My 500 Words

Kamis, 14 Maret 2013

Renungan Akhir Tahun 2012 Akhiri Pemimpin Andalkan Uang dan Koneksi


Oleh: Jannerson Girsang

Renungan akhir tahun 2012 adalah isu mencari pemimpin yang memiliki integritas dan bersih, untuk mengakhiri munculnya pemimpin yang hanya mengandalkan uang dan koneksi. Kemenangan Jokowi dan Ahok menjadi Gubernur DKI, dipandang sebagai sebuah fenomena masyarakat sedang mencari pemimpin politik generasi baru, punya figur kuat dan berintegritas
Masyarakat sudah punya bosan menyaksikan dampak "money politics" dan koneksi-koneksian yang memunculkan korupsi sudah mencapai titik jenuh. Demikian pendapat beberapa pengamat.   

Sejujurnya, bangsa ini merindukan pemimpin bebas money politics dan ingin mengembalikannya pada kelahiran para pemimpin bangsa masa lalu. Mencari pemimpin yang merasakan dan mampu menyuarakan jeritan kesengsaraan rakyatnya terjajah oleh para koruptor bangsanya sendiri. 

Meminjam slogan  Andrewongso: "Bosan Kita Menderita Saatnya Bangun Indonesia", setidaknya menginspirasi bangsa ini dalam tiga hal yakni visi kesatuan, semangat anak muda dan komitmen mencapai visi.

2012: Korupsi Meluas dan Membesar
 
Masyarakat adil dan makmur, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, ternyata masih jauh panggang dari api. Pemimpin yang tidak berintegritas telah menjerumuskan bangsa dengan korupsinya yang kian membesar.

Masih segar dalam ingatan kita pidato Presiden SBY di sidang bersama DPR dan DPD RI di gedung DPR Senayan, 16 Agustus 2012. "Harus kita akui pula, dominasi tindak pidana korupsi cenderung meluas dan membesar ke daerah-daerah, mulai dari rekrutmen pegawai di kalangan birokrasi, proses pengadaan barang dan jasa, hingga di sejumlah pelayanan publik. Modusnya pun beragam, mulai dari yang sederhana berupa suap dan gratifikasi, hingga yang paling kompleks dan mengarah pada tindak pidana pencucian uang".

Bahkan, semakin parahnya korupsi, menurut Yudhoyono, sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan. Artinya, kecenderungan meluasnya korupsi, sebagaimana dipaparkan SBY, akan cenderung menambah para elit kita terjerumus dalam korupsi.

Secara kasat mata, kita bisa saksikan seorang pejabat yang korup, baru saja terpilih, namun sebelum jabatannya berakhir, sudah mendekam di penjara.  Ada kisah pejabat yang korup dan masih di penjara, masih berani mencalonkan istrinya menggantikan dirinya. Kekuasaan menjadi dewa penyelamat, mempengaruhi semua sendi pemerintahan dan perekonomian dengan tujuan mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Memimpin bangsa seolah tidak lagi memerlukan integritas dan bersih dari korupsi. Baru-baru ini sebuah media menampilkan di headline seorang tokoh sambil nyanyi menyelipkan uang ke tangan para penonton (padahal sebelum naik panggung dirinya menyebut anti korupsi), sementara calon pemimpin lain ada yang membagi sembako, meski tidak ada bencana atau kelaparan. Mereka seolah mencuri pekerjaan Dinas Sosial.

Bahkan yang diperbesar adalah keyakinan bahwa tidak ada uang tidak didukung partai besar, tidak mungkin menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota, bahkan anggota perlemen sekalipun. Kalau itu terus berlanjut, maka kita setiap periode hanya akan menyaksikan pemerintahan yang mengabaikan jalan-jalan yang dibiarkan rusak, harga-harga produk pertanian yang dikuasai para mafia dan tengkulak.

Para elit sibuk mengumpul uang, tak peduli legal atau illegal. Fokusnya hanya melanggengkan kekuasaan. Negeri ini akan bertabur gambar pejabat, meski tidak musim kampanye. Kepala-kepala dinas, pejabat pemerintah memasang gambar-gambar mereka di setiap sudut jalan untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat-meski programnya berjalan tak menyentuh rakyat. Sesudah jadi gubernur, mungkin bisa mencalon jadi anggota DPR, atau presiden, layaknya Pangeran Sihanouk yang berkuasa lebih dari 60 tahun. 

Generasi Baru Politikus 
 
Seorang pemimpin bangsa ini adalah mereka yang lahir dari pengalaman buruk bangsa yang terpecah-pecah dan akhirnya mudah dikuasai penjajah.  Kelahirannya dibakar semangat untuk merdeka dan mendirikan sebuah negara yang rakyatnya berdaulat, adil dan makmur.  

Budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam mediaonline www.vivanews.com (20 Oktober 2012) mengatakan, tokoh-tokoh politik yang selama ini hanya mengandalkan uang dan koneksi, akan segera berakhir masanya. "Karena kucinya bukan pada adu duit, tapi pada faktor figur dan integritas," kata Ridwan di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 20 Oktober 2012. 

Situs The New York Times menulis :  "Di negara di mana politikus sering kali berasal dari elite yang terkait atau memiliki hubungan dengan mendiang Presiden Soeharto dan militer, Joko, dikenal dengan julukan Jokowi, muncul mewakili generasi baru politikus." Saatnya Sumpah Pemuda menggaungkan bahwa generasi baru politikus Indonesia mampu melahirkan pemimpin yang memiliki integritas dan bersih dan hanya pemimpin seperti itulah yang bisa mengemban semangat Sumpah Pemuda 1928.

Fenomena Jokowi dan Ahok membuktikan bahwa pemimpin yang memiliki  integritas dan bersih memang sedang dicari. Jokowi, seorang eksportir furnitur yang masuk politik untuk pertama kali tahun 2005, yang secara luas dianggap bersih dan mampu memimpin ibu kota di negeri  yang kental aroma korupsinya dan keberhasilannya menata Solo.

Pengalaman 2012 kiranya mendorong semangat generasi muda, generasi politik baru sudah lahir dan perlu dikembang biakkan. Saatnya mengakhiri pemimpin yang mengandalkan uang dan koneksi dan menggantikannya dengan pemimpin yang memiliki integritas dan bersih.

Penulis adalah seorang kolumnis
Dimuat di Rubrik Wacana, Harian Medan Bisnis, Sabtu, 22 Des 2012

Inspirasi untuk Pasangan Calon Gubsu Siapkan Plan Menang dan Kalah



Oleh: Jannerson Girsang.

Berbagai media melaporkan bahwa menjadi calon yang kalah dalam pilkada akan menghadapi sebuah situasi yang bisa mengundang gangguan keseimbangan fisik dan mental. Bayangkan, sebanyak 11.215 orang memperebutkan 560 kursi DPR dan 1.109 orang bersaing mendapatkan 132 kursi Dewan Perwakilan Daerah. 5 pasangan Calon Gubernur Sumatera Utara bersaing menjadi pemenang. Empat pasangan akan kalah, padahal miliaran rupiah sudah ditabur.
Pesta demokrasi memang mahal dan setiap calon harus mengantisipasi dirinya berpeluang kalah dan memiliki rencana kalah (paling tidak dalam hati atau di dalam lingkungkan kecil internal tim). Pilgubsu 7 Maret 2013 mendatang, kisah ini mungkin bisa menginspirasi para pasangan Calon Gubernur Sumatera Utara pentingnya memiliki plan B, yakni rencana kalah sesudah pesta demokrasi Pilgubsu berakhir.

Artikel ini terinspirasi dari pengalaman penerbangan dari Jakarta ke Medan awal bulan Desember lalu. Saya begitu terkesima membaca Cerpen berjudul "Akhir Sebuah Pesta" karya Jemy Confido, yang dimuat di majalah perusahaan pesawat yang saya tumpangi. Kebetulan, saya baru saja menikahkan putri saya dan kisahnya benar-benar menyentuh diri saya sendiri.

Rasa penyesalan usai pesta. Mengeluarkan uang demikian banyak untuk sesuatu kehormatan sesaat. Rasa itu bisa menghinggapi Anda, para calon gubernur, dan juga para pembaca dalam kasus yang berbeda. Tentu tidak untuk menakut-nakuti, tapi hanya mengingatkan.

Berikut kisahnya..

Alkisah, Pak Tua baru saja melaksanakan pesta yang menghabiskan kerbau, lembu miliknya, uang yang tidak sedikit dan kelelahan anggota keluarga yang dikerahkan mensukseskan pesta. Pestanyapun luar biasa. Bayangkan, perencanaannyapun memakan waktu setahun.

Pesta berlangsung meriah. Pak Tua mendapat pujian dan sanjungan. Dia menjadi orang nomor satu, "Raja Sehari" atau orang terhormat di mata 1000 undangannya. Pengorbanan yang begitu besar, berubah menjadi kebahagiaan dalam beberapa jam.

Rasa bahagia itu kemudian berangsur surut ke sore harinya. Satu demi satu undangan pulang. Hanya tersisa Pak Tua bersama istrinya, serta beberapa petugas kebersihan gedung tempatnya berpesta. . Mengambil tempat di sebuah pojok, Pak Tua merenung.

Teringat habis sudah ternak dan lembu. Belum lagi sepenggal tanah yang sempat digadai lima ratus ribu. Ditambah sisa-sisa hutang yang harus dibayar dan mungkin Pak Tua tidak mampu. Semua hanya untuk tujuan satu, menyelenggarakan pesta paling meriah untuk sang putri bungsu.

Pak Tua terlalu bernafsu, demikian kisah di Cerpen itu menilai. Pesta itu dijadikan alasan untuk menjadi orang nomor satu, mimpi bagai raja dan ratu. Keterbatasan kemampuan ekonomi tertutup oleh gengsi dan malu.

Sementara, keadaan keluarga yang akan semakin morat marit tidak dipandang perlu. Bagaimana anak menantu akan mendapat nafkah masih belum tentu. Satu atap saja dirasa sudah cukup walau harus tidur di kursi tamu.

Sedihnya, "Pak Tua sadar bahwa dirinya bukan orang nomor satu. Dia hanya salah satu pengguna gedung itu. Dari tempat ia berdiri, lelaki tua dan istrinya terlihat tertawa penuh keinginan menderu. Tiba-tiba saja Pak Tua seperti melihat dirinya sendiri berbulan yang lalu. Dan ingin rasanya memundurkan waktu untuk mengubah keputusannya kala itu".

Ada penyesalan diakhir pesta!.

Hanya Satu Pasangan Pemenang

Pesta demokrasi Pilgubsu akan berlangsung tiga bulan lagi. Lima pasangan calon Gubernur Sumatera Utara akan mengundang para pemilih yang masuk di Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dirinya. Untuk menarik perhatian para pemilihnya, para calon sudah mengadakan berbagai pesta dalam masa kampanye bahkan jauh sebelum masa kampanye. Menghabiskan miliaran rupiah, menyedot waktu, tenaga ribuan relawan dan tim suksesnya.

Semua calon pasti memiliki mimpi. Sederhananya, mimpinya bisa membayangkan suasana beberapa saat setelah pemilihan berlangsung. Quick count (hitung cepat) mengumumkan dirinya sebagai pemenang dan tampil bersemangat. Sang calon akan menyapa wartawan dengan senyum sumringah. Bersama pasangannya, dia saling memuji dan menjawab wartawan dengan ramah. Ingin seperti pasangan Jokowi dan Ahok ketika diumumkan menang dalam Pilkada Gubernur DKI. Dielu-elukan masyarakat sebagai pemenang.

Selain itu, sang calon mungkin juga membayangkan dirinya memasuki ruangan DPRD yang megah. Disaksikan anak dan istri, dan sebagian keluarganya yang duduk di bangku terhormat di ruang sidang. Televisi menayangkan peristiwa bersejarah itu melalui siaran langsung. Pasanan yang gagah dengan seragam gubernur dan wakil gubernur berwarna putih, tampil di depan pesawat televisi dan disaksikan jutaan pemirsa.

Terbayang suara hiruk pikuk para pendukungnya. Media meliput, menyiarkan atau menerbitkan acara pelantikan tersebut dengan foto berwarna, gambar-gambar yang menarik, komentar-komentar yang menyanjung dan kiat-kiat sukses kampanye.

Tak perlu sibuk lagi memikirkan biaya kampanye, karena sudah rahasia umum, pemenang akan menjadi sang raja dan ratu yang memiliki banyak pendukung yang sudi membantu melunasinya kelak. Baru kemudian akan mewujudkan cita-cita yang tertuang dalam program-program yang dijanjikannya di masa kampanye. Membuat perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih baik!

Tapi jangan salah. Yang menikmati itu hanya satu pasangan saja. Sekali lagi, satu pasangan saja. Pasalnya, Undang-undang menetapkan hanya satu pasang pemenang, tidak mungkin dua atau tiga pasang.

Bagaimana dengan 4 pasangan lainnya?. Mereka akan mengalami pengalaman para calon gubernur yang kalah. Mereka akan mengalami pengalaman Foke misalnya. Media akan memberitakan mereka dengan berita yang kadang menyakitkan. Lihat saja judul berita kekalahan Foke. "Fauzi Bowo: Kokong Kalah, Ini Saat Menyedihkan", "Mengapa Foke-Nara Kalah", bahkan berita yang membenarkan prediksi yang tidak masuk akal. "Adik Ipar Sudah Prediksi Foke Bakal Kalah"

Miliki Plan Kalah

Fakta menunjukkan bahwa suara rakyat susah diprediksi dan para calon hendaknya tidak lantas percaya seratus persen perkiraan survey, sebelum mengujinya dengan baik. Walau hasil survey penting untuk perencanaan kampanye pencitraan. Pengalaman kesalahan prediksi survey sudah terjadi di DKI dan beberapa Pilkada di provinsi Sumatera Utara. Petugas survey juga manusia kok!.

Tidak ada yang jamin lolos. Pasti menang. Suara nurani rakyat yang sangat dinamis itulah yang menentukan di tempat pemungutan suara. Selain percaya hasil survey, para calon tetaplah tawakkal, berdoa kepada Tuhan. Jangan gegabah.

Tim sukses boleh membantu tetapi bukan segalanya. Para calon harus benar-benar mengenal para anggota tim sukses dan para pembisiknya. Tetap waspada kata-kata "beres bos", "suara sudah untuk kita semua". "tenang sajalah", "siram bos". Kata-kata itu mengandung makna udang di balik batu. Kata-kata sanjungan dan Anda harus menyaringnya sebelum mengambil keputusan setuju. Tim sukses akan menasehatkan Anda, pasti menang, kalau sarannya diikuti. Tapi itu belum tentu sarannya benar. Gunakan juga nurani dan pertimbangan Anda.

Setiap pasangan calon gubernur mestinya memiliki Plan A menang dan Plan B kalah. Boleh optimis, tetapi tidak boleh bersikap gegabah: pasti menang. Setiap orang harus memiliki dalam hati kecil posisi "kalah". Dari awal, seluruh tim sukses dan relawan harus memperhitungkannya. Kalau tidak, maka di akhir "pesta" kemungkinan akan terjadi kesedihan yang luar biasa.

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang bupati yang kalah di sebuah provinsi di Jawa Timur mencoba bunuh diri. Mantan pengusaha itu mengalami gangguan jiwa karena kalah dalam pilihan bupati Ponorogo 2 tahun lalu dan terlilit hutang sebesar 3 milyar rupiah. Mirip dengan Pak Tua, uang dan harta ludes. Simaklah sebuah artikel berjudul: Rumah Sakit Khusus untuk Pasien Gila Kalah Pilkada di Palembang" yang diposting 30 Nopember 2012 lalu.

"Sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Selatan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai tahun 2012 dan 2013. Dalam pertarungan tersebut banyak hal yang harus dicurahkan, tak hanya materi tapi juga pikiran dan fisik. Bila gagal pada sebagian individu yang tidak resisten akan beresiko mengalami gangguan keseimbangan dalam fisik dan mentalnya". (http://www.obornews.com). Bahkan Rumah Sakit Jiwa khususpun sudah disiapkan. Doa kita semua, semoga tidak satupun calon Gubernur yang kalah menjadi pasiennya. ,

Menjadi calon gubernur, sebagai sebuah pengabdian, bukan pengorbanan. Kalau kalah tetap menjadi pemenang, dan bukan orang-orang yang korban. Kuncinya, Anda menerima kekalahan kalau terjadi dan memiliki plan B, yakni rencana kalau Anda kalah. Rencana ini akan sangat membantu Anda terhindar dari rasa kecewa.

Pasangan bersama tim suksesnya harus mendefinsikan rencana kalah sejak awal. Walau ini kedengarannya "konyol". Rencana kalah dari Romney, kandidat Presiden yang kalah di Amerika Serikat baru-baru ini adalah bersedia bekerja sama dengan pemenang Obama.

Ini yang harus dimiliki seorang pemimpin. Tim sukses dan relawan tidak lantas terbuang begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dalam pelaksanaan demokrasi dan harus mendapat tempat yang layak, meskipun timnya kalah.

Kalah bukan berarti Tamat!***

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa,  Jumat, 21 Sep 2012


Belajar dari Pilkada DKI (Harian Analisa, 21 September 2012).


Oleh : Jannerson Girsang.

Pilkada DKI berlangsung aman dan memberikan pelajaran berhara bagi Indonesia. Pasangan Jokowi dan Ahok memenangi pertarungan dan Pasangan Fauzi Wibowo dan Nahrowi memberi kita teladan yang perlu dipedomani.

20 September 2012 warga DKI Jakarta sudah menentukan gubernurnya periode lima tahun ke depan. Beradasarkan Quick Count (perhitungan cepat), dari Indobarometer , 54.11 persen bagi Jokowi-Ahok dan 45.89 persen bagi Foke-Nara. (Metro TV pukul 16.44). Hasil yang tidak terlalu berbeda juga dihasilkan berbagai berbagai lembaga survey lainnya yang diumumkan di berbagai media.

Kemenangan berdasarkan hitung cepat ini, (meski masih melalui proses hingga pengumuman oleh KPUD DKI yang diperkirakan akhir September 2012), membuyarkan ambisi Foke-Nara yang secara sesumbar sebelum Pilkada DKI 11 Juli 2012 lalu, mengatakan mampu memenangkan Pilkada DKI dengan satu putaran.

Fauzi Wibowo sendiri dalam wawancaranya dengan sebuah stasion televisi beberapa saat sesudah hasil quick count diumumkan, mengakui pelaksanaan Pilkada DKI menjadi barometer dan teladan di seluruh tanah Air.

Pasangan ini pantas diacungi jempol karena meski dalam kampanye sebelumnya, suasana layaknya seperti "perang", tetapi ketika pemenang sudah diumumkan, setiap orang menerima kekalahannya dan memaknai kemenangan sebagai kemenangan bersama.

Pilkada DKI merupakan pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya bagi mereka yang ingin menjadi calon gubernur di Sumatera Utara, yang akan menuju Pilgubsu Maret 2013 mendatang.

Melirik Pilkada dari Siaran Langsung Televisi

Perkembangan teknologi dan metoda survey quick count sekarang ini, memungkinkan rakyat di sleuruh Indonesia mampu mengikuti Pilkada Gubernur DKI secara langsung. Daerah yang melaksanakan Pilkadanyapun tak sembarang. Pilkada DKI, ibu kota Negara, barometer penting dalam Pilkada -pilkada Gubernur di 33 Gubernur di seluruh Indonesia.

Itulah yang mendorong kami membagikan pengalaman berharga ini untuk pembaca. Sayang sekali rasanya kalau rekaman dan analisis singkat ini dilewatkan begitu saja. Menyaksikan Pilkada DKI yang baru saja berlangsung, tidak hanya sekedar hiburan kayak nonton lawakan, tetapi memberi sensasi dan member pelajaran penting.

Pagi, 20 September, sudah mulai rasa ingin tau itu muncul, layaknya penyakit internet addiction, yang rasanya tidak plong kalau tidak melihat internet. Rasanya tidak plong kalau tidak mengikuti hasil akhir.

Tapi saya berfikir, seandainya tidak ada televisi, maka semua kisah yang saya tulis ini tidak akan dapat Anda nikmati. Saat-saat seperti ini televisi menjadi media yan tak ternilai harganya. Dua stasiun televisi berita Metro TV dan TVOne, menjadi andalan sumber informasi, baik secara langsung maupun hasil rekaman di lapangan. Bersykurlah kita memiliki televisi, rakyat kecil seperti saya, bisa berkisah pelajaran besar

Sekitar pukul satu sore setelah mengikuti televisi sejak pukul 10.00 pagi, suara mulai masuk ke perhitungan Quick Count. Perbandingan suara peroleh antar calonpun tampak. Sejak awal, memang pasangan Jokowi-Ahok sudah unggul.

Beberapa menit kemudian, angkanya sudah muncul. Jokowi-Ahok unggul 58.98%: 41.02 Persen. Tapi itu baru dari satu TPS, dari 15.059 TPS di DKI Jakarta. Menit-demi menit, televisi memunculkan, hasil quick count, komentar-komentar dana ulasan para pengamat, yang membuat angka-angka yang dimunculkan terasa lebih hidup.

Sensasi denyut perkembangan penghitungan quick count membuat kami dan berjuta-jiuta penduduk tidak merasa rugi membuang waktu berjam-jam. Rasa ingin tau terus menaik. Beberapa menit kemudian, suara masuk 12 persen perolehan suara 54 koma sekian.

Hasil Quick Count membuat sensasi sambil menunggu respons para petarung. Itulah hal yang penting kami kisahkan disini. Mengapa, karena miskinnya budaya mengakui kekalahan di negeri ini. Buktinya masih sering munculkan konflik usai pengumuman hasil Pilkada di berbagai daerah.

Setiap menyaksikan pengumuman hasil Pemilihan (Pemilu, Pilkada) muncul rasa was-was. Tidak ada seorangpun yang mampu menjamin siapa yang menang. Jujur saja, ada rasa was-was siapapun yang menang bisa jadi menimbulkan masalah, karena sebelumnya melalui prioses kampanye yang sempat "memanaskan" suasana politik di Jakarta.

Pemimpin yang Menenangkan

Hati lega, karena ketka suara yang masuk ke Quick Count mencapai 75%, Metro TV menyiarkan suara Jokowi melalui telepon. Jokowi mengatakan bahwa Foke sudah meneleponnya dan mengucapkan selamat.

Jiwa besar dan sportivitas para petarung terlihat dalam Pilkada DKI. Melalui televisi pemirsa televisi dapat mengikuti penuturan Jokowi bahwa Fauzi Wibowo sekitar jam 15.00, saat suara quick count masih 75 persen dengan perolehan suara 54 koma sekian untuk Joowi.

"Jam tiga beliau menelepon memberikan ucapan selamat. Ini bentuk kenegawaranan Mas Wibowo. Saya juga minta maaf, ada yang kurang berkenan, merepotkan dan menyindir. Saya juga mohon dibantu mengenai informasi. Mas Wibowolah senior saya, saya menghargai beliau," kata Jokowi dengan nada datar. Luar biasa kalau kita mengingat saat mereka berkampanye yang penuh dengan intrik dan bahkan saling menjatuhkan.

Pemimpinlah yang menenangkan, pemimpin pulalah yang bisa membuat rusuh.

Jokowi dan Fauzi Wibowo adalah pemimpin yang sejati hari ini. Mereka telah mempertontonkan keteladanan yang pantas ditiru.

Keyakinan Fauzi terhadap Qick Count dan kecanggihan teknologi pantas dijadikan teladan yang perlu ditiru para elit kita. Tidak lagi berfikir macam-macam atas hasil teknologi dan metode penghitungan ilmiah. Tidak percaya lagi wangsit atau hal-hal gaib, atau curiga.

Simaklah apa yang dikatakan Fauzi, ketika dia mengetahui hasil Qick Count. "Quick cunt adalah metode ilmiah yang digunakan dimana saja, patut kita respek. Hasil quick count inipun kami respek dengan baik. Oleh karena itu sambil menunggu proses penghitungan final oleh KPU, kami menyampaikan penghargaan kepada pasangan no 3 sebagai pemenang. Tentu saya mengucapkan selamat, kiranya amanah warga Jakarta dapat dilaksanakan dengan baik. Setiap kompteisi harus ada yang menang dan kalah, Yang terpilih dan tidak terpilih"ujar Fauzi Wibowo dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta.

Kedua pemimpin telah mempertontonkan bagaimana sebuah proses demokrasi berjalan dengan aman dan tertib. Sebuah pelajaran berharga menonton Pilkada DKI di televisi.

Pelajaran Lain dari Pilkada DKI

Pilkada DKI menjadi barometer penting bagi Pilkada-Pilkada Gubernur di seluruh Indonesia, termasuk di Sumatera Utara.

Seorang Jokowi, barangkali jutaan rakyat Indonesia sama dengan saya, baru mengenalnya dari mobil SMK yang gagal lolos uji emisi karena di atas ambang batas. yang ditetapkan Kementerian Lingkungan, 1 Maret lalu. (tempo.co.id).

Pantas, kalau lembaga-lembaga survey di Jakarta tersesat memperhitungkan potensinya. Jokowi di putaran perama Pilkada DKI melampaui prediksi sejumlah lembaga survei, kandindat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowo Widodo alias Jokowi dan pasangannya Basuki Tjahaya alias Ahok berhasil mengungguli incumbent (petahana) Fauzi Bowo alias Foke-Nachrowi Ramli (Nara) dalam Pemilukada DKI yang berlangsung Rabu, 11 Juli 2012.

Sebelumnya, survei dari Jaringan Suara Indonesia menyatakan 49,6 persen warga Jakarta bakal memilih pasangan Foke-Nara dalam pemilukada DKI 2012. Sedangkan Lingkaran Survei Indonesia pada 1 Juli lalu menyatakan dari 450 respondennya sebanyak 43,7 persen bakal memilih cagub incumbent.

Bahkan Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Tjipta Lesmana, seperti dikutip Kompas.com, 6 Juli 2012 memperkirakan 90 persen Fauzi Bowo akan menang lagi. Alasannya dia incumbent, memiliki banyak kelebihan dan keuntungan. Foke bisa menggerakkan birokrasi, pendidikan, dan juga negara.

Berbagai pelajaran penting kita petik dari kemenangan Jokowi dalam Pilkada DKI 20 September 2012.

Pertama, membangun basis politik. "Belajar dari kasus pilkada Jakarta dan beberapa daerah lainya di Indonesia, sudah waktu nya setiap tokoh politik atau mereka yang ingin terjun menjadi kandidat kepala daerah mulai serius untuk membangun basis politik dengan jalan merebut hati rakyat. Antara lain dengan mendatangi pemilih secara langsung dari kampung ke kampung, tentu saja didukung track record yang bersih, " seperti dikutip dari Tribune News.

Kisah pengalaman bersama rakyat di Solo dan Belitung Timur begitu menarik masyarakat DKI Jakarta. Jokowi dan Ahok, diyakini penduduk Jakarta mampu menerapkan hal-hal yang mereka pernah mereka perbuat di tengah-tengah masyarakat dan menjadi teladan, dari kota kecil di Belitung Timur dan kota kecil di Solo.

Meskipun hal itu banyak diremehkan para saingannya untuk diterapkan di DKI. Jokowi adalah salah seorang Walikota terbaik di tingkat dunia, dia mendorong produk anak-anak muda di Solo yakni mobil SMK, serta berbagai prestasinya yang cocok bagi harapan penduduk DKI untuk merubahnya ke arah lebih baik. Dia memiliki sesuatu yang bisa dilihat hasilnya. Bukan hanya "akan berbuat ini,akan berbuat itu"

Masa kampanye selama berbulan-bulan, mereka membangun basis politik dan mengambil hati rakyat dengan cara-cara yang elegan. Kita bisa melihat Jokowi dan Ahok berhasil mengkomunikasikan dengan baik melalui jaringannya (partai, relawan dll), menarik perhartian pemilihnya, dan meyakinkan mereka.

Intinya adalah mereka mampu meyakinkan rakyat, bahwa apa yang pernah mereka perbuat, akan membawa pemilihnya menjadi lebih baik.

Kedua. Dukungan partai politik yang besar, belum tentu mencerminkan dukungan rakyat.dalam Pilkada Gubernur. Partai PDI-Perjuangan dan Gerindra adalah partai mintoritas pendukung Jokowi. Dukungan partai yang memiliki mayoritas suara pada Pemilu lalu, bukan merupakan jaminan mereka menang mendukung Foke-Nara.

Soliditas partai pendukung, tulah yang paling penting. Tak lama sesudah acara quick count dimulai, Megawati Soekarno Putri memberi komentar: "Pada putaran pertama soliditas partai baik, dengan menggunakan mesin partai akan mudah, ditambah tokohnya tepat--menjadi bagian dari masyarakat, maka dari pengalaman saya, bisa menang," .

Ketiga. Pidato kemenangan sederhana yang disampaikan Jokowi adalah teladan berharga bagi seorang pemenang. . "Saya menghimbau kepada seluruh pendukung saya tidak usah konvoi, hura-hura. Semuanya syukuran di lingkungan masing-masing dengan kerendahan hati kita masing-masing. Kalau tiba saatnya dan sudah dilantik mari kita bersama-sama mewujudkan Jakarta yang lebih baik"

Semoga kemenangan Jokowi memberi pelajaran bagi Indonesia, khususnya Sumatera Utara dan kita mendoakan semoga Jakarta di bawah Jokowi menjadi Jakarta yang baru: bersatu dan semakin sejahtera.

Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, 21 September 2012.