My 500 Words

Selasa, 17 Maret 2009

Selamat Jalan SK Trimurti


Oleh : Jannerson Girsang

Dunia jurnalis Indonesia berkabung!. SK Trimurti yang nama lengkapnya Surastri Karma Trimurti, seorang tokoh pers nasional meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta dalam usia 96 tahun. Wanita kelahiran Boyolali 11 Mei 1912 menghadap khalikNya, sembilan hari setelah Ulang Tahunnya ke 96, tepatnya 20 Mei 2008 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu bertepatan dengan saat berlangsungnya puncak perayaan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang dirayakan di Senayan, Jakarta.

Seluruh stasion televisi dikerahkan untuk menayangkan berita perayaan itu secara langsung (live), sehingga peristiwa meninggalnya istri Sayuti Melik—juru ketik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu tertelan hirukpikuknya perayaan akbar itu.

Dua buku yakni “SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa”, yang ditulis Soebagio IN (1982) dan "Jagat Wartawan Indonesia" yang juga ditulis Soebagio IN (1980) menjadi sumber utama penulisan artikel ini, disamping beberapa sumber lain.

Meninggalkan Guru Memasuk Dunia Pergerakan dan Wartawan

Perjalanan hidup SK Trimurti,  pantas dijadikan sebagai salah seorang teladan pers Indonesia, khususnya pemahamannya akan kondisi bangsanya, semangat dan keberanian menyatakan sikapnya sebagai seorang wartawati dan sekaligus pejuang.

Setelah berjuang melalui media dan aktif di masa pergerakan memperjuangkan Indonesia Merdeka, ia bergerak bersama suaminya, Sayuti Melik di malam-malam terakhir persiapan pembacaan Proklamasi. Sayuti Melik adalah juru ketik naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Trimurti ikut hadir saat pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dialah seorang perempuan saksi pembacaan Proklamasi.

Setelah Indonesia merdeka SK Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama. Selain itu, ia menjadi anggota Dewan Nasional Angkatan 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa. Ia diminta berperan, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!. SK Trimurti pernah menjadi utusan negara ke berbagai pertemuan di luar negeri seperti Yugoslavia (1962) sebagai anggota dewan Perancang Nasional, ke Kongres Wanita Internasional di Moskow (1963), serta Jerman Timur (1964). Semasa Orde Baru SK Trimurti aktif menghadiri seminar, upaca-upaca peringatan hari-hari bersejarah, berdialog dengan para pemimpin bangsa

Awalnya, SK Trimurti adalah seorang guru. Dia hanyalah lulusan Sekolah Guru Putri (Meisjes Normal School) di Jebres, Solo. Semasa menjadi guru hatinya mulai tergugah untuk belajar berorganisasi. Masuk menjadi anggota perkumpulan Rukun Warga, dan kadang-kadang ikut rapat Budi Utomo yang kala itu sudah mempunyai cabangnya di Banyumas, tempatnya mengajar. Lantas, aktif mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi yang lebih besar bahkan hadir ke  berbagai kota di Jawa. Setelah masuk menjadi anggota Partindo, Surastri kemudian pindah ke Bandung. Di sana, selain aktif di pergerakan, pada pagi hari mengajar di Sekolah Dasar Perguruan Rakyat. Pada akhirnya, pekerjaan itupun terpaksa dihentikannya, karena ada larangan mengajar karena alasan “untuk kepentingan umum", yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat melalui Asisten Residen.

Alkisah, di masa 1930-an, dalam sebuah kesempatan, Bung Karno pernah mengajak SK Trimurti menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,” ujar Bung Karno kepada SK Trimurti, seperti ditulis Soebagio I.N dalam buku “Jagat Wartawan Indonesia” (1980). Kala itu Bung Karno adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung.

Dalam buku itu, disebutkan SK Trimurti merasa tertantang sekaligus bingung, karena saat itu dia belum pernah menulis dalam majalah ataupun koran. Singkat cerita, Trimurti akhirnya mengirimkan tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Ia menjadi jurnalis yang ditempa masanya, dengan semangat membebaskan bangsanya dari cengkeraman bangsa asing. “Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda,” kisah Soebagio dalam bukunya. Tantangan ini tidak serta merta menurunkan semangat juangnya.

Kehilangan pekerjaan sebagai guru dan ditutupnya Pikiran Rakyat, SK Trimurti meninggalkan Bandung dan pulang ke kampungnya di Klaten. Di kampungnya, ia tidak tinggal diam. Kebiasaannya di Bandung berlanjut di sana. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung ia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.

Atas ajakan rekan-rekannya, Trimurti kemudian memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena soal bahasa yang digunakan. Kemudian nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.

Di kemudian hari ia bergabung dengan temannya seorang wanita bernama Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya berupa pendidikan-pendidikan yang ditujukan kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri jelas. “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka”.

SK Trimurti, tidak puas hanya sebagai seorang wartawati atau redaktris. Dari uang hadiah tulisannya, ia mendirikan sebuah majalah, yakni Suluh Kita, yang pengelolaannya diserahkan kepada orang lain. Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang keturunan Jepang.

Menghadapi Risiko Sebagai Wartawan

SK Trimurti menjalani kehidupan jurnalis dan pejuang kemerdekaan dengan segala risiko dan kondisi kehidupan yang dialaminya. “Dia lebih dikenal sebagai seorang wartawati, yang keluar masuk bui karena tulisannya yang terkenal tajam. Banyak karangannya waktu itu dimuat dalam harian Sinar Selatan, kemudian di mingguan Pesat yang terbit di Semarang”, demikian diungkapkan Soabagio IN dalam biografinya berjudul SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa (1982).

Salah satu contoh kejelian dan keberaniannya adalah ketika ia menjadi redaktris di Sinar Selatan. Suatu saat SK Trimurti menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang Patut Diambil Bangsa Indonesia terhadap Pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”. Ia meloloskan tulisan yang menyatakan sikap yang seharusnya ditempuh oleh pemimpin bangsa. Tulisan ini menyebabkan penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara.

SK Trimurti mengambil peran penting melalui dunia wartawan, sekaligus berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari kedua buku tentang SK Trimurti kami melihat bahwa ia memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas dan dapat dimengerti orang lain, serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.

Selain sebagai seorang penulis, SK Trimurti aktif dalam pergerakan. Seperti telah disebut di atas, ia  menjadi anggota Partindo dan pernah menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, Trimurti dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Penjara, ternyata tidak bisa menghentikan suara dan karya seorang wartawan. Selepas dari penjara, Trimurti justru memperoleh hadiah sejumlah uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.


Media dan Apresiasi Pejuang Perempuan!

Kalau anda jeli menonton televisi atau membaca media cetak, sebuah rasa keprihatinan muncul atas sikap mereka dalam pemberitaan kedua tokoh nasional itu. Salah satu harian terbesar di Indonesia, menempatkan peristiwa meninggalnya SK Trimurti dibelakang berita Ali Sadikin. Kalau Ali Sadikin mendapat porsi 3 kolom penuh di halaman muka dan bersambung dua kolom di halaman 15 dan dengan penjelasan yang lebih lengkap, maka pemberitaan tentang meninggalnya SK Trimurti hanya diapresiasi dengan sub-judul : “Berpulang dalam sepi” dan hanya dua kolom yang tidak penuh. Kesan pembaca, Ali Sadikin jauh lebih populer dan lebih berjasa dari SK Trimurti. 

Detik.com menampilkan peristiwa itu dengan judul : “Ali Sadikin dan SK Trimurti Wafat”. Walau hanya berita singkat, keduanya diberi porsi berita dan penjelasan yang seimbang. Memang, seharusnya keduanya mendapat porsi pemberitaan yang proporsional.

Ada sebuah keprihatinan dalam benak kami : kalau media saja tidak memberi apresiasi yang besar atas seorang tokoh media, lalu siapa?. Wanita besar seperti apa yang menarik media untuk diapresiasi?. Sikap media atas tokoh pejuang perempuan perlu terus digaungkan. Himbauan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta baru-baru ini untuk lebih mengapresiasi prestasi para pejuang perempuan perlu direnungkan.

Bagi insan pers perlu meningkatkan kepekaannya menampilkan tentang karya-karya perempuan dan tokoh perempuan. Sungguh sebuah ironi, kalau meninggalnya seorang rokoh perempuan sekaliber SK Trimurti tidak diberi porsi istimewa di dalam pemberitaan media, mengingat dia adalah tokoh pers nasional.

Berikan Akses Media

Bercermin ke belakang, memang cerita tokoh pers perempuan masih sangat minim diungkap di media maupun buku-buku. Buku “Jagad Wartawan Indonesia” (1980), mengungkapkan bahwa dari 111 biografi singkat tokoh wartawan Indonesia, hanya tercantum dua wartawati yakni Rasuna Said (halaman 502-506) dan Surastri Karma Trimurti (hal 397-402). Tidak jelas mengapa demikian. Barangkali, tidak tampilnya karya-karya dan tokoh pers perempuan bisa jadi merupakan gambaran minimnya peran perempuan dalam dunia jurnalistik kita di masa itu. Tetapi bisa jadi, sama seperti kejadian yang menimpa SK Trimurti, media kita masih lebih berpihak pada tokoh laki-laki.

Dampak dari situasi ini jelas. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim. Popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Di alam demokrasi sekarang ini, hal ini berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau apresiasi media atas peran perempuan seperti kondisi ini, maka untuk mengejar target 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya, akan berjalan tertatih-tatih.

Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik Posisi yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat. Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.

Kepergiaan SK Trimurti merupakan momen penting untuk menghimbau media agar memberikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan karya-karya mereka serta juga berikan kesempatan bagi mereka menciptakan dan menilai berita yang layak bagi bangsa ini. Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih perlu ditata agar memberikan porsi yang benar bagi apresiasi karya perempuan.

SK Trimurti-SK Trimurti Baru

Momen ini juga sekaligus menghimbau agar kaum perempuan Indonesia lebih banyak menyuarakan ide atau keluhannya melalui media. SK Trimurti menyadarkan kita bahwa gagasan-gagasan perempuan bisa diketahui publik kalau disampaikan kepada masyarakat melalui media. Jangan biarkan karya-karya, buah pikiran tersimpan di benak hati, di dalam laptop atau hard disk komputer. Belajar dari pengalaman SK Trimurti, menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”.

Polesan kalimat mereka dibutuhkan untuk menjelaskan dan menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang kian hari semakin merasuk masyarakat kita, harga-harga kebutuhan yang terus meroket akibat rencana kenaikan BBM, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Lihatlah Kabinet dibawah SBY sekarang!. Beberapa hari terakhir menampilkan Sri Mulyani dan Mari Pangestu sebagai “alat pendingin” pemerintah soal kenaikan BBM. Mungkin mereka sadar bahwa Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi “masyarakat” memahami “tindakan pemerintah”-terlepas apakah tindakan itu benar atau salah.
Tentu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” bisa melakukan hal yang sebaliknya, memberikan penjelasan kepada pemerintah untuk lebih memahami masyarakatnya. Kalau SK Trimurti berani meloloskan berita-berita keras dan berpengaruh di zaman Belanda, mengapa di zaman sekarang ini para perempuian tidak melakukan hal yang sama untuk memperjuangkan rakyatnya!.

Bangsa ini sedang menunggu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” menyuarakan karya-karya perempuan dan bangsanya sendiri. Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban besar yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya. Selamat jalan SK Trimurti, keteladananmu sebagai wartawati akan menjadi pendorong semangat para wartawan Indonesia, khususnya wartawati Indonesia lebih mengapresiasi karya-karya dan tokoh-tokoh perempuan!. Dimuat di Harian Analisa Mei 2008.

Keterangan Foto : (JAKARTA, 27/8 - TUTUP USIA. SK Trimurti seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, tutup usia pada saat bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Foto diambil pada acara temu generasi dalam rangka Proklamasi RI, di Gedung Joang 45, Jakarta, Jumat (27/8), SK.Trimurti bersalaman dengan Benny Wenas, disaksikan Ketua Dewan Harian Daerah 45 DKI Jakarta, HR Soeprapto. FOTO ANTARA/Audy Alwi/hm/hp/08diselenggarakan di Senayan, Jakarta dan dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia). 

Tidak ada komentar: