Oleh : Jannerson Girsang
Di tengah suasana persepakbolaan nasional yang lesu darah dan menghadapi banyak masalah, ada baiknya kita belajar, dari seorang pemain bola legendaris,Pele, yang hari ini, 23 Oktober, genap berusia 69 Tahun.
Para pengemar atau pemain bola di Indonesia tentu tidak asing dengan nama itu. Mungkin beberapa diantara anda, sama seperti saya. Hanya bisa menyaksikannya melalui televisi atau media cetak. Bahkan menonton pertandingan persahabatannya yang pernah diselenggarakan di Jakarta beberapa tahun lalupun tidak mampu (jauh soalnya dari Medan). Permainan bola Pele tak pernah membosankan untuk ditonton. Orangnya menarik dan tidak banyak kontroversi. Namanya senantiasa membawa keagungan dan tidak pernah lenyap dari persepakbolaan dunia, hingga hari ini.
Terlahir dengan nama Edson Arantes do Nascimento), atlet, pemain sepak bola profesional ini, lahir di Tres Coracoes, Brasil, 23 Oktober 1940. Meskipun ia miskin, Pelé tumbuh menjadi seorang superstar olahraga internasional.
Sepanjang masa kecilnya, ia bermain sepakbola “kapanpun dan dimanapun dia bisa”, kadang-kadang menggunakan kaus kaki boneka untuk bola. Pele pertama kali bergabung dengan tim sepak bola pada usia 12 tahun. Penampilan pertamanya pada piala Dunia 1958, yang berhasil mencetak dua gol membuatnya menjadi sensasi internasional. Saat itu dia masih berusia 17 tahun,
Selama karirnya yang mengagumkan itu--mulai pada tahun 1956 dengan FC Santos dan berakhir pada tahun 1977 dengan New York Cosmos, Pele mencetak gol dalam jumlah yang luar biasa. Dari 1363 pertandingan resmi yang diikutinya, dia mampu mencetak 1281 gol. Saat masih aktif sebagai pemain, Pelé menjadi legenda, mitos dan tugu hidup permainan sepak bola. Bersama dengan pemain-pemain senegaranya, Brazil memenangkan Piala Dunia tiga kali, yakni pada 1958, 1962 dan 1970.
Setelah menggantungkan sepatunya, Pelé menjadi seorang duta besar pertandingan, baik dalam iklan untuk perusahaan-perusahaan besar dan juga atas nama amal, seperti kesejahteraan anak-anak dan organisasi kesehatan. Dia juga aktif dalam permainan itu sendiri. Meskin ketenaran di tangannya, ia tetap rendah hati, simpatik dan cerdas. Dia juga bekerja untuk pemerintah Brasil dan menjadi Menteri Olahraga negara itu pada periode 1994-1998.
Pada tahun 1998 FIFA mendirikan Komite Sepak Bola. Sejak itu Pelé menjadi anggota aktif dari kelompok elite ini dan selalu menjadi tamu terhormat di FIFA House.
Pele bukan hanya pemain sepak bola yang terampil di lapangan, tetapi juga trampil dalam dunia diplomasi olah raga. Keterampilan diplomasinya sebagai duta besar olah raga dunia membantu Brasil memenangkan negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, dan Rio de Janeiro akan menjadi tuan rumah Olimpiade yang diselenggarakan 2016 mendatang.
Pele tentu tidak besar sendiri. Dia dikelilingi orang-orang yang memahami bola dan mampu memfasilitasi dirinya menjadi seorang superstar.
Melihat kondisi persepakbolaan daerahku sekarang ini, saya ingat kembali ke masa anak-anak dan remajaku. Saya percaya, perhatian dan minat masyarakat akan bola, tidak lepas dari pengelolaan bola itu sendiri, sehingga menciptakan idola. Kami mencintai sepakbola, karena pada masa itu persepakbolaan di daerah kami, dan juga di tingkat nasional begitu membanggakan.
Di era akhir enampuluhan-awal 1970-an, Sumut masih memiliki tokoh bola seperti TD Pardede, dengan Pardedetexnya, dan tokoh bola Kamaruddin Panggabean yang piawi mengelola persepakbolaan di daerah dan nasional. Kita punya gubernur, Marah Halim Harahap. Nama gubernur saat itu menjadi icon sepakbola di Sumatera Utara. "Marah Halim Cup", atau lebih dikenal dengan Mahal Cup setiap tahun ditunggu-tunggu dan penontonnya, khususnya pertandingan final akan memenuhi Stadion Teladan yang berkapasitas 40,000 penonton itu. Sungguh membanggakan!.
Stadion Teladan Medan, ketika itu secara rutin menjadi arena pertandingan internasional, karena peserta Mahal Cup terdiri dari kesebelasan-kesebelasan dari luar negeri (kami akrab dengan pemain-pemain dari Burma, Thailand, Malaysia, Singapura dan lain-lain). Kami tidak pernah menyaksikan pertandingan yang rusuh. Pertandingan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar tau bola. Gubernurnya, tokoh-tokoh pengelola sepakbolanya, pemain-pemainnya, semua mengerti bola. Nobon, Parlin Siagian, Ronny Pasla, adalah beberapa pemain yang begitu memukau dan menjadi idola.
Sayang, entah sejak kapan dan entah mengapa Marah Halim Cup tidak ada lagi. Saya hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Mudah-mudahan para tokoh sepak bola mau bertanya kepada pak Marah Halim yang masih hidup dan mencari jawabnya.
Itu di daerah. Saya dan masyarakar penggemar bola nasional merindukan persepakbolaan nasional yang menghasilkan pemain sekualitas Pele. Para pengelola sepakbola--paling tidak mendekati pengelola Pele. Yah, setidaknya kita masih bisa meraih prestasi Runner Up Asia Cup di era 1950-an. Barangkali terlalu ideal ya. Apa ya, tidak bisa dipelajari?
Bagi para tokoh-tokoh dan pemain sepakbola di Indonesia, saya mengajak anda menjadikan momen Ulang Tahun Pele 69 ini untuk merenungkan kembali strategi persepakbolaan nasional kita.
Sebagai orang yang sangat menggandrungi olah raga ini, saya dan masyarakat seperti saya rindu pemain idola yang dihasilkan dari permainan fair, pengelolaan yang profesional. Kita tidak ingin terulang lagi pertandingan seperti ”Sriwijaya-Persipura” di Palembang baru-baru ini. Pertandingan yang bikin malu kita semua.
Tentu, jawabannya ada pada Andi Mallarangeng dan tokoh-tokoh bola Tanah Air!Sebuah tantangan berat untuk bung Andi Mallarangeng, Menpora RI yang baru.
”Jangan jawab dengan kata-kata, jawablah dengan tindakan nyata”, mengutip ucapan Presiden SBY pada pelantikan Menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, 22 Oktober 2009 lalu.
Selamat Ulang Tahun Pele!. Kita harus banyak belajarlah dari kisah Pele.
Bahan Referensi :
http://www.timesonline.com
http://www.biography.com
http://www.latinosportslegends.com/Pele_bio.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar