terarah. Mimpi besar melalui langkah kecil tetapi terarah akan menjadi langkah raksasa, bila menjadi dasar atau hal baru bagi umat manusia di dunia

Salah satu kunci keberhasilan Apolo 11 ada di tangan Neil Amstrong. Dia adalah  komandan missi itu. Di belakang semuanya itu, tentu banyak pihak yang terlibat. Misalnya Lembaga Antariksa Amerika (NASA) melakukan studi, merancang pesawat serta berbagai studi lainnya.

Bangsa Indonesia mesti sadar akan ketertinggalannya dari bangsa lain, menyikapinya melalui instrospeksi diri dan membuat mimpi untuk mengejar ketertinggalan itu. Tapi, bukan sekedar mimpi kosong yang dilontarkan dalam kampanye.

Mimpi besar seorang pejabat, seperti John F Kennedy  mampu dijabarkan secara operasional. Melakukan identifikasi ketersediaan orang-orang, menguji teknologi yang dibutuhkan, serta mengembangkan organisasi yang kuat dan dinamis.

Selamat jalan Neil Amstrong dan semoga jejak Anda semasa hidup dapat menyadarkan kami semua bahwa penguasaan teknologi yang lebih modern akan membuat bangsa kami lebih maju. Kami akan belajar untuk tidak hanya asyik mengejar kekuasaan, membicarakan poliik, tetapi juga mengembangkan teknologi.

Kami mengakui tidak mampu mengulangi jejakmu, tetapi akan terinspirasi oleh keberanian serta dedikasimu untuk bangsa dan negaramu.

Note: Artikel ini diterbitkan pertama kali dalam blog ini dan belumditerbitkan di media manapun.

[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan
Catatan Kecil tentang Kathryn Stockett Penulis Novel The Help

Lima Tahun Menulis Novel, Enam Puluh Kali Ditolak

Oleh: Jannerson Girsang

Kisah penulisan, penerbitan sebuah buku dan penulisnya sendiri selalu memberi inspirasi tersendiri. Kisah Kathryn Stockett, yang menulis  novel The Help tidak kalah menariknya. 

Dia menulis novel itu selama lima tahun dan enam puluh kali ditolak penerbit. Padahal, The Help! kemudian menjadi sebuah novel yang menjadi best seller dunia. 

Saya tertarik dengan kisah ini, setelah membaca sepintas melalui internet. Hingga pertengahan Mei 2012 lalu, saya melintasi sebuah toko buku di Bandara Soekarno Hatta Jakarta saat menuju ruang tunggu penumpang menuju Medan.

Memasuki toko itu dan saya berharap menemukan buku yang dicari. Toko buku yang terletak di bandara internasional itu, menjual berbagai buku baik yang terbitan Indonesia maupun luar negeri.

Saya mendekati seorang penjaga toko dan menanyakan 
buku yang akan saya cari. The Help.  Saya senang, karena penjualnya sangat paham buku itu dan langsung membawa saya ke sebuah rak. Kalau selama itu, saya hanya melihat gambarnya di dunia maya, saat itu melihat pertama kali secara langsung buku novel The Help.

Senangnya saya ketika itu. “Inilah hasil karya yang ditulis selama lima tahun dan mendapat penolakan sebanyak enam puluh kali,”. Buku yang sudah diperbincangkan di berbagai media penting dunia, kini sudah ditangan saya. Saya membolak balik dan serasa bertemu penulisnya Kathry Stockett. Penulis  yang cantik, cerdas dan peka terhadap kehidupan orang kecil.

Saya menemukan tiga tipe cetakan buku  itu. Saya memilih yang harganya $ 7,99 (saya membarnya Rp 80 ribu). Website penerbit The Help (www.penguin.com), menawarkan buku itu dengan harga menurut kualitas bukunya.  Paperback: $16.00, Paperback: $16.00, Hardcover: $24.95, eBook - Adobe reader: $9.99, eBook - ePub eBook: $9.99. 

Tentu, lebih mahal dari novel “Amang Parsiunan” karya Lucya Chriz, penulis Sumut yang produktif yang harganya Cuma Rp 25.000. Terbersit kerinduan karyanya penulis Sumut dipajang di Toko Buku bergengsi itu. Begitu juga novel Pincalang—novel best seller yang akan segera terbit ulang yang ditulis Idris Pasaribu, sastrawan asal Sumut.  

Karena waktu keberangkatan masih tersisa sekitar 2 jam, saya memiliki banyak waktu untuk membaca buku yang baru dibeli. Saya memiliki waktu cukup untuk menikmati setidaknya pengantar dan daftar isi Novel The HELP.

Singgah dan ngopi sebentar di sebuah kafe bebas rokok—di sebelah kanan jalan menunju ruang tunggu pesawat. Sambil menikmati minuman dan snack, saya membaca The Help. Novel yang begitu gencar ditulis dan dibicarakan di berbagai media dunia. Hari itu, saya belum sempat membaca seluruh isi novel itu.

Lima Tahun Menulis Novel  

Saya mengamati dengan seksama buku berwarna dasar kuning setebal 464 halaman tersebut. Kagum juga karena penulisnya Kathryn Stockett, dengan novel pertamanya langsung mendapat gelar best selier di negeri Paman Sam itu.

Saya teringat Andrea Hirata yang juga sukses saat meluncurkan novel pertamanya, Lasykar Pelangi. 

Kathryn Stockett, dari pengalamannya di masa anak-anak di sekitarnya, menulis novel  dengan menarik dan mempengaruhi banyak orang di jagat raya ini.  Sebuah pelajaran berharga bagi setiap penulis. Peristiwa di sekitar kita tidak boleh dilewatkan begitu saja. Mungkin itu salah satu keanehan dunia yang bisa menyumbangkan peradaban besar.

Kathryin yang lulusan Bahasa Inggeris dan Menulis Kreatif dari Universitas Alabama adalah seorang penulis yang memiliki cita-cita tinggi dan memutuskan menulis sebuah  buku kehidupan. Dia memilih sebuah sudut pandang berbeda dari sebelumnya.

Novel ini menceritakan  pengalaman hidup seorang pembantu Afro-Amerika  yang bekerja pada keluarga kulit putih, dan kesulitan yang mereka lalui  setiap hari. Kathryn menulisnya secara rinci dan sangat menyentuh.

Tokoh utamanya adalah Aibileen Clark, pembantu rumah tangga kulit  hitam yang menghabiskan hidupnya membesarkan anak-anak kulit putih. Kehidupan seorang pembantu kulit hitam adalah suara umat manusia yang penuh dengan aturan-aturan yang tidak manusiawi.

Proses penulisannya memakan waktu selama lima tahun. Lima tahun tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menulis dan menulis. Bayangkan, dalam selang waktu tersebut, seorang lulusan SMA di Indonesia sudah menyelesaikan S1 (Strata 1).

Ditolak 60 Kali

Kesulitan Kathryn dalam mewujudkan idenya untuk bisa dibaca banyak orang ternyata memiliki kisah menarik.

Setelah selesai menulis novelnya, Kathryn mengaku ditolak penerbit sampai enampuluh kali. Tidak banyak penulis seperti Kathryn. Satu atau dua tahun saja sudah menyerah.  Menulis membutuhkan kesegaran pikiran, tenaga, biaya yang dikeluarkan, serta kesempatan lain yang hilang. Bisa dibayangkan kalau waktu lima tahun menulis dan buku dtiolak sampai enam puluh kali.

Sampai dirinya menemukan  Susan Ramer, seorang agen sastra (litetary agent) dan bersedia mewakili Stockett.  

Artinya, kalau setiap bulan dia menghadap penerbit, maka selama lima tahun mungkin Kathryn hanya menerima hadiah setiap bulan: “Maaf Novel Anda Kami Tolak”.

Ketika Andrea Hirata—penulis Tetralogi Lasykar Pelangi mengalami penolakan beberapa kali dari penerbit, saya sendiri langsung merasa “kok ya..tulisan yang bagus ditolak?”. Demikian juga  JK Rowling, penulis kisah terkenal Harry Potter pernah ditolak penerbit sampai lima belas kali.

Wawancara Katrhyn Stockett dengan mediaonline milik The Book Whispherer yang diposting  pada 11 June, 2010 lalu, menyebutkan bahwa novel The Help mengalami penolakan dari penerbit sebanyak 60 kali.

Katrhyin Sotckett adalah penulis yang tegar dan pantang menyerah. “Tidak ada yang mengatakan saya berhenti. Saya terus berjuang sampai seseorang mengatakan ya!,” ujarnya. Luar biasa!.

Menyumbang Ide Besar dan Membesarkan Banyak Orang

Sampai Agustus 2011, novel  The Help sudah terjual sebanak lima juta kopi dan bertengger selama lebih dari 100 minggu masuk dalam daftar best seller di  The New York Times. Bayangkan kalau komisi untuk penulis sebesar 10% saja, Anda bisa menghitung pendapatan Kathryn dari novel pertamanya The Help.   

Nama Kahtryn yang sebelumnya hanya seorang tidak dikenal dalam dunia tulis menulis diAmerika, tiba-tiba meroket tak terhempang, bagai panah menuju sasaran.

Media-media di Amerika menyambutnya dengan hangat. Sebuah artikel di  USA Today menyebutnya sebagai "summer sleeper hits" 2009. Tinjauan sebelumnya di  The New York Times mencatat Stockett's sebagai berikut: “kasih sayang dan keintiman terkubur di bawah bahkan hubungan rumah tangga yang tampaknya paling impersonal" dan mengatakan buku tersebut adalah sebuah "tombol-pendorong, segera menjadi novel baru yang sangat populer". Atlanta Journal-Constitution mengomentari The Help, "Kisah memilukan ini adalah debut yang menakjubkan dari orang yang berbakat ".

Kehidupan orang kecil, seorang pembantu kulit hitam ternyata begitu menarik bagi publik termasuk industri perfiliman. Para pengusaha film tertarik Selain mengangkat kehidupan di Missisippi era 60-an.

The Help diangkat ke layar perak pada 2011. Bintang-bintang film terkenal Amerika Serikat turut membintangi film itu dan menghadiahi mereka penghargaan dan menaikkan rangking mereka dalam bisnis perfiliman.

Pada Januari 2012, film The Help menerima empat penghargaan dalam Academy Award ke 84, 12 Pebruari (2012 lalu, serta penghargaan-penghargaan lainnya. Salah satu bintang yakni Viola Davis (pemeran  Aibileen Clark, seorang pembantu rumah tangga kulit hitam dan tokoh utama dalam novel The Help menjadi nominasi The Best Actress dan memberi hadiah bagi Olivia Spencer sebagai The Best Supporting Actress 12 Pebruari 2012.

Kathryn Stockett—kelahiran Missisippi 1969, memberi pelajaran bagi para penulis soal kesabaran, kerja sama, dan kegigihan mewujudkan sebuah ide. Lima tahun bersakit-sakit, lantas menerima hasil keringatnya, sebuah berkat yang luar biasa.

Melalui kehidupan seorang pembantu kulit hitam, Kathryn telah menyumbangkan kepada dunia soal hubungan sesama manusia, menyatukan dunia.

Penutup

Kisah sederhana yang menginspirasi di sekitar kita jangan diabaikan. Mungkin akan berdampak besar. Dibutuhkan penulis-penulis dengan kepekaan tinggi, ketulusan, kejujuran, kesabaran, ketekunan dan kegigihan untuk merekam dan mengemasnya dengan menjadi tulisan yang menarik dan berbobot.   

Membaca The Help yang terbit pertama kali pada 2009  dan sudah diterbitkan di 35 negara dan dalam tiga bahasa, menjadi pelajaran berharga dan mengiinspirasi kita, para penulis dan penerbit. Pengalaman Kathryn Stockett mengajarkan kita pentingnya kesabaran dan kegigihan menulis sebuah buku dan menunggu hingga sebuah karya diterbitkan secara meluas.

Penilaian penerbit atas sebuah karya tidak selalu tepat. Jadi jangan berkecil hati kalau sebuah penerbit menolak karya-karya anda. The Help membuktikannya. Setelah 59 penerbit mengatakan tidak (bermutu), ternyata penerbit ke-60 menjadikan buku itu best seller.

Maukah Anda menulis sebuah buku yang menginspirasi selama lima tahun terus menerus?. Sabarkah Anda menerima perlakukan penerbit yang menolak anda sebanyak enam puluh kali?. Mungkin lima tahun lagi Anda akan seperti Kathryn Stokett!.     

Dimuat di Harian Analisa, Halaman 9, Rubrik Rebana,  Minggu 9 September 2012. (Direvisi, 10 September 2012).

Penulis Biografi, Tinggal di Medan