by Jannerson Girsang on Tuesday, March 29, 2011 at 1:28am
Di sela-sela tugasnya selaku menyunting bahasa artikel dan naskah berita Harian Kompas, pria kelahiran Hilimböŵö Badalu, Nias 20 April 1973, ini menyusun sebuah kamus bahasa Nias. Butuh waktu enam tahun untuk melahirkan Kamus Li Niha: Nias-Indonesia diterbitkan bersama oleh Yayasan Delasiga dan Penerbit Buku Kompas, awal 2011.
Memutar memorinya ke belakang enam belas tahun sebelum buku itu diluncurkan, Apollo—demikian panggilannya—adalah seorang lulusan SMA Negeri 3 Gunungsitoli, yang hampir putus asa. Ajaran ibunya, almarhum Gatina Lase, agar tidak putus asa setiap menghadapi kegagalan benar-benar melekat di hatinya dan meneladaninya dalam menghadapi kenyataan.
Untuk mengetahui lebih jauh sosok mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 Gunungsitoli ini kami mewawancarainya di sebuah gedung di Jalan Sudirman, Jakarta, 11 Maret 2011.
Inspirasi Teman dan Membaca
Keinginan menulis kamus itu mulai muncul pada masa awal kehadirannya di Harian Kompas, sekitar 1997. “Setiap kali saya menerima telepon dari teman dalam bahasa Nias, teman-teman di kantor merasa asing atas bahasa yang saya gunakan. Mereka selalu bertanya apa yang saya bicarakan,” tuturnya.
Karena teman-temannya tidak mengerti bahasa yang digunakannya, maka suatu ketika temannya berujar, “Bahasamu kok lucu ya, mirip-mirip bahasa Jepang. Sudahlah, bikin saja kamus Nias-Indonesia dan Indonesia-Nias,” ujarnya menirukan seloroh rekan kerjanya.
Kata “kamus”, yang diungkapkan teman-temannya itu rupanya tersimpan di dalam benak dan alam bawah sadarnya. Mengiang di telinganya, mengundang dirinya untuk bertindak.
Faktor pendorong lain adalah Kamus Nias karangan W. Gulö yang ia dapatkan pada tahun 1997. “Pola penyusunan kamus tersebut tidak dilengkapi dengan contoh kalimat, kelas kata, dan kata turunan setiap lema,” ujarnya.
Dari “ejekan” teman-temannya dan keinginan menyempurnakan kamus tersebut, Apollo bertekad, “Saya harus membuat kamus yang lebih baik”. Inilah awal proses panjangnya berkarya. Panjang dan meletihkan.
Berbekal pengetahuan awalnya tentang penyusunan kamus yang sederhana, Apollo memulai pekerjaannya dengan mengumpulkan kata yang didengar atau dibacanya. Setiap hari, dia melakukan pemutakhiran daftar kata-kata itu.
Semangat idealisme atas kemajuan bahasa daerah asalnya, kecintaannya terhadap bahasa Nias, adalah energi yang mendorong Apollo terus melakukan pekerjaannya. Dia tidak lagi memikirkan waktu dan biaya yang dikeluarkannya untuk menulis. “Hampir tiga tahun folder itu tetaplah jadi folder berisi kata-kata,” ujarnya.
Selain itu kehadiran situs-situs yang membuat aplikasi bahasa Nias juga mendorong dan mengilhami Apollo untuk bertekad membuat kamus bahasa Nias versi cetak. Sekitar tahun 2003, tepatnya 20 Maret 2003, Pastor Sirus Laia, seorang teman Apollo yang saat itu berada di Jerman, meluncurkan sebuah portal Nias, www.nias-portal.org (sekarang sudah tidak aktif). Portal itu menyediakan fitur bahasa Nias-Indonesia. Apollo dan Edward Halawa, pemilik Nias Onlin (tinggal di Australia) diberi fasilitas sebagai editor, bisa memasukkan kata demi kata ke dalam situs itu.
Sayangnya, pengelolaan dan keberadaan portal itu berlanjut. Akhirnya, situs ini pun bubar. Setelah bubar, Edward Halawa memasukkan kembali entri yang ia sumbangkan di nias-portal.org itu, dan ia mutakhirkan seperti terlihat di situs www.niasonline.net saat ini. Lantas, sekitar tahun 2002, www.niasisland.com juga membuat aplikasi bahasa Nias yang dirancang dengan mengizinkan siapa pun pengunjung situs itu untuk memasukkan kata baru.
Perkembangan itu kian memacunya segera membuat kamus edisi cetak. Pada sisi lain, keputusan untuk mengikuti perkuliahan di Jurusan Komunikasi di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Salemba (sekarang di Cawang), Jakarta pada 2002, memberikan kesempatan baginya untuk berkembang.
Di sana pengetahuan bahasanya berkembang. Ia mulai paham cara menyusun data kosa kata Nias dalam struktur penulisan seperti layaknya kamus. Hasilnya, bahwa kamus mesti dilengkapi data setiap lema dengan kata-kata turunannya (derivatif) dan contoh pemakaiannya dalam kalimat. Data bersumber dari berbagai dokumen, termasuk milis Nias Community Forum (NCF), jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, dan situs-situs lain, seperti Nias Online dan NiasIsland.Com.
Liku-liku Kamus
Menerbitkan kamus Li Niha menunjukkan proses pembelajaran bagi siapa saja yang ingin melakukan hal yang sama. Penulisan buku, dilanjutkan dengan penerbitan buku memerlukan proses panjang. Menerbitkan buku harus terlebih dahulu memiliki pasar yang jelas!
Berbekal pengetahuan ala kadarnya tentang penerbitan dan pencetakan buku, Apollo mendatangi sebuah penerbitan dan menunjukkan draf kamus Nias-Indonesia. Di luar dugaan, perusahaan penerbitan tersebut menjawab bahwa pencetakan dilakukan kalau pembeli sudah ada yang siap membeli dalam jumlah tertentu. Cukup berat. Saran mereka adalah penjajakan kerja sama dengan pemerintah daerah Nias.
Dengan penuh harap ia jalankan saran itu hingga ayah dari Nicolash Jeremy Onoma Lase dan Nikita Putri Aurelia ini menawarkan kerja sama dengan pemerintah daerah di Nias dengan menemui para pejabat di sana. Secercah harapan terbayang di mata pria bertinggi badan 164 sentimeter ini saat mereka bertemu. Sayangnya, berkali-kali Apollo menghubungi orang yang memberinya harapan, sebanyak itu pula ketidakpastian diterimanya.
Apollo akhirnya berkesimpulan, kemungkinan kerja sama menerbitkan kamusnya dengan pemda tidak mungkin lagi. “Saya menghubunginya berpuluh kali. Pulsa habis, hasilnya nol besar,” katanya.
Gagal menjajaki kerja sama dengan pemda, Apollo dan temannya berniat mencetaknya sendiri. Ide itu ditanggalkannya mengingat besarnya dana dan khawatir tidak mampu mendistribusikannya.
Sampai suatu ketika muncul kesempatan yang memang tidak terduga sebelumnya. Suatu ketika, Donny Iswandono, teman Apollo, seorang dosen di sebuah universitas di Jakarta, dan juga temannya diskusi, meminta contoh fotokopi kamus Li Niha yang sudah dijilid ala kadarnya.
Setelah mempelajari contoh tersebut, sekitar Mei 2010, Donny mengabarkan kepada Apollo bahwa seseorang ingin bertemu dengannya untuk membicarakan soal bahasa Nias. Besoknya, sesuai dengan pesan Donny, Apollo datang ke sebuah gedung di Jalan Sudirman, Jakarta, dan bertemu dengan Tony F. Jans, salah seorang pimpinan Posko Delasiga (sekarang Yayasan Delasiga).
Pucuk dicinta ulam tiba! Harapan bersemi kembali. Mereka bersepakat kamus itu akan disajikan sebagai salah satu menu dalam situs www.nias-bangkit.com. Tak cuma itu, Delasiga siap mendukung pencetakan Kamus Li Niha. Untuk itu Apollo bertugas memeriksa kembali naskahnya.
Singkat cerita, Yayasan Delasiga sanggup membeli sebagian kamus. Penerbitan pertama sebanyak 6.000 eksemplar membuat Apollo merasa lega dan cukup puas. “Setidaknya, saya berhasil mewujudkan cita-cita saya selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Dia berharap agar kehadiran kamus yang ditulisnya menjadi pelengkap bagi kamus yang sudah terbit sebelumnya, serta menjadi pegangan bagi sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.
“Tak ada gading yang tak retak” demikian Apollo mengungkapkan keterbatasan yang dimilikinya dalam kata pengantar buku itu. Pria yang menikah dengan Danaria pada 2000 itu kemudian melanjutkan, ada banyak kata yang belum terekam; kemungkinan juga ada penulisan yang terlewat. Apollo mengajak para pembaca secara bersama-sama terus memperbaiki Kamus Li Niha: Nias-Indonesia itu. “Saya masih merencanakan penyempurnaan untuk penerbitan berikutnya,” ujarnya.
Menulis dan menerbitkan Kamus Li Niha memang melalui jalan berliku. Pernahkan Apollo frustrasi? “Rasa lelah sih sebenarnya tidak terlalu menjadi pertimbangan sebab saya melakukannya tanpa beban, meski ditolak saya tidak terlalu merasa kecewa,” ujarnya mengenang liku-liku proses penerbitan buku pertamanya itu.
Jangan Putus Asa
Enam belas tahun sebelum buku itu diluncurkan, Apollo adalah seorang lulusan SMA yang hampir putus asa. Menyikapi keadaannya, Apollo ingat betul petuah ibunya, almarhum Gatina Lase, yang mendidiknya tidak berputus asa setiap menemui kegagalan. “Kegagalan adalah kesempatan yang tertunda,” ujarnya.
Di masa memasuki kelas II SMP, Apollo putus sekolah selama dua tahun dan harus terjun membantu ibunya bekerja di ladang sewaan di desa lain. “Saya memilih ikut ibu bertani sawah di daerah Idanoi, Kecamatan Gidö. Ibu menyewa lahan milik orang lain di persawahan Lewuö Guru. Kami tinggal di sebuah saung sederhana di tengah sawah dan pulang seminggu sekali ke kampung. Selama di sawah saya sering menangis ingin sekolah lagi,” kenangnya atas pengalaman hidup masa kecilnya.
Ayahnya Talisökhi Lase hanyalah seorang pensiunan kepala sekolah dan ibunya seorang petani. Mereka tidak mampu mengirimkan mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 Gunung Sitoli ini, pemegang prestasi juara di SD sampai SMA, ke bangku kuliah. “Kebanggaan prestasi di sekolah yang saya raih bertahun-tahun, seolah tak bermakna saat itu,” ujar anak ke-11 dari 13 bersaudara itu.
Untuk menemui jalan terbaik, Apollo berangkat ke Jakarta melalui Pelabuhan Gunungsitoli menumpang kapal Lawit meninggalkan desanya, Hiligara, Kecamatan Gunungsitoli. Dia tiba di Jakarta, 14 November 1994.
Pada awalnya, Jakarta tak seindah bayangan yang ada dalam sinetron yang biasa ia lihat di televisi. Apollo kembali melintasi kegagalan demi kegagalan.
Dia menyaksikan keadaan yang berbeda dari bayangannya yang indah sebelumnya. Di Jakarta, Apollo menemui banyak rumah kumuh, menyaksikan banyak orang tidur di bawah jembatan, bukan melihat sungai seperti biasa dilihatnya di kampungnya. Apollo bukan langsung bekerja di belakang meja seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Sebelum diterima sebagai karyawan di Kompas, Apollo sempat bekerja di sebuah perusahaan garmen. Tak lama kemudian perusahaan itu tutup, ia pun mesti menganggur dan terpaksa menumpang hidup di tempat abangnya. Lantas, pekerjaan mengamen di atas bus atau dari rumah ke rumah akrab ia lakukan untuk sekadar bertahan.
Kenyataannya, dengan ijazah SMA, Apollo bisa bekerja di pabrik garmen, kemudian menjadi pengamen. Namun, nasihat sang Bunda terus terngiang, “Jangan putus asa.”
Suatu ketika dia lewat depan kantor Harian Kompas. Atas saran temannya, ia memberanikan diri mengajukan lamaran. “Saya sama sekali tidak tahu mau bekerja apa, ada lowongan apa. Dalam pikiran saya, Tuhan, saya butuh pekerjaan. Itu saja,” kata Apollo.
Tuhan sungguh menyanginya. Pada 1996, Apollo berhasil menjadi seorang pemeriksa berita di Harian Kompas—membetulkan salah huruf atau ejaan. “Saya langsung menangis berurai air mata. Senang tak terkirakan. Saya berlutut dan bersyukur kepada Tuhan. Tuhan, Engkau sangat baik…. Tuhan engkau mengirimkan malaikat penolong untukku. Di saat aku sangat membutuhkan, Tuhan buka jalan. Itu doaku kala itu.” ujar Apollo.
Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Kegagalannya memasuki bangku kuliah beberapa tahun sebelumnya, berhasil ditebusnya setelah bekerja, menikah, dan memiliki seorang anak. Dia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa Jurusan Komunikasi di Fakulitas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dengan biaya sendiri dan meraih gelar sarjana pada 2005 dan diwisuda pada 2006.
Khusus bagi generasi muda Nias, Apollo berpesan: “Generasi muda Nias sekarang harus menjadi pejuang dan pekerja keras. Meskipun orangtua kita berpunya dan memiliki banyak harta, tetapi bila tidak kita terlatih dengan bekerja keras, maka hidup ini akan tidak tertantang sehingga sedikit saja masalah, bisa akan menjadi guncangan hebat,” ujarnya memberi inspirasi menutup pembicaraan. JANNERSON GIRSANG, Kontributor NBC Tinggal di Medan. Sumber: Nias Bangkit. Artikel ini juga dimuat di Kompas.com, 11 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar