My 500 Words

Jumat, 11 April 2014

SEANDAINYA AKU TIDAK MENCALEG!

(Kisah ini Hanyalah Khayalanku Belaka, bukan Peristiwa Nyata)

Usai Pileg kemaren, aku sadar, setelah suara yang masuk di TPS begitu mengecewakanku. Dengan suara tidak sampai 1000 dari TPS andalanku pasti aku tidak lolos ke DPRD Tingkat I.

Uang yang sudah kukeluarkan Rp 1 miliar itu rupanya banyak. Begitu mudahnya aku membelanjakannya hanya dalam waktu sepuluh bulan. Aku taburkan uang rata-rata Rp 100 juta per bulan.

Seandainya tidak jadi Caleg, aku bisa gunakan uang Rp 1 miliar itu buat belanja anak namboruku yang akhirnya putus sekolah. Padahal mereka sudah datang ke rumahku meminta tolong. Sayangnya, saat itu semua tim suksesku butuh biaya. Jadi tidak tersedia uang kas lagi di tanganku. Di mataku Caleg adalah segala-galanya.

Uang itu bisa kupakai untuk membelanjai tiga putri saudaraku yang yatim piatu, sampai tamat kuliah. Caleg, memang segala-galanya, sehingga aku buta melihat keluargaku yang miskin. Kini, baru aku sadar, merekalah sebenarnya suara Tuhan itu. "Menolong orang yang berkekurangan".

Aku lebih suka memalingkan telingaku dan mendengar para tim suksesku yang meski hanya suara "kosong". "Kita pasti menang, kita pasti menang". Tapi entah kenapa, aku selalu yakin. Suara mereka selalu kuyakini, seperti Suara Tuhan!

Aku malah mengabaikan nasehat teman-temanku, yang selama ini cukup bijak. Mereka beberapa kali mengatakan tidak usah mencalon, karena biayanya besar dan persaingan sangat ketat dan tidak mungkin menang. Aku benci nasehat mereka. Padahal, merekalah yang seharusnya kudengar. Banyak diantara mereka sangat berpengalaman mengelola kampanye.

Aku banyak menipu mereka. Berkali-kali mereka datang, tak pernah sekalipun kuhargai, bahkan tak memberinya transport. Padahal ide-ide merekalah yang kucuri dan kupakai dalam kampanyeku. Soalnya di dalam timku, tidak ada yang berpengalaman.

Aku selalu sindir teman-temanku yang ahli kampanye itu dengan kata-kata, "jangan banyak teorilah". Padahal, aku hanya menghindari supaya jangan membayar honor atas ide mereka mahal itu. Aku hanya mau membayar tim yang selalu memujiku, meskipun mereka tidak punya pengalaman apa-apa.

Aku malah tidak kasihan melihat beberapa temanku yang karena idealis mereka hanya bisa naik sepeda motor, datang menemuiku di panas matahari. Bahkan aku sering mengejek mereka, tidak bisa cari duit. Dengan uang segitu banyak, aku seharusnya bisa menolong mereka dengan membeli mobil sederhana agar tugas pelayanannya lancar.

Aku tidak sedikitpun peduli temanku yang sudah 4 tahun hanya naik sepeda motor, setelah mobilnya dijual untuk membelanjai anaknya. Aku butuh mereka yang punya mobil, supaya tidak menyediakan lagi biaya transportnya. Itu sebabnya, di depan centerku selalu parkir mobil-mobil mewah.

Kini aku sadar, bahwa mereka hanyalah kontraktor-kontraktor yang tak punya massa, bahkan tak punya teman. Mereka hanyalah para pragmatis yang mengharapkan aku bisa menang. Mereka akan mendapatkan proyek dengan mudah menggunakan namaku kelak. Mereka memang membantuku, tetapi bukanlah bantuan yang tulus.

Ah, anakku lagi. Selama kampanye untuk ngasi uang jajannya saja kadang aku lupa. Angan-angannnya sekolah di Amerika seringkali kuabaikan. Dengan uang Rp 1 miliar, aku tidak usah pusing lagi menyekolahkan anak saya ke Singapura, Australia, atau cita-citanya sekolah ke Amerika.

Kalung istriku, kebanggaannya kalau duduk di gereja. Gelang yang melekat di tangannya, rante mas yang melingkar di lehernya, liontin berlian mempercantik dirinya, kini semua sudah lenyap.

Utangku...oh utangku. Kuharapkan bisa lunas, kalau aku jadi Caleg. Kemaren petugas bank sudah datang dan menyegel rumahku. Aku jadi malu. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang suka menyumbang, khususnya rumah ibadah. Kemana mukaku, kalau besok dia datang lagi.

Tetangga akan mengejek aku. "Hari gini nggak bisa bayar utang?". Aku mau bilang apa?

Kini aku hanya bisa berandai-andai. Uang satu miliar lenyap. Orang menyalahkanku. Semua teman-teman menjauhiku. Padahal, beberapa hari sebelumnya, mereka masih menerima uang ratusan juta untuk mengawasi TPS.

Bahkan smspun sudah hampir tidak masuk lagi. Dulu ribuan sms masuk ke HPku: "Kita pasti menang bos. Lanjut".

Sadarlah aku arti peribahasa ini: "Arang habis, besi binasa"

Oh seandainya aku tidak Mencaleg!

Medan, 10 April 2014
Jannerson Girsang

Jumat, 04 April 2014

Blusukan dan Kebijakan Pro-Rakyat (Harian Analisa, 4 April 2014)


Oleh: Jannerson Girsang.

Pejabat di daerah kami suka blusukan bah, hebat kali dia, dekat dengan rakyat. Tunggu dulu!.

Jangan buru-buru menilai. Blusukan yang dilakukan seorang pejabat Negara itu mahal dan dibayar rakyat.

Blusukan, istilah yang sangat popular dan banyak dilakoni pejabat belakangan ini bukanlah sekedar jalan-jalan mencitrakan diri dekat dengan rakyat, tetapi harus bermanfaat bagi perumusan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Banyak pejabat melakukan blusukan bahkan memasuki rumah-rumah kumuh, berfoto di depan jembatan-jembatan yang rusak, jalan-jalan rusak, petani-petani miskin, diliput dan disiarkan media.


Kalau pejabat itu, besoknya dan bulan-bulan berikutnya, terus melakukan blusukan, bahkan sampai lima tahun periode jabatannya, tanpa menghasilkan kebijakan atau memuluskan kebijakan yang sudah ada, maka itu namanya pencitraan menggunakan uang negara.


Mari dengar apa kata pejabat yang suka blusukan dan menjadi terkenal di Jakarta. Istilah Jokowi, esensi blusukan adalah melatih mental dan spiritual karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan, menurut dia, cara seperti ini ampuh dalam membantu membuat kebijakan. Kata kuncinya, kebijakan. Bukan sekedar jalan-jalan semata dan mencitrakan diri dekat dengan rakyat.


Blusukan dilakukan, “Agar kita nyambung dengan rakyat, bisa merasakan getaran rakyat. Kalau bersalaman saja nggak pernah, bersentuhan kulit saja nggak pernah. Bagaimana mata batin kita bisa terlatih, kalau kita tidak pernah berdekatan dengan rakyat yang menderita,” ujar Jokowi saat seminar kepemimpinan di kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1


Seorang tokoh masyarakat Frans Magnis Soeseno, yang juga Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai meninjau ke daerah-daerah di Indonesia memang menjadi salah satu tugas Presiden Indonesia. Namun bukan berarti permasalahan Indonesia dapat selesai dengan melakukan blusukan. (http://www.merdeka.com/peristiwa/franz-magnis-blusukan-itu-tidak-menyelesaikan-masalah.html).


Kebijakan yang Pro-Rakyat


Rakyat yang ditemui pejabat umumnya senang. Bisa bersalaman dengan Presiden, Gubernur, atau Bupati adalah sebuah kehormatan bagi merekat. Tiba di kedai kopi bisa bercerita kepada temannya. Atau tiba di rumah bercerita kepada keluarganya. Pertemuan yang bisa menjadi mimpi masa depan.


Untuk jangka pendek mereka puas. Tapi sesudah itu, got di sekitar rumahnya, air PAM yang tidak mengalir dalam jam-jam tertentu, listrik yang mati, harga sarana produksi petani yang meroket, serta berbagai kebutuhan vital mereka tidak kunjung terpenuhi. Blusukan itu menjadi tidak berarti dan mengecewakan, menurunkan kepercayaan masyarakat.


Blusukan harusnya memastikan persoalan yang dirumuskan sesuai fakta, kebijakan yang diambil menyelesaikan persoalan yang dirumuskan itu dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Bukan sekedar cium-ciuman atau salam-salaman dengan penduduk, sekedar menjalin hubungan emosional. Memang, rakyat butuh itu, tetapi bukan satu-satunya.


Blusukan seorang pejabat misalnya, Presiden, Gubernur atau Bupati adalah proses merumuskan permasalahan untuk membuat kebijakan atau memuluskan pelaksanaan kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang dibutuhkan rakyat untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.


Secara umum, Said Zainal Abidin dalam bukunya Kebijakan Publik (Said Zainal Abidin,2004:31-33) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan: Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang dan Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.


Idealnya, menurut Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam era otonomi daerah, ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seluruhnya tidak ditangani oleh pemerintah pusat. “Dengan blusukan, idealnya kebijakan yang diambil bisa dilakukan secara cepat dan tepat guna, karena sudah melihat permasalahan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak mubajir,”. (www.harianterbit.com. 21 Maret 2014)


Jadi, blusukan adalah mempertajam kebijakan seorang pejabat sesuai dengan levelnya masing-masing. Blusukan adalah mengidentifikasi hal-hal yang belum terjamah ketika merumuskan sebuah kebijakan, sehingga pelaksanaan di lapangan berhasil. Jadi, blusukan adalah tugas pejabat untuk memastikan sebuah kebijakan yang dikeluarkannya benar-benar bermanfaat dan menyentuh kepentingan rakyat banyak.


Blusukan itu Mahal


Blusukan seorang pejabat menyerap dana yang tidak sedikit, tergantung pejabatnya. Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, lurah. Bayangkan kalau seorang presiden blusukan, biaya transportasi, biaya pengawalan, biaya lapangan dan lain-lain cukup besar.

Blusukan yang dilakukan Jokowi di berbagai lokasi di Solo, atau Jakarta sekarang ini memang banyak menghasilkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat, walau tentunya bukan hal yang baik bagi mereka yang merasa dirugikan.


Kebijakan blusukan Jokowi bukan tidak mendapat kritikan dari masyarakat. Sesuai dengan release LSM Fitra, anggaran blusukan Jokowi mencapai Rp 26 miliar, sementara anggaran blusukan pendahulunya hanya Rp 17, 64 miliar.


Soal anggaran ini tentu terpulang pada hasil blusukan itu yang tercermin dalam manfaatnya bagi rakyat banyak. Masyarakat tidak akan memperdulikan anggaran yang dikeluarkan asalkan hasil blusukan itu mampu memberi manfaat bagi rakyat.

Rakyat dewasa ini memang suka pejabat dekat dengan mereka. Seorang tokoh partai di Jakarta, bahkan menganjurkan pejabat-pejabat melakukan blusukan. "Terlepas anggaran yang harus dipertanggung jawabkan semua perangkat struktur pemerintah daerah harus ikut blusukan juga. Serta efek blusukan itu harus demi semua warga Jakarta dan kota Jakarta," demikian diungkapkan seorang tokoh partai PKB di Jakarta.


Bagaimana blusukan yang dilakukan pejabat di daerah kita?. Rakyat harus menuntut blusukan seorang pejabat dengan sebuah pertanggungjawaban. Mereka bukan hanya jalan-jalan, bagi-bagi bantuan sekedar pencitraan untuk periode berikutnya.


Masyarakat harus kritis mempertanyakan apakah sesudah blusukan, pejabat yang bersangkutan memiliki kebijakan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebab, kata Frans Magnis Soeseno, blusukan tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan di lapangan.


Dan, jangan pula sembarangan menilai, seorang pejabat yang suka blusukan itu baik. Tergantung!. Apakah sesudah itu ada kebijakan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak!.



Artikel ini bisa diakses di http://analisadaily.com/news/read/blusukan-dan-kebijakan-pro-rakyat/18943/2014/04/04

Selasa, 01 April 2014

Mengenang Sembilan Tahun Gempa Nias: “Bencana Lepas, Jangan Selepas Itu Dilupakan”



Oleh: Jannerson Girsang[1]
Sembilan tahun peristiwa tragis dan memilukan itu berlalu. Mengisahkan kembali Gempa terbesar lima puluh tahun terakhir dengan 8.7 Skala Richter yang menerjang Nias dan menewaskan ratusan penduduk, ribuan rumah penduduk hancur dan bangunan pemerintah, serta fasilitas umum lainnya rusak parah, mengingatkan kita bagaimana bangsa ini pernah memiliki pengalaman keluar dari bencana dahsyat itu.  Penderitaan penduduk, karya-karya ratusan lembaga-lembaga internasional/dalam negeri, dan pemerintah dalam menangani bencana menghasilkan sesuatu peradaban manusia untuk menaklukkan alam dan diwariskan ke generasi berikutnya. 

Catatan Pribadi

28 Maret 2005, sekitar pukul 23.00. Saat penduduk Medan bersiap-siap ke peraduan, tiba-tiba merasakan goncangan hebat. Lampu listrik di kamar bergoyang-goyang, terdengar bunyi krek..krek di atas atap dan dinding. Semua anggota keluarga berhamburan ke luar rumah.  Malam itu, penduduk Medan bisa tidur lelap. 
Ternyata, saat yang sama penduduk Nias semalama tidak bisa tidur. Mereka kehilangan sanak saudara tewas tertimpa runtuhan bangunan, menjerit meminta pertolongan dan berlarian ketakutan menuju ke perbukitan akibat terjarang gempa berskala 8,7 Skala Richter, dan khawatir disusul tsunami. 

Sehari sesudah gempa, sebagai Information Officer untuk sebuah kantor lembaga donor, saya ditugaskan ke lokasi bencana. Penerbangan regular masih tertutup, karena bandara Binaka rusak berat. Kalaupun ada sangat terbatas, karena hanya pesawat khusus.  Dengan menumpang  Ferry dari Sibolga dan mengarungi Samudera Hindia selama dua belas jam, saya tiba di pelabuhan Gunungsitoli, pagi hari sekitar pukul 06.00, 30 Maret 2005.

Ketika menyusuri jalan  dengan ojek—saat itu satu-satunya alat transportasi yang tersedia, dari pelabuhan pusat kota, saya menyaksikan kerusakan hebat di sepanjang jalan. Di sebelah kanan jalan, Bank BRI—kantor perbankan satu-satunya di sana ketika itu,  rubuh. Di pusat kota, hotel-hotel berlantai dua-empat rata dengan tanah, ratusan rumah penduduk rusak berat. Sedih melihat rombongan yang baru saja kembali dari pemakaman mengantar mayat. Saya kamum melihat  beberapa sukarelawan sedang melakukan penggalian bangunan untuk mencari mayat yang belum ditemukan.

Saya meninjau lokasi korban di sekitar daerah Pelita, rumah-rumah rubuh dan penduduk mengungsi. Di sebuah mesjid dekat lapangan Pelita terdapat ratusan pengungsi yang tertidur dan sebagian memasak indo mie, mungkin persediaan makanan terakhir mereka. Sangat menyedihkan!.

Malam pertama saya di sana suasana begitu menyeramkan. Saya sendiri menginap di kompleks kampus Sunderman, sebuah bangunan terbuat dari kayu yang tahan gempa. Malam hari kota itu begitu mencekam. Gelap gulita, karena jaringan listrik rusak, rumah-rumah kosong karena penduduk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar Gunungsitoli, seperti Mega View dll. Di tengah kegelapan, terkadang di daerah tertentu saya mencium bau mayat.  Mungkin masih ada mayat yang belum sempat diangkut dari reruntuhan bangunan.

Kembali ke penginapan, di depan tempat saya menginap di Kompleks STT Sundherman, saya kisah-kisah menyedihkan dari beberapa korban yang mengunsi di sana. Ada yang keluarganya patah kaki, atau kehilangan anak-anak mereka karena tewas tertimpa bangunan. 

Telekomunikasi tidak sepenuhnya berfungsi (hanya beberapa oprator yang bisa terhubung), lapangan terbang rusak, jalan-jalan rusak dan sebagian tidak bisa dilalui kenderaan roda empat.  Transportasi laut dengan kapal Ferry menjadi alat transportasi vital. Akibatnya, kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama makanan langka.

Pulau ini benar-benar terisolasi. Sudah tertimpa  bencana, akses masuk terbatas pula. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula. Masyarakat yang tertimpa gempa hanya  menggantungkan diri kepada bantuan dari luar pulau. Mereka memerlukan kebutuhan pokok, obat-obatan, serta penghiburan.

Selama berada di sana, saya menyaksikan helikopter menjadi alat transportasi yang sangat efektif, menunggu bandara selesai direhab. Lapangan sepakbola di Jalan Pelita seolah menjadi bandara oengganti yang menghubungkan Nias dengan bandara Polonia Medan dan Meulaboh. Berkali-kali saya menyaksikan Helikopter Xinox milik Singapura  mendarat di lapangan Pelita, membawa relawan dan pejabat (termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah berada di Nias beberapa hari setelah gempa), serta mengangkut kembali para korban yang luka-luka dan membutuhkan perawatan ke rumah sakit di Medan.  

Saat seperti itu, informasi atau laporan situasi menjadi  sangat penting, dan harus segera sampai kepada mereka yang bisa memberi bantuan. Beberapa information officer lembaga-lembaga internasional, wartawan asing hadir di sana. Saya bertemu beberapa wartawan asing (Reuter, AFP dll), serta wartawan-wartawan lokal.   Peran mereka sangat strategis dalam mengisahkan kejadian itu ke luar Nias. Muncul solidaritas nasional dan internasional membantu Nias!

Pasca Bencana: Nias dengan Wajah  Baru

Hari ini, sembilan tahun peristiwa itu berlalu. Akibat gempa itu, pulau ini mendapat kucuran dana yang cukup besar, dan belum pernah dialami sepanjang sejarah pulau itu. Ratusan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri dan pemerintah pusat dan daerah mengulurkan tangan melalui bantuan keuangan,  fisik dll.

Pemerintah kemudian menetapkan tahapan-tahapan penanganan  bencana Nias, mulai dari Tahap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Tiga tahapan yang memiliki karakteristik penanganan yang berbeda.  Rehabilitas dan rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa besar seperti di Nias dan Aceh, memerlukan koordinasi yang baik.

Setelah melalui masa darurat, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) yang mencakup wilayah bencana Aceh dan Nias (PP No 2/2005, dan Kepres No 30/2005). Badan ini bertugas membangun kembali masyarakatAceh dan Nias, membangun kembali infrastruktur dan fisik, membangun kembali ekonomi agar bisnis berjalan normal, membangun kembali pemerintahan untuk melayani masyarakat.  

Dengan dana yang bersumber dari APBN, Negara-negara/Lembaga-lembaga Donor (multilateral dan bilateral), Palang Merah Internasional/Negara Indonesia/Indonesia, NGO/LSM (Internasional dan local). Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu. 
BRR Aceh-Nias membangun kembali berbagai fasilitas misalnya jalan, pelabuhan, perkantoran dan pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak, serta berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya. Kalau sebelum gempa dana pemsukan daerah hanya ratusan miliar per tahunnya (1999: Rp 111 miliar), maka selama rekonstruksi dan rehabilitasi triliunan rupiah dana mengalir ke pulau berpenduduk 800 ribu lebih itu.

Saat ini, kemajuan Nias secara fisik dengan mudah bisa disaksikan pada jalan-jalan mulus yang dibangun pasca gempa. Nias sebelumnya tidak pernah memiliki jalan semulus itu. Lapangan terbang diperluas dan kini menjadi lapangan terbang kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kuala Namu, Medan. Bangunan-bangunan yang rusak sudah kembali diperbaiki dan di banyak tempat lebih baik dari sebelumnya. Penduduk mendapat peningkatan kapasitas, mengenal  teknik-teknik baru bercocok tanam dan berbagai usaha baru membangun kembali mata pencaharian mereka.  

Pada kunjungan terakhir ke Nias, Maret 2012, saya menyaksikan kemajuan ekonomi yang luar biasa di pulau ini. Perbankan kini sudah menyebar ke berbagai kota. Kantor BRI berdiri megah, demikian pula kantor BNI menjadi bangunan kebanggan kota itu. SPBU yang dimasa sebelum tsunami hanya terdapat di Gunungsitoli, kini memiliki beberapa SPBU, termasuk di Teluk Dalam, Nias Selatan, restoran-restoran di tepi pantai Gunungsitoli lebih ramai.

Jembatan No yang hancur oleh gempa, kini berganti menjadi jembatan yang kokoh memperindah wajah Gunungsitoli. Pasar Yahowu yang hancur, kini berubah menjadi parasa modern di pusat kota. Pasar Yahowu yang hancur akibat gempa, kemudian berubah wajah dengan pasar yang modern dan  kini berdiri megah menghiasi kota itu. 

Kalau sebelum gempa, kapasitas pemerintah, LSM dan masyarakat Nias dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Sumatera Utara, kehadiran  BRR, lembaga-lembaga donor, maupun NGO asing memberikan pengalaman berharga bagi pulai ini merancang dan melaksanakan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Belakangan, pemerintahanpun dimekarkan dari dua Kabupaten menjadi 5 Kabupaten dan Kota.

Kesiapsigaan Bencana

“Tahun demi tahun negeri ini tak lepas dari bencana. Namun, selepas bencana itu datang, selepas itu orang lupa. Tak berubah cara berfikir masyarakat maupun pengelola pemerintah,” kata buku Jurnalisme Bencana dan Bencana Jurnalisme yang ditulis Ahmad Arif, seorang wartawan senior.

Sebuah potongan kritik atas penyakit lupa bangsa ini terhadap peristiwa bencana, padahal kita berada di lingkungan bencana. Pengalaman kita mengelola bencana seharusnya menjadi kearifan yang bisa digunakan pada gempa berikutnya dan bahkan bisa berguna bagi dunia lainnya yang mengalami bencana. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pengelolaan bencana di negeri ini. Bangsa ini masih perlu belajar menggunakan pengalaman sebagai guru yang baik.  

Bayi yang lahir pada 28 Maret 2005, kini sudah berusia 9 tahun. Mereka mungkin sudah kelas dua atau tiga SD. Sekolah-sekolah di Nias seharusnya memiliki muatan lokal pelajaran tentang Gempa besar itu. Anak-anak balita ketika gempa terjadi  kini sudah remaja atau menjelang dewasa juga perlu pengetahuan tentang peristiwa ini. Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) daerah harus lebih gesit ke depan.  
  
Semoga peristiwa 28 Maret 2005 membawa pelajaran bagi bangsa ini di masa datang. Jangan sampai, “Bencana Lepas, Selepas itu pula Kita Lupa”.


[1] Mantan Information Officer untuk Action by Churches Together (ACT-Intl) dan Program Manager Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (2005-2006). Keduanya donor dan Implementing Partner untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Pernah menjadi konsutan media website http://www.nias-bangkit.com dan beberapa kali mengunjungi Nias hingga 2012.    

Minggu, 23 Maret 2014

SELAMAT ULANG TAHUN PERAK BUAT PUTRIKU PATRICIA GIRSANG

Putriku Patricia yang Cantik, Pintar dan Baik!.

Malam ini sepulang dari makan malam di luar, bersama mama dan kedua adikmu Bernad dan Devi, bapak sendirian di meja kesayangan, berdoa dan menuliskan sesuatu yang mungkin ada artinya bagi hidupmu ke depan.

Mungkin di Depok, kalian sudah di peraduan, sementara Bapak masih menahan ngantuk menyelesaikan renungan ini.

Bapak menganggap ini hadiah istimewa. Tidak semua anak mengetahui peristiwa kelahirannya dan kau salah seorang yang berbahagia, karena bapak masih sempat menceritakannya.

Kado sederhana dari Bapak, di tahun pertama bersama  pasanganmu sehidup semati, Frederik Simanjuntak. Kado  seorang ayah yang sangat menyayangimu!.

Kenangan ini bapak tuliskan untuk memaknai hari kelahiranmu dan peristiwa istimewa pada pernikahanmu tahun lalu, beberapa bulan menjelang Ulang Tahunmu ke-25.

Selamat Ulang Tahun ke-25 dan selamat menjalani HIDUP BARU bersama menantuku Frederick Simanjuntak, pilihan hatimu dan yang kami sayangi.   

Menunggu Tengah Malam Hingga Pagi

Tengah malam 23 Maret 1989. Cuaca cerah di kota Pematangsiantar yang sepi. Hanya  suara gelegar becak BSA, angkutan khas kota itu terdengar di kejauhan.    

Malam itu, saya sendiri   mengendarai mobil dinas Rektor Universitas Simalungun (USI), mengantarkan mamayang usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih, ke Klinik Bersalin Bidan br Tondang di Jalan Simalungun, Kelapa Dua, Pematangsiantar.

Beberapa jam menunggu, Patricia lahir normal pagi hari sekitar pukul 06.00. Peristiwa ini adalah pengalaman kedua menyaksikan isteri melahirkan. Tidak sedramatis kelahiran putri pertama, yang sempat mengalami pecah ketuban dan sempat kering. Pada kelahiran Patricia, hampir semua ciri-ciri akan melahirkan dan segala persiapan sudah dilakukan.

Saya memberimu nama Patricia Marcelina Girsang. Saya hanya mengingat arti nama Patricia, diambil dari seorang perempuan Cina yang meminta suaka ke Italia. Dia begitu tegar dan seorang yang sekuat tenaga berjuang  dan pantang menyerah. Marcelina bapak sudah lupa artinya. Mungkin nama itu dari ompung perempuan yang pernah mengatakan nama Marta, Marcelina. Nanti Tanya ompung apa artinya. Mungkin diambil dari sana.

Pernah bapak cantumkan nama tambahan Anastasia. Tetapi karena kepanjangan, akhirnya dihapus.  (nama ini kemudian saya berikan kepada adikmu Devi Anastasia. Ini mungkin yang membuat Patricia dan Devi begitu dekat, orang yang paling sedih ketika kau menikah).

Patricia sangat istimewa bagi saya. Nama Patricia juga mengingatkan Bapak saat sedang berada di posisi puncak, menjabat Rektor USI, saat masih  muda (28 tahun).  Kelahiranmu begitu membahagiakan Bapak dan Mama, menjadi perhatian banyak orang. Kau begitu menyenangkan!

Saya sempat terpikir memberimu nama Rektoriana. Tetapi tidak jadi. Bapak juga tidak ingat lagi alasannya. Tapi, untunglah tidak jadi, karena nama itu terlalu berat kau sandang. Beberapa bulan setelah kau lahir, bapak sudah melepas jabatan itu. Jabatan hanya sementara, dan tidak  kekal.  

Bahkan Bapak harus meninggalkanmu berbulan-bulan, hingga sewaktu kembali, Pety tidak mau bapak gendong lagi karena tidak kenal. Sedih ya!.

Sampai akhirnya kita pindah ke Medan, 1990. Kau menjalani masa-masa kecilmu di rumah kontrakan yang kecil selama bertahun-tahun.  Guru-guru dan anak-anak Sekolah Minggi di jemaat Simalingkar membuat kalian tetap berbahagia. Mama selalu di ruah membimbing dan mengisnpirasi kalian.

Sekolah Katholik Budi Murni mulai SD sampai SMP memberimu didikan yang baik, hingga bisa memasuki SMA favorit di Medan.

Kau akhirnya merasakan enaknya kuliah di Universitas terbaik di negeri ini, bekerja dan kemudian menikah. Kini semua yang terbaik dianugerahkan Tuhan kepadamu, kepada Bapak dan Mama. Great Patricia! 

Silitonga Hadir saat Kau Lahir, Boru Silitonga datang 25 Tahun Kemudian

Di ulang tahun ke-25 ini, Patricia baru saja mengalami peristiwa penting dalam hidupmu. Saat pernikahanmu, Bapak teringat sebuah peristiwa penting.

Satu atau dua bulan setelah Patricia lahir,  Kol JP Silitonga—Bupati Simalungun (1980-1990), dan juga Ketua Umum Yayasan Universitas itu, melakukan peninjauan ke kompleks kampus USI, di Jalan Sisingamangaraja Barat, Pematangsiantar.

Dalam peninjauan itu, Bapak  menceritakan baru saja dikaruniai putri kedua. Beliau senang sekali dan mengucapkan selamat.  JP Silitonga adalah seorang orang tua yang sangat peduli dan memperhatikan anak buahnya.

(Bahkan hingga menjelang meninggalnya, Bapak masih sering dipanggil untuk berkonsultasi. Dia tidak pernah lupa kepada teman seperjuangannya)

Saat mau pulang, Setelah selesai meninjau kampus, Pak JP  (panggilan akrabnya) langsung menyuruh supirnya mengarahkan mobil ke Rumah Dinas Rektor USI, yang kebetulan berada  di kompleks USI.

Beliau masuk ke rumah dan menyalami Mama. Patricia yang saat itu masih tidur di kamar, langsung disuruh dibawa ke ruang tamu. “Wah, ini berkat untuk keuarga Pak Girsang. Cantik ya. Nanti orang pintar ini…” kata beliau.

(Bapak merasa apa yang diucapkan beliau terbukti. Prestasimu cukup membanggakan Bapak dan Mama, kemudian mendapat suami yang pintar dan baik pula).

Bapak masih ingat, beliau memberikan “kado” yang nilainya cukup besar untuk ukuran  saya ketika  itu.

Dua puluh lima tahun kemudian, Patricia menikah dengan menantu saya Frederick Simanjuntak,   kebetulan ibunya boru Silitonga.

Ketika keluarga Simanjuntak melakukan kunjungan ke rumah kita, Marhusip, Juli,  2013, Bapak  sangat senang. Boru Silitonga (mertua Patricia) adalah seorang ibu yang tegar, ramah, cantik dan lembut, mirip Mamamu ya.

Dia setia dan berjuang mendukung sekolah anak-anaknya. Meski sudah janda ketika anak-anaknya masih kecil-kecil, dengan gelar sintua yang disandangnya di HKBP, mertuamu tetap bersemangat dan mampu mengantar anak-anaknya menyelesaikan pendidikannya.

Saat itu, saya menceritakan bahwa Marga Silitonga sangat baik kepada Patricia, dan pasti boru Silitonga juga baik kepadanya. Semua tertawa dan semua bersuka cita.

Bapak sangat yakin, Patricia berbahagia memiliki mertua yang baik seperti itu. Keluarga besar mereka di Pekanbaru adalah Paradat dan sangat menghormati etika berkeluarga!




 Pernikahan Patricia dan Erick, di HKBP Pekanbaru, 9 Nopember 2013

Bapak memaknai pernikahan Patricia dengan Frederick  mengukuhkan “kebaikan” seorang marga Silitonga dua puluh lima tahun yang lalu. (Konon boru Silitonga (mertua Patricia) masih memiliki hubungan darah dengan Kol JP Silitonga). 

Perbuatan baik Kolonel JP Silitonga  dan ikatan keluarga kami saat ini dengan boru Silitonga di Pekanbaru meyakinkan saya bahwa pernikahan itu bukan rencana manusia.

(Kol JP Silitonga sendiri  meninggal pada 20 September 2007. Memberi pengormatan atas kepergian beliau, saya  menulis orbituarinya di harian Analisa, dan sebelumnya, saya diminta menulis otobiografinya: “Tuhan Berbicaralah, Hambamu Mendengarkan”. Otobiografi itu ditulis saat merayakan Ulang Tahunnya ke 80, pada 3 Januari 2006).

Pernikahan adalah rencana Tuhan. Sakral dan hanya “sekali seumur hidup”. 

Terima kasih untuk menantuku Frederick Simanjuntak, Kau hadir dan mendampingi putriku di ulang tahunnya ke-25. Tulang berdoa buat kalian dan senantiasa bersuka cita dalam Tuhan!

SELAMAT ULANG TAHUN DAN SELAMAT MENJALANI HIDUP BARU. TUHAN MEMBERKATI

Catatan: tanggal 19 Pebruari 2015, pasangan Frederick Simanjuntak, ST dan Patricia Marcelina Girsang, SH dianugerahi Tuhan seorang bayi laki-laki dan diberi nama: Javier Marc Simanjuntak)

Sabtu, 22 Maret 2014

BEDA ANJING DAN MANUSIA

Oleh: Jannerson Girsang

Manusia beda dengan anjing. Manusia punya martabat, punya harga diri dan mampu menaklukkan lingkungannya, tidak tergantung kepada seseorang.

Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, seekor anak anjing yang kudisan dan menjijikkan datang ke teras rumah saya. Tampaknya kurang terurus. 

Lantas, saya memberinya makan seadanya, karena kasihan. Tapi, anehnya, dia tidak mau pergi dan tetap tinggal di teras, menjadi penghuni baru.

Karena tiap hari datang, timbul niat saya memeliharanya. Beberapa hari kemudian, saya memandikannya, memberi obat pada luka-luka di tubuhnya.

Beberapa minggu kemudian, anak anjing itu jadi menarik perhatian semua anak-anak, termasuk saya sendiri, karena memang mungkin dari keturunan anjing yang bagus. Anak saya memberinya nama Boncel!. Tapi tidak ada marganya, seperti keluarga saya.

Yang menarik, anjing begitu loyal kepada induk semangnya. Dia mengenal betul siapa yang menjadi tuannya. Kalau saya pulang dari mana saja, dari jauh, beberapa ratus meter dari rumah, anjing berwarna putih dan sangat menyenangkan itu, sudah menjemput saya.

Lama kelamaan, dia mengenal anjing-anjing lain dan berhubungan dengan anjing jantan yang lewat di depan rumah kami.

Begitulah Anjing, tidak perlu memilih bebet, bobot calon suaminya. Entah mereka satu marga atau satu ibu, mereka tidak pernah tau.

Dia kemudian hamil dan melahirkan. Saya sungguh takjub melihat anjing. Dia bisa melahirkan 2 kali setahun, dan jumlahnyapun cukup banyak--7-8 ekor. Selama di rumah kami, anjing itu melahirkan tiga kali. Banyak anggota keluarga yang kebagian anak-anak anjing.

Bahkan anak saya Bernard Patralison Girsang pernah memelihara anaknya: si Don. Dia sangat sayang kepada anak anjing itu, bahkan pernah "berdoa kepada Tuhan" agar kami tidak memotongnya, karena tidak suka lagi memelihara anjing.

(Tapi suatu hari tanpa sepengetahuannya, keluarga saya di kampung membawanya. Dia sangat sedih)

Satu hal yang kurang menyenangkan adalah anjing tidak suka diganggu. Sekali diganggu, dia tau siapa yang mengganggu, dan ketika lewat di depan rumah, dia akan menggongong dan mengejarnya. Bagi yang tidak terbiasa memelihara anjing, maka dia akan ketakutan. Mereka yang pernah digonggongpun mengeluh dan mengundang masalah.

Selain itu anjing tidak pernah memilih-milih temannya. Tidak peduli apakah temannya banyak kutu atau bersih. Hingga suatu ketika, dia memiliki banyak kutu. Jorok dan beberapa bagian tubuhnya sampai terluka.

Akhirnya induk anjing saya antarkan ke belakang Rumah Sakit Adam Malik dan kulepas di sebuah jalan yang sepi. Kembali tak bertuan. Anak-anaknya dibagi-bagi kepada keluarga.

Entah dimana anjing itu sekarang!. Anjing tidak mampu bersikap baik dan memikirkan bahaya yang dilakukannya.

Dia hidup sesuai dengan kemauan bosnya. Bosnya lagi pengen anjing, maka dia hidup dengan bosnya. Ketika bosnya sudah tidak butuh, dia dibuang begitu saja.

Tentu tidak ada bos yang mau memperlakukan manusia, seperti saya memperlakukan si Boncel dan si Don! 

Selasa, 18 Maret 2014

JANGAN GOLPUT di PILEG 2014!

Oleh: Jannerson Girsang

Selamat Pagi dan salam Sejahtera teman-teman.

Turut menggunakan hak di Pileg 2014, berarti Anda ikut mengawasi jalannya pemilu di TPS dan berpartisipasi memilih caleg berkualitas.

Menuju 9 April 2014, beberapa survey memperkirakan Golput meningkat dari Pemilu Legislatif 2009. Puluhan juta kertas suara akan terbuang percuma. Kasihan jutaan petugas KPPS, pegawai KPU yang berdedikasi dan bekerja keras mensukseskan Pemilu, kasihan rakyat yang telah menyisihkan pajaknya untuk biaya Pemilu!.

Menurut tokoh Partai Gerindra Hasyim Joyohadikusumo, kertas suara yang kosong ini bisa menggoda orang melakukan kecurangan. Jadi, ikut mencoblos di TPS menurutnya turut melakukan pengawasan jalannya Pemilu yang bersih dan memilih caleg yang berkualitas.

Golput berarti tidak menghargai jerih payah lebih dari 3.5 juta petugas KPPS di TPS (7 orang petugas KPPS, di 545.647 TPS di seluruh Indonesia), ribuan pegawai KPU Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota. Mereka adalah teman sebangsa Anda yang berdedikasi, bekerja keras mempersiapkan penyaluran hak pilih rakyat melalui pencoblosan di TPS.

Kami adalah orang-orang kecil dan tidak pernah menikmati enaknya jadi anggota legislatif. Sebagai petugas KPPS beberapa Pemilu, kami rela berjemur di panas, kedinginan kalau datang hujan, lelah menghitung suara kadang sampai larut malam. Semua demi tegaknya demokrasi di Indonesia.

Ujung-ujungnya, saya sedih melihat surat suara yang hampir 50% kosong, dan harus dikembalikan, tanpa dicoblos. Kertas berkualitas tinggi itu, sia-sia. Sebagian dari Rp. 16.000.000.000.000,biaya Pemilu 2014, seolah membuang "garam ke laut".

Mari, jangan sia-siakan uang rakyat. Jangan biarkan kertas suara kosong, jadi potensi sumber kecurangan. Datanglah ke TPS, 9 April 2014!

Turut memilih, berarti Anda berpastisipasi mengawasi jalannya Pemilu di TPS, mendorong terpilihnya caleg-caleg terbaik bangsa!.


Pastikan diri Anda terdaftar di DPT.

Sebuah terobosan baru dan pantas kita hargai, pada Pemilu Legislatif 2014, KPU sudah membuat database seluruh Pemilih yang dengan mudah bisa dibuka di website. Sebuah prestasi luar biasa KPU di era reformasi ini. 

Pertama, Periksa nama Anda, apakah sudah terdaftar atau belum di DPT.

Klik website KPU data.kpu.go.id/dpt.php!.

Setelah terbuka, masukkan NIK KTP. Website ini akan memberitahu Anda Nomor TPS tempat Anda memilih. Enak kan?. Kurang apa lagi?.

Tidak usah ribut-ribut nanti di TPS. Kalau belum terdaftar, hubungi Kepling atau minta keterangan dari KPU!.
 
Keluarga saya semua sudah terdaftar. Pastikan semua anggota keluarga Anda sudah terdaftar di DPT.

Himbauan keprihatinan ini kusampaikan kepada seluruh bangsa ini, khususnya generasi Muda. Gunakanlah hak pilihmu, cintailah negerimu. 

Penulis pernah menjadi anggota/Ketua  KPPS Pemilu, Pilpres, Pilgub dan Pilkada!  

Senin, 10 Maret 2014

Warning!

Peringatan!

Pagi ini (10 Maret 2014) saya memeriksa melalui mesin pencari Google dan menemukan sebuah website:    http://faktamemberimakna.com/ melakukan penjiplakan atas puluhan artikel dari blog saya ini untuk tujuan komersial.

Website tersebut  tanpa nama. Yang jelas puluhan pemasang iklannya adalah perusahaan-perusahaan Indonesia. Tentu para pemasang iklan mengetahui nama pemiliknya. Dengan bantuan artikel-artikel tersebut, para pemasang iklan tertarik memasang iklannya di sana dan penjiplaknya memperoleh penghasilan (mungkin tidak banyak).

Tetapi dari segi etika penulisan hal tersebut sudah melanggar hukum pelanggaran hak cipta. Saya meminta agar pemilik website tersebut menarik semua artikelnya dan kepada pemasang iklan agar menarik iklannya.

Terima kasih.

Jannerson Girsang
Pemilik Blog ini. 

Catatan: Saya melakukan checking tanggal 20 Maret 2014, website di atas sudah hilang di telan bumi.Semoga tidak lahir lagi website yang memposting tulisan dengan cara yang tidak benar..

Warning!

This morning (March 10, 2014) I checked through Google search engine and found a website: http://faktamemberimakna.com/ replicating over dozens of articles in this blog for commercial purposes.
 

This websiteis  anonymous. However, dozens advertisers are Indonesian companies. (Advertisers certainly know the owner of the website). For sure, with the help of these articles, the advertisers are interested in putting ads on there owner of the website earns money (probably not much).

But in terms of the ethics of writing it had violated copyright infringement laws. I requested that the website owner pulled all his articles and  advertisers withdraw their ads from the articles.

Thank you.


Jannerson Girsang
Owner of This Blog

On March 20, 2014, I did the checking, founding that the above website has been swallowed by earth. Hopefully such websites that posting article in a wrong way. 

Jumat, 07 Maret 2014

Selamat Ulang Tahun buat Putriku CLARA!


Pengalaman pertama dalam hidupku masih segar dalam ingatanku. Cuaca dingin di kota Jakarta, ketika kebanyakan orang sudah nyenyak tidurnya, dinihari, 7 Maret 1985.Kelahiran putri pertamaku, Clara Mariana.

Setelah beberapa jam tertidur, di sebuah kamar di rumah mertuaku, Kramat Jati, Jakarta,  istri saya mengeluh sakit. Perut mules, ciri-ciri akan melahirkan.

"Pak, sakit....." katanya. Jeritan bahagia seorang perempuan, sambil mengelus-elus perutnya yang berisi kandungan yang sudah melebihi usia 9 bulan.

Sebagai suami yang baru pertama kali mengalami peristiwa "aneh" itu, saya melaporkan kepada kedua almarhum mertuaku.

"Kita akan mendapat berkat," demikian kata mereka. Mereka memahami betul apa yang sedang terjadi pada istriku, karena sudah pengalaman dengan tiga putri mereka. 

Lepas tengah malam, dengan pakaian tidur, tanpa cuci muka, saya dan kedua almarhum mertuaku yang menyetir pick up miliknya kami membawa istriku yang sedang kesakitan ke Klinik Bersalin milik keluarga dekat, di daerah Pegadegan, Cikoko, Jakarta.

"Air ketuban sudah pecah dan hampir kering," demikian kata bidan--yang juga namboru kandung istriku.  Saya tidak mengerti apa artinya. (Kata bidang kemudian setelah bayi lahir, hampir saja tindakan operasi dilakukan, tetapi karena semangat istriku, dia berhasil melahirkan normal).

Setelah menunggu beberapa jam, pukul 06.00, saya mendengar tangisan, bayiku lahir.  Seorang perempuan. Hadiah besar di tengah-tengah keluarga. Cucu pertama dari mertuaku dan juga orang tuaku.

Kemudian saya beri nama "Clara Mariana Girsang" Clara Girsang. Gabungan nama Pemimpin Polandia, Clara yang saat itu berkunjung ke Jakarta, dan Mariana Ramlan, seorang penyiar TVRI idolaku. Dengan harapan, di kemudian hari Clara meniru karakter kedua wanita itu.

29 Tahun sudah kita jalani hidup: bersama hingga SMA, kemudian meninggalkan rumah, menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia (2008), bekerja di sebuah stasion televisi, menikah.

Kini kau menghadiahkan cucu buatku: Juandra Yason Saragih, buah pernikahanmu dengan menantuku Anja Novalianto Saragih.


 






Photo: Pung, mau aku bonceng gaa??

Andra, cucuku, kini berusia 7 bulan 

Bapak menghadiri acara pembabtisannya, beberapa hari menjelang Ulang Tahunmu. Mama masih diberi berkat mendampingi cucunya hingga 15 Maret mendatang.



Tuhan memberinya berkat, sebuah kesempatan mencurahkan kasih sayang: menjaganya, memberi kasih sayang yang tulus seorang nenek. Mendampingimu menyambut Ulang Tahun tahun ini!

 Photo
 GKPS Depok, 2 Maret 2014

Sebuah berkat yang tidak dialami oleh setiap wanita, tidak dinikmati setiap orang tua seusia bapak dan mama.Ketika kebanyakan teman bapak masih bergelut soal kuliah dan sekolah anak-anaknya, bapak dan mama sudah menimang cucu.

Clara telah memberi contoh yang menginspirasi ketiga adik-adikmu Bernard, Patricia, Devi, dan adik-adikmu yang lain, hingga mereka meneladani langkah-langkahmu dan membuatmu idola. Bahkan mereka mengikuti jejakmu kuliah di universitas terhormat di negeri ini dan mereka bekerja. Mencontoh kakaknya. 

Hari ini kita pantas merenungkan dan bersyukur betapa Kasih Tuhan tidak terhempang oleh gelombang dunia ini, membuat kita mampu melintasinya dengan makna yang terus baru setiap hari. Dia senantiasa hadir tepat pada waktunya, membuat sesuatu selalu indah pada waktu yang ditentukanNya.

Terpujilah namaNya--sumber berkat yang tak lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan!

Selamat Ulang Tahun, Clara, Putriku, buah hatiku!

Selasa, 04 Maret 2014

Dewan Kesenian Jakarta Juga Sempat Melakukan Plagiat!

Oleh: Jannerson Girsang

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah menjiplak artikel saya berjudul Melongok Upacara Ritual Acara Pemakaman. http://harangan-sitora.blogspot.com/2009/06/melongok-upacara-ritual-acara-pemakaman.html#moreini bulat-bulat (100%), tanpa menyebut sumbernya.

DKJ melakukan pementasan dengan narasi menggunakan artikel ini. http://www.dkj.or.id/event/pertunjukan/maestro-maestro. Saya menemukannya sekitar Desember 2010.

Perbuatan tidak terpuji itu ketahuan setelah seorang teman http://simalungunonline.com/tarian-huda-huda.html, mengutip dari website institusi kesenian paling dihormati di Indonesia itu.

Setelah saya cek ternyata juga dimuat di website lembaga kesenian terhormat itu, awalnya, tanpa menyebut sumbernya..

Padahal, lembaga ini cukup terpandang, tetapi tidak luput dari kesalahan.

Yang saya puji dari lembaga ini adalah kemauan minta maaf. Saya mengirim surat protes, Lembaga itu, melalui humasnya, dengan e-mail meminta maaf dan kembali mencantumkan sumbernya.

Sejak itu, artikel Toping-toping dan Huda-huda dari Simalungun di website DKJ,  http://www.dkj.or.id/event/pertunjukan/maestro-maestro, menyebut sumbernya dari blog saya. http://harangan-sitora.blogspot.com.

Bagi saya seorang penulis, itu sudah cukup!. Saya tidak perlu menuntut nilai uang yang mereka peroleh dengan artikel itu. Biarlah hasilnya digunakan untuk pengembangan kesenian bangsa ini.


Semoga tidak ada lembaga pendidikan lagi yang melakukan hal yang sama.

Artikel itu saya tulis berdasarkan pengamatan lapangan di sebuah acara pesta kira-kira 100 kilometer dari Medan. Bukan asal jiplak. Saya meluangkan waktu, tenaga dan bahkan mengorbankan uang.

Kasihanilah penulis-penulis, yang walau belum terkenal, tetapi idenya tidak kalah kok. Biarlah masing-masing unggul dalam keunggulan masing-masing. Jangan unggul di atas penderitaan orang lain.

Selamat berkarya bagi rekan-rekan penulis. Kadang kita kesal melihat mereka yang menamakan dirinya "penulis terkenal" tetapi tidak menghargai ide para penulis daerah yang belum tentu kualitasnya tidak bagus.

Para penulis dimanapun juga manusia kok, tidak beda dengan penulis di daerah. Malah kesan saya banyak yang tidak jujur. Termasuk para professor ketahuan di The Jakarta Post (2010) dan Kompas (2014).


Senin, 03 Maret 2014

Pelajaran dari Artikel Prof Dr Anggito Abimanyu: Plagiator: Lolos dari Redaktur, Terjerat Pembaca (Harian Analisa, 3 Maret 2014)

Oleh: Jannerson Girsang.

Di era internet ini penulis dituntut berhati-hati dan tidak mengirimkan artikel opini jiplakan ke media untuk diterbitkan. Anda bisa lolos dari redaktur atau penanggungjawab opini, tetapi terjerat oleh para pembaca. Media juga dituntut aktif dalam memberantas plagiarisme. 

Profesor dan pejabat tinggi, Prof Dr Anggito Abimanyu bulan Pebruari ini sedang apes. Artikelnya lolos dari pengawasan redaktur, tetapi terjerat pembaca. Seorang pembaca menemukan artikelnya berjudul  ”Gagasan Asuransi Bencana”  di Harian Kompas, 10 Pebruari 2014, menjiplak sebagian besar tulisan Hatbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang diterbitkan di harian yang sama pada 21 Juli 2006.

Peristiwa yang mencemarkan masyarakat intelektual Indonesia ini, hendaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi komunitas penulis, pengelola media dan pencari kebenaran di negeri ini.

Lolos dari Redaktur, Terjerat Pembaca     Redaktur Kompas bisa saja meloloskan artikel Prof Dr Anggito Abimanyu yang dijiplak   dari artikel beberapa tahun sebelumnya, karena kurang cermat menelitinya. Tetapi tidak demikian dengan seorang anggota media warga Kompasiana. Sang penulis artikel begitu jeli melihatnya dan memuat ulasannya dalam artikel berjudul: Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang? (Opini-nya di Kompas 10 Peberuari 2014, dan memostingnya ke Kompasiana pada 15 Pebruari 2014.

Penulisnya dengan rinci membuat perbandingan kedua artikel tersebut dengan memaparkan alinea demi alinea, dan pembaca dapat menemukannya di http://hukum.kompasiana.com/2014/02/15/anggito-abimanyu-menjiplak-artikel-orang-opini-nya-di-kompas-10-feb-2014-635298.html).

Berbagai pendapat mengatakan Anggito bukan hanya menjiplak frasa, tetapi kalimat, hingga paragraf, dan ide secara keseluruhan. Jiplakan disamarkan dengan tambahan tulisan di bagian awal dan akhir tulisan.

Artikel ini cepat menyebar ke media-media online, cetak maupun elektronik. Hingga heboh soal artikel jiplakan Prof Dr Anggito Abimanyu merebak kemana-mana, termasuk ke kampus tempatnya mengajar, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Anggito Abimanyu sendiri langsung menanggapinya dengan serius dan mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen di kampus tersebut.

Tragedi yang dialami Prof Dr Anggito Abimayu ini sekaligus peringatan keras bagi para penulis dan pengelola media. Opini di media massa tidak begitu saja lewat tanpa sensor masyarakat pencinta kebenaran.

Pengalaman Prof Dr Abimayu ini mengingatkan para penulis bahwa ratusan ribu pasang mata membaca dan mengamati karyanya yang diterbitkan di media. Selain itu, penulis harus paham bahwa dari sekian banyak pembaca, ada yang menghargai orang-orang yang mencari kebenaran dan cinta kebenaran. Mereka adalah pembaca yang ingatan dan kepekaan yang tajam, serta penyuara hati nurani.

Di mata para pencinta kebenaran, orang-orang yang melakukan kegiatan plagiat—mencuri sebagian atau seluruh ide dari karya tulis orang lain tanpa menyebut sumbernya  harus mendapat hukuman berat, meski bukan lewat pengadilan.

Plagiator akan menerima hukuman berat dari masyarakat pencinta kebenaran. Pengadilannya berlangsung jujur, meski tidak di depan pengadilan. Sakitnya tak seberapa, malunya ini!

 Menyaring Ide Orisinal

Di lain pihak, setiap pengelola media memiliki cita-cita agar artikel yang dimuatnya menjadi trend setter. Media yang memuat artikel yang sudah dimuat media lain, apalagi media yang sama dengan isi yang sama oleh penulis yang berbeda,  tentu tidak akan mendapat citra seperti itu.

Peristiwa ini sekaligus mengingatkan para redaktur opini di surat kabar bahwa menyaring artikel opini dengan ide yang orisinil dan belum pernah dimuat di media manapun, bukan pekerjaan mudah.

Peristiwa Anggito selayaknya menjadi pelajaran bagi seorang redaktur yang bertanggungjawab terhadap pemuatan opini. Kekurangcermatan redaktur Kompas memuat artikel dengan isi yang sebagian besar sama oleh penulis yang berbeda, berbuntut sangat fatal.

Ketidakjujuran dipadu dengan keteledoran redaktur Kompas setidaknya membuat kredibilitas seorang Anggito hancur. Seperti disebutkan di atas Anggito Abimanyu sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen UGM, salah satu univeesitas unggulan di negeri ini.

Pengelola rubrik opini jangan hanya percaya dengan sederet gelar dan pengalaman yang dimiliki seorang penulis. Atau sebaliknya, media jangan mengabaikan orang awam yang tak bergelar dan berpangkat, padahal, artikelnya cukup berkualitas dan berbobot.

Dengan mengandalkan dua mata, dan ingatan yang terbatas, seorang penanggungjawab opini harus melakukan beberapa kali cross check (pemeriksaan apakah sudah pernah ditulis) sebelum meloloskan sebuah artikel opini.  Setidaknya memasukkan kata-kata kunci artikel yang masuk ke mesin pencari Google. Sebab, ketika opini terbit, ratusan ribu bahkan jutaan pasang mata akan membacanya.

Sikap Media Terhadap Plagiator

Media dituntut bersikap tegas terhadap plagiator. Peristiwa seperti Prof Dr Anggito Abimanyu pernah dialami harian The Jakarta Post, pada 2009 lalu. Saat itu Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita menulis artikel berjudul ‘RI as a new middle power?’ yang dimuat di harian itu pada 12 Nopember 2009. Padahal, srtikel itu  sudah pernah ditulis Carl Ungerer berjudul  “The Middle Power’ Concept in Australian Foreign Policy”, yang diterbitkan the Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551.

The Jakarta Post kemudian menarik artikel profesor “plagiat” itu dan mengumumkannya secara resmi di koran bergengsi itu, 4 Pebruari 2010 (tiga bulan setelah artikel itu dimuat).

Inilah bunyi pengumuman itu (masih bisa diakses di website The Jakarta Post): “The article “RI as a new middle power?” by Prof. Anak Agung Banyu Perwita, published on this page on Nov. 12, 2009, is very similar to a piece written by Carl Ungerer titled “The *Middle Power’ Concept in Australian Foreign Policy”, which was published in the Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551. Both in terms of ideas and in the phrases used, it is very evident this is not the original work of the writer. The Jakarta Post takes claims of plagiarism and the infringement of ideas very seriously. We hereby withdraw the offending article by Anak Agung Banyu Perwita and apologize to our readers, most especially to Mr. Carl Ungerer, for this editorial oversight. The Editor”.

Langkah The Jakarta Post dalam mempermalukan plagiat perlu diikuti Kompas, demikian juga media-media lain. Penulis, redaktur opini, dan masyarakat luas, mari jadikan peristiwa sebagai pelajaran berharga.

Tentu, kita prihatin atas kejadian yang menimpa Prof Dr Anggito Abimanyu. Semua orang bisa salah. Profesor juga manusia kok, bukan malaikat! ***