My 500 Words

Jumat, 13 Maret 2009

SELAMAT JALAN JP SILITONGA



 ”Mengabdi Sampai Akhir Hayat

Oleh : Jannerson Girsang

“Bapak JP Silitonga meninggal dunia di Rumah Sakit Permata Bunda sekitar pukul 21.00”, demikian pesan singkat (sms) yang kami terima dari Pendeta Dr Armencius Munthe—sahabat dekat JP Silitonga dan mantan Ephorus GKPS itu, pada pukul 21.30 Kamis 20 September 2007. Setelah konfirmasi dengan Magdalena Silitonga, anak tertua beliau, kami juga mengirimkan beberapa pesan singkat ke teman-teman menginformasikan berita duka itu. Sumatera Utara kehilangan seorang tokoh yang gigih dan berani, peduli sesama dan berkarya hingga akhir hayatnya. Sampai akhir khayatnya beliau masih meluangkan waktu mengajar Kewiraan di USU Medan.

Kematian, tak seorangpun tau kapan datangnya. Sama halnya dengan yang berlaku pada pak JP Silitonga. Sembilan bulan berselang, Januari 2007 lalu, kami bertemu dalam sebuah pesta perkawinan saudara Huger Saragih—dirigen Paduan suara Sola Gratia di Kaban Jahe. Saat itu, beliau masih segar dan senantiasa mengeluarkan lelucon-lelucon yang membuat gelak tawa.
Kami teringat peristiwa dua tahun lalu. Entah sudah mengetahui ”harinya” sudah dekat, saat itu beliau meminta kami membantu menulis otobiografinya. Buku otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan Hambamu Mendengarkan”, diluncurkan 2 Januari 2006, di Medan Club dalam merayakan Ulang Tahunnya ke 80. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga dan teman-teman beliau. Dari tamu-tamu yang hadir ketika itu, menunjukkan bahwa JP Silitonga memiliki pergaulan yang sangat luas dari segala lapisan. Kehangatan dan kepedulian. Itulah yang mungkin akan selalu dikenang oleh siapa saja yang dekat dengannya. Sebagai seorang anak guru zending, mengenyam pendidikan di pertanian dan militer, kemudian berkarier di militer, pemerintahan, dosen dan aktif di organisasi kemasyarakatan, JP Silitonga memiliki sejumlah prestasi yang pantas kita kenang.

Anak Seorang Guru Zending

Johan Pandapotan Silitonga dilahirkan di Desa Tigabolon, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada 2 Januari 1926, dari pasangan GM Kalvin Silitonga dan Doriana boru Simanjuntak. GM Kalvin Silitonga adalah seorang guru zending di sebuah sekolah di Sidamanik. Di saat usianya masih balita, ayahnya pindah tugas ke Sipahutar, Tapanuli Utara, sekitar 40 kilometer dari kota Tarutung atau kira-kira 100 kilometer lebih dari Tigabolon.. Oleh ayahnya, beliau disekolahkan ke HIS Sigompulan—sebuah sekolah untuk para orang tua kelas atas saat itu.

Usai menyelesaikan sekolahnya di HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, beliau berangkat ke Jawa, dan sekolah di Cultuur School (Sekolah Perkebunan) di Malang, Jawa Timur. Hanya beberapa bulan setelah beliau memasuki sekolah itu, Jepang masuk dan menguasai sekolah itu bahkan menangkapi guru-guru mereka, orang-orang Belanda. Kemudian Jepang mengganti nama sekolah itu menjadi Noogokai dan JP bersama teman-temannya bisa melanjutkan sekolahnya sampai selesai. Beliau bahkan sempat menikmati kehidupan sebagai pegawai perkebunan seperti apa yang dibayangkannya ketika beliau memilih sekolah itu.

Memasuki Militer

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian mengubah jalan hidupnya. Perkebunan ditinggalkan dan masuk menjadi lasykar di Surabaya. Beliau menjadi tentara. Pengetahuan yang masih minim tentang kemiliteran, membuat beliau tertarik untuk mengikuti pendidikan militer di Gombong selama empat bulan. Kemudian memasuki Cadet Malang (1945-1948). Di sela-sela waktu belajar, mereka ikut bertempur dalam penugasan-penugasan khusus. Kemudian beliau ditugaskan Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, untuk melakukan tugas khusus di Sumatera, sampai penyerahan kedaulatan. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, merupakan akhir masa tugas khusus tersebut. “Itulah sebabnya, di kalangan angkatan 45 di Sumatera Utara saya tidak begitu banyak dikenal,”. katanya.

Kariernya di militer tergolong sukses. Beliau pernah menjadi perwira seksi I (intelijen) di Tentara Teritorial I Sumatera Utara (T & T 1 S.U), terlibat tugas-tugas operasi seperti Penumpasan Gerombolan di sekitar Tanah Karo pada periode 1951-1953 (beliau menikah dengan Ida Pola br Pasaribu pada 1951).

Tugas lainnya adalah penumpasan Gerombolan DI Daud Beureuh di Aceh (1953-1954), Komandan Kodim di Sampit (saat almarhum Raja Inal Siregar, mantan Gubsu menjadi perwira pertama), wakil komandan Rindam II, di Pematangsiantar, ASS-2 KAS KODAM II Bukit Barisan (1970-1973), lalu terakhir menjadi DAN RINIF DAM II Bukit Barisan (1973-1980). Saat menjadi Dan Rindam II, JP Silitonga berkesempatan melakukan perjalanan ke desa-desa di Simalungun dan beliau mengenal wilayah ini lebih mendalam. Beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel.

Ayah tujuh putri dan satu putri ini memperoleh beberapa penghargaan diantaranya : Bintang Gerilya : Penugasan dalam Aksi Belanda I dan Kedua (1945-1950), Medali Sewindu : Kesetiaan kepada Republik Indonesia (1945-1954), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer I : Melawan Belanda waktu Aksi I (1945-1947), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer II : Melawan Belanda waktu Aksi II (1948-1950), Satya Lencana GOM VII : Operasi Melawan DI di Aceh Tengah : (1953-1954), Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun : Kesetiaan 16 tahun kepada Republik Indonesia (1945-1961), Satya Lencana Guru : Melaksanakan tugas guru di Koplat (1964-1968), Satya Lencana Sapta Marga : Melawan PRRI (1958-1959), Satya Lencana Penegak : Membersihkan G-30-S/PKI (1965-1968), Bintang Oranye van Massau : Menjaga keselamatan Pangeran Bernard (Belanda) ketika kunjungan di Sumatera Utara.

Menjadi Bupati Simalungun (1980-1990)

Selama menjadi bupati Simalungun, usai menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai militer, beliau ingin mewujudkan Simalungun sebagai daerah penghasil (lumbung) beras. Untuk itu, salah satu yang harus dibenahi adalah pembangunan saluran irigasi. ”Tanpa irigasi yang baik, pembangunan pertanian di Simalungun tidak mungkin bisa digenjot produktivitasnya,” ujar JP. Proyek pembangunan irigasi tersebut dikenal dengan PIS (Proyek Irigasi Simalungun), mendapat sokongan dana dari Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 173 milyar. Perjuangan mewujudkan bantuan yang ditandatangani pada 1984 itu, tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa saat kemudian, penebangan hutan Sibatuloting berlanjut oleh sebuah perusahaan swasta. ”Padahal Sibatuloting merupakan kawasan hutan lindung yang menjadi sumber penyimpanan air. ADB juga mensyaratkan bahwa proyek tersebut hanya bisa berjalan jika ada jaminan bahwa hutan di hulu sungai tidak boleh ditebang karena sumber air untuk irigasi akan terganggu. ADB sempat mengancam menghentikan bantuannya kalau hutan di sana tidak dipertahankan,”ujar JP.

Selain itu, beliau mengembangkan Simalungun sebagai wilayah Pariwisata. Dengan menata Prapat sebagai kota tujuan wisata. Saat itu, kawasan pingiran pantai dibebaskan dari perumahan penduduk yang sering membuang limbah rumah tangganya ke pantai agar air Danau Toba bersih dari buangan samah dan limbah. Proses pemindahan penduduk berhasil dilakukan secara damai dengan menyadarkan masyarakat Sosor Pasir agar mau berpindah ke Sosor Saba.

Prioritas pembangunan yang lain adalah pengembangan kota kecamatan dengan membangun kantor Camat dan rumah untuk para camat. ”Ketika itu sebagian besar camat tinggal di Pematangsiantar dan tidak mau tinggal di ibu kota kecamatan karena sarana perumahannya memang belum ada. Akibatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat menjadi agak tersendat,” ujar JP. Selain itu, dengan kondisi seperti di atas, ”Camat juga menjadi kurang mengenal daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itu agar camat dekat rakyat, saya bangunkan mereka rumah camat”.

Pembangunan pendidikan dan kesehatan di tiap kecamatan adalah prioritas lain yang beliau kembangkan. Beliau meminta kepada para camat agar menyediakan tanah untuk pendirian sekolah tingkat lanjutan atas (SMA), minimal sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) dan SD. Dengan begitu setiap ada jatah anggaran dari pusat untuk pembangunan sekolah, Simalungun selalu mengusulkan untuk diberi jatah. Pernah ada sebuah kabupaten yang berhak memperoleh jatah pembangunan sekolah, namun karena pemda tidak siap dengan lahan sekolahnya, akhirnya jatah tersebut dioper ke Simalungun. Selain itu untuk menunjang kesehatan masyarakat, di setiap kecamatan beliau juga memprioritaskan untuk membangun Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).

Kepedulian beliau terhadap korpsnya sangat besar. Semasa menjabat Bupati Simalungun, para penghuni perumahan Rindam di Kelapa Dua Pematangsiantar, tentu tidak akan melupakan inisiatif JP Silitonga dalam menyediakan perumahan itu untuk mereka. Beliau prihatin melihat nasib para prajurit dan perwira yang pensiun dari Rindam. “Kalau sudah pensiun sebagian besar mereka tidak memiliki rumah, padahal mereka harus keluar dari asrama,”, ujarnya . Karena prajurit atau perwira-perwira yang baru akan menggantikan mereka. Sekitar 100 prajurit dan perwira bisa memiliki perumahan sendiri di Jalan Sisingamangaraja, di kota itu ke arah jalan ke Prapat.

Mengembangkan Universitas Simalungun

Untuk mendukung prioritas pembangunan pendidikan, salah satu obsesinya adalah menjadikan Universitas Simalungun menjadi perguruan tinggi swasta yang besar dan terbuka. Obsesi itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak semua lulusan SMA dari wilayah ini yang mampu melanjutkan kuliahnya di Medan.

Dalam pandangannya saat itu, yang perlu dilakukan USI adalah meningkatkan kualitasnya baik dari segi fisik, kurikulum maupun tenaga pengajarnya. Konsepnya ketika itu adalah agar USI mampu seperti Universitas Satyawacana Salatiga dalam sepuluh tahun ke depan. Tenaga-tenaga pengajar dikirimkan belajar di sana dan studi banding juga dilaksanakan. Dalam masa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum Yayasan Universitas Simalungun (1982-1990, pembangunan fisik adalah prestasinya yang luar biasa. Belum pernah pembangunan fisik sebesar itu dilakukan sepanjang sejarah USI, hingga sekarang ini. Dengan berbagai usaha, beliau mewujudkan pembangunan sarana fisik seperti Biro Rektor, Fakultas Hukum, Aula Rajamin Purba SH (beberapa tahun lalu terbakar, dan kini belum selesai pembangunannya), FKIP, Fakultas Pertanian, Perpustakaan, Mess untuk para dosen yang berasal dari luar kota dan beberapa rehabilitasi sarana pendukung lainnya, seperti jalan di lokasi kampus, dibangun secara bertahap dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Menurut kami, kalau Brigjen Rajamin Purba adalah pendiri Universitas Simalungun, JP Silitonga adalah membangun sarana fisik untuk mewujudkan cita-cita beliau.

Disamping mengembangkan Universitas Simalungun, beliau juga melihat potensi pariwisata di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar cukup besar. Sehingga dibutuhkan tenaga-tenaga trampil di bidang itu, sementara sekolah pariwisata belum ada. Untuk itu, sekitar 1989, Yayasan USI bersama-sama dengan Rektor USI (ketika itu kami jabat) dan Direktur SMA Y-USI menghadap Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara agar diberi izin untuk membangun Sekolah Industri Pariwisata (SMIP) di kompleks Universitas Simalungun. Hingga saat ini sekolah tersebut masih berjalan dan jumlah muridnya sudah cukup lumayan dan menjadi salah satu tulang punggung keuangan Yayasan Universitas Simalungun.

Memasuki Usia Tua

Usai menyelesaikan tugasnya sebagai bupati, beliau memutuskan pindah ke Medan. Alasannya, ”istri saya masih menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara dan saya sendiri masih ingin menyumbangkan tenaga yang saya miliki,” ujarnya pada Buku Otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan, Hambamu Mendengarkan”. Setelah istrinya Ida Pola Pasaribu meninggal pada 1985, JP Silitonga menikah dengan Dr Datten Bangun—seorang staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang mendampingi beliau sampai akhir khayatnya .

Di samping aktif sebagai dosen Kewiraan di USU, JP Silitongan juga aktif di SOKSI. Beliau terpilih menjadi Ketua Depidar Soksi selama satu periode. Beliau juga aktif sebagai Pengurus Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (PGIW SU).

JP Silitonga telah mendengar Tuhannya untuk menghadap. Meninggalkan istri tercinta Dr Datten Bangun yang dinikahinya pada 1988 dan tujuh putrinya, satu putra, 23 cucu dan 3 cicit, serta karya-karyanya selama ini. Perjalanan Johan Pandapotan Silitonga mengajarkan kita akan kebijakan dan campur tangan Tuhan dalam kemelut hidup yang dialaminya. Peduli kepada teman-teman seperjuangan dan berbakti terus tidak mengenal usia untuk memajukan bangsa.

Selamat Jalan Pak JP Silitonga. Semoga karya-karya anda menjadi bukti nilai bakti anda bagi kami generasi muda!.

Dimuat di Harian Analisa, Halaman 29 Rubrik Opini, 27 September 2007.

http//www.analisadaily.com


Tidak ada komentar: