My 500 Words

Senin, 16 Maret 2009

Marengge-Rengge Masa Krisis


Pengantar : Seorang wartawan senior, Bersihar Lubis, menulis tiga artikel selama tiga hari berturut-turut  (3, 4, 5 Nopember 2008) di harian Medan Bisnis menggunakan buku ”Haholongan” sebagai referensi menghadapi masa krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, serta masyarakat Internasional pada umumnya. Haholongon adalah buku Biografi yang ke 9 yang kami tulis enam tahun terakhir ini. (Jannerson Girsang, 2008. Haholongon, Kasih Perempuan Sejati. Biografi Yohanna br Mabun Banjarnahor)

Marengge-Rengge Masa Krisis
Medan Bisnis Senin, 03-11-2008
*Bersihar Lubis

SIBORONG-borong di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut masih berselimut kabut. Ketika orang-orang tertidur lena, perempuan itu sudah bergegas membawa barang dagangannya ke onan (pasar mingguan) di kota-kota kecil di Tapanuli Utara. Orang Batak menyebutnya parengge-rengge, atau pedagang pasar.
Kala itu, sekitar 1960-an. Perempuan itu sedang menghadapi pergulatan ekonomi keluarga. Mungkin, seperti yang kini banyak mendera keluarga Amerika Serikat yang dilibas oleh krisis keuangan. Namun perempuan itu tak mau menyerah.
Maklum, ia dan suaminya menanggung delapan orang anak, serta tiga orang lagi, lahir kemudian. Peliknya, biaya hidup, uang sekolah anak-anaknya dan kontrakan rumah tidak bisa ditunda. Mengandalkan gaji suaminya saja sebagai seorang pegawai Kantor Camat, jelas tidak mencukupi.
Statusnya sebagai putri bangsawan, menantu mantan saudagar kaya, bahkan ia pun berpendidikan lumayan, tak membuat ia malu.
Perempuan itu, tentu saja tidak tahu teori Rostow dan Mc Cleland tentang Need for Achievement. Tapi motivasinya untuk tetap eksis, luar biasa. Saban hari, ia bergiliran menyusuri onan di Tapanuli Utara. Setiap hari, berpuluh-puluh kilometer ia tempuh di atas truk bersama parengge-rengge lainnya.
Ketika bulan sudah terbenam di angkasa, dan langit gelap, ia baru tiba di rumah. Namun ia lega menatap putra-putrinya yang sudah tidur nyenyak bak dipeluk mimpi-mimpi indah.
Perempuan itu nyaris bekerja antara 12-18 jam sehari. Jika ia pulang lebih dini, waktu tersisa dimanfaatkannya dengan menjahit. Maklum, kain sarung yang dibeli para pedagang di Pematangsiantar dan Medan masih berupa lembaran biasa. Ia lalu menjahitnya agar menjadi kain sarung dan dijual di onan.
Kadang ia juga menyulam di malam hari. Di saat sepasang kakinya “menari” di pedal mesin jahit, ia pun menyenandungkan lagu Batak mengusir rasa sepi. Tanpa sadar kadang bola matanya basah.
Empat hari dalam semingu, ia ”berayun-ayun” di atas mobil truk. Banyak jalanan yang berlobang, dan jika hujan mengguyur berubah menjadi kubangan lumpur, dan waktu tempuh semakin lama.
Dari Siborong-borong ke Sipahutar sejauh 22 kilometer ditempuh 3 - 4 jam. Padahal jika jalanan mulus, cukup 30 menit. Itu sebabnya ia mesti bangun sebelum fajar menyingsing.
Perempuan itu pulang ke rumah, rata-rata pukul 7 atau 8 malam. Ia hanya tidur 2-3 jam, dan dinihari kembali bergegas ke pasar Pangaribuan sejauh 44 kilometer dalam perjalanan 5-6 jam. Agaknya, etos Calvinis yang merasuk ke sukmanya, membuat ia tetap tegar.
Setiap kali truk melewati Bukit Rau, di antara Sipahutar dan Siborongborong, mereka waswas. Truk tak bisa lewat karena rodanya terbenam dalam lumpur tebal. Terpaksa bermalam di lokasi. Terpaksa pula tidur di atas bak truk beralaskan barang-barang jualan, seraya menahan dinginnya hawa malam dan serangan nyamuk-nyamuk yang berdengung-dengung.
Pernah pula truk mereka terbalik. Kala itu, ia sedang menggendong si bungsunya yang masih kecil. Perempuan itu kaget ketika tahu-tahu sudah berada di dalam jurang. Ajaib, si kecil ia lihat sudah di pangku sopir truk.
Suatu hari di suatu kampung ada tanjakan terjal. Di sebelah kiri tebing, dan jurang di kanan. Tiba-tiba mesin truk mati, dan truk merosot ke belakang. Para penumpang menjerit panik, karena roda belakang sudah tergantung di mulut jurang. Puji Tuhan, sebuah pohon besar menghempang truk terjun ke jurang.
Duduk berjam-jam di atas bak mobil truk sembari diguncang-guncang roda mobil, tidaklah nyaman. Bau muntahan makanan teman mereka yang perutnya serasa diaduk-aduk, adalah rutinitas mereka. Belum lagi sengatan matahari yang terik.
Untunglah, barang dagangan mereka diminati pembeli. Rejeki lagi ramah. Tapi terkadang rugi karena tak semua pelanggan membayar tunai. Ada juga pembeli yang mencicil. Dan sering macet ketika ditagih.
Jika sial seperti itu, pada saat pulang di atas truk, mereka akan menghibur diri dengan lagu bernada kocak.
Parrengge-rengge inangda simatuakku
Rengge-renggena inangda anak ni asu
Dihallung-hallung inangda tu Doloksanggul
Mulak balging da inang da ala so lakku

Namun kala usianya makin senja, perempuan itu “kalah” juga. Ketika satu persatu putra-putrinya sukses di tanah rantauan, mereka meminta sang ibu tak lagi berjualan. Tapi, siapa gerangan perempuan yang “perkasa” itu? (Bersambung).

Non Finansial & Bunga Tulip

Selasa, 04-11-2008

*Bersihar Lubis
SOSOK perempuan yang dikisahkan MedanBisnis edisi kemarin di kolom ini dicuplik dari sebuah memoar berjudul “Haholongan” (2008) sebuah kisah hidup Johanna boru Marbun Banjarnahor, 87 tahun. Ditulis oleh Jannerson Girsang dan J Anto, dan saya sendiri sebagai editornya.

Mengutip penelitian Puslitbank FE USU Medan berjudul “Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) dari Aspek Non-Finansial di Sumut” yang digelar 29 Oktober 2008 lalu di gedung BI Medan, saya kira Johanna terkategori memiliki aspek non-finansial meskipun dalam gaya tahun 1960-an.
Johanna disiplin soal waktu, peka permintaan pasar dan memiliki elan vital yang luar biasa. Ia tekuni diversifikasi usaha, sehingga hari-harinya menjadi produktif.
Dukungan finansial, karena ia berasal dari keluarga terpandang, tak membuatnya sukses. Johanna kelahiran 1921 di Onan Ganjang, Tapanuli Utara ini bersuamikan Gerhard Nainggolan, ayah RE Nainggolan, kini Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara.
Ayahnya, Raja Herman Marbun adalah pengatur irigasi yang pada 1931 diangkat pemerintahan Hindia Belanda menjadi Kepala Negeri. Ia sering rapat di Tarutung, Siborongborong, Sidikalang dan Medan, atas undangan pemerintah.
Johanna pun seorang terpelajar. Lulus Sekolah Dasar Zending pada 1932, dan Meisje School sehingga ia paham bahasa Belanda, serta lulus pada 1935. Ia masih studi ke Huishoud School (SMKA, sekarang) di Laguboti.
Johanna menikah dengan Gerhard pada 1938. Gerhard berpendidikan MULO di Medan, meski tidak tamat. Gerhard Nainggolan adalah putra Julius Nainggolan, saudagar kemenyan yang sukses hingga 1950-an. Sekali sebulan ia mengirimkan 8 ton kemenyan ke Sibolga, Pematangsiantar, Pulau Jawa dan luar negeri.
Jika semula Johanna guru di sekolah Zending, dan Gerhard mengajar Bahasa Belanda, sang mertua meminta menantunya cukup di rumah saja, dan anaknya ikut berbisnis kemenyan.
Belakangan pasangan ini “berdikari” membuka usaha toko kelontong. Namun zaman Jepang datang, dan segenap penduduk menangis karena seluruh hasil bumi harus disetorkan ke Jepang. Penduduk menjalani kerja paksa romusha dan tanpa upah. Usaha kelontong Johanna pun bangkrut.
Derita lebih getir muncul ketika Belanda kembali masuk ke Indonesia. Status ayahnya semasa menjadi Kepala Negeri di masa lalu ternyata menjadi bumerang. Raja Herman menjadi sasaran laskar rakyat yang anti Belanda.
Sejarawan menulis kisah ini sebagai “revolusi sosial.” Kita teringat terbunuhnya penyair Amir Hamzah, putra Raja Langkat, yang ketika studi di Solo dikenal sebagai Ketua Indonesia Muda, sebuah organisasi yang sangat nasionalis.
Pasangan Johanna-Gerhard, setelah cease fire pada 1948, eksodus ke Pematangsiantar. Namun meski menyewa rumah kecil, kios dan modal berjualan, tapi setelah dua tahun, bisnis Gerhard gulung tikar.
Tak pelak, mereka kembali ke Dolok Sanggul pada 1950. Namun lagi-lagi bisnis bukanlah pentas Gerhard meski disangga kapital yang cukup dari sang ayah. Singkat cerita, Gerhard menjadi pegawai negeri pada 1952 dan ditempatkan di Barus, dan kemudian ke Sibolga.
Tak disangka-sangka, meletuslah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sehingga kelurga Gerhard pindah ke Tarutung. Cobaan datang silih ganti. Raja Herman dan Julius Nainggolan, meninggal pada 1960.
Namun Johanna tegar. Ia terjuni dunia marengge-rengge yang penuh pergumulan, sehingga putra-putrinya sukses merenggut masa depan. Cucu-cucunya pun rata-rata meraih sarjana dari kampus dalam negeri maupun luar negeri seperti Perancis, Swiss dan Amerika Serikat.
Habis gelap terbitlah terang. Johanna diberangkatkan putra-putrinya ke Jerusalem pada 1996 silam. Ia bernapaktilas ke Tel Aviv, Golgota, menyeberangi Danau Tiberias, Laut Mati, Bukit Musa, menjenguk Tembok Ratapan dan Masjid Al Aqsa. Juga mampir di Roma dan Belanda, seraya menikmati bunga tulip yang indah berwarna warni.
Ternyata, kunci sukses tak selalu karena faktor finansial. Faktor non finansial, seperti diungkapkan oleh Puslitbank FE USU Medan, jauh lebih penting. (Bersambung)

Non Finansial & Ekonomi Politik

Rabu, 05-11-2008
*Bersihar Lubis

DUIT tidak segala-galanya, Saudara! Meskipun kredit UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), termasuk kredit BPR (bank perkreditan rakyat) pada 2007 sebesar Rp 523,3 triliun, namun sumbangannya dalam pembentukan PDB (produk domestik bruto) hanya sebanyak 37,8% dari total PDB nasional.
Padahal, UMK merupakan sumber utama kehidupan rakyat dengan daya serap tenaga kerja mencapai 92,3%. Jumlah terbesar dari pelaku usaha di negeri ini pun adalah UMK yang mencapai 99,7%. Banyak secara kuantitas, tak berdaya secara kualitas.
Fakta yang diungkapkan oleh Jhon Tafbu Ritonga dkk dari Lembaga Penelitian dan Perbankan FE USU Medan sekaligus melukiskan hanya sekelumit kecil pelaku usaha di pucuk piramida bangunan sosial ekonomi yang menentukan PDB secara nasional. Nurani kita tergugah, ternyata kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih menjadi masalah yang tak kunjung usai.
Namun berkeluh kesah melulu bukanlah solusi. Puslitbang FE USU kemudian mewawancarai 300 pelaku UMK secara acak di Sumatera Utara. Ternyata dukungan aspek non finansial sangat berperan penting dalam mendongkrak martabat UMK di daerah ini.
Adapun aspek non finansial itu adalah manajerial, legalitas, produksi, pemasaran dan ketenaga-kerjaan. Prihatinnya, umumnya responden kurang menyadarinya, dan menganggap faktor finansial lah yang membuat mereka kurang atau tidak sukses.
Padahal, agar uang bisa memanen uang, money to money, kata orang, mestilah digerakkan oleh faktor non finansial. Uang hanya sekadar alat. Bahkan dalam skala besar pun, sebuah pabrik yang mempunyai modal besar tidak akan sukses jika tak didukung oleh buruh, manajemen marketing dan produksi yang berkualitas.
Kita mengurut dada karena hanya 12,2% pelaku UMK yang mengaku telah mendapat pelatihan non finansial. Itu pun baru menyangkut keterampilan produksi. Sementara bidang pemasaran, tata kelola perusahaan dan keterampilan tenaga kerja masih sangat terbatas.
Tapi misalkan pada suatu hari pelaku UMK kita telah “naik kelas” dari usaha yang tidak berlokasi permanen menjadi permanen, dari usaha informal menjadi legal-formal serta usaha mikro menjadi industri kecil, masih ada faktor non finansial lainnya yang menghadang.
Contohnya, industri makanan dan minuman, baik kecil, menengah dan besar sekalipun akan kalah bersaing jika produk sejenis menyerbu dari luar negeri. Industri otomotif kita bahkan hanya menjadi “pelayan” industri mobil luar negeri untuk sekadar membuat spare part. Tak seperti Proton Saga, mobil Malaysia yang kompetitif dengan mobil asing.
Tidak heran jika pelaku UMK yang berkutat di pasar tradisional selalu kalah bersaing dengan pasar modern dan formal yang membanjir di negeri ini. Bukankah, restoran Mc Donald dan KFC lebih digemari dibanding ayam goreng Suharti dan kedai nasi Padang?
Faktor non finansial dalam tataran kebijakan pemerintah dalam mengembangkan UMK dengan demikian telah memasuki paradoks wilayah ekonomi politik atau ideologi ekonomi. Jika liberalisasi perdagangan yang tanpa kendali membuat industri kita kalah bersaing, apalagi pelaku UMK yang rapuh akan semakin tidak berkutik.
Apa daya, dalam “dual society” dan “dual economies” selalu saja sektor modern yang berkibar-kibar. Sektor tradisional tetap saja terkapar.
Ketika kita memrioritaskan yang satu, sekaligus kita sedang mengorbankan yang lain. Alangkah tragisnya, jika pelaku UMK yang jumlahnya lebih banyak diminta berkorban demi yang sedikit (Habis).Wartawan MedanBisnis.

Dapat juga diakses ke : http://www.medanbisnisonline.com

1 komentar:

Makjen Simarmata mengatakan...

Kegigihan perempuan Batak masa dulu memang sangat luar biasa. Mereka bekerja dengan segala tenaga dan pikiran sementara (kadang) si Suami main judi di lapo.Tapi sepertinya kegigihan seperti ini sudah sulit ditemukan pada perempuan Batak masa kini, jangankan ngurus 8 anak setengahnya juga sudah punya pembantu 2 orang.