Oleh: Jannerson Girsang
Sumber foto: kapanlagi.com
Indonesia berduka!. Bangsa ini kehilangan Titi Said, seorang wanita yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya bagi penulisan, serta dunia perfilman Indonesia. Dia dikenal sebagai penulis novel, wartawan dan mantan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).
Titi Said, meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam usia 76 tahun di rumah sakit Medistra Jakarta, 24 Oktober lalu, setelah dirawat sejak 9 Oktober karena menderita stroke. Samadikun, suaminya, meninggal hanya berselang 13 hari dari dirinya, tepatnya 11 Oktober 2011 lalu.
Di kalangan perfiliman Titi dikenal sangat keibuan dan sangat teliti dalam menyeleksi film. “Sewaktu masih di LSF, kalau ada hal yang menurut beliau kurang jelas, beliau pasti memanggil sutradara atau produser filmnya," kenang aktor utama film Gie, seperti dikutip kantor berita Antara.
Menulis 25 Novel, Cerpen dan Essei
Bakat menulisnya sudah muncul saat duduk di bangku SMP dengan menulis cerpen. Bahkan sejak kecil dia dijuluki pelamun kecil. Dia menyelesaikan SMA di Malang, Jawa Timur dan melanjutkan kuliahnya dan lulus Sarjana Muda Arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1959. .
Wanita kelahiran Desa Kauman, Bojonegoro, 11 Juli 1937 ini sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil lantaran ayah ibunya, Mohammad Said dan Suwanti Hastuti, bercerai.
Usai kuliah di Universitas Indonesia, kemudian menjadi wartawan di Majalah Wanita. Selain itu, dia juga aktif menulis di Majalah Kartini dan Famili. Lulusan sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1959 ini pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili.
Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, prestasi Titi Said pantas diacungi jempol. Sepanjang hidupnya, Titi telah menulis 25 buah novel, cerita pendek dan essai di berbagai majalah dan surat kabar.
Diantara novel yang ditulisnya adalah Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen) (1962), serta Jangan Ambil Nyawaku, Reinkarnasi, Ke Ujung Dunia, Perasaan Perempuan, Tembang Pengantin, Fatima, Lembah Duka, Selamat Tinggal Jeanette, Dr Dewayani, Putri Bulan, .Bidadari. Dia juga menulis otobiografi Lenny Marlina, seorang bintang film terkenal di Indonesia pada era 70-an.
Novelnya Jangan Ambil Nyawaku adalah best seller pada zamannya. Novel yang bercerita tentang seorang yang terserang penyakit kanker itu dikerjakannya setelah melakukan wawancara dengan puluhan dokter.
Sebagian novel-novelnya kemudian dijadikan film. Tahun 1977, Titi menerbitkan bukunya Jangan Ambil Nyawaku dan disusul tahun 1979 dengan Lembah Duka. Bersama tiga penulis wanita lainnya, Titie Said menghimpun cerita pendeknya dalam buku Empat Wajah Wanita (1979).
Kegiatannya dalam perfilman sejak 1973 (novel pertamanya difilmkan), membawa dirinya aktif di LSF (dulu Badan Sensor Film) . Kemudian, dia dipercaya menjadi LSF pada 2000 dan sampai akhir hidupnya ia masih aktif sebagai anggota LSF.
Dengan posisi sebagai ketua LSF, wajahnya senantiasa muncul ketika sebuah film yang telah beredar memicu kontroversi dalam masyarakat.
Meski kesibukannya menjadi Ketua LSF, Titi Said menulis novel, seperti Diana dan menulis buku Prahara Cinta.
Tak Memaksakan Anak Jadi Penulis
Titi menikah dengan seorang anggota kepolisian yang berpindah-pindah tugas. Tak lama setelah menikah, pada 1965 Titie ikut suami pindah ke Bali. Di sana dia aktif di masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD di provinsi yang pendapatannya berasal dari industri pariwisata itu. Pada 1973 Titie ke Jakarta dan tinggal bersama lima anaknya.
tidak memaksakan anak-anaknya menjadi penulis. Dari lima anaknya, masing-masing yang tertua berprofesi sebagai pebisnis (lulusan ITB), kedua lulusan ITB, sekarang di Bappenas, ketiga di perminyakan, sekarang di Kuwait, keempat di Amerika, bekerja di perminyakan, dan anak bungsunya bekerja di Bank Mandiri.
Hidup baginya adalah menjadi orang yang berguna, dibutuhkan oleh manusia. ”Kita ini seperti angin. Angin dan air bisa menjadi angin yang baik, air yang sangat berguna. Tapi, angin juga bisa menjadi badai dan air juga bisa menjadi banjir. Jadilah angin dan air yang baik, yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Angin dan air adalah kesenangan saya,”ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Republika (2005).
Selamat jalan Titi Said, semoga dedikasimu untuk sastra dan perfilman di Indonesia menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam mengembangkan dunia tulis menulis dan perfilman Indonesia.
(Diolah dari Berbagai Sumber)