My 500 Words

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (4)


Sambungan dari Bagian 3
“Tadi malam juga saya susah tidur,”katanya berbohong.

Ibunya percaya saja kepada kisah bohong anaknya.Dia masih yakin anaknya tidak akan melanggar aturannya. “Tidak boleh makan ikan lebih dari satu potong”.

Selesai memasak,  ibunya menyiapkan makanan siang untuk  Sarioto.  Nasi, sayur dan sepotong ikan mujahir.

Pagi itu, mereka berdua tetap sarapan dengan ubi jalar yang direbus.Minumnya air putih yang dimasak sendiri oleh ibunya.

Ibu Sarioto berangkat menuju ladang tempatnya memburuh berjalan kaki selama setengah jam. 

Ia bekerja seharian untuk mempertahankan hidupnya dan anaknya semata wayang itu dan meninggalkan Sarioto sendirian di rumah.

Melanggar Aturan Ibu, Jadi Kera

Sepeninggal ibunya, Sarioto berpikir keras cara melaksanakan niat jahatnya melanggar aturan ibunya demi memenuhi nafsunya: makan sepuasnya ikan yang di dalam periuk tanah.

Dengan wajah lemas, dia mengamati piring berisi nasi, sayur dan ikan sepotong.Dia teringat ketika ayahnya masih hidup.

“Waktu ayahku hidup, saya pernah memakan daging hingga berhari-hari, kini ibu hanya mampu menyediakan sepotong ikan setiap kali makan,” keluhnya dalam hati.

Jam demi jam berlalu. Angin berhembus menerpa pohon beringin di atas rumahnya membuat hatinya bukannya tambah lembut melainkan makin gusar.Pikirannya hanya tertuju pada nafsunya melahap ikan simpanan ibunya.

Dia mondar mandir di rumah kecil itu, sesekali melihat tempat ikan dimana ibunya menyimpanya dengan rapi.Para-para itu cukup jauh dari jangkauannya.

Tengah hari menjelang waktu makan siang tiba, Sarioto  baru mendapatkan ilham bagaimana caranya mengambil periuk tanah yang berisi penuh  ikan mujahir itu.

Dia mencuri sebuah tangga bambu milik tetangganya.Tidak terlalu panjang, sehingga bisa memasukkannya dari pintu rumahnya dan tidak sampai menyentuh langit-langit yang kurang dari empat meter itu.

Syarat lainnya, tidak boleh ada orang lain yang tau. Sarioto menunggu hingga anak-anak tidak ada yang bermain di pekarangannya.

Saat anak-anak yang lain diam di rumahya makan siang, perlahan-lahan Sarioto menyeret tangga dan memasukkannya ke rumah. Dia berhasil meletakkan tangga ke salah satu kayu penahan para-para.Tangga sudah siap!

Kemudian Sarioto menaiki tangga hingga mencapai para-para dan mengambil periuk itu dengan susah payah. Maklum masih anak kecil.

Hampir saja dia terjatuh.Karena kakinya tiba-tiba menginjak penahan yang tangga sudah lapuk.

Setelah semua aman dia mengembalikan tangga tetangganya dengan cara mengendap endap.Setelah berhasil mengembalikan tangga, dia kembali ke rumah dengan senyum-senyum seperti orang gila.Tanggannya gemetar, jantungnya berdegup cepat.Sarioto bersiap-siap melanggar aturan ibunya.

Satu gangguan lagi, seekor kucing tiba-tiba masuk dan ingin mencicipi ikan itu, sesaat setelah Sarioto meletakkannya di lantai. Dia buru-buru mengusirnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kembali Sarioto ke tempat makanan siang yang disediakan ibunya. Dia mulai melahapnya. Sepotong ikan mujahir tidak cukup untuk menghabiskan nasi dan sayur dan membuka periuk tanah yang berisi ikan mujahir yang bagi Sarioto sangat lezat rasanya.

Saqrioto mengambil satu potong. Ternyata tidak cukup. Potongan yang kedua dilahap, nafsunya makin bertambah. Tiga sampai empat potong, ternyata membuat dirinya makin merasa ketagihan meski ada rasa takut dimarahi ibunya.

Hingga sore hari, Sarioto sendirian di rumah dan terus melahap ikan-ikan di dalam periuk itu, hingga kosong.

Bahkan sisa berupa kuahpun masih ingin dicicipinya. Hingga kepalanya dimasukkannya ke lobang periuk untuk menjilatinya hingga tidak bersisa lagi.

Saat kepalanya masih dalam periuk tanah, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu sambil memanggilnya.

“Sarioto…Sarioto….buka Nak. Ibu sudah pulang,”dengan teriakan  lemah ibunya menyapanya dari luar rumahdengan beban kayu api di kepalanya.

Dia kenal betul suara itu suara ibunya.Mendengar suara ibunya, Sarioto terkejut dan ketakutan.

Sarioto tidak tau berbuat apa-apa.Dia mencoba mengeluarkan kepalanya, tetapi tidak bisa.Dia hanya mampu memasukkan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kepalanya.Dia menyerah.Hanya berdiam diri di tepi tungku di bawah para-para rumahnya.

“Sarioto…Sarioto…..buka pintunya Nak!. Ibu sudah capek,”kembali ibunya yang sudah lelah seharian bekerja di ladang memanggil Sarioto.

Sarioto kemudian membalas dari dalam dengan suara yang agak aneh.“Uuuuuuuum,”suara Sarioto dari dalam periuk tanah.

Ibunya memanggil Sarioto beberapa kali, tetapi balasan suara yang aneh itu membuat dirinya merasa ada sesuatu yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.

Dia menurunkan beban kayu api dikepalanya, cangkul yang berada di pundaknya serta sayur mayur hasil petikannya dari ladang dan berada dalam gendongannya.

Tanpa pikir panjang ibunya mendobrak pintu.Alangkah terkejut ibu Sarioto melihat kepala anaknya dibungkus periuk tanah itu.

Lantas rasa geram dan marah yang memuncak menghinggapi perasaannya mengingat ikan yang disimpannya dengan rapi  untuk persiapan seminggu itu, ludes dimakan anaknya.

Ibunya kemudian lari ke samping tunggu. Melihat sendok nasi yang terbuat dari bambu dan memungutnya.Dia memegang ujungnya yang runcing dan memukul kepala anaknya dengan pangkal sendok yang tumpul itu.

Setelah memukul kepala anaknya yang terbungkus periuk tanah itu, ibunya Sarioto kaget  bukan main!. Kepala anaknya berubah jadi kepala kera.

Tapi bukan menghentikan aksinya, malah karena geramnya dia menusukkan ujung sendok yang tajam ke pantat anaknya.Anehnya, ujung sendok itupun berubah berubah menjadi ekor kera.

Sarioto yang telah menjadi kera itu meloncat melalui jendela rumahnya yang sempit ke luar rumah.

Ibunya tersadar dan mengejar Sarioto yang sudah jadi kera dan menyaksikannya memanjat dengan lincahnya diantara cabang pohon beringin di samping rumahya.

Sarioto terus memanjat hingga ke puncak pohon dan berpindah ke pohon yang lain, lantas menghilang.

Menyaksikan apa yang terjadi, ibu Sarioto menangis terisak-isak. Badannya terasa lemas,  kelelahan karena seharian bekerja di ladang. Lapar dan tak memiliki lauk untuk seminggu ke depan.
Dia sadarkan diri dan kemudian menyesali perbuatannya.

Ibu Sarioto tinggal sebatang kara. Dia ditinggal  suami dan anak semata wayangnya yang sudah menjadi kera.

Sejak itu, para anak di desa itu mematuhi perintah orang tua dan orang tua dilarang memukul kepala anaknya. (Habis)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 

Tidak ada komentar: