My 500 Words

Selasa, 17 Maret 2009

SELAMAT ULANG TAHUN KE-75 Pendeta Dr Armencius Munthe


“Aku Bersyukur Karena Masih Bisa Melayani” 

Oleh Jannerson Girsang

75 pohon untuk usia 75 tahun!.  Pdt Armencius Munthe, Mantan Ephorus GKPS  kali ini merayakan Ulang Tahunnya sedikit unik. 15 Februari lalu, dalam acara khusus di kampung halamannya Pangambatan, Kabupaten Karo—daerah tangkapan air terjun Sipiso-sipiso, bersama-sama dengan penduduk kampung, dia menanam 75 pohon, pertanda usianya.  "Saya ingin agar penduduk sadar pentingnya hutan untuk menjaga persediaan air,”ujarnya, 17 Maret lalu rumahnya, di bilangan Tanjung Sari Medan. Penulis Buku ”Firman Hidup 45” ini kemudian menjamu  sekitar 900 warga dan mengadakan pengobatan gratis kepada masyarakat yang memerlukan.

Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat  Pangambatan menganugerahkannya sebuah Salib Emas atas kesehatan dan kontribusi Dr Armencius Munthe memberi pencerahan iman bagi warga kampung kelahirannya dan bagi dunia ini. ”Saya begitu terharu. Begitu besar penghargaan mereka. Bukan dari besar nilai materinya, tetapi ketulusan mereka,”ujarnya.

Memaknai Peringatan Ulang Tahunnya ke-75 tahun ini, suami Floriana Tobing ini mengatakan : ”Aku bersyukur, karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melayani hingga usia ujur ini,” katanya. Bahkan  beberapa bulan sebelum perayaan itu, ayah tiga putra dan satu puti ini menjalani perawatan jantung di salah satu rumah sakit di Singapura.

Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga memang dirasakan sang pendeta sampai usia tuanya. Sebuah pemaknaan hidup yang kemudian menjadi judul buku biografinya ”Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga”, yang ditulis oleh saya sendiri dan J.Anto (2004), sebagai hadiah Ulangtahunnya ke 70 ketika itu. Buku ini menjelaskan hal-hal yang pernah dilihat, dialami dan dimaknainya selama kurun waktu tersebut.

Menapaki usianya di atas 70,  karya-karyanya masih terus meluncur. Bukunya "Tema-tema Perjanjian Baru" yang diterbitkan 2005, laris manis. Kini sudah memasuki cetakan ke tiga. Bukunya yang lain "Jalan Ke Tahta" diterbitkan 2006. Buku ini adalah terjemahan dari bahasa Inggeris. Di usianya melewati 75 tahun ini, ayah tiga putra dan satu putri ini masih aktif dan sedang mempersiapkan sebuah buku : ”Back to the Bible”. ”Sekarang sedang di percetakan,”ujarnya.  Belasan buku bertema teologia dan kemasyarakatan sudah pula diterbitkan dan beberapa diantaranya mengalami cetak ulang beberapa kali.

Pendeta Dr Armencius Munthe MTh dilahirkan pada 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, kurang lebih 100 kilometer sebelah Selatan kota Medan, ibu kota Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Masa kecilnya ditandai dengan kegiatan missionaris Lutheran dari Jerman dan masa-masa perang revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Jalan hidupnya, memang diakuinya penuh dengan Anugerah. Di usia 13 tahun, pria berkacamata minus ini kehilangan ayah tercinta Jalias Munthe, yang tewas ditembak Belanda. Bersama ibundanya Honim br Girsang (meninggal sekitar tiga tahun lalu) dan lima orang adik-adiknya mereka berjuang menapaki hidup. Bahkan kemudian dia berhasil menyelesaikan Master Theologi dari Universitas Hamburg Jerman pada 1965 dan bahkan kemudian selama puluhan tahun memimpin GKPS--gereja yang beranggotakan sekitar 200 ribu jiwa lebih itu. 

Memaknai semuanya itu, lima kata penting: Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga, merupakan refleksi hidupnya.  "Memaknai segala peristiwa kehidupan sebagai Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga merupakan kunci semua sukses yang saya raih," ujar pria yang menikah dengan Florentina Lumbantobing 15 Juni 1966 ini.

Menoleh kebelakang, kehidupannya memang penuh liku. Sebuah titik balik kehidupannya terjadi saat memasuki usia 16 tahun. Saat itu dia menjadi siswa Sekolah Rakyat di Saribudolok—13 kilometer dari desa kelahirannya, dan menumpang di sebuah rumah Pendeta Petrus Purba. Saat itu dia dibabtis tanpa sepengetahuan orang tuanya. Belum ada dari antara keluarganya yang menganut agama Kristen saat itu. ”Mereka menganut animisme,”ujarnya.

Dalam buku biografinya, diungkapkan bahwa anak-anaknya sering berhubungan dengan para pendeta-pendeta Barat.  Ketika itu, para pendeta itu sering berkunjung ke kampungnya dan terlihat gagah memakai topi putih dan memakai tongkat. Itulah yang mengilhaminya bercita-cita menjadi pendeta.Sebuah pertimbangan rasional oleh pria seusianya.

Pada 1954, selepas Sekolah Lanjutan Pertamanya di Pematangsiantar--70 kilometer dari desanya,  A Munthe mendaftar ke sekolah seminari di Sipoholon. Sekolah itu adalah sekolah calon pendeta yang dikelola oleh Huria Kristen Batak Protestan--gereja dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara. Pilihan itu sebenarnya tidak disukai orang tuanya. Kebanggaan keluarga pada masa itu adalah bekerja sebagai pegawai pemerintah atau militer. Namun niatnya bulat memasuki sekolah itu dan berhasil lulus Sarjana Muda Theologia pada 1958, dengan prestasi yang ”sangat memuaskan”.
Memulai kariernya sebagai pendeta, Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS)—1964 berubah menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), mengangkatnya menjadi pendeta di Hang Tuah Medan—ibu kota provinsi Sumatera Utara, salah satu dari 33 provinsi di Indonesia.

Setelah melayani beberapa tahun di wilayah kota Medan, A Munthe memperoleh kesempatan tugas belajar ke  Fakultas Theologia, Universitas Hamburg, Jerman dengan bea siswa dari Reinische Mission Gesellschaft (RMG). Pada 1965 dia lulus dan kembali ke Indonesia.

Sekembalinya dari Jerman, GKPS menugaskannya melayani beberapa tahun di Pulau Nias--pulau yang  diterjang oleh Gempa Bumi terbesar dunia dengan 8.5 skala Richter pada Maret 2005, dan dua bulan sebelumnya diterjang tsunami. Selama 3 tahun Dr A Munthe mengajar di sebuah Seminari di pulau paling miskin di propinsi Sumatera Utara itu, sekaligus  melakukan pelayanan ke pedalaman.
Kesempatan menapak ke tampuk pimpinan gereja terbuka saat GKPS kembali menugaskannya ke Sondiraya, Kabupaten Simalungun untuk memimpin lembaga pendidikan milik gereja tersebut. Dari desa--yang saat itu merupakan pusat pendidikan  "terbaik" di Simalungun ketika itu, cahaya kepemimpinannya mulai bersinar. Dalam Synode Bolon GKPS 1970, dia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Kristen Protestan Simalungun--kini jumlah jemaatnya lebih dari 200 ribu jemaat tersebar di 615 jemaat di seluruh Indoinesia. Saat itu usianya baru menginjak  34 tahun. Sejak itu, Dr A Munthe memegang jabatan Pimpinan Pusat GKPS selama 25 tahun ; 13 tahun sebagai Sekjen  dan 10 tahun menjadi  Ephorus (Bishop).

Setelah meninggalkan tampuk pimpinan puncak GKPS pada 1995, Dr A Munthe  aktif sebagai dosen Sekolah Tinggi Theologia Abdi Sabda--sebuah sekolah Theologia yang dikelola beberapa gereja Lutheran di Sumatera Utara. Selain itu dia juga aktif dalam menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari, sehingga mudah dibaca umat.

Meski sudah menjalani pensiun, Dr A Munthe masih memiliki jadwal khotbah yang padat, tidak saja di GKPS, tetapi juga gereja-gereja lainnya seperti HKBP, GKPI, Methodis dan lain-lain. Undangan khotbah oleh instansi dan kantor-kantor perusahaan masih terus berdatangan.  

"Aku bersyukur kalau masih bisa melayani," demikian motto Dr A Munthe yang pintar berkhotbah dan telah menulis puluhan buku tentang teologia dan kemasyarakatan ini.

Atas karya-karya dan pengabdiannya,  Universitas Chennai, India menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada A Munthe 1997. Sayangnya, lelaki yang belajar komputer setelah pensiun pada 1995 ini, tidak bisa menghadiri penganugerahan gelar doktor tersebut. Sesaat sebelum berangkat dari Bandara Polonia  Medan, tiba-tiba petugas mengumumkan semua penerbangan ditutup karena asap tebal melanda lapangan terbang tersebut selama beberapa hari akibat kebakaran hutan.

Pidatonya sendiri hanya dibacakan saat penanugerahan itu. Judul pidato pengukuhan gelar doktor tersebut adalah "Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga", sebuah refleksi kehidupan pribadinya. "Itulah refleksi kehidupan saya," katanya.

Selamat Ulang Tahun ke-75 untuk pak Munthe sukses dan terus berkarya di tengah-tengah jemaat. .

Tulisan ini adalah Hadiah Ulang Tahunku bagi seorang yang aku agumi!.

Tidak ada komentar: