My 500 Words

Senin, 03 Maret 2014

Pelajaran dari Artikel Prof Dr Anggito Abimanyu: Plagiator: Lolos dari Redaktur, Terjerat Pembaca (Harian Analisa, 3 Maret 2014)

Oleh: Jannerson Girsang.

Di era internet ini penulis dituntut berhati-hati dan tidak mengirimkan artikel opini jiplakan ke media untuk diterbitkan. Anda bisa lolos dari redaktur atau penanggungjawab opini, tetapi terjerat oleh para pembaca. Media juga dituntut aktif dalam memberantas plagiarisme. 

Profesor dan pejabat tinggi, Prof Dr Anggito Abimanyu bulan Pebruari ini sedang apes. Artikelnya lolos dari pengawasan redaktur, tetapi terjerat pembaca. Seorang pembaca menemukan artikelnya berjudul  ”Gagasan Asuransi Bencana”  di Harian Kompas, 10 Pebruari 2014, menjiplak sebagian besar tulisan Hatbonar Sinaga yang berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang diterbitkan di harian yang sama pada 21 Juli 2006.

Peristiwa yang mencemarkan masyarakat intelektual Indonesia ini, hendaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi komunitas penulis, pengelola media dan pencari kebenaran di negeri ini.

Lolos dari Redaktur, Terjerat Pembaca     Redaktur Kompas bisa saja meloloskan artikel Prof Dr Anggito Abimanyu yang dijiplak   dari artikel beberapa tahun sebelumnya, karena kurang cermat menelitinya. Tetapi tidak demikian dengan seorang anggota media warga Kompasiana. Sang penulis artikel begitu jeli melihatnya dan memuat ulasannya dalam artikel berjudul: Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang? (Opini-nya di Kompas 10 Peberuari 2014, dan memostingnya ke Kompasiana pada 15 Pebruari 2014.

Penulisnya dengan rinci membuat perbandingan kedua artikel tersebut dengan memaparkan alinea demi alinea, dan pembaca dapat menemukannya di http://hukum.kompasiana.com/2014/02/15/anggito-abimanyu-menjiplak-artikel-orang-opini-nya-di-kompas-10-feb-2014-635298.html).

Berbagai pendapat mengatakan Anggito bukan hanya menjiplak frasa, tetapi kalimat, hingga paragraf, dan ide secara keseluruhan. Jiplakan disamarkan dengan tambahan tulisan di bagian awal dan akhir tulisan.

Artikel ini cepat menyebar ke media-media online, cetak maupun elektronik. Hingga heboh soal artikel jiplakan Prof Dr Anggito Abimanyu merebak kemana-mana, termasuk ke kampus tempatnya mengajar, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Anggito Abimanyu sendiri langsung menanggapinya dengan serius dan mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen di kampus tersebut.

Tragedi yang dialami Prof Dr Anggito Abimayu ini sekaligus peringatan keras bagi para penulis dan pengelola media. Opini di media massa tidak begitu saja lewat tanpa sensor masyarakat pencinta kebenaran.

Pengalaman Prof Dr Abimayu ini mengingatkan para penulis bahwa ratusan ribu pasang mata membaca dan mengamati karyanya yang diterbitkan di media. Selain itu, penulis harus paham bahwa dari sekian banyak pembaca, ada yang menghargai orang-orang yang mencari kebenaran dan cinta kebenaran. Mereka adalah pembaca yang ingatan dan kepekaan yang tajam, serta penyuara hati nurani.

Di mata para pencinta kebenaran, orang-orang yang melakukan kegiatan plagiat—mencuri sebagian atau seluruh ide dari karya tulis orang lain tanpa menyebut sumbernya  harus mendapat hukuman berat, meski bukan lewat pengadilan.

Plagiator akan menerima hukuman berat dari masyarakat pencinta kebenaran. Pengadilannya berlangsung jujur, meski tidak di depan pengadilan. Sakitnya tak seberapa, malunya ini!

 Menyaring Ide Orisinal

Di lain pihak, setiap pengelola media memiliki cita-cita agar artikel yang dimuatnya menjadi trend setter. Media yang memuat artikel yang sudah dimuat media lain, apalagi media yang sama dengan isi yang sama oleh penulis yang berbeda,  tentu tidak akan mendapat citra seperti itu.

Peristiwa ini sekaligus mengingatkan para redaktur opini di surat kabar bahwa menyaring artikel opini dengan ide yang orisinil dan belum pernah dimuat di media manapun, bukan pekerjaan mudah.

Peristiwa Anggito selayaknya menjadi pelajaran bagi seorang redaktur yang bertanggungjawab terhadap pemuatan opini. Kekurangcermatan redaktur Kompas memuat artikel dengan isi yang sebagian besar sama oleh penulis yang berbeda, berbuntut sangat fatal.

Ketidakjujuran dipadu dengan keteledoran redaktur Kompas setidaknya membuat kredibilitas seorang Anggito hancur. Seperti disebutkan di atas Anggito Abimanyu sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen UGM, salah satu univeesitas unggulan di negeri ini.

Pengelola rubrik opini jangan hanya percaya dengan sederet gelar dan pengalaman yang dimiliki seorang penulis. Atau sebaliknya, media jangan mengabaikan orang awam yang tak bergelar dan berpangkat, padahal, artikelnya cukup berkualitas dan berbobot.

Dengan mengandalkan dua mata, dan ingatan yang terbatas, seorang penanggungjawab opini harus melakukan beberapa kali cross check (pemeriksaan apakah sudah pernah ditulis) sebelum meloloskan sebuah artikel opini.  Setidaknya memasukkan kata-kata kunci artikel yang masuk ke mesin pencari Google. Sebab, ketika opini terbit, ratusan ribu bahkan jutaan pasang mata akan membacanya.

Sikap Media Terhadap Plagiator

Media dituntut bersikap tegas terhadap plagiator. Peristiwa seperti Prof Dr Anggito Abimanyu pernah dialami harian The Jakarta Post, pada 2009 lalu. Saat itu Prof Dr Anak Agung Banyu Perwita menulis artikel berjudul ‘RI as a new middle power?’ yang dimuat di harian itu pada 12 Nopember 2009. Padahal, srtikel itu  sudah pernah ditulis Carl Ungerer berjudul  “The Middle Power’ Concept in Australian Foreign Policy”, yang diterbitkan the Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551.

The Jakarta Post kemudian menarik artikel profesor “plagiat” itu dan mengumumkannya secara resmi di koran bergengsi itu, 4 Pebruari 2010 (tiga bulan setelah artikel itu dimuat).

Inilah bunyi pengumuman itu (masih bisa diakses di website The Jakarta Post): “The article “RI as a new middle power?” by Prof. Anak Agung Banyu Perwita, published on this page on Nov. 12, 2009, is very similar to a piece written by Carl Ungerer titled “The *Middle Power’ Concept in Australian Foreign Policy”, which was published in the Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, 2007, pp.538-551. Both in terms of ideas and in the phrases used, it is very evident this is not the original work of the writer. The Jakarta Post takes claims of plagiarism and the infringement of ideas very seriously. We hereby withdraw the offending article by Anak Agung Banyu Perwita and apologize to our readers, most especially to Mr. Carl Ungerer, for this editorial oversight. The Editor”.

Langkah The Jakarta Post dalam mempermalukan plagiat perlu diikuti Kompas, demikian juga media-media lain. Penulis, redaktur opini, dan masyarakat luas, mari jadikan peristiwa sebagai pelajaran berharga.

Tentu, kita prihatin atas kejadian yang menimpa Prof Dr Anggito Abimanyu. Semua orang bisa salah. Profesor juga manusia kok, bukan malaikat! ***

Tidak ada komentar: