My 500 Words

Selasa, 28 Januari 2014

Jannerson Girsang: Menulis Sampai Mati (Harian Medan Bisnis Minggu, 26 Januari 2014)


Jannerson Girsang
Bagaikan air mengalir, semangatnya menulis terus mengukir. Riak-riak aksara membentuk kata, dia akan menulis selamanya. Secara formal Jannerson Girsang tidak pernah belajar menulis, khususnya biografi, apalagi sastra. Hanya saja sejak duduk di bangku SMA, angka 9 selalu diraihnya dalam mata pelajaran sejarah.
SEIRING bertambahnya waktu, Jannerson Girsang yang lulusan IPB tahun 1985 mulai memasuki dunia kerja. Beberapa kali dia beralih profsi, mulai dari menjadi survey tanah, dosen, wartawan, asisten ekonomi, sampai demand forcaster di perusahaan telekomunikasi.
Namun pada November 2001, Pramindo-KSO Telkom di Sumatera melakukan PHK besar-besaran, sehingga dia pun kembali menghadapi PHK untuk kesekian kalinya.

"Tahun 1992 sampai 1996, saya pernah menjadi penulis ekonomi di Konsulat Amerika," katanya kepada MedanBisnis saat ditemui di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan.

Setelah mengalami banyak pemutusan kerja, berbagai peluang kerja terbuka lebar. Tapi Jannerson Girsang tak lagi berniat menjadi buruh, dia ingin punya usaha sendiri.

Hingga pada suatu ketika, Jannerson Girsang menyadari bahwa talenta pada dirinya hanyalah menulis. Seperti mendapat nyawa baru, Jannerson Girsang yang senang menulis, membuat laporan, dan kerap dibilang sebagai penulis oleh orang-orang disekitarnya,memutuskan menulis sebagai profesinya.

"Saya bercerita panjang lebar dengan saudara-saudara dan teman-teman di Jakarta tentang rencana ini. Ada yang bilang bagus, ada yang kaget tertawa," ujarnya.

Dilema muncul, kebimbangan bergulat dalam dirinya, banyak bisikan yang mengganggu. Masa itu penulis belum merupakan profesi yang menjanjikan. Layaknya Alice in a Wonderland, Jannerson Girsang seperti berada di persimpangan jalan dengan banyak arah atau keinginan. Dalam kondisi seperti itu akhirnya dia tetap memilih talentanya. Menulis masuk dalam prioritas teratas sebagai pilihan profesinya.

Lagi-lagi Jannerson Girsang bergumul pada keraguan. Kebiasan belajar dari buku sudah lama dilakoninya. Untuk belajar sesuatu yang baru, dia lari ke toko buku karna dia percaya buku yang kemudian dikunyahnya sendiri.

Buku karya Herman Holtz (2000) benar-benar mengilhaminya. How to Start and Run a Writing Business seolah membisikkan sesuatu hal yang mustahil dikerjakannya. "Memasuki bisnis penulisan anda harus menulis sebuah buku, demikian kira-kira konklusinya," jelasnya yang pernah gagal mendaftar masuk S2 di IPB tahun 1990, karena karyanya belum ada yang dipublikasi oleh majalah yang memiliki ISBN.

Beberapa kali dia bertanya dalam hatinya. Sebuah pekerjan yang tak mungkin dilakukan, walau pernah diimpikan sebelumnya. Mski pernah menulis laporan, profil, atau berita, tetapi Jannerson Girsang tidak pernah memiliki keahlian yang mendalam dalam satu bidang.
Menjadi wartawan, analis ekonomi, politik, bahasa Inggeris, dan lain-lain dipelajarinya secara otodidak, bukan melalui pendidikan formal.

"Dulunya pekerjaan itu saya terima karena harus membiayai anak-anak. Meski terasa berat, saya harus lakukan walau kadang tidak saya nikmati. Tetapi, penderitaan membuahkan pengetahuan dan hikmat," tuturnya yang gemar membaca buku-buku biografi ini.

"Siapa menabur angin akan menuai badai" dilahapnya sampai beberapa kali. "Kalau sudah membaca buku seperti ini, lupa deh segalanya kecuali merokok," ungkapnya yang sudah menjadi kakek ini sambil tertawa.

Lantas terlintas dalam benaknya untuk mencoba membuat biografi. Buku biografi Muhammad Hatta, Mahatma Gandhi, Jenderal Nasution, Yoga Sugama, dan Soekarno pun di bolak-baliknya.

Ternyata membuat biografi tidak begitu sulit baginya. Awalnya sebuah ide memang masih samar-samar, karena dia belum pernah melakukannya. Akan tetapi secara perlahan semuanya semakin jelas, setelah mempelajari berbagai buku teori-teori yang ada di internet.

"Biografi merupakan pilihan yang realistik bagi saya. Dalam pengertian saya ketika itu, biografi tidak lebih dari pengembangan profil. Ternyata, sebenarnya tidak sesederhana itu," paparnya.

Baginya belajar menulis biografi layaknya seorang anak masuk kolam renang sendirian. Memainkan gaya batu, kemudian tenggelam lalu bangkit ke permukaan. Ganti gaya dada, gaya punggung, gaya bebas, hingga akhirnya bisa menuliskan pengalaman baru tentang berenang.

Pengalamannya tentu berbeda dengan mereka yang belajar banyak teori, kemudian menulis biografi atau otobiografi. Jannerson Girsang tumbuh sendiri dari lapangan. Belajar dari nol dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman orang yang lebih dulu menulis biografi dan otobiografi.

Langkah demi langkah dilaluinya dengan semangat, ketekunan, dan fokus. Setiap kekurangan disempurnakannya dengan buku-buku teori. Kritik serta masukan dari pembaca dijadikannya sebagai penjaga roh. Enam tahun kemudian, ribuan pembaca buku biografi di daerah Sumatera Utara dan daerah-daerah lainnya pun sudah menikmati hasil tulisannya.
Meluncurkan Buku Pertama

Kerja kerasnya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Jannerson Girsang pun meluncurkan buku pertamanya, dan itu seperti memberikan kenikmatan yang luar biasa baginya.

Tapi tunggu dulu. Membuatnya membumi, bisa dilaksanakan, dan menguntungkan bukanlah hal yang gampang. Tak semudah membalik telapak tangan.

Pasalnya untuk menjual proposal ternyata tidak semudah menyusun proposal. Berbulan-bulan Jannerson Girsang menawarkan proposal kepada calon kliennya. Hasilnya nihil. Tidak ada yang tertarik.

Namun dia tetap yakin, dan keyakinannya tersebut terbukti. Sekitar April 2002, usulan penulisan buku biografi pertamanya mendapat persetujuan. Tokohnya adalah Jahodim Saragih, ayah kandung Prof. Dr. Bungaran Saragih yang saat itu menjabat Menteri Pertanian Republik Indonesia.

Penyelesaian buku ditargetkan sekitar 4 bulan, dimana pada saat itu Jannerson Girsang hanya punya sisa waktu empat bulan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Tanpa gangguan berarti dia pun melakukan wawancara dan riset. Akan tetapi suasana membingungkan kemudian muncul, setelah penulisan buku hampir separuh jalan. Soalnya salah seorang rekannya mengatakan, biografi harus ditulis seperti karya orang-orang luar negeri. Tapi Jannerson Girsang bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi.

Sampai saat ini, Ayah dari 4 orang anak ini masih memilih kelompok authorized otobiography dan biography, serta mengandalkan anggaran yang disediakan pemilik biografi.

"Yah, tak ada rotan akar pun bergunalah. Lakukan perbaikan, perbaikan, dan perbaikan. Kuncinya adalah menulis dengan hati," ucapnya yang punya prinsip menjalani hidup dengan mengalir dan pnuh rasa suka cita.

Singkat cerita, buku tersebut selesai dan diberi judul "Bukan Harta Duniawi". Dicetak 1000 eksemplar dan diperuntukkan bagi kalangan sendiri.

Peluncuran buku pertama ini ternyata memberi modal yang sangat mahal bagi perjalanan karier menulisnya. Tidak dibayangkan Jannerson Girsang sebelumnya, media lokal meliput pristiwa ini dengan porsi halaman yang cukup menggembirakan. Media tertarik pada biografi dan dia sebagai penulisnya pun ikut terkenal.

Selama enam tahun sejak 2002, Jannerson Girsang telah menghasilkan sepuluh buku biografi dan ratusan artikel. Bahkan saat iniJannerson Girsang sedang mempersiapkan sebuah buku biografi baru.

Adapun buku yang pernah dibuatnya adalah "Berkarya di Tengah Gelombang" yang diterbitkan TD Pardede Foundation dicetak lux sebanyak 2500 eksemplar. Demikian juga buku "Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga" yang diterbitkan WEB dicetak sebanyak 3500 eksemplar sudah habis di pasar.

Melihat minat baca masyarakat terhadap jenis buku seperti ini, dia yakin profesi menulis biografi menjanjikan di masa mendatang. Bukan hanya dari sisi financial, tetapi upaya meningkatkan minat baca rakyat. Tentunya harus dengan usaha-usaha perbaikan terus menerus.

"Sama dengan membaca, jika sudah menulis biografi, rasanya lupa segalanya. Bahkan kadang-kadang saya lupa apakah saya punya uang atau tidak," ungkap Jannerson Girsang yang punya motto "berteman seumur hidup, menambah kawan seumur hidup" ini.

Sayangnya menulis biografi saat ini baru taraf nama tenar, belum menjanjikan seperti di Negara-negara maju dimana seorang penulis memasang tarif Rp 0.35 dollar per kata.

Sedangkan di Sumatera Utara, seorang penulis biografi harus berjuang setengah mati mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang kuliah dan sekolah.

Sejak menulis biografi enam tahun yang lalu, tidak dipungkirinya jika dia harus nyambi bekerja di berbagai lembaga seperti Manajer Kampanye, Konsultan PR, ataupun terlibat dalam program lembaga NGO, dan menulis artikel di media cetak.

"Saya tidak pernah berpikir untuk berhenti menulis. Selagi saya bias menulis, saya akan menulis. Rasa jenuh pada saat menulis pasti ada, tapi bukan menjadi alasan untuk saya berhenti menulis," tegasnya.

Karena baginya menulis punya banyak keuntungan, sepeti bisa berhubungan dan bicara dengan siapa saja, lebih mudah berbahagia, dan banyak orang yang dibesarkan. (sri mahyuni)


Biodata:
N a m a : Jannerson Girsang
Tempat/tgl lahir : Simalungun, 14 Januari 1961
Pendidikan : Alumnus IPB Fakultas Pertanian Jurusan Pertanahan
Pekerjaan : - Staff Ahli Yayasan Universitas Nommensen Medan
- Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan GKPS
Istri : Erlina Sari Sipayung (53)
Anak : - Clara Mariana Girsang (1985)
- Patricia Girsang (1989)
- Bernard P Girsang (1991)
- Deviana Anastasia Girsang ( 1993)
Organisasi : Utusan Sinode GKPS 1998-2003

 Photo: Wah, hari ini bukan menulis, tapi di tulis ya Pak :D

Jumat, 24 Januari 2014

Mari Berbagi Pengalaman Menulis di 2013

Rekan-rekanku penulis-penulis  muda dan tua...ha..ha!. Selamat memasuki 2014.


Saya sedikit gelisah tahun 2013 lalu, karena obsesi menulis yang sempat sangat menggebu-gebu di 2011 dan 2012, mengalami stagnasi. Obsesi meninggalkan 1000 artikel dan 20 buku biografi  sebelum menghadap yang Maha Kuasa, ternyata tidak mudah.

Menulis, bagi saya, bukan semata-mata  mendapatkan materi, atau menjadi terkenal, tetapi lebih pada meramaikan dan memancing generasi muda untuk terus bersemangat menyuarakan aspirasinya melalui tulisan.

Hayo, orang tua seperti saya masih tetap bersemangat, Anda juga harus terus bersemangat. Selain itu,
menulis menjadi wahana menghilangkan kepenatan hidup, sekaligus bisa berbagi dengan ribuan orang di media cetak dan online.

Produksi  tulisan saya di 2013 jauh lebih rendah dari 2012. Tahun ini hanya mempublikasikan 18 artikel selama 12 bulan. Artinya satu artikel setiap  3 minggu. Sama dengan beberapa teman: Roy Martin Simamora, Rinto Tampubolon, Maruntung Sihombing, yang tahun lalu sangat produktif menulis, tahun ini produksi mereka juga agak menurun. Mungkin mereka punya pengalaman, silakan disharing ya.

Beda dengan rekan saya Janpatar Simamora, Fadmin Malau, Estomihi Agora, Buntomi Janto, Nur Akmal, Liven Rianawaty, Abdul Gaffar , Eka Azwin, berhasil mempertahankan energi menulisnya sepanjang 2013. Tentu mereka juga punya pengalaman luar biasa!

Tapi saya sedikit terhibur karena tahun ini mampu menyelesaiakn buku otobiografi ke 14 di akhir 2013 dan rencananya  akan diluncurkan di Jakarta pertengahan Februari 2014 mendatang. Semoga memberi arti bagi pembacanya.

Saya juga mendapat kesempatan membagikan pengalaman dalam sebuah training jurnalistik yang diikuti sekitar 30 orang dari berbagai media gereja dan bulletin rohani, 16 Agustus 2013.  Menyemaikan semangat menulis di kalangan generasi penerus.

Menjadi juri dalam penulisan cerita rakyat yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah tahun ini merupakan kisah tersendiri. Bangsa ini ternyata menyimpan talenta warganya menulis kisah-kisah menarik masa lalu yang bisa menjadi bacaan menarik bagi generasi muda saat ini. Saya terinspirasi untuk menuliskan kembali kisah-kisah yang pernah diceritakan orang tua saya di 2014 ini.

Banyak faktor yang membuat produksi artikel menurun. Sibuk dengan pekerjaan lain (tahun ini saya menikahkan anak, bekerja memenuhi kebutuhan anak-anak, kerja sosial yang menyita tenaga dan pikiran), kurang mengikuti perkembangan karena tidak sempat membaca berita, kurang disiplin dalam merumuskan sebuah issu hingga layak ditulis sebagai sebuah artikel, serta terlalu banyak gangguan lain yang membuat tidak fokus menulis.

Di awal tahun, semangat menulis agak lumayan dan hingga minggu ketiga Januari 2014 sudah menghasilkan tiga artikel.

Menulis terus menerus memang tidak semudah mengucapkannya. Dibutuhkan rasa resah, ketekunan, disiplin, visi ke depan yang membakar  semangat menulis. Punya pengalaman yang berbeda, silakan dituliskan.

Saya sangat bangga melihat beberapa anak muda yang terus bersemangat menulis dan terus menyemaikan hal-hal baik di tengah-tengah masyarakat.   Teruslah menulis, karena dengan menulis kita turut mengabadikan peradaban  dunia.

Awal tahun ini saya berkumpul dengan beberapa rekan penulis Anthony Limtan, Yushrin Lie, Idris Pasaribu, Albiner Siagian, Naurat Siallahi, Alex Silalahi melakukan sharing. Ternyata banyak ide-ide segar yang  muncul dan siap untuk dituangkan di 2014. Mungkin pertemuan-pertemuan seperti itu perlu dilanjutkan di 2014 secara teratur sehingga semangat menulis masih terus berlanjut.

Andaikata teman-teman mau menuliskan pengalaman menulis dan sharing dengan teman-teman niscaya beberapa tahun ke depan, negeri ini akan meningkatkan jumlah penulis-penulis baru serta menggairahkan semangat menulis kita.

Semoga menggugah teman-teman. Punya pengalaman menulis 2013?. Silakan sharing dan diskusikan dengan teman-teman.

Andaikata kita bersedia menuliskan pengalaman menulis dan sharing dengan teman-teman niscaya beberapa tahun ke depan, negeri ini, khususnya Provinsi Sumatera Utara akan memiliki semakin banyak penulis-penulis yang peka akan nasib bangsanya.

Berikut adalah artikel yang saya tulis selama 2013 di berbagai media cetak.

  1. Orang-orang Terkaya di Tengah Bencana (Harian Analisa, 23 Januari 2014)
  2. Menjadikan Perpustakaan sebagai Jantung Universitas Kategori berita: (Dimuat di Harian Analisa, 13 Januari 2014)
  3. Medan, Kota Minim Taman (Harian Medan Bisnis, Rubrik Wacana, 2 Januari 2014)
  4. Pelajaran dari Musibah Bintaro (Dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru, 16 Desember 2013)
  5. Beban Orang Tua Makin Berat Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (Dimuat di Harian Analisa, 14 Desember 2013)
  6. TIGA TAHUN NIAS-BANGKIT (2010-2013). NBC, Pembawa Obor Bagi Pulau Nias (http://www.nias-bangkit.com, 6 Oktober 2013)
  7. Mencari "Laskar Pelangi" untuk Danau Toba (Analisa, 10 September 2013)
  8. Pelajaran dari James Patterson, Penulis Terkaya di Dunia (Dimuat di Harian Analisa Cetak, 12 Agustus 2013)
  9. Belajar dari 47 Tahun Majalah Sastra Horison (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Juli 2013)
  10. Kunci Pelayanan Publik Prima Kemajuan Teknologi, Sistem dan Karakter Baik (Harian Analisa, 9 Juli 2013)
  11. Belajar dari Justin Beiber (Rubrik Opini, Harian Analisa, 5 Juni 2013)
  12. Menghormati Pemenang (Rubrik Wacana, Harian Medan Bisnis 1 Juni 2013)
  13. Pohon Beringin: Menahan Longsoran Tanah di Tepi Sungai (Analisa, 30 Mei 2013)
  14. Dari Ide ke Artikel di Media Cetak (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Mei 2013)
  15. Andai Masih Hidup, Soekarno-Hatta Menangis (Rubrik Wacana, Medan Bisnis, 16 Mei 2013)
  16. In Memoriam 7 Tahun Meninggalnya Pdt Prof Dr Sutan Hutagalung (2006-2013): Verba Volan Scripta Manen! (Analisa Cetak, 6 April 2013 Hal 25)
  17. Patsy Wida Kuswara: Kisah Jurnalis Indonesia di Negeri Paman Sam (Harian Analisa, 26 Maret 2013)
  18. Mau Jadi Politisi? Jadilah Anti Narkoba (Harian Analisa, 18 Maret 2013)
  19. Kampanye Membaca 2013 Hanna Latuputty: Targetkan Buku yang Dibaca! (Harian Analisa, 1 Pebruari 2013)
  20. Mengajak Masyarakat Perpanjang Usia Jalan (Harian Analisa, Rabu, 13 Feb 2013)
  21. Kisah Elizabeth P McIntosh: Menyimpan Laporan Jurnalistik Selama 71 Tahun (Harian Analisa, 2 Januari 2013)

Publikasi Lain:

Profil Prof Dr Monang Sitorus, Ketua LPPM UHN. http://www.nommensen-id.org/index.php/akademik/view/MTk1.
Profil Dr Ir Ferisman Tindaon Jadi Guru Besar UHN. http://www.nommensen-id.org/index.php/akademik/view/MjA0.
Bagi yang belum sempat membaca artikel-artikel di atas, masih bisa mengaksesnya di internet.

Orang-orang Terkaya di Tengah Bencana (Harian Analisa, 23 Januari 2014)


Oleh: Jannerson Girsang

Membaca laporan Forbes (Nopember 2013) bahwa lima puluh orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan mulai dari US$ 15 miliar hingga US 390 juta, terbayang dalam pikiran, “andaikan mereka tergerak hatinya menyisihkan sedikit kekayaannya membantu derita anak bangsa yang tertimpa bencana di tanah air”. 

Belum lagi kalau dari mereka mau menggalang dana dari para rekan-rekan mereka. Bangsa ini membutuhkan “orang-orang terkaya” yang peduli bencana!. Negeri kita adalah negeri bencana. Indonesia adalah korban erupsi gunung terbesar di dunia dan sangat rentan gempa, banjir dan longsor. Tapi kita bersyukur karena negeri bencana memiliki banyak orang-orang terkaya dunia.

Bencana yang terjadi di tanah air belakangan ini mengakibatkan kerugian cukup besar dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk menanggulanginya. Sementara, anggaran pemerintah terbatas. Malu dong, sebagai bangsa yang berdaulat,  kalau sampai turun bantuan asing di tengah negeri yang bertabur “orang-orang terkaya dunia”.
 
Kerugian Besar

Perkiraan sementara menunjukkan bahwa kerusakan dan kerugian akibat bencana yang terjadi beberapa bulan belakangan ini cukup besar.  Rp 1.8 triliun  atau hampir setara dengan nilai proyek Hambalang, lenyap begitu saja, akibat banjir di Manado. Belum lagi bencana akibat letusan Gunung Sinabung yang diperkirakan mendekati  Rp 1 triliun, serta ratusan miliar kerugian dialami akibat banjir di ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Kalau kemudian dibuat pehitungan yang detil kerugian materi bisa mencapai angka Rp 3 triliun.

Kerusakan yang terjadi membuat rakyat yang terkena bencana sangat menderita. Selain rusak atau kehilangan harta benda, mereka kehilangan mata pencaharian untuk sementara waktu, dan bisa berdampak panjang kalau tidak segera diatasi. Pedagang kehilangan omzet harian, pembengkakan ongkos transportasi, dan kenaikan biaya logistik. Petani mengalami kerugian karena panenan gagal.

Selain itu bencana juga mengakibatkan munculnya penyakit fisik maupun psikis. Mereka tidak saja membutuhkan bantuan fisik (makanan, pakaian, uang, perumahan) tetapi juga trauma healing (pemulihan dari trauma).

Kemampuan Terbatas

Di depan para wartawan, Senin (20 Januari 2014), Menteri Keuangan Chatib Basri melaporkan bahwa Pemerintah  telah mengalokasikan anggaran dalam APBN 2014 sebesar Rp 3  triliun untuk penanggulangan bencana alam. Separuhnya dapat dicairkan langsung tanpa persetujuan DPR.

Mengandalkan kemampuan anggaran  sebesar itu jelas tidak mampu menanggulangi seluruh persoalan bencana di negeri ini.  Masalahnya, bencana-bencana yang terjadi bukan hanya di Manado, erupsi Sinabung atau Jakarta.

Disamping menanggulangi bencana, Indonesia memerlukan biaya yang besar dalam riset penanggulangan bencana meliputi fase pra, saat dan pascabencana.  Anggaran riset di BNPB lebih banyak digunakan untuk membangun kebijakan. Kedikbud dan Kemristek yang juga mempunyai anggaran riset diharapkan dapat mendukung kebutuhan tersebut dengan menambah anggaran riset kebencanaan yang dilakukan perguruan tinggi dan lembaga riset. Bappenas diharapkan mendukung kebijakan penganggaran riset kebencanaan. (Workshop Nasional Riset dalam Penanggulangan Bencana. http://www.bnpb.go.id)

Hasil-hasil riset tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas informasi bencana di negeri ini. Kualitas informasi lokasi bencana (tepat waktu, akurat, dan diterima orang yang tepat), dari bencana (erupsi gunung, tsunami, bahkan banjir) masih perlu ditingkatkan, karena system informasi bencana serta teknologi yang mendukungnya belum secanggih yang dimiliki Negara-negara maju.

Jepang misalnya, sudah bisa meramalkan terjadinya tsunami. Bahkan dalam siaran langsung di televisi, kita bisa menyaksikan beberapa ratus meter sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Bandingkan misalnya dengan tsunami Aceh dan Nias beberapa tahun lalu. Kita baru berteriak, setelah tsunami terjadi.

Karena bencana tidak dapat diprediksi dengan tepat, antisipasinya sering terlupakan. Penjelasan-penjelasan masih sering tidak bisa dipahami para pengungsi, pengambil keputusan. Contohnya, di kasus Sinabung. Kita kesulitan mencari data praktis di website yang bisa dijadikan acuan. Updating datanya kurang teratur.

Lihat misalnya updating data sewaktu Tsunami Aceh dan Nias terjadi. Kita dengan mudah mengetahui siapa yang terlibat dimana, kapan dan jumlah pengungsi yang mereka tangani. 

Banyak pertanyaan-pertanyaan penting berlalu begitu saja. Para pengungsi Sinabung misalnya. Mereka memerlukan informasi kapan Gunung Sinabung meletus, letusannya sampai kemana, sampai kapan mereka mengungsi, apa langkah-langkah yang mereka lakukan kalau gunung meletus, kepada siapa bantuan harus disalurkan, bagaimana penanganan berlanjut dilaksanakan. Serta banyak pertanyaan-pertanyaan dasar yang tidak masih sulit dijelaskan kepada masyarakat luas.


Selain itu, Suratman, tenaga ahli Komisi VIII DPR-RI mengidentifikasi perlunya revitalisasi pengelolaan bencana di Indonesia, diantaranya koordinasi pengelolaan bencana, seperti implementasi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tumpang tindih peraturan dan pengelolaan dana yang bersumber dari masyarakat. 

Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Kita memiliki potensi untuk melakukannya, yakni  terus belajar tentang gejala alam, sehingga bisa meramalkannya untuk mengurangi jumlah korban, serta meningkatkan kualitas system dan orang-orang yang mampu menjalankan system itu. Kita seharusnya lebih ahli dari Jepang, atau Negara lain, karena negeri kita lebih rawan bencana.

“Bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia harusnya menjadikan Indonesia pakar dalam penanganan bencana. Bencana dapat diminimalisir akibatnya, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dari penanganan bencana alam sebelumnya,”seperti diungkapkan Suratman, Tenaga Ahli Komisi VIII DPR RI, beberapa waktu lalu (Tribune News Com, 28 Nopember 2013).

Semuanya itu membutuhkan butuh biaya dan tenaga-tenaga ahli dan berdedikasi.

Mengetuk Hati Konglomerat di Tengah Bencana

Saatnya pemerintah membuka mata para orang-orang terkaya di negeri ini harus memiliki sense of disaster. Kita semua, bersama-sama pemerintah  perlu menggerakkan peran "orang-orang kaya" Indonesia dalam membantu bencana yang terjadi di negeri ini.

Kemampuan mereka luar biasa. Credit Suisse, Swiss melaporkan dalam Global Wealth Databook 2013, terdapat 22 orang superkaya Indonesia yang memiliki harta di atas 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12 triliun (kurs Rp 12.000 per dollar AS). Bahkan laporan Forbes Nopember 2013 yang lalu mengatakan ada 29 orang kaya di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 1 miliar dollar AS, bahkan orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan  sampai 15 miliar dollar AS.

Kalaulah mereka bisa berhemat sedikit biaya makan, hiburan, pengeluaran sogok menyogok, sangat berarti bagi ribuan anak bangsa yang sedang menderita. Mereka seharusnya tidak nyenyak tidur sehabis menyaksikan di televisi, menyaksikan sesama bangsanya yang tidur di tenda-tenda, kedinginan karena kurang selimut, terancam kelaparan karena persediaan bantuan yang makin menipis.

Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa tahun lalu orang terkaya Indonesia pernah mendanai kampanye Obama (Ralat: Clinton). Mustahillah mereka tidak mampu menyisihkan sedikit bantuan untuk sesama bangsanya yang mengalami kesulitan, mereka diajak membantu mendanai kekurangan biaya riset-riset untuk antisipasi dan peningkatan system pengelolaan bencana.

Teringat kata-kata W.C. Field, A rich man is nothing but a poor man with money. Sangat tidak berarti, kalau orang-orang terkaya hidup dalam sebuah Negara, menikmati hidup, sementara tidak peduli bahwa di tengah-tengah mereka ada orang yang terkena bencana, tidak punya mata pencaharian dan terancam kelangsungan hidupnya.

Pemerintah yang peduli bencana seharusnya mampu mengetuk hati mereka Orang-orang terkaya yang memiliki rasa solidaritas seharusnya terketuk hatinya. Wacana ini mungkin perlu dikembangkan. Dicoba saja, mana tau ada hasilnya!.

[1] Penulis pernah menjadi Program Manajer sebuah NGO yang menangani Bantuan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. 

Senin, 13 Januari 2014

Menjadikan Perpustakaan sebagai Jantung Universitas Kategori berita: (Dimuat di Harian Analisa, 13 Januari 2014)



Oleh: Jannerson Girsang. 

Sebagian besar perguruan tinggi di negeri ini memiliki konsep pembangunan kampus masih lebih menitik beratkan pada gedung perkantoran megah, ruang kuliah yang mewah-ber AC, in focus yang mahal, tetapi lalai membangun perpustakaannya. Padahal, perpustakaan adalah jantung Universitas. Di sanalah mahasiswa terdidik untuk membaca dan melakukan riset kepustakaan. Perpustakaan yang tidak menarik tentu tidak akan kedatangan pengunjung. 

Tak heran dengan kondisi perpustakaan universitas seperti sekarang ini kurang mampu mendidik lulusan perguruan tinggi yang memiliki budaya mengunjungi perpustakaan dan tentunya budaya membaca yang rendah. Masalah besar lulusan perguruan tinggi kita dengan daya saing yang lemah memasuki abad 21.

Gedung Perpustakaan: Jantung Universitas

Ketika mengunjungi perpustakaan Universitas Indonesia (UI) tahun lalu, saya teringat kritik Wakil Presiden Budiono beberapa tahun lalu soal konsep membangun universitas, dengan mencontohkan kisah Thomas. (http://wapresri.go.id/index/preview/berita/1671)

Menurut Budiono, Thomas Jefferson, pendiri Negara Amerika Serikat, 250 tahun yang lalu, membangun bangsa adalah membangun universitas. Hanya konsepnya berbeda dengan konsep kebanyakan perguruan tinggi kita sekarang. 

Dalam kisahnya, Budiono mengatakan Jefferson bercita-cita mencerdaskan bangsa Amerika dengan mendirikan universitas Virginia. Hibah pertama Jefferson adalah sebidang tanah dengan sebuah gedung berdiri di atasnya. Gedung pertama itu adalah perpustakaan.

Inspirasi Jefferson menjalar ke UI, demikian kesimpulan saya kembali dari perpustakaan yang megah itu. Saya terkesan dengan ruang perpustakaan megah ditengah-tengah kampus. Mungkin universitas ini sudah memahami pentingnya perpustakaan.

Sayang, kebanyakan universitas kita sudah bangga memiliki gedung perkuliahan, laboratorium, dosen, sementara perpustakaannya dibiarkan lusuh, berdebu dan anggaran penyediaan buku baru dibiarkan seadanya. Kalau tidak keadaan terpaksa, misalnya kepentingan akreditasi maka perpustakaan seolah kurang penting dari yang lainnya. 

Sekedar mengingatkan, jantung sebuah universitas adalah perpustakaan, "Bukan kantor megah atau ruang kuliah mewah," kritik Budiono.

Staf Perpustakaan: Bukan Setingkat Pesuruh

Pengendali perpustakaan adalah manusia yang bekerja di sana. Selain lalai membangun gedung perpustakaan, universitas-universitas kita masih menganaktirikan petugas perpustakaannya. "Dari 34 institusi perguruan tinggi yang tergabung dalan Forum Perpustakaan PerguruanTinggi Indonesia (FPTI) wilayah Jatim, banyak pustakawannya yang bukan lulusan dari ilmu perpustakaan, "(Surabaya Pos, 27 Desember 2010).

Profesi pustakawan sudah saatnya dipandang tidak sekedar profesi yang sifatnya administratif, tetapi sebuah profesi yang menuntut kemampuan dan kreativitas, sejalan dengan perkembangan teknologi. 

Inti dari profesi pustakawan adalah bagaimana menyediakan informasi bagi seluruh sivitasaka demika di kampusnya. Jika kondisi para staf perpustakaan tidak profesional, tentunya kondisi perpustakaan sebagai gudang ilmu tak lebih dari sebatas gudang debu.

Sangat disayangkan memang, karena di berbagai perpustakaan staf perpustakaan baru dianggap "pesuruh". Pekerjaannya membuat sampul buku, mendata buku, dan menjaga pintu perpustakaan. Padahal seorang pegawai perpustakaan seharusnya mampu mengusulkan jenis buku serta pendataan jurnal ilmiah. Hal ini tentu tidak akan dipahami orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kepustakawanan. 

Tantangan baru perpustakaan adalah menjadikan peran perpustakaan sebagai penyokong utama informasi di sebuah perguruan tinggi dengan tuntutan perkembangan teknologi, khususnya teknologi internet.

Misi perpustakaan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan dan menyediakan akses terhadap sumber daya informasi membutuhkan selain sumberdaya manusia adalah kemampuan mengelola dan menyediakan teknologi yang terus berubah.

Memang diakui, hadirnya teknologi internet maka penyediaan sumber daya informasi berbasis cetak tidak lagi memadai, tapi harus dilengkapi dengan sumber daya berbasis elektrik/digital. Para pegawai perpustakaan harus dilengkapi kemampuannya untuk mengembangkan bahan-bahan elektronik.

Fungsi tradisional perpustakaan mulai diambil alih oleh teknologi dan perubahan jaman. Sehingga, Institusional Repositories (IR) atau Perpustakaan Digital penting dipahami dan perlu terus di redefinisi peran dan fungsi perpustakaan.

Pegawai perpustakaan dituntut memiliki kemampuan membimbing para pengunjung untuk menggunakan internet sebagai sumber informasi alternatif, disamping buku yang dimilikinya di perpustakaan.

Mereka yang berkunjung ke perpustakaan mampu mengakses informasi yang mereka butuhkan, bahkan mendidik mereka mengetahui apa yang seharusnya dibutuhkan pengunjung. Mereka juga dituntut menarik pengunjung melalui media online yang dimiliki perpustakaan bersangkutan dan mengadakan komunikasi dengan pengunjung melalui internet.

Universitas harus memperhatikan keahlian para pustakawan mereka. Setidaknya, menurut Aditya Nugraha komposisi pustakawan yang professional dari perpustakaan yang ada minimal di atas 50 persen.

Merangsang Minat Baca dan Menggairahkan Perpustakaan

Salah satu tugas penting lainnya dari pustakawan adalah membuat resensi buku-buku baru yang dimuat di media kampus dan media umum lainnya. Sehingga pengunjung perpustakaan, masyarakat pembaca memiliki minat dan tertarik mencarinya dan tentu saja membacanya.

Perpustakaan seharusnya memberikan insentif kepada para pustakawan yang mampu menulis resensi buku-buku pilihan karena dia melakukan tiga hal, yakni memperkenalkan buku baru-peradaban baru ke tengah-tengah masyarakat, meningkatkan minat baca masyarakat dan minat membeli buku, serta mencerdaskan bangsa melalu peningkatan minat baca. 

Kita menyambut baik, kegiatan Pemprovsu dalam menggairahkan pengelolaan perpustakaan dengan memberikan penghargaan kepada perpustakaan terbaik di Perguruan Tinggi (juga rumah-rumah ibadah, sekolah dan lain-lain). Dukungan Badan Perpustakaan Pemprovsu dalam merangsang gairah mengembangkan perpustakaan hendaknya berlanjut dan terus ditingkatkan dan sesuatu yang harus mendapat apresiasi.

2014 adalah momen yang baik untuk terus melanjutkan dan meningkatkan usaha-usaha pengembangan perpustakaan di perguruan tinggi, sekolah, rumah-rumah ibadah, sehingga minat baca masyarakat kita yang masih cukup rendah bisa sedikit terangkat.***

Penulis adalah staf ahli Yayasan Universitas HKBP Nommensen dan pengguna perpustakaan Universitas. Aktif sebagai juri dalam berbagai kegiatan lomba cerita dan menulis di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, Pemprovsu.

Minggu, 05 Januari 2014

Tiga Tahun Kepergian Papa, Tujuh Tahun Kehilangan Mama.

(Artikel tercecer, terlambat masuk blog. June 17, 2013 at 9:27pm)

Oleh : Jannerson Girsang

Coba Anda bayangkan, betapa sedihnya kalau seandainya Anda berhasil  dalam perkuliahan dan ingin mengungkapkan rasa suka kepada orang tua, tetapi keduanya sudah pergi.

Sebuah sms ungkapan rasa suka cita dari seorang yang kehilangan papa dan mama sungguh mengharukan, sekaligus membuat bangga.  

“Halo bapatua. Aku hari ini baru selesai sidang tugas akhir. Nilai belum keluar karna masih ada ujian. Nggak kerasa jg hari ini 3 tahun lewat papa meninggal. Sedih juga sih, tapi merasa luar biasa gak kerasa waktu berjalan semua berjalan dengan baik. Tetap semangat untuk kita semua yah”.

Malam ini, saya menerima sms dengan kata-kata mengharukan dari  Yani Christin Girsang, putri tertua adikku Parker Girsang yang meninggalkan kami untuk selama-lamanya 17 Juni 2010. Rasa haru dan membuat optimis. Semua penderitaan adalah ujian bahwa Tuhan campur tangan dalam kehidupan kita.

Sikap yang membuatku selalu bangga dengan putriku ini. Dia pintar, dan mampu memaknai hidup dengan luar biasa.

Kami terakhir bertemu 8 Juni 2013 yang lalu dalam acara ulang Tahun Junimart Girsang yang ke-50 di Jakarta. Dia dan adik-adiknya pintar menyanyi, hasil didikan  orang tuanya yang bijak. Di Ultah itu Christin berduet dengan Hilda, adiknya.

Kami jarang bertemu. Sebelumnya, enam bulan lalu Christin dan adik-adiknya hadir dalam pernikahan putri saya Clara di Jakarta . Maklum, saya tinggal di Medan, mereka di Jakarta. Untung ada HP, Facebook, jadi bisa update tiap hari.

Setiap bertemu, saya sedih melihat Christin dan kedua adiknya telah ditinggal papa dan mamanya, saat masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Tetapi menyaksikan pertumbuhan dan optimis mereka menghadapi kehidupan ini, saya merasa bangga. Mereka optimis dan selalu melihat ke depan, menjadi inspirasiku dalam menghadapi masalah hidup.

Memutar memori tiga tahun lalu, 17 Juni 2010. Malam itu, ketika baru saja selesai menulis, dan melangkah ke kamar mandi, saya mendapat telepon dari rumah sakit Cikini, Jakarta.

Ayah saya, yang menjaganya beberapa minggu terakhir memberitakan adikku Parker Girsang--ayah Christin telah tiada. Setelah beberapa bulan dirawat di Rumah Sakit Cikini, dia tidak bisa bertahan dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, beberapa bulan menjelang usianya genap 48 tahun. Dia lahir 16 Agustus 1962.

Sedihnya luar biasa.  Gelap sekali rasanya. Christin kehilangan ayahnya beberapa saat setelah pengumuman dirinya diterima sebagai mahasiswa di Program D3 Sekretaris Universitas Indonesia.

Meninggalnya ayah yang sangat mereka cintainya, tentu sangat memukul dirinya dan adik-adiknya, serta kami semua. Empat tahun sebelumnya dia kehilangan ibu yang sungguh-sungguh bijaksana.  Andaikan aku Christin, pastilah frustrasi berat. Dua adiknya Hilda Valeria dan Trisha Melani, ketika itu masih duduk di kelas 1 SMA, dan kelas 1 SMP.

Tiga tahun kemudian, tiga putri kami yang cantik-cantik Christin (rencanya kalau lulus meja hijau, Christin akan diwisuda dari Universitas Indonesia, Hilda Valeria (kini kuliah tahun pertama di  Universitas Brawijaya, Malang), Trischa Melani (tahun ini memasuki SMA).

Tuhan memelihara mereka melalui keluarga (terutama ompung, uda, namborunya), dan mereka yang bersimpati. Junimart dan Juniver serta keluarganya sungguh luar biasa memperhatikan mereka.Semoga kebaikan mereka menjadi teladan bagi anak-anak ke depan, pentingnya memperhatikan orang-orang yang lemah.

Sejak adikku meninggal, mereka dititipkan melalui namborunya Masdalinda Girsang di Bekasi. Sekarang hanya Trisha Melani yang tinggal di sana, sementara Christin di Depok dan Hilda di Malang. Christin sekali seminggu pulang ke Bekasi.

Tiga tahun berlalu setelah kesedihan itu, sesuai tekadnya, Christin akan menyelesaikan studinya. SMSnya malam mini, membuatku percaya bahwa ketiganya suatu ketika akan menjadi orang-orang yang luar biasa.

Terima kasih Tuhan, engkau Maha Kuasa. Melalui tangan-tangan yang Engkau kasihi memelihara putri-putri kami. Terima kasih, Tuhan telah menyentuh hati semua orang yang membantu mereka.

Salam salut untuk putriku Christin, Ai dan Icha!. Salam sayang dari bapatua dan inang tua, abang Bernard, Ompung di Medan.

Gantungkan harapan hanya padaNya!.


Trischa Melani (kiri), Christin (nomor tiga dari kiri) dan Hilda Valeria (nomor empat dari kiri) bersama kakak-kakaknya dan kemanakan saya
Trischa Melani (kiri), Christin (nomor tiga dari kiri) dan Hilda Valeria (nomor empat dari kiri) bersama kakak-kakaknya dan kemanakan saya.

Note: 31 Agustus 2013, Christin telah menyelesaikan D1 Sekretaris dari UI dan sudah bekerja. Kemudian, Agustus 2013, dia lulus testing di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik UI (ekstension) dan kuliah sambil bekerja. Semua berjalan didorong kekuatan motivasi mereka untuk berhasil. Doaku selalu untuk kalian bertiga. Selamat berjuang.

Jumat, 03 Januari 2014

Medan, Kota Minim Taman (Harian Medan Bisnis, Rubrik Wacana, 2 Januari 2014)

Oleh: Jannerson Girsang

Kemana istirahat atau rekreasi paling murah dan bersahaja di kota? Mengunjungi taman-taman kota. Semua orang bisa masuk ke sana tanpa membayar, namun bisa menikmati suasana segar, membawa anak bermain bebas - keluar dari suasana sumpek di rumah kecil di perumnas atau kumuh.

Singgahlah sejenak, meluangkan waktu beristirahat di Taman A Yani, dekat Rumah Sakit Elizabeth. Rasakan sejenak udara segar di sana, lepaskan pandangan mata Anda ke taman di bawah pepohonan besar, rumput-rumput hijau yang terpelihara di bawahnya.

Berjalanlah ke pinggir Jalan Sudirman dan tataplah air mancur besar di persimpangan Jalan Sudirman-Jalan Imam Bonjol. Hiruk pikuk kendaraan terhalang batang pohon besar dan dedaunannya yang rindang. Taman itu seolah mampu menyerap asap kendaraan yang lewat - sebagian dari 2.708.511 unit kendaraan yang masih akan bertambah dengan kenaikan rata-rata 23,832% per tahun.

Luasnya taman hijau di lokasi itu membuat perasaan lega, apalagi dalam suasana suhu udara meningkat belakangan ini. Taman seperti ini menjadi alternatif tempat rekreasi gratis bagi penduduk Kota Medan. Sayangnya, selain taman di sekitar Jalan Sudirman itu kita hampir tidak menemukan taman yang sama di lokasi lain di kota ini.

Normalnya, seiring meningkatnya jumlah penduduk, seharusnya taman rekreasi bertambah, karena berkurangnya lahan terbuka akibat kebutuhan bangunan.

Kalau di zaman Belanda, pemerintah kolonial bisa membangun taman seperti Taman A Yani, menjalani abad 21, di kota yang menjalani usia 423 tahun ini, pemko mestinya memiliki political will membangun fasilitas taman yang memadai.

Sayangnya, taman sebagai sarana hiburan dan tempat rekreasi segar bagi masyarakat luas justru hampir dilupakan.

Taman di Perumnas

Pengalaman tinggal di perumnas (penulis tinggal di Perumnas Simalingkar), penduduk memerlukan tempat rekreasi. Namun, kebutuhan itu selalu kalah jika berhadapan dengan desakan kepentingan ekonomi atau kepentingan lain.

Mari kita telusuri beberapa lokasi seperti Perumnas Simalingkar, serta perumnas-perumnas lain seperti Helvetia dan Mandala. Penulis sedikit menyinggung Lapangan Merdeka, karena bagi penduduk seperti penulis lapangan itu punya sejarah tersendiri.

Perumnas Simalingkar, yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga, adalah contoh minimnya perhatian Pemko Medan memenuhi kebutuhan penduduk akan taman rekerasi. Kompleks ini, kini sama sekali tidak memiliki taman. Jangankan taman, lapangan terbuka pun hampir tidak ada lagi. Perubahan ini terjadi hanya dalam waktu 20 tahun.
Dulu di awal 90-an, sebelum pembangunan perumahan selesai, penduduk sempat menikmati tanah kosong seluas lapangan bola di tengah wilayah perumahan itu, persisnya di atas lahan ruko Simalingkar sekarang.

Saat itu penulis baru pindah ke wilayah tersebut. Sore sehabis pulang kerja, penulis bisa bergabung dengan anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua bermain bola. Keakraban di antara penduduk kampung demikian baik. Dua kesebelasan bisa dibentuk seketika di lapangan. Warga menikmati hiburan murah untuk melepas lelah sekaligus bercengkerama antara satu dengan yang lain.

Sebelum permainan olahraga dimulai, anak-anak kecil menggunakan lokasi itu untuk belajar naik sepeda, main alip cendong dengan memanfaatkan got yang terdapat di sekeliling lapangan. Selain sebagai tempat rekreasi, lapangan itu bisa menjadi tempat olahraga, mengasah bakat anak-anak, serta pertemuan informal bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Masa itu, menjelang acara 17 Agustusan dilaksanakan pertandingan-pertandingan antarwarga. Penduduk beramai-ramai di sekeliling lapangan menonton mereka bertanding. Penontonnya penduduk yang datang dari berbagai penjuru kompleks perumnas yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga itu.

Sayangnya, beberapa tahun kemudian lapangan itu diubah menjadi kompleks pertokoan. Lokasi hiburan murah bagi penduduk lenyap begitu bunyi buldozer meratakan tanah dan diikuti pembangunan ruko di atasnya.

Kini, di lokasi tempat bermain bagi penduduk kompleks perumahan itu rumah toko (ruko) berdiri megah, ditambah lagi kegiatan pajak sore hingga malam. Tidak ada pengganti tempat bermain anak-anak dan pertemuan informal penduduk perumnas.

Kompleks perumahan yang dihuni puluhan ribu penduduk itu hanya ditutup oleh jalan, bangunan rumah, toko atau rumah ibadah. Hampir tidak ada taman untuk bermain atau rekreasi bagi warganya. Penduduk tinggal di rumah atau hanya bercengkerama dengan tetangga sebelah. Sangat minim ruangan publik di mana ratusan orang bisa saling tegur sapa, berolahraga, atau sekadar bermain bagi anak-anak.

Penduduk tentu tidak berwenang mempersoalkan lapangan seluas lapangan sepak bola yang dulunya dipakai sebagai taman rekreasi, apakah menurut master plan kota memang dulunya direncanakan untuk ruko. Tapi, pernah ada lapangan bola.

Hal yang sama bisa ditemukan di Perumnas Helvetia dan Mandala. Miskin taman. Anehnya, hal ini tidak hanya dijumpai pada lokasi di perumahan-perumahan baru, bahkan di pusat kota. Bersamaan masa kami masih bisa menikmati lapangan terbuka, Lapangan Merdeka jadi sebuah alternatif tempat rekreasi. Tempat ini mengingatkan penulis nyamannya sebuah taman rekreasi seperti di Alun-alun Kota Bandung atau Taman Monas Jakarta.

Pada Minggu pagi, karena lalu lintas masih lancar, dari rumah penulis lapangan ini bisa ditempuh hanya dalam waktu belasan menit. Sebelum mengikuti kebaktian di gereja, penulis biasa membawa anak-anak bercengkerama dan lari pagi, bertemu dan bercengkerama dengan ratusan orang di sana.

Persis seperti pengalaman di Pematangsiantar, menggunakan taman bunga sebagai tempat rekreasi dan olahraga pagi. Tapi, keindahan Lapangan Merdeka pun sudah terusik. Pinggiran lapangan yang dulunya bebas dari bangunan, kini dipagari tempat jualan.

Nuansa taman rekreasi di Lapangan Merdeka menjadi hilang, tertutup dengan restoran dan tempat jualan.

Taman di kota atau pinggiran kota setali tiga uang. Sama dengan lokasi tempat tinggal penulis, beberapa tahun kemudian suasana taman di tengah kota itu pun berubah. Lapangan Merdeka kini sudah disulap jadi Merdeka Walk, sebuah lokasi yang dijejali restoran kecil dan tempat jualan.

Tidak hanya itu, taman margasatwa (kebun binatang) kebanggaan penduduk Medan - taman dengan aneka binatang yang menarik bagi anak-anak sebagai hiburan - turut tergusur ke pinggiran kota yang sulit dijangkau. Tak sedikit mereka yang tinggal di Medan tidak tau lagi lokasi kebun binatang, selain karena minimnya promosi, lokasinya juga sulit dijangkau. Beda ketika masih di Kampung Baru.

Kota Medan, telah kehilangan tempat istirahat di area terbuka bagi orang-orang yang ingin hidup bersahaja. Jangan salahkan kalau tempat-tempat hiburan tertutup (panti pijat dan kamar-kamar yang sewanya dihitung perjam) yang tersedia di segala penjuru kota makin marak dikunjungi penduduk kota.

Andaikata para penguasa penentu kebijakan pengembangan taman kota tidak segera mengubah kebijakannya, bukan tak mungkin dua puluh tahun ke depan Kota Medan memiliki penduduk yang lebih senang mencari hiburan di tempat tertutup. Munculnya hiburan-hiburan di tempat tertutup akan menjerumuskan penduduk kota ini mencari hiburan yang tidak sehat.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib penduduk kota ini kelak. Saatnya Pemko Medan memperhatikan pembangunan taman-taman terbuka, sebagai pemersatu rakyat kota ini, hiburan yang sehat bagi penduduk yang bersahaja.