My 500 Words

Sabtu, 25 Oktober 2014

IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)

Oleh Jannerson Girsang  [1]

*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.

Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan

NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di  Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.

Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.

Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).

Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.

Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional.  Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.

Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan

Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”,  seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus  juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain  dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia  terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap  riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.
Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini,  para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban  melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas.  Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias.  Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya.  Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik  media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.
Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi  penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir:  “Elefu”

Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.

Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.

Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.

Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.

Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”.
Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.

28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo,  sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.

Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.
[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf


IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014)

“Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)


Oleh Jannerson Girsang  [1]


*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di  Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional.  Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”,  seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus  juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain  dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia  terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap  riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.
Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini,  para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban  melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas.  Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias.  Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya.  Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik  media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.
Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi  penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir:  “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”. Selama ini,
Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo,  sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.
[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf

IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 1)


http://nias-bangkit.com, 23 Oktober 2014.

Oleh Jannerson Girsang  [1]
 
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
Hikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf
Hikayat Manao memaikan alat musik "feta batu". | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via FacebookHikayat Manao memaikan alat musik “feta batu”. | Foto: Gibson Rhagib Art Manao via Facebook


NBC — Berita kepergian Hikayat Manaö Minggu, 12 Oktober 2014, sekitar pukul 15.10, mengagetkan banyak pihak. Pria yang dikenal sebagai koreografer, konduktor, pencipta lagu sekaligus penyanyi Nias ini kukenal sangat energik, perkasa, dan tak pernah terdengar sakit.
“Seminggu sebelum dikabarkan meninggal, saya ngobrol lama dengan beliau lewat telepon,”’ujar Apolonius Lase, penulis buku Kamus Li Niha yang sering berbincang dengan Hikayat Manaö.

Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ
Jannerson Girsang | Sumber Foto: KPZ

Saat mendengar berita duka itu saya sedang berada di Bekasi, Jawa Barat, mengunjungi saudara saya yang bermukim di sana. Melalui status Facebook Reny (Markom NBC), saya menyaksikan  foto seorang pria yang sangat kukenal. Saya teperanjat, Hikayat Manaö meninggal!
Tentu, sama dengan saya, ribuan penduduk Nias, khususnya Desa Bawömataluo, para sahabatnya, pencinta budaya NIas, para pengamat budaya, kita semua kehilangan pria kelahiran 12 Juli 1958 itu.

Beberapa menit saya termenung dan berdoa bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kepergiannya membuatku kehilangan seorang “guru” yang selama ini menjadi sumber informasi dalam menulis budaya dan wisata Nias.
Perpustakaanku terbakar! Tak mungkin lagi saya menggali ribuan file yang tersimpan dalam pikirannya yang belum terpublikasi. Mustahil kugali ungkapan-ungkapan dan emosi khas dari pria yang selama puluhan tahun menggeluti budaya dan menguasai banyak hal tentang budaya Nias.

Kenangan Tiga Tahun Lalu

Memutar memori ke belakang, terkenang kembali suatu hari padaFebruari 2011, pertemuan pertama kami di rumahnya di Bawömataluo, saat NBC mengutus saya dan Reny (Ketjel Zagötö) melakukan wawancara dengan Hikayat untuk sebuah publikasi selama tiga jam lebih.
Sore itu, dari gerbang sebelah Timur,  saya dan Reny menapaki 86 anak tangga menuju puncak Desa Bawömataluo yang terletak 250 meter di atas permukaan laut. Di tangga akhir, saya menyaksikan kehebatan rumah-rumah adat peninggalan era megalitik.

Menyusuri perkampungan peninggalan megalitik ibarat masuk ke ruangan masa lalu yang belum pernah terbayang. Sebelah kiri dan kanan terdapat deretan rumah adat yang dihuni masyarakat (Omo Hada) berjejer rapi. Salah satu rumah di jejeran sebelah kiri berbentuk unik yang dikenal sebagai rumah raja (Omo Sebua).

Reny kemudian menunjukkan sebuah rumah sejajar Omo Sebua, hanya beberapa rumah dari sana. Itulah rumah Hikayat Manaö. Di sanalah budayawan yang kesohor itu menunggu kami. Awalnya, saya membayangkan wajahnya yang seram dan bicaranya agak kasar. Sambutan yang hangat dan tutur katanya yang lembut membuyarkan bayangan. Initoh yang disebut Panglima itu.

Ternyata, dia bukan pria seseram yang saya bayangkan. Kesan pertama saya, Hikayat adalah orang yang cepat akrab, humoris. Meski baru pertama kali bertemu, pria ini mampu menciptakan suasana seolah kami sudah lama saling kenal, menghubungkan orang-orang yang dikenalnya dekat dengan tamunya.

Hikayat dengan rendah hati mengoreksi dengan sabar dan sopan kalau ada kesalahan-kesalahan kata yang saya ucapkan dalam bahasa Nias, kalau ada istilah yang saya kurang mengerti.

Budaya adalah darah dagingnya. Membicarakan budaya adalah salah satu sumber kebahagiaannya. Dia tidak kenal  waktu dan tak mengenal lelah. Kata-kata keluar dari mulutnya bak air mengalir.

Bukan saya sendiri. Jodhi Yudhono, wartawan Kompas.com, dan dua penulis Nias yang saya kenal, Apolonius Lase dan Etis Nehe, juga mengakui hal yang sama. Beliau adalah sumber berita yang hangat tentang budaya Nias. “Dari pembicaraan saya dengan beliau seperti biasa saya menangkap aura dan semangat yang berkobar-kobar tatkala bicara soal budaya dan tradisi-tradisi kami Ono Niha.”
Orangnya enak diajak bicara dan terbuka menjelaskan semua pertanyaan. Jawaban-jawabannya jelas, sekali-sekali dia menikmati  (afo) sirih khas Nias. Sore itu, kami mengakhir pembicaraan yang sudah berlangsung hampir tiga jam karena matahari memerah di ufuk barat Desa Bawomataluo yang juga dikenal sebagai “Bukit Matahari” itu dan harus kembali ke Gunungsitoli.
***
Pertemuan pertama itu menyusul kebersamaan kami selama tiga hari dalam Pagelaran Budaya Nias, 13-15 Maret 2011, memungkinkan saya mengamati kegiatanHikayat dari dekat. Pagi-pagi keluar rumah langsung mengatur puluhan anak buahnya untuk mempersiapkan beberapa pertunjukan tari, serta permainan-pemainan tradisional lainnya. Dia aktif mengoordinasikan semua kegiatan, bahkan ikut sebagai pemain.
Lantas dia dikerumuni wartawan. Dia berperan sebagai humas, menjadi sumber informasi bagi wartawan televisi yang saat itu saya catat hadir, antara lain TVOne dan Trans-7,  serta media nasional lainnya.  Dia menjadi penyuara budaya desanya, Bawömataluo, ke luar Nas sehingga diketahui jutaan orang di luar desanya.

Sesudah acara itu, saya tidak pernah bertemu lagi dan berkomunikasi hanya melalui telepon.
Suatu ketika, saya sudah janji akan bertemu sesudah ia kembali dari sebuah pergelaran budaya di Jakarta.Namun, karena sesuatu hal pertemuan itu urung berlangsung. Janji terakhir dan tidak mungkin terwujud seperti pertemuan di rumahnya tiga tahun lalu.
***
Bertemu dengan Hikayat Manaö seolah masuk ke sebuah perpustakaan besar yang didalamnya semua serba komplet, khususnya budaya Nias. Dia adalah sumber inspirasi tentang seorang pencinta budaya. Kegigihan, ketulusan, tanpa pamrih serta semangatnya mewariskan pentingnya budaya dilestarikan adalah sebuah sikap yang langka di zaman hedonisme sekarang ini.
Kini, bertemu dengan Hikayat Manaö mustahil bagi saya terjadi lagi. Kerinduan menggali informasi tentang budaya Nias dari dirinya hanyalah mimpi di siang bolong. Itulah kesedihan pribadi saya atas kepergiannya, kesedihan para penulis lainnya. Perpustakaanku terbakar, ribuan file turut lenyap bersama kepergiannya.
Kehidupan masa kecil Hikayat Manaö menarik diungkap mengingat saat ini banyak keluhan soal fasilitas dalam mengembangkan budaya. Hikayat Manaö telah membuktikan, dengan fasilitas yang terbatas, tempat yang terisolasi, beliau mampu melakukan pengembangan dan pembaharuan budaya Bawömataluo.

Desa Bawömataluo  yang terkenal dengan nilai budaya tinggi peninggalan era megalitik itu bukan sebuah desa yang mencerminkan kemakmuran kehidupan penduduknya. Tidak sehebat popularitas yang disandangnya.

Pada masa kecil Hikayat, penduduk desa berada di bawah garis kemiskian. Mungkin hingga kini, penduduknya masih terbelakang dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera. Di desa seperti inilah Hikayat dilahirkan dan dibesarkan.
***
Sejak kecil Hikayat sudah terbiasa hidup dengan seni, bahkan ketika duduk di sekolah dasar menjadi dirigen di sekolahnya. Darah seni mengalir di tubuhnya di tengah lingkungannya hidup dalam kemiskinan.

Dia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa kelahirannya. Karena SMP belum ada di sekitar desanya, setelah lulus SD Katolik Bawömataluo, Hikayat melanjutkan sekolahnya ke SMP Bintang Laut di Telukdalam dan tinggal di asrama sekolah itu.

Di asrama itu dia menjadi pemukul lonceng gereja hanya untuk mendapatkan sepotong ikan kecil. “Pekerjaan saya di asrama adalah membunyikan lonceng. Habis itu saya dikasih hadiah sepotong ikan kecil oleh Zr Lumbertin,”ujarnya suatu ketika.
seusai menamatkan SMP, Hikayat melanjutkan SMA ke Gunungsitoli. Dia pernah bercerita bahwa transportasi saat itu di Nias masih sulit.  “Saat itu, bepergian ke Gunungsitoli, layaknya berangkat ke luar negeri. Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Telukdalam. Kapal itu memuat 60 penumpang dan barang,”ujarnya, dalam sebuah wawancara NBC.

Waktu tempuh dari Telukdalam ke Gunung Sitoli bisa mencapai  9 jam. Bandingkan sekarang jarak itu bisa ditenpuh dalam 2-3 jam dan perjalanan dapat dilakukan setiap saat.

Masa-masa SMA-nya di Gunungsitoli dijalaninya dengan penuh keprihatinan. Hikayat harus memasak sendiri dan kos di rumah sebuah keluarga, hanya berbekal beras dari Bawömataluo. Untuk membeli kecap penyedap nasi putihnya, Hikayat harus bekerja membuat batubata dengan upah Rp 3 per buah. Bahkan, karena hanya memiliki sepasang pakaian seragam, ia jarang ke gereja.
Mungkin pembukaan lapangan terbang Binaka di Gunungsitoli barangkali sebuah kebahagiaannya yang menonjol, di tengah keprihatinan hidupnya.

“Kami pernah cabut (bolos-red) dari sekolah berjalan kaki dari Gunungsitoli hanya untuk melihat pesawat Capung di Bandara Binaka,”ujarnya tertawa, suatu sore di rumahnya.

Menyelesaikan SMA selama tiga tahun Hikayat berpindah-pindah sekolah. Dia pernah putus sekolah dan memburuh ke Balige di Tapanuli, Pulau Sumatera, kemudian menjadi penjual sepatu di Pematangsiantar.
Akhirnya dengan bantuan mantan kepala sekolahnya di Gunungsitoli Hikayat mendapat kesempatan menyelesaikan SMA-nya di Gunungsitoli melalui jalur ekstraner selama enam bulan.

Hombo Batu: Mengubah Nasib

Hombo batu menjadi tonggak perubahan kehidupan Hikayat. Seperti pernah dikisahkannya, para pengunjung yang menonton hombo batu  ternyata tidak hanya melihat olahraga tradisional terkenal Nias itu sebagai hiburan belaka.
Awal 1980-an, tak lama berselang setelah Hikayat lulus dari SMA, Pangdam II Bukit Barisan Soesilo Soedarman ketika itu berkunjung ke Bawömataluo. Dia menunjukkan kehebatannya di depan panglima.

Kehebatan para pria, termasuk Hikayat Manaö, mengundang decak kagum Panglima TNI dan menawarkan anak-anak muda seperti Hikayat dididik menjadi tentara. Panglima mengajak dirinya dan dua temannya.

Meski akhirnya tidak menjadi tentara, ajakan Panglima TNI itu telah mengubah kehidupannya. Niatnya menjadi tentara itu urung terwujud setelah membaca berita tentang nasib para tentara di Timor Timor. “Saya akhirnya memutuskan tidak menjadi tentara,” ujarnya.
Namun, Hikayat tetap dihargai dan seorang pejabat di Kodam I Bukit Barisan memberi ongkosnya  kembali ke Nias. Akan tetapi, Hikayat tidak kembali ke Nias, justru memilih berangkat ke Jakarta.

Di Jakarta, Hikayat mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Pendapatannya cukup lumayan sehingga mampu membelanjai dirinya dan  biaya perkuliahan. Sambil  bekerja, dia kuliah seusai bekerja di Akademi Teknik Komputer di Matraman, Jakarta. Sayangnya, dia tidak sampai menyelesaikan perkuliahannya. Perusahaan tempatnya bekerja juga akhirnya melakukan perampingan pegawai.

“Saya akhirnya keluar karena yang diajarkan cuma teori melulu, tidak pernah memegang computer,” katanya tiga tahun lalu.   [Bersambung]

[1] Jannerson GirsangPenulis Biografi, tinggal di Medan. Dia juga menulis Profil Hikayat Manao yang dimuat di Nias-Bangkit.com, Maret 2011. - See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-1/#sthash.pEB3slBd.dpuf

Rabu, 22 Oktober 2014

REVOLUSI MENTAL: Mimpi Merubah Dunia, Awali Perubahan Diri Sendiri

Oleh: Jannerson Girsang

Bermimpi merubah orang lain, merubah negara?.

Jangan kawan, tidak usah mengharapkan orang lain berubah, apalagi memaksakan mereka berubah. Kitalah yang lebih dulu berubah.

Ayat emas kita mengatakan: "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka, sebab itulah hukum tertinggi dari taurat dan hukum para nabi"

Sebagaimana kamu menginginkan orang lain berubah, berubahlah seperti perubahan yang Anda harapkan.  Kalau Anda ingin orang lain berubah, maka ubahlah diri Anda lebih dahulu. Jadilah teladan!. Sebab yang lain menginginkan teladan, bukan perintah atau kata-kata.

Itulah Jokowi kita. Dia yang merubah diri lebih dahulu, memberi teladan dan orang lain  mengikutinya.

Jokowi tidak meminta Prabowo atau Abu Rizal Bakrie berubah, tetapi Jokowilah yang terlebih dahulu memberi teladan. Memaafkan, merajut kembali luka lama.Menyembuhkan!

Tindakan-tindakan kecil yang  baru menuju kebaikan., kejujuran sekecil apapun yang kita lakukan, akan menarik orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Ingat!. Anda hanya bisa menjadi diri Anda, tidak bisa menjadi orang lain.

Anda bisa mencaplok kata-kata orang lain, perbuatan orang lain menjadi perbuatan Anda, tetapi pada akhirnya Anda akan kecewa. Sebab itu bukan diri Anda, bukan perbuatan Anda. Anda sendiri tidak menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur!

Ketika Anda merasa sudah berhasil, Anda sendiri tidak akan menikmatinya, tidak akan mampu bersyukur! Kecewa melihat diri sendiri, kecewa melihat orang lain.

Berbuat satu kebaikan yang jujur dengan identitas Anda sendiri, lebih berharga dari seribu kata-kata kebaikan, kejujuran milik orang lain.

Jangan bermimpi merubah orang lain, merubah bangsa, merubah dunia. Lakukan perubahan dari diri sendiri.

Revolusi Mental.

Medan, 22 Oktober 2014

Senin, 20 Oktober 2014

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (9)

Presiden baru Jokowi melepas mantan Presiden SBY. "Semoga Bapak diberi Barokah, kesehatan dan umur yang panjang," katanya. SBY menyambut dengan tepuk tangan dan diikuti para hadirin.

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai Indonesia (8)

Oleh: Jannerson Girsang

"Bubarkan," kata Presiden Baru, Jokowi. Masih terasa kaku. Baru pertama kali mengucapkannya sebagai Presiden yang baru dilantik beberapa jam yang lalu. Upacara penyambutan hanya berlangsung 1-2 menit. Cepat sekali.



Presiden baru Jokowi berbincang dengan mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Tidak terdengar suara apa yang mereka bicarakan.
Saya menyarankan : Pak Jokowi nggak usah tiru deh SBY yang membiarkan pengusutan Soeharto berjalan, padahal hasilnya tidak ada bagi rakyat.

Maafkan semuanya, seperti Anda memaafkan Prabowo yang sudah mengobok-obok Anda di masa lalu. Dendam hanya akan menghasilkan kesusahan bagi diri Bapak dan kami rakyat bapak.

Kalaupun SBY memiliki kesalahan biarlah beliau bertanggungjawab kepada Tuhan. Nggak usah capek deh mengutak-atik kesalahan Presiden lama. Capek, dan pendukungnya kan banyak juga. Lima tahun ke depan kerjakan tugas-tugas yang langsung dirasakan rakyat Indonesia.
Mulai era baru, pemikiran baru dan tindakan-tindakan baru.


Upacara Pelepasan SBY. Terharu....."..pemimpin itu datang dan pergi" kata SBY.

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (7)

Upacara penyambutan Presiden baru berlangsung di Istana Merdeka
Upacara penyambutan Presiden baru sudah berlangsung

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (6)

Presiden baru Indonesia, Jokowi tiba di istana

Mantan Presiden SBY menyambut Presiden Baru Jokowi di Istana Merdeka

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (5)

Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (3)

Oleh: Jannerson Girsang

Presiden baru Republik Indonesia berfoto bersama Ketua MPR RI
































Menyaksikan Peralihan Pemerintahan Damai di Indonesia (2)

Oleh: Jannerson Girsang 

Joko Widodo menyampaikan pidato pertama sebagai Presiden RI ke-7. Joko Widodo (Jokowi), setelah menyapa dan menyebut nama mantan Presiden dan Wakil Presiden yang sempat memimpin Indonesia, Jokowi tak lupa menyapa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
"Yang saya hormati rekan dan sahabat saya Bapak Prabowo Subianto," kata Jokowi saat membuka pidato pertamanya di gedung MPR/DPR Jakarta, Senin (20/10/2014). Prabowo langsung berdiri di tempatnya dan memberi hormat dengan tangan kanan di keningnya. Merinding...terharu melihatnya!. 

Oh Jokowi, oh Prabowo, berdamailah untuk Indonesia Raya!

"Kita tidak bisa besar dalam keterbelahan dan perpecahan. Pemerintahan saya akan memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasalan pelayanan pemerintahan".

"Inilah momen sejarah kita bergerak bersama".
Amin Pak Jokowi!. Kami semua berharap niat bapak akan terwujud lima tahun ke depan. "Revolusi Mental"
Doa untuk Presiden Baru oleh Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Agama RI masa Pemerintahan SBY
Doa untuk Presiden Baru oleh Lukman Hakim Saefuddin, Menteri Agama RI masa Pemerintahan SBY

Sidang Parpurna selesai dan ditutup pukul 11.10, Presidenku sekarang Ir H. Joko Widodo. Semua meninggalkan ruang Sidang. Era Baru Indonesia

 Sidang Parpurna selesai dan ditutup pukul 11.10, Presidenku sekarang Ir H. Joko Widodo. Semua meninggalkan ruang Sidang. Era Baru Indonesia