Menyimak Pidato Kenegaraan Presiden SBY
“Hepeng do Namangatur Negara On”
Oleh: Jannerson Girsang
Sumber foto: www.hukum.kompasiana.com
Saya
dan mungkin jutaan penduduk negeri ini sedikit merasa terkejut, ketika Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengakui hingga masa pemerintahannya saat ini, tindak
pidana korupsi bukannya berkurang, tetapi justru cenderung meluas dan membesar.
Padahal salah satu misi pemerintahannya adalah
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Dalam
pidatonya di sidang bersama DPR dan DPD RI di gedung kompleks DPR Senayan,
Kamis, 16 Agustus 2012, Presiden SBY mengatakan: "Harus kita akui pula,
dominasi tindak pidana korupsi cenderung meluas dan cenderung membesar ke
daerah-daerah, mulai dari rekrutmen pegawai di kalangan birokrasi, proses
pengadaan barang dan jasa, hingga di sejumlah pelayanan publik. Modusnya pun
beragam, mulai dari yang sederhana berupa suap dan gratifikasi, hingga yang
paling kompleks dan mengarah pada tindak pidana pencucian uang". Semakin
parahnya korupsi, menurut Yudhoyono, sudah menjelma menjadi kejahatan luar
biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan.
Pemberantasan
korupsi ini menjadi perhatian utama artikel ini dari enam isu penting yang
digarisbawahi secara khusus oleh Yudhoyono dalam pidato tersebut, disamping
lima isu lainnya, reformasi birokrasi dan good
governance, kekerasan dan benturan sosial, iklim investasi dan
kepastian hukum, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan fiskal menghadapi
krisis ekonomi
global. Mari kita sejenak merenungkan poin yang menjadi
perhatian Presiden.
Suara dari Kedai Kopi
Merenungkan pidato di atas, saya teringat
kembali rekaman pembicaraan saya saat berkunjung ke sebuah kedai di pinggiran
Selatan kota Medan beberapa waktu lalu. Waktu itu, kasus Nazaruddin, Angelina
Sondakh sedang hangat-hangatnya.
Pendapat-pendapat mereka juga terkadang
membuat lucu, karena dasar pemikirannya suka ngawur. Maklumlah mereka bukan orang-orang keren dan punya latar
pendidikan yag baik seperti di Jakarta Lawyers Club di TVOne. Tapi, pendapat seperti
ini tak gamang lagi dibicarakan orang dan sedikitnya mereka mewakili sebagian
penduduk bangsa ini.
Di sebuah meja sedang berlangsung
pembicaraan perilaku para koruptor muda yang sedang hangat di media. Mulai dari
Gayus, pengadilan Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Setelah menyimak pembicaraan
mereka, saya terkesima mendengarkan percakapan demi percakapan mereka
selanjutnya:
”Ai nungnga hudok sian na jolo lae, ai hepeng do mangatur negara on. Saya
sudah bilang sejak dulu kawan, uang yang mengatur negara ini!,” ujar salah seorang
mengomentari acara yang membahas korupsi di sebuah stasiun televisi.
”Toho do i lae, alai boha ma
dohonon!—Betul itu lae, tetapi apa yang mau kita bilang!,” sambut yang lain
di tengah hiruk pikuknya pembicaraan dan bercampur dengan lantuan lagu ”Parmitu”
yang dinyanyikan beramai-ramai dari sudut lain kedai itu.
”I do asa pamasuk ma gellengta gabe pegawai negeri, nang pe targade saba
tading-tading ni amanta di huta, Itulah makanya masukkan anak
kita jadi pegawai negeri, biarpun harus menggadaikan sawah warisan orang tua di
kampung,” ujar yang lain.
”Bereng ma si Gayus i puang, miliaran boi dibuat golonganna pe 3A do. Molo
holan Rp 100 juta do manogok tole ma!.!. Lihatlah Gayus, miliaran padahal
golongannya Cuma 3A, kalau Cuma Rp 100 jutanya untuk sogok biarlah” ujar mereka
mengomentari hebatnya Gayus karena bisa menerapkan : ”Hepeng do Namangatur Negara on”.
”Ai ho pe nian lae, mancalon ma gabe anggota DPR. Berengma si Angelina
Sondah dohot si Nazaruddin i. Molo 1 miliar do gabe anggota DPR, kecil ma i.
Sada proyek pe nungga 5 miliar. Lae juga mencalonlah jadi anggota DPR.
Lihat itu si Angelina Sondakh dan Nazaruddin. Kalau Cuma Rp 1 miliarnya untuk
anggota DPR, kecil kalilah itu. Satu proyek aja sudah Rp 5 miliar,”ujar yang
lain bercanda.
Meski omongan-omongan di atas
tampaknya seperti “mimpi tukang cendol”, tapi mereka tentu tidak mampu
mengkhayalkannya kalau tidak pernah mendengar omongan-omongan di luaran.
Sungguh memprihatinkan. Perilaku buruk
para pejabat begitu lancar dikisahkan dan dikhayalkan para pengunjung kedai
kopi yang kebanyakan supir, tukang becak atau pegawai rendahan di pemerintahan.
Mereka yang memerankan prinsip ”Hepeng do Namangatur Negara on” membuat
sebagian masyarakat berkeinginan atau berkhayal menyisihkan modal untuk
menyogok agar anaknya bisa menjadi pejabat untuk mengangkat harkat dan martabat
orang tuanya. Bah! Nungga rusak, sega muse, rusak deh!
Hepeng Do Mangatur Negara On
Saya kemudian merenungkan pidato
SBY dan kata-kata ”Hepeng do Namangatur Negara
On”. Judul ini malah pernah diterbitkan sebuah harian besar di Lampung.
Fenomena Gayus Tambunan menarik
perhatian saya. Gayus hanya seorang pegawai Golongan III A—pangkat terendah
seorang lulusan S1. Sehari-harinya, pria yang kini mendekam di penjara cuma
menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor
Pusat Direktorat Pajak.
Entah siluman mana yang bisa
mengispirasinya, hanya dalam waktu kurang dari lima tahun, rekeningnya sudah penuh
dengan duit sebesar Rp 25 miliar, belum lagi seperti dilansir banyak media, pecahan
dollar dan perhiasan batangan senilai Rp 74 miliar yang disimpan di safety box yang ditemukan di Amerika
Serikat.
Dengan uang sebesar itu, Gayus menjadi
orang penting, bahkan lebih penting dari Sri Mulyani. Tak heran, kalau pejabat
setingkat Dirjen saja, pasti tak berdaya menghadapi Gayus.
Meski di penjara, Gayus, masih
menjadi orang penting. Dia bisa mengatur bisnisnya dari penjara, seperti
diberitakan berbagai media beberapa bulan yang lalu. Bahkan bisa menonton
permainan tennis di Bali.
Denny Tewu (Ketua Partai Damai
Sejahtera) pernah menjuluki Gayus sebagai ”ahli sogok”. Dia bisa memperdaya
petingi-petinggi kepolisian, petinggi kejaksaan, petinggi kehakiman, menyogok
pengacara senior. Bahkan”nyanyian”nya bisa membuat ”keder” orang-orang penting
di negeri ini!.
Dia bisa mengecoh pejabat yang
jauh lebih tinggi dari dirinya. Ilmu manajemen apapun yang dimiliki seorang
atasan, tidak akan mampu mengatur, apalagi menegor Gayus. Bisa-bisa copot atau
paling tidak dipindahkannya dengan
kekuatan ”Hepeng”nya.
Perilaku seperti Gayus menyebar kepada
pegawai negeri Indonesia yang masih berusia muda yang menganut paham ”Hepeng do Namangatur Negara on”. Setelah
Gayus masuk penjara, muncul Gayus, Gayus lain. Patah tumbuh hilang berganti!.
Sayangnya yang tumbuh bukan Semangat 45. Bahkan belakangan muncul issu rekening
gendut para PNS muda.
“Much money, stronger
power”!. Wibawa atasan
menjadi luntur bila paham “Hepeng Do Mangatur Negara on” sudah
menjalar dalam organisasi atau instansi. Pejabat setinggi apapun akan keder
kalau bawahannya sekaliber Gayus, Nazaruddin atau Angelina Sondakh yang punya banyak
uang.
Mereka merusak struktur organisasi
di instansi, dan hasil kerja para pakar soal manajemen pemerintahan akan hancur
lebur. Dalam istilah SBY: korupsi sudah menjelma menjadi “kejahatan
luar biasa yang telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan”
Meski ditangkap atau di penjara,
selama paham : Hepeng do Mangatur Negara
on” berjalan, para koruptor dengan bangga berbicara kepada pers ”menembaki”
orang-orang pernah diberinya uang, maju ke pengadilan dengan jas yang rapih, mobil
mewah, pengacara kelas wahid dan pengawal yang kekar-kekar. Ada dugaan, dengan
kekuatan uangnya, seperti diberitakan media, beberapa koruptor yang dijatuhi
hukuman, malah mendapat grasi dari presiden dengan berbagai alasan.
Renungan Bersama!
2012 adalah tahun ke tiga periode
kedua pemerintahan SBY. Kenyataannya,
Presiden SBY sendiri mengatakan korupsi makin meluas. Pidatonya menyambut
Kemerdekaan RI ke-67 membuat kita makin pesimis bahwa usaha pemberantasan korupsi
bisa tercapai hingga periode Presiden berakhir pada 2014.
Korupsi menurut SBY adalah ”kejahatan luar biasa yang telah
merusak sendi-sendi penopang pembangunan”.
Pemahaman inilah secara sistematis ditularkan kepada para pengunjung
kedai di Selatan Medan, rakyat kebanyakan di negeri ini, serta di seluruh aras
kepemimpinan.
Paham ”Hepeng do Mangatur Negara On” mesti pupus dan tidak boleh
diwariskan kepada generasi berikut. ”Dalam bahasa terang dan gamblang
pernah saya katakan, tidak boleh terjadi kongkalikong antara pemerintah,
Dewan Perwakilan Rakyat, aparat penegak hukum, dan dunia usaha yang menguras
uang negara, baik APBN maupun APBD. Namun, harus saya akui, ternyata masih
banyak pelaku tindak pidana korupsi, baik dari jajaran pemerintahan, pemerintah
daerah, DPR dan DPRD, hingga aparat penegak hukum,”ujar SBY dalam pidato
Kenegaraannya tahun ini.
Jika bangsa ini abai, maka
beberapa tahun ke depan kita menuai pelayanan yang semakin buruk. Jalan-jalan
desa yang sudah puluhan tahun rusak parah tak akan pernah terjamah. Listrik
akan padam, air akan mati hidup, serta berbagai hal buruk lainnya akan terjadi.
”Pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur yang seharusnya meningkat pesat dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat secara luas, menjadi terhambat karena praktik yang tidak terpuji ini,”lanjut
SBY.
Buruknya lagi, dengan paham :Hepeng Do Mangatur Negara On”, negeri
ini tidak mampu lagi menghargai putra-putri terbaik bangsa yang memiliki
intelektualitas, integritas dan kejujuran. Mereka makin lama akan makin
tenggelam. Tak ada lagi gunanya anak-anak seperti Harta Dinata, mahasiswa
Indonesia yang meraih GPA 4.0 di Amerika Serikat, kalau dia lulus dan ingin
kembali ke Indonesia.
Sekedar mengingatkan, menghapus
paham ”Hepeng do Mangatur Negara on”,
bukan hal mudah. SBY mengatakan: ”Memberantas korupsi sebagai
kejahatan luar biasa, harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula”. Oleh
sebab itu, negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas, jujur,
dapat dipercaya, memiliki karakter baik, dan pendirian yang tegas. Bukan justru
melebarkan korupsi, seperti yang terjadi sekarang ini. Rakyat menunggu!
(Dimuat di Harian Batak Pos, 29 dan 30 Agustus 2012)
(Dimuat di Harian Batak Pos, 29 dan 30 Agustus 2012)