My 500 Words

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (2)

 (Sambungan dari bagian 1) 

Oleh: Ir Jannerson Girsang

“Bu, bapak lagi maragat (mengambil air nira dari pohon enau),” kata Sarioto kepada Ibunya, kala ibunya sedang memasak makan malam.

Setelah kegiatan memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.

Hari sudah mulai gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.

Baru melangkah ke bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir,  hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak lobang. Lalu  tangannya terlepas karena beban air nira yang cukup berat.

Malam senyap dan suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun bebas ke tanah.

“Ras………..,” bunyi tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.

Di rumah gubuknya, Sarioto dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.

Malam itu memang berbeda dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan  bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.

Ibunya curiga sudah terjadi sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar rumah  menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).

Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya belum pulang dari “pargulaan” (tempat memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu memukul mong-mong dan berkeliling desa.

“Mong….mong….mong,”bunyi pukulan mong-mong--sejenis alat gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki berkumpul di depan kedai. 

Seluruh penduduk kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua pemuda kampung dan beberapa orang tua  ditugaskan mencari ayah Sarioto.

Puluhan pemuda dan orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.

Setibanya di tempat itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki bertubuh kekar itu.

Satu regu menemukan ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.

“Tubuh manusia!,”teriaknya kaget.

“Apa….?,” kata yang lain terkejut.

Setelah seseorang mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah Sarioto.

Tubuhnya tergeletak di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.

Beberapa laki-laki mengusungnya ke pargulaon dan di sana mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.

Seluruh penduduk kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah Sarioto.

Tinggallah Sarioto yang masih kecil bersama ibunya.

Merindukan Makanan Enak

Setelah ayahnya meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.

Penghasilan ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.

Sarioto tumbuh menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya, ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika ayahnya masih hidup.

Semasa  hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya  sering  berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan lain-lain.

Ayahnya juga  memasangsiding (perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini, burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar  ladang di desa tempat tinggal Sarioto

Sarioto sangat senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa menikmati  daging sepuasnya.

Sebagian daging tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet  selama beberapa hari. Daging seperti ini disebut sale-sale dan rasanya sangat nikmat.

Sehingga berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.

Kini menjelang usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain.  Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat sedikit imbalan.

Dia sering disuruh ibunya membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang  kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.

Ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk Sarioto.

Sarapan ubi jalar, makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.

Sarioto sangat merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.

Sarioto tinggal di sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.

Jarak itu ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa penduduk  pergi ke tiga yang berjalan kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali melintasi hutan.

Penduduk desa yang status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.

Sarioto hanya diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia diperbolehkan ikut ke tiga  ketika menjelang  robu-robu (atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari tigadia dibelikan ibunya sarung atau baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 
 



Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (1)


Oleh: Ir Jannerson Girsang*)

Pengantar

Semasa kecil di era enampuluhan, kisah Sarioto berkali-kali dikisahkan oleh ibu saya seorang guru Sekolah Dasar. Begitu melekatnya kisah ini, hingga puluhan tahun kemudian, saya masih bisa mengisahkannya kepada anak-anak, termasuk kepada pembaca sekalian. 

Kisah ini merupakan penceritaan ulang kisah ibu saya yang memotivasi dan membimbing anak-anaknya melalui berbagai cerita. 

Di masa kecil, anak-anak saya senang mendengar kisah ini dan hingga mereka sudah dewasa dan ada yang menikah, sekali-sekali ingin saya mengisahkannya kembali. Saya menuliskannya untuk turut membantu membentuk karakter anak melalui cerita.  

Alkisah, dahulu kala hiduplah sepasang suami istri dan anak semata wayang mereka bernama Sarioto. Mereka hidup di sebuah desa yang jauh di pedalaman.

Sebagai pendatang ke desa itu, mereka tidak memiliki sebidang tanahpun. Meski keluarga itu miskin, awalnya kehidupan keluarga ini sangat harmonis.

Hingga suatu hari, ayah Sarioto terjatuh dari pohon enau dan meninggal di tempat. Sepeninggal ayahnya, kehidupan Sarioto bersama ibunya makin melarat. Terbatasnya makanan yang bisa disediakan ibunya membuat Sarioto tumbuh menjadi anak yang rakus.

Sarioto melanggar aturan ibunya yang membatasinya makan lauk: “hanya boleh memakan sepotong ikan”. Dia menghabiskan persediaan ikan seminggu, satu periuk tanah ikan dan ibunya menghukumnya: memukul kepala Sarioto hingga menjadi kera. 

Ibunya menjadi sebatang kara dalam dalam penyesalan.

Jangan melanggar aturan ibu dan orang tua tidak boleh memukul anak-anaknya sembarangan. Sebuah pesan yang tentunya masih relevan dengan kehidupan masa kini.

Miskin  Tapi Harmonis

Rumah Sarioto layaknya sebuah gubuk, terletak di bibir sebuah lembah sungai di pinggiran desa Sebuah pohon beringin yang lebat, seolah melindungi rumahnya dari panas matahari, dan membuat rumahnya lembab, karena tidak kena sinar matahari.

Banyak penduduk desa meletakkan sesajen di antara akar-akar pohon. Sesekali, Sarioto mencuri-curi makanan yang ditinggal pemuja pohon itu dan memakannya. Biasanya buah-buahan atau daging ayam yang lezat.  

Rumah itu  beratap ijuk, dengan dinding tepas dan berlantai tanah. Tidak ada batas ruang dapur, ruang tamu, atau ruang tidur. Rumah berukuran 4x5 meter persegi itu memiliki tataring (tungku memasak), para-para tempat menyimpan garam, ikan atau makanan lainnya, dan mengeringkan kayu api untuk memasak.

Sehari-hari, ayah Sarioto bekerja sebagai seorang partalun (penderes enau) dan ibunya adalah seorang pangomo (buruh tani).

Setiap hari, pagi-pagi sekali ayah Sarioto berangkat dari rumah menuju pargulaon  (gubuk tempat mengolah nira menjadi tuak atau gula merah), yang terletak di tengah hutan, sekitar 2 kilometer dari desa itu. 

Di gubuk itulah ayah Sarioto mengolah hasil sadapan nira menjadi tuak atau gula merah.Disanalah tempatnya beristirahat setelah selesai menyadap air nira dan mengolahnya menjadi tuak atau gula merah.

Setiap sore, ayahnya membawa beberapa botol tuak dan  dijual kepada pemilik kedai di kampungnya.Ayahnya juga turut menikmati tuak yang dijualnya sebagai mana sebagian besar laki-laki dewasa di desa itu.

Hasil masakan sebagian nira sadapannya dicetak berbentuk  gula merah (berbentuk segi empat), dan dijual ke pekan mingguan yang berjarak sekitar 7 kilometer dari desanya.

Sementara itu, ibunya bekerja memburuh di ladang orang.Penghasilan ibunya hanya sekitar satu atau dua kaleng beras dalam sebulan.Ibunya juga memungut sisa-sisa buah jagung, atau ubi yang tidak sempat dipanen pemilik ladang.

Hidup mereka boleh dikatakan hanya mampu mencukupi makan sehari-hari serta sandang seadanya.Meski mereka hidup sangat sederhana namun keluarga ini sangat harmonis.

Pulang dari ladang, wajah Sarioto diselimuti debu tanah hingga tampak seperti topeng.Itu sering menjadi tertawaan ayahnya di rumah.Lalu menyuruhnya mandi atau sekedar cuci muka.

Sarioto juga dihibur ibunya dengan menyanyikan lagu-lagu untuk Sarioto.“Besar tidak muat di rumah dan tambah tinggi sampai setinggi atap rumah”.

Sepulang bekerja, ayahnya sering bercerita tentang kisah-kisah yang menarik dan Sarioto dengan tekun mendengarkannya.Cerita ayahnya biasanya berhenti setelah Sarioto tertidur.

Sebuah Malapetaka

Hingga suatu ketika, keluarga ini ditimpa mala petaka.Sore itu, ayah Sarioto sendirian sedang berada di gubuknya menunggu redanya hujan deras yang turun sejak siang hari.

Setelah menunggu beberapa lama, ayahnya memutuskan untuk menyadap nira dari enaunya meski hujan masih rintik-rintik.

Seperti biasa dia mengangkat handi-handinya (tempat menampung air nira hasil sadapan dari pohon enau, terbuat dari bambu besar sepanjang lebih kurang  1 meter), digunakan sebagai tempat tuak hasil sadapan dari pohon enau) dan bergerak menuju pohon enau yang akan disadapnya. Pohon itu  hanya berjarak beberapa puluh  meter dari gubuk itu.

Jalan yang dilaluinya berlumpur dan licin, bahkan dia hampir saja jatuh karena kakinya terpeleset. Untungnya dia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Dia memandang pohon enau dan  tangga bambu yang menjulang puluhan meter ke atas. Tangga itu dibuatnya sendiri. Pada setiap ruas bamboo, dia membuat lobang segi empat untuk tempat kakinya bertumpu. Tangga itu diikatkan ke pohon enau agar kokoh.

Ayah Sarioto bersiap-siap memanjat. Dia mengeratkan ikat pinggangnya dan merapikan handi-handinya. Karena diguyur hujan, badannya kedinginan, tubuhnya menggigil. Tetapi dia tetap bersemangat. alu, dia menancapkan kakinya di tangga pertama.

Kakinya menyentuh tangga kedua dan tanggannya hampir lepas pegangan. Dia semakin hati-hati melangkah.

“Aduh.Licin sekali,”keluhnya dalam hati.

Meski tangganya licin karena digury hujan, dia berhasil memanjat hingga ke puncak, tempat cabang enau yang menghasilkan nira.

Resiko apapun yang menimpanya, ayah Sarioto harus mencapai puncak untuk mengambil air nira yang sudah berada di dalam handi-handi. Kalau tidak, maka nira akan rusak dan dia tidak bisa menghasilkan uang untuk membeli makanan keluarganya.

Di puncak, hati ayah Sarioto dliputi rasa senang karena hasil air niranya penuh, bahkan  sebagian sudah tumpah dari handi-handinya. Dia memindahkan handi-handi yang sudah meluap itu ke cabang lain dan mengikatnya di gantungan. Lantas, dia  mengganti handi-handi kosong yang diusungnya dari bawah dan menggantungkannya dekat aliran air nira.

Meski di tengah hujan rintik-rintik, dia harus memukul-mukul batang di sekitar cabang yang menghasilkan nira dengan sepotong kayu. Beberapa kali selama beberapa menit, sebagai syarat agar air nira tetap mengalir.

Konon, dengan memukul-mukul batang dan cabang yang menghasilkan air nira, maka air nira yang dihasilkan makin banyak dan bagus kualitasnya.Itulah menurut keyakinan dan pengetahuan mereka di desa itu.

Bunyi pukulan kayu dengan batang enau itu memecah kesunyian di sekeliling hutan, dan terdengar hingga ke desanya. Orang-orang desa yang mandi di pancuran atau sedang beristirahat di perbukitan kampung mendengarnya, termasuk ibu Sarioto dan Sarioto sendiri. (Bersambung ke bagian 2)

*)Penulis Biografi, Tinggal di Medan

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Sedang dalam proses menuju sebuah buku kecil, cerita rakyat. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut. Saya menyimpan di blog ini untuk menghindari virus di komputer dan kerusakan file. Silakan menikmatinya dan membeli bukunya kalau sudah terbit).

Minggu, 06 Oktober 2013

TIGA TAHUN NIAS-BANGKIT (2010-2013)




NBC, Pembawa Obor Bagi Pulau Nias



Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ

Oleh: Jannerson Girsang
NBC — Sebuah rasa kaget ketika saya menerima telepon dari Tony F. Jans, Pemimpin Umum Nias Bangkit Com (NBC), beberapa hari setelah Yayasan Delasiga meluncurkan media online ini secara resmi, 5 Oktober 2010. Saya kemudian membuka www.nias-bangkit.com. Membaca beberapa berita dan artikel di dalamnya, membuka pikiran saya, sesuatu yang baru untuk Nias. Singkat cerita, saya kemudian menyumbangkan tulisan dan membagikan pengalaman saya di NBC, meski hanya aktif selama beberapa bulan saja.

Merasa Asing di Negeri Sendiri

Saya memiliki pengalaman yang sangat mengesankan di pedalaman Nias. Artikel pertama saya di NBC adalah “Merasa Asing di Negeri Sendiri”. Sebuah pengalaman mendalam tentang pulau ini. Di pedalaman Nias, saya harus menggunakan penerjemah untuk memahami bahasa bangsa saya sendiri, karena mereka tidak tahu berbahasa Indonesia. Kurang gizi dan kehidupan yang sulit adalah realitas yang tidak sukar ditemukan di pedalaman Nias.

Bersama dengan rekan saya yang bukan orang Nias di NBC, merasa berhutang melihat kondisi penduduk pulau ini, sejak menginjakkan kaki untuk pertama kali pada 2004, menjadi manajer sebuah NGO dalam penanganan gempa dan tsunami dari 2005-2006.

Selain menulis, saya kemudian ditugaskan untuk membina beberapa wartawan dan selama tiga bulan belajar bersama dengan saudara-saudaraku di sana di antaranya Onlyhu Ndraha, Nitema Mendrõfa, Ketjel Zagõtõ, dan beberapa orang lainnya.

Bersama-sama di lapangan, kami menulis tentang budaya, alam dan perkembangan ekonomi Nias untuk mengimbangi berita-berita politik dan korupsi yang kadang menutup potensi wisata, budaya dan ekonomi pulau itu ke dunia luar.

Ide dan Cita-cita

Saya yakin, kondisi atau realitas pulau Nias menjadi bagian keprihatinan NBC. Dorongan nafas idealisme dan cita-cita yang kuat, NBC hadir mengembangkan pulau Nias melalui pemberitaan, memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan Nias dan membina kerja sama.
Saya teringat ungkapan Jakob Oetama ketika menulis 50 Tahun Kompas Gramedia. “Small in the making”, sebuah ungkapan yang menggambarkan cita-cita bahkan mimpi para perintis dan pendiri NBC tiga tahun yang lalu. Bukan dengan proyek-proyek besar, tetapi hanya sebuah media online dengan program-program pencerahan yang lain. Para perintis dan pendiri NBC berangkat tidak hanya dengan modal uang, tetapi dengan ide dan cita-cita.

NBC telah menciptakan sebuah era baru pemberitaan online di pulau yang luluh lantah akibat tsunami Desember 2004 dan gempa berkekuatan 8.3 skala richter pada Maret 2005. Tidak banyak media online yang dengan berkesinambungan membina para reporternya di lapangan untuk memberitakan realitas dari pulau Nias.

Lebih jauh, NBC bukan sekedar membuat berita, tetapi juga mensponsori berbagai kegiataan mencerdaskan masyarakat Nias, serta promosi pulau itu ke dunia luar.

NBC Membangkitkan Nias

NBC hadir dan relevan dengan kondisi Nias.  “Kehadiran NBC ini dimaksudkan agar realitas social dan budaya bahkan aspek ekonomi, pariwisata, politik, hukum, dan di kepulauan Nias bias terekam dan menjadi mudah diketahui oleh siapa pun yang membutuhkan,” seperti terungkap dalam halaman depan media ini.

Selama tiga tahun, NBC telah menyebarkan dan bertukar informasi tentang kepulauan Nias dengan masyarakat Nias dan masyarakat luar sebagai subyek pemberdayaan.

Kehadiran NBC telah menjangkau secara luas komponen masyarakat, baik perseorangan, komunitas, maupun institusi, untuk terlibat dalam proses pemberdayaan masyarakat Nias. Media ini juga telah dan terus secara berkesinambungan membina hubungan baik dengan lembaga dan organisasi lain untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat tersebut.

Menyebut contoh saja di mana saya turut terlibat adalah Pagelaran Budaya Bawomataluo yang cukuip spektaluker yang diselenggarakan di desa Budaya Megalitik Bawomataluo selama tiga hari, 13-15 Maret 2011.  Pagelaran seperti ini, menurut saya, sangat memberi nilai positif bagi dunia luar untuk mengenal dan mencintai budaya Nias yang begitu khas dan turut memperkaya budaya dunia ini.

Dalam tahun itu juga, media ini juga menggelar sebuah seminar di Gunungsitoli. Kegiatan lain adalah lomba menulis, kerjasama NBC dengan Taman Bacaan Kandang Boekoe dan Indonesia Corruption Watch (ICW), bertema “Korupsi Memiskinkan Bangsa” dengan hadiah total sebesar Rp 22.750.000. Saat itu, saya turut menjadi salah seorang juri bersama dua teman lainnya dari Tempo dan ICW.

Sesudah 2011, saya tidak banyak lagi terlibat di www.nias-bangkit.com. Sesekali saya mengunjungi website media ini dan menyaksikan perkembangan terus menerus. NBC tidak pernah absen memberitakan realitas pulau Nias, sejak berdiri tiga tahun lalu. Sebuah prestasi media di masa sekarang ini yang perlu mendapat acungan jempol.

NBC ke Depan

Ke depan NBC harus berbenah dalam mempersiapkan para reporternya agar mampu menciptakan regenerasi di bidang keredaksian. Majalah besar adalah bila memikirkan regenerasi yang berkesinambungan.

Belajar dari semangat dan kerelaan berkerja di mana senior mempersiapkan juniornya seperti pengalaman Majalah Budaya Horison yang sudah mencapai usianya ke-47 tahun ini. Sebuah pekerjaan rumah besar bagi NBC ke depan.

Sampai sekarang salah satu dari pendiri majalah ini, Taufiq Ismail, aktif membina majalah Horison. Kini jajaran redaksi Majalah Horison terus bersemangat dengan regenerasi yang mantap. Pemimpin Redaksinya Jamal D Rahman, kelahiran Lenteng Timur Sumenep Madura, 14 Desember 1967, mampu bekerja bersama-sama denganTaufik Ismail, kelahiran Bukit Tinggi, 25 Juni 1935.

Mengutip penyataan Jakob Oetama dalam 50 Tahun Kompas Gramedia. “Kami bahu-membahu, memperkaya dan mengembangkan etos dan etika itu, mentransfernya sebagai budaya korporat. Budaya itu terus diperkaya, dipraktikkan, dan dirumuskan menjadi kerangka dan pedoman kerja. Muaranya plus-minus ikut serta mengambil bagian dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Jiwa dasarnya Indonesia Kecil, kemanusiaan yang beriman, demi kemaslahatan manusia dan kemanusiaan. Jiwa dasar itu menjadi tali pengikat, roh, sumber referensi yang penerjemahannya senantiasa disesuaikan dan diperkaya oleh kondisi dan perkembangan zaman; diturunkan dalam perilaku jujur, bekerja tuntas, tegas tetapi punya hati.”

NBC hendaknya menjadi media online dengan struktur organisasi yang mantap, memberitakan muatan local dan berdampak global, membawa pulau Nias memahami dirinya dan mampu membuat dirinya unggul mengisi abad 21.

NBC harus belajar dari pengalaman dan terus melakukan perbaikan-perbaikan di sana sini dan mengambil bagian dalam membangun Nias yang lebih baik. Serba tahu diri dan penuh pengertian, NBC dengan pemberitaan dan berbagai kegiatannya menjadi pembawa obor bagi pulau Nias.

“Kalau Anda ingin hidup setahun, tanamlah padi. Kalau Anda ingin hidup seratus tahun tanamlah ilmu pengetahuan”, sebuah pepatah Cina populer yang menggambarkan cita-cita para pendiri NBC di pulau Nias. NBC telah menyajikan berita dan pengetahuan yang member hidup manusia puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.

Semoga. Selamat Ulang Tahun ke-3 buat Nias-Bangkit!

Sumber: http://www.nias-bangkit.com. 

Selasa, 17 September 2013

Peruntukan Danau Toba

Oleh: Manosor Panjaitan.

Pengantar. Artikel ini adalah sebuah tanggapan terhadap artikel saya berjudul: Mencari "Laskar Pelangi untuk Danau Toba". Terima kasih atas tanggapannya.  Pesan artikel saya adalah bagaimana agar penuturan tentang Danau Toba bermanfaat untuk semua. Tidak mematikan yang satu menghidupkan yang lain. Kiranya memperkaya pemahaman tentang promosi Danau Toba.

Ada nasehat bijak berbunyi, “kita tak akan mungkin mengabdi pada dua tuan dalam waktu yang bersamaan”. Nasehat bijak ini disodorkan lewat artikel ini dengan harapan dapat menuntun setiap pihak yang selama ini bekerja keras untuk mencari dan menemukan solusi jitu untuk membangkitkan hasrat banyak orang untuk datang mengunjungi Danau Toba yang sesungguhnya memiliki banyak sisi menarik.

Sisi menarik tersebut sesungguhnya dapat membangkitkan hasrat orang berkunjung ke Danau Toba untuk mengenalnya lebih dekat lagi atau berhadapan face to face. Misalkan saja, legenda terjadinya Danau Toba, yang mengisahkan pernikahan bersyarat seorang pemuda dengan seorang puteri cantik jelita penjelmaan seekor ikan. Legenda ini seharusnya membangkitkan niat banyak orang untuk mengetahui apa dan dimana itu Danau Toba. Sebab, legenda menyajikan sesuatu yang sakral yang dapat memancing rasa ingin tahu banyak orang tentang objek yang diceritakan.

Ada lagi sisi ilmiah tentang letusan dahsyat gunung Toba berjuta tahun. Ada teori yang menyebut bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan gunung berapi yang sangat dahsyat (supereruption) yang melalui setidaknya empat fase letusan besar, tiga kali diantaranya terjadi dalam 1 juta tahun terakhir. Letusan terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT), adalah yang terdahsyat dan membentuk danau seperti sekarang.

Adalah geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelem, ilmuwan pertama yang memperkenalkan ke dunia bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan gunung api. Daya tarik yang lain adalah keberadaan Pulau Samosir di tengah-tengah Danau Toba. Pulau Samosir terkenal dengan julukannya “pulau di dalam pulau”.

Masalahnya kemudian ketika muncul aktifitas manusia yang mengurangi kesakralan seputar Danau Toba. Menjamur kerambah ikan di danau milik investor (asing) atau juga milik warga setempat dengan restu pemerintah setempat, serta dugaan terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem seputar Danau Toba. Sementara di sisi lain pemerintah terus berinovasi melakukan berbagai upaya meningkatkan angka kunjungan turis lokal atau mancanegara ke Danau Toba. Yang terbaru adalah dilaksanakannya Festival Danau Toba (FDT) 2013 yang dibuka secara resmi oleh Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa, Minggu (8/9).

Dengan mencermati dua kejadian di atas yakni, rekomendasi pemerintah menjadikan danau sebagai ajang bisnis lewat kerambah ikan, sementara di sisi lain pemerintah terus memutar otak mencari cara meningkatkan angka statistik kunjungan wisatawan ke Danau Toba maka pertanyaannya adalah: “Peruntukan Danau Toba diarahkan ke mana?” Untuk dilestarikan sebagai monumen agung ciptaan Tuhan Pencipta Alam Semesta, untuk memberi kepuasan bagi semua lewat fasilitas pariwisata. Atau, pemerintah akan menyulapnya menjadi area kerambah ikan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi investor asing dan para kaum the have?

Kolam Renang Buatan

Sekarang ini banyak bermunculan tempat rekreasi di Tanah Air yang menjanjikan kepuasan bagi setiap pengunjungnya. Kolam renang selalu menjadi menu utama dari setiap tempat rekreasi. Tempat rekreasi itu ada yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, swasta nasional atau asing. Di Sumatera Utara misalnya, maka tempat rekreasi tersebut ada di Pantai Cermin, Padang Bulan, Berastagi atau tempat lainnya. Tiket masuk bervariasi mulai Rp 10.000 hingga Rp 80.000 per orang sekali masuk.

Kenapa setiap pengunjung selalu tertarik dengan kolam renang? Jawabannya adalah, air bening dan tampilan-tampilan sedemikian rupa yang disodorkan pengelola tempat rekreasi yang mengingatkan semua orang tentang lingkungan natural yang boleh jadi saat ini banyak yang hilang ditelan modernisasi. Air bening mengobati kerinduan kita tentang banyaknya sungai dan kali yang berobah menjadi aliran limbah industri. Sungai Deli dan ada banyak sungai lainnya yang berobah menjadi tempat tumpukan sampah dan limbah lainnya.

Selanjutnya pancuran air menggiring hayalan semua orang tentang bukit-bukit yang ditumbuhi aneka tanaman hijau dan disana ada bambu yang mengalirkan air dari bukit ke tempat pemandian penduduk desa. Kondisi natural inilah yang menjadi magnet, memacu gairah setiap orang untuk betah berlama-lama di kolam renang, dan di sana ada ditemukan banyak kepuasan.

Ada benang merah yang bisa ditarik dari setiap keceriaan yang terpancar dari setiap pribadi-pribadi yang mengunjungi kolam renang yakni: setiap manusia punya kerinduan untuk bersentuhan dengan lingkungan natural, karena disana setiap orang masih bisa merasakan kelembutan sentuhan karya agung Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Sekitar tahun 1980-an, ketika penulis masih bermukim di Balige yang terletatak sekitar 100 meter dari Danau Toba, masih merasakan kelembutan sosok natural danau.

Sekitar pukul 05.00 WIB, beberapa pelajar memulai rutinitas, menuju danau untuk mandi. Terasa dingin, dan terlihat kabut tipis melayang-layang di atas permukaan air.

Airnya bening bagaikan kaca sehingga pasir di dasar danau masih terlihat hingga 3 meter dari bibir pantai. Kelihatan dengan jelas ada banyak mulut ikan mujahir yang muncul ke permukaan air seperti menyanyikan lagu. Keindahan ini membuat setiap orang lupa bahwa pagi itu masih terasa dingin.

Satu per satu menceburkan diri ke danau, mandi, lalu pulang untuk berangkat ke sekolah. Beberapa gadis mengisi ember dengan air danau yang bening untuk keperluan masak di rumah. Itulah rutinitas warga yang bermukim di pinggiran danau, dan penulis masih melakoninya hingga penghujung tahun 1986.

Jarum jam terus berputar, dan sosok natural danau pelan tapi pasti berobah. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Namun sayang, nun jauh di sana beberapa titik Danau Toba malah dikuasai oleh beberapa investor dan beberapa warga masyarakat dengan kerambah ikannya.

Tudingan pencemaran lingkungan dan beberapa pihak yang “memohon” agar danau steril dari kerambah ikan tidak diperdulikan. Ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Beberapa titik danau menjadi area terlarang, dan hanya bisa masuk ke sana dengan seijin investor. Inilah sebuah ironi yang memilukan.

Danau Toba yang hingga tahun 1986-an masih perawan, kini ibarat wanita dengan dandanan menor. Di sana ada kerambah ikan, ada pencemaran, dan ada banyak daerah terlarang. Akhirnya orang lari ke danau buatan yang ada di tempat-tempat rekreasi.

Yang ada di tempat rekreasi itu adalah asli orang-orang Indonesia. Lalu, buat apa kita garuk-garuk kepala hingga botak memikirkan cara agar turis mancanegara berkenan merendam tubuhnya di air Danau Toba sementara kita sendiri sudah sungkan mengunjungi danau yang tidak lagi alami.

Laskar Pelangi

Artikel ini juga mengomentari pernyataan miring Jannerson Girsang terhadap kritik bisnis perairan danau lewat artikelnya “Mencari “Laskar Pelangi” Untuk Danau Toba” (Analisa, 10/9/2013). Ada pernyataan Jannerson yang ditanggapi yakni

“Banyak artikel yang lebih suka mengisahkan Danau Toba dari sisi negatifnya, kisah kerambah ikan yang hampir setiap hari menghiasi media dan menjadi salah satu top story, tanpa memperdulikan dampak cerita bagi wisatawan” Lalu Jannerson menantang para penulis daerah untuk menonjolkan keunggulan yang masih tersisa, ketimbang terus mewartakan hal-hal buruk”.

Atas statement subjekjektif Jannerson maka disini penting untuk diingatkan bahwa setiap tulisan tentang pencemaran Danau Toba harus disikapi dengan jiwa besar agar kita mampu menerimanya sebagai sebuah kritik membangun yang tujuannya semata-mata agar Danau Toba dilestarikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak. Jangan diterjemahkan sebagai tindakan mewartakan hal-hal buruk.

Kritik itu menyodorkan fakta, bahwa ada kerambah ikan, ada dugaan kuat telah terjadi pencemaran, dan ini harus dibenahi bersama! Ini adalah aspirasi, keinginan yang dilindungi konstitusi. Tidak seorang pun boleh mencemoohnya. Danau Toba bukanlah Belitung. Lain ladang lain belalangnya.

Solusi yang disodorkan Jannerson untuk Danau Toba cenderung menyepelekan kerinduan banyak orang tentang Danau Toba yang steril dari pencemaran lingkungan, tapi lebih tertarik memikirkan kepuasan turis mancanegara. Disebutkan bahwa “urusan kerambah serahkan kepada yang berwenang menanganinya, munculkan kreatifitas anak muda bangsa, khususnya penulis.

Menurut hemat saya, kalau kita ingin memancing banyak orang berkunjung ke Danau Toba maka harus ada daya tarik khas yang dimiliki yang membuat banyak orang lebih tertarik berkunjung ke sana daripada mengunjungi lokasi wisata lainnya. Ciptakan ciri khusus, jadi bukan dengan cara menulis di artikel. Apa hubungannya?

Agar Danau Toba bisa menjadi memiliki daya tarik bagi semua orang maka sikapilah dengan bijaksana saat ketika semua orang menjadikan kolam renang sebagai tempat favorit untuk rekreasi.

Benang merahnya adalah semua rindu akan lingkungan natural, maka disain Danau Toba harus mencerminkan itu! Danau Toba harus kembali seperti era 1980-an,ada air bening, para nelayan bebas mencari ikan di setiap sudut danau. Sosok natural Danau Toba harus ditonjolkan untuk membangkitkan hasrat setiap orang berkunjung dan merasakan kebahagiaan di sana, sesudah itu baru kita bicara tentang turis mancanegara.

Daya tarik Danau Toba ada dalam dirinya sendiri, bukan pada fasilitas penunjang semisal jalan tol atau prasarana lainnya. Kalau lekuk-lekuk Danau Toba sudah menggairahkan orang dan berita ini menyebar dari mulut ke mulut maka seandainya Danau Toba dikelilingi hutan belukar sekalipun maka tetap akan diterobos orang asal bisa sampai ke sana. Demi sebuah kepuasan diri.

Sebaliknya kalau yang didengar banyak orang adalah kerambah ikan di tengah danau, adanya pencemaran maka ditawari untuk digendong ke Danau Toba pun orang masih mikir-mikir. Apa mungkin turis mancanegara jauh-jauh berkunjung ke Danau Toba untuk menyaksikan kerambah ikan?

Sejak sekarang harus ditentukan, Danau Toba akan didisain menjadi objek alamiah yang steril dari pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai daya tarik pengunjung.

Atau, menjadi area pengembangbiakan ikan oleh beberapa orang warga atau investor yang ingin menambah tumpukan uangnya? *** 

Penulis, besar di pinggiran Danau Toba, pemerhati lingkungan hidup

Selasa, 10 September 2013

Mencari "Laskar Pelangi" untuk Danau Toba (Analisa, 10 September 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Pesta Danau Toba sedang berlangsung dari 8-14 September 2014. Inspirasi Novel Laskar Pelangi yang mengangkat nama pulau Belitung mungkin berguna untuk kita simak bersama. Pesta ini jangan melupakan peran penulis dan sutradara yang mampu menghasilkan novel dan film yang memiliki kekuatan yang sungguh luarbiasa mengundang wisatawan kesebuah kawasan wisata.

Belajar Dari Belitung

Sukses pariwisata pulau Belitung dipicu seorang penulis bernama Andrea Hirata dengan karyanya Tetralogi Laskar Pelangi yang terjual jutaan eksemplar dan diterbitkan dalam berbagai bahasa dunia.

Terakhir, buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Vietnam yang menjadi bahasa ke-30 terjemahan Laskar Pelangikarya Andrea Hirata. Prestasi ini menempatkannya sebagai penulis Indonesia kedua yang karyanya mendunia.

Buku-buku Andrea Hirata berdampak pada minat wisatawan mengunjungi lokasi-lokasi yang terdapat dalam novel itu bahkan ada tour Lasykar Pelangi. Terjadi peningkatan kunjungan wisatawan lebih dari 350 persen sejak novel dan film ini dirilis (www.tempo co.id, 17 Oktober 2012).

Meski hanya sebuah wacana, artikel ini mencoba menawarkan cara berfikir lain untuk mencitrakan Danau Toba yang jumlah wisatawannya tak terdongkrak meski berbagai usaha terus dilakukan.

Kita mungkin alpa kepada para penulis hebat dari daerah ini. Mereka sangat berperan dalam mencitrakan lokasi sebuah wilayah. Pengalaman pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung membuktikannya.

Novel Lasykar Pelangi karya Andrea Hirata yang terjual hingga limabelas juta dan kemudian diangkat kelayar lebar, telah mengekspos pulau itu kesegala penjuru dunia. Pulau Belitung yang selama ini hanya diketahui dari peta, menjadi pembicaraan orang dimana-mana.

Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Tanjung Kelayang, latar lokasi-lokasi dalam novel Laskar Pelangi muncul di berbagai media, melekat di hati pembaca. Keunikan keunikan dan keindahan pantai-pantainya yang dihampari ribuan batu-batu granit raksasa mempesona jutaan penonton. Film Lasykar Pelangi juga mengeskpos berbagai sisi keindahan Belitung lain. Kawah-kawah bekas penambangan timah, savana, denyut nadi kota Manggar, mercusuar Pulau Lengkuas yang legendaris, dan kehidupan kuliner Belitung yang terkenal dengan aneka masakan mie dengan julukan kota ‘seribu kedai kopi.’

Kisah Laskar Pelangi tidak rumit. Novel ini berkisah tentang persahabatan sekelompok anak-anak Belitung dari sejak sekolah dasar hingga dewasa dengan latar belakang alam dan budaya setempat. “Adegan Ibu Muslimah, Ikal, Lintang, Akiong, dan teman-temannya menunggu pemandangan matahari tenggelam di antara batu-batu granit raksasa di PantaiTanjung Tinggi, Belitung, menjadi adegan terindah film Laskar Pelangi. Cuplikan itu sukses menginspirasi banyak orang datang wisata ke Pulau Belitung. Padahal pulau ini sebelumnya tidak banyak dikenal sebagai tempat tujuan wisata,” (Tempo.co.id, 17 Oktober 2012).

Penulis, sutradara film besar terbukti sangat efektif untuk mempopulerkan pulau Belitung, dari yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tanah tandus bekas penambangan timah.

Kisah Danau Toba

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan Danau Toba dan budayanya. Banyak orang yang sudah mencobanya, dengan memperkenalkan budayanya, penduduknya, serta keindahan alamnya.

Bahkan usaha yang menelan biaya besar, Pesta Danau Toba yang sebentar lagi digelar merupakan salah satu diantaranya. Tetapi nyatanya, wisatawan tidak kunjung menanjak.

Bahkan dari laporan harian Bisnis Indonesia (27 Agustus 2013), pelaksanaan PDT 2012 yang digelar di Parapat, Kabupaten Simalungun, pada 29-31 Desember 2012, diperkirakan hanya menggaet sekitar 10.000 wisatawan lokal.

Di tengah usaha meningkatkan citra danau terbesar di Asia Tenggara itu, sayangnya kisah-kisah menyedihkan justru lebih banyak muncul di mata wisatawan. Menjamurnya pengusaha dan petani karamba yang mengotori danau, demi “dollar” yang mereka dambakan menjadi salah satu top story tentang Danau Toba.

Banyak artikel yang lebih suka mengisahkan Danau Toba dari sisi negatifnya, kisah karamba yang hamper setiap hari menghiasi media dan menjadi salah satu top story, tanpa mempedulikan dampak cerita itu bagi wisatawan. Citra keindahan Danau bukannya semakin baik, tetapi semakin terpuruk.

Syukurlah masih ada karya-karya lagu yang menyejukkan bias kita dengar. Dalam lagu-lagu, kisah keindahan Danau Toba digubah para musisi. “Danau Toba, Oh Danau Toba, Danau Indah dan Permai,” demikian Julius Sitanggang, seorang penyanyi asal Batak yang popular di tahun 80-an. Penggubah lagu-lagu Batak Dakka Hutagalung, Nahum Situmorang menyajikan pujian dan kekagumannya pada Danau Toba. Mereka bercerita tentang bawang, gadis-gadis Batak yang mempesona, dekkenaniura, serta banyak lagi yang mengundang rasa ingin tau pembaca untuk mengunjungi daerah itu.

Barangkali kita harus berfikir bahwa di abad ke-21, mengisahkan Danau ini hanya bentuk pujaan, tidaklah cukup. Saatnya kita bercerita dari lokasi tentang Danau ini dengan kisah dengan metode menunjukkan (show).

Kisah-kisah yang kuat kesannya untuk menarik di kunjungi. Indah, menyejukkan, bukan metod yang tepat, tetapi harus bercerita seolah pembaca berada di tempat itu dan ingin mengunjunginya.

Tidak bermaksud mengecilkan usah-usaha pencinta lingkungan, sekedar mengingatkan bahwa cara mengisahkan karamba yang hanya menunjukkan kotornya Danau, tanpa dibarengi secara seimbang dengan kisah keunggulan danau, jelas akan mengaburkan pembaca atas keunggulan-keunggulan Danau yang masih tersisa.

Padahal, wisatawan dating ke Danau Toba tidak sekedar menyaksikan jernihnya air danau, tetapi alam dan kehidupan penduduknya yang unik, serta kenyamanan transportasi dan akomodasinya. Danau Toba unik dan jauh lebih unik dari pulau Belitung, kenapa tidak bias digali lebih jauh?.

Sebuah Tantangan Besar

Kisah tentang keindahan Danau terbesar di Asia Tenggara itu saatnya menantang para penulis daerah ini untuk menonjolkan keunggulan-keunggulan yang masih tersisa, ketimbang terus mewartakan hal-hal buruk.

Mari belajar dari tempat lain. Pulau Belitung adalah bekas tambang timah, yang jelas-jelas meninggalkan sisa tambang yang membuat tanahnya gersang dan tak ada indahnya untuk dikunjungi. Novel Lasykar Pelangi begitu jelinya mengisahkan keunggulan pulau itu melalu sebuah ksah sepuluh anak sekolah yang tergabung dalam Lasykar Pelangi.

Asyik menulis kotornya danau, menyalahkan pengusaha, pemerintah, masyarakat tanpa mampu menawarkan solusi yang praktis, tentu tidak bias dihentikan juga. Tetapi menulis tentang keindahan danau— kehidupan penduduk, indahnya alam janga ndilupakan. Masih banyak keunggulan danau ini selain dari air yang kotor.

Bertahun-tahun usaha mengusir para pengusaha dan petani karamba dari Danau itu, tapi tokh tidak ada hasilnya. Suara para pencinta lingkungan makin nyaring, pengusaha karamba makin menjamur.

Kita tidak boleh hanya berhenti mengutuk, menyalahkan. Marilah kita mencari solusi bersama secara kreatif, tanpa terus menuding dan menyalahkan satu sama lain. Urusan karamba serahkan kepada yang berwenang menanganinya, munculkan kreativitas anak-anak muda bangsa ini, khususnya para penulis.

Tidakkah mungkin karya-karya kreatif bisa memunculkan ksah-kisah menarik dari karamba dan menjadikannya menjadi sebuah obyek wisata?. Bukankah Annette Horchmann melihat keburukan Danau Toba, tetapi masih mampu secara kreatif mengisahkan Danau ini ke Berlin sana?. Beliau tidak hanya mengutuk, tetapi turut mengumpulkan sampah yang bertebaran, mendirikan bisnis wisata.

Kita mesti bertapakur sejenak. Kenapa Lasykar Pelangi bias mengekspos bekas-bekas tambang menjadi kawasan wisata yang menarik. Tidak hanya mencari-cari kambing hitam kesalahan penambang yang di masalalu mengeruk timah dari perut bumi Belitung.

Mari dukung lomba menulis tentang Danau Toba dengan berbagai topik dan sudut pandang, yang digelar saat pesta Danau Toba berlangsung dengan tulisan yang lebih berkualitas. Mari memacu potensi para penulis untuk menggali kisah yang menarik wisatawan. Perhatikanlah mereka, lengkapi mereka semangat dan fasilitas. Pengusaha wisata maupun pemerintah jangan sebelah mata memandang mereka. Berikan pembinaan dan dukungan.

Para penulis di provinsi ini dihimbau untuk mencari dan menulis secara kreatif keunggulan-keunggulan danau yang masih tersisa. Kisahkanlah tentang keunggulan Danau Toba, dan keburukan secara seimbang, sehingga citra

Danau Toba, bukan sebuah neraka. Danau Toba adalah surga bagi wisatawan. Belajarlah dari Pulau Belitung. Dicari, penulis novel Laskar Pelangi untuk Danau Toba! ***

Penulis adalah kolomnis, penulis biografi berdomisili di Medan.