My 500 Words

Senin, 02 November 2009

Menuju Golden Marriage




Oleh : Jannerson Girsang

Di kalangan selebriti Indonesia cukup banyak terjadi perceraian, yang berarti mereka gagal memasuki Golden Marriage. Penting menjadi renungan kita bersama, dikaitkan dengan cita-cita awal perkawinan. Sehidup semati, dan hanya dipisahkan dengan kematian. Kali ini saya memaknai kehidupan dan renungan tentang Anang Hermansyah--mantan suami Kris Dayanti dalam lagunya ”Separuh Jiwaku Pergi” dan pengalaman kami menulis kisah 50 tahun perkawinan.

Menyaksikan dan menikmati penampilan Anang yang melantunkan ”Separuh Jiwaku Pergi” dalam acara ”Sinema” di SCTV pagi hari 2 Nopember 2009 memberi kesan tersendiri bagi saya.

Bagi saya, lagu populer yang diciptakan dan dilantunkan Anang Hermansyah begitu menyentuh dan memberikan pemaknaan atas arti sebuah perkawinan.

Kalau ungkapan ini benar dirasakan Anang, betapa pedihnya sebuah perkawinan yang diakhiri dengan perceraian. Kehilangan separuh jiwa. Memang, secara berseloroh pembawa acaranya mengatakan : ”Kehilangan separuh jiwa tapi datang tiga jiwa lagi”. Tapi, menurut saya tidak sesederhana itu.

Sayang memang. Lagu ini tidak lagi bermakna bagi Anang dan Kris untuk merajut kembali keutuhan perkawinan mereka. Alasannya, lagu ini justru ngetop menjelang keputusan pengadilan cerai mereka.

Syair lagu ini mungkin akan berguna bagi mereka kelak ketika keduanya akan menjalani kehidupan dengan pasangan baru mereka masing-masing. (Sebagai salah seorang fans berat pasangan ini, saya mendoakan, semoga Anang dan Kris mendapat pasangan baru yang bisa membuat mereka bahagia).

Lagu ini tambah memberi makna, karena saat ini saya sedang mempersiapkan sebuah buku yang mengisahkan kehidupan pasangan yang akan memasuki Golden Marriage (perkawinan ke-50), April 2010 mendatang. Sebuah kisah yang mengajarkan bagaimana mempertahankan perkawinan.

Pasangan yang saya tulis itu berkisah, perkawinan mereka didasari oleh pengalaman dan rasa cinta, kesetiaan dan kejujuran. Hanya ada satu kata kunci: ”kami tidak dipisahkan kecuali dengan kematian”. Sebuah keputusan yang didasarkan dari rangkaian pengalaman indah, cinta, kesetiaan dan kejujuran. Hingga mereka bisa mengatakan :”Tahi kambingpun serasa coklat,”. Tekad dan rasa cinta yang luhur mampu menembus halangan dari berbagai pihak atas perkawinan mereka di saat awal.

Mengarungi 50 tahun usia perkawinan, kuncinya adalah mempertahankan dasar-dasar keputusan mereka yang begitu kuat saat memutuskan untuk menikah. Pemaknaan arti cinta, simpati, kesetiaan yang muncul ketika masing-masing menjadi sebuah pribadi yang utuh. Belum berlumur dengan glamor kemewahan dan kecukupan dunia. Mereka tidak henti-hentinya mempraktekkan dan memaknai kata-kata yang biasa mereka ucapkan sewaktu pacaran, menghadapi dan memaknai gelombang kehidupan yang pernah melanda kehidupan perkawinan—sama seperti kebanyakan perkawinan pada umumnya.

Pasangan ini mengakui, di dalam perjalanan perkawinan sejalan waktu, pernah mengalami guncangan. Pemaknaan tahi kambing serasa coklat pernah berubah menjadi bau dan tidak enak, Kembali seperti bau tahi kambing yang asli. Kekurangan-kekurangan semakin terlihat dan dimaknai sebagai alat menyerang satu sama lain.

Namun, secara berdua mereka berhasil meyakinkan bahwa bau dan tidak enak itu hanya soal pemaknaan. Jika keduanya mengatakan enak, maka rasanya akan enak, meski orang lain mengatakan sebaliknya. ”Keindahan dan kesusahan dalam perkawinan kami tidak bisa dimaknai orang lain, kecuali oleh kami berdua. Tidak bisa juga secara sepihak”ujar salah seorang pasangan itu.

Mereka tidak menuruti kata-kata dalam lagu ”Separuh Jiwaku Pergi”nya Anang Hermansyah. ”Pernah ku mencintaimu. Tapi tak begini. Kau curangi aku. Pernah kumencintaimu, Tapi tak begini. Kau khianati hati ini. Kau curangi aku”.

Mempertahankan perkawinan ternyata tidak dengan logika ”jika maka”. Tidak dengan logika yang normal atau biasa. Perlu tenggang rasa, kasih sayang dan saling mengampuni secara terus menerus tanpa mengenal waktu dan situasi. Mereka mengatakan sebaliknya : :"Aku tetap mencintaimu, Aku menerima engkau apa adanya, meskipun kau khianati aku. Sekali lagi, aku tetap mencintaimu”. Mereka menggunakan kata-kata ”Meskipun..”

Reaksi terhadap sebuah gelombang perkawinan hanya mampu dilakonkan oleh dua insan yang memiliki pengalaman bersama dengan pemaknaan bersama. Menurut mereka, perkawinan begitu pribadi sifatnya. Tidak bisa dirasakan dan dinilai orang lain.

Masing-masing dalam sebuah pasangan tidak hanya menimbang dengan takaran benar dan salah. Karena kalau demikian, maka Tahi Kambing dalam logika normal, akan terasa bau dan tidak akan pernah berubah menjadi rasa coklat.

Pasangan ini menasehatkan agar masalah rumah tangga atau perkawinan diselesaikan secara pribadi, komunikasi pribadi, diantara pasangan, sama seperti ketika mereka berdua memutuskan untuk melakukan perkawinan. Mereka merasa masing-masing tidak sempurna. Justru ketidaksempurnaan merekalah yang menghasilkan kisah yang unik dari yang lain. Ketidaksempurnaan yang harus menjadi sebuah rasa syukur, bukan alat untuk melemahkan satu dengan yang lain.

Orang luar—orang tua, saudara, teman, pengadilan tidak akan pernah memahami rahasia perkawinan seseorang. Keputusan yang diambil dengan melibatkan orang luar tidak akan memberikan makna yang sama seperti ketika mereka mengambil keputusan dari pacaran ke pelaminan.

Mereka juga menasehatkan : ”Jangan sekali-sekali dinding rumah anda mendengar masalah dalam perkawinan anda”. Orang luar akan menanggapi dengan persepsi mereka sendiri. Bisa berbeda dari sudut dua pasangan yang sedang bertikai, yang mampu memaknai ”tahi kambing serasa coklat”. Tentu ini menjadi peringatan bagi para artis atau selebriti dan banyak pihak yang cenderung atau sedang ngetrend mengumbar masalah perkawinannya di televisi atau media.

Artikel ini sekaligus menghimbau media supaya mencari angle yang memberi pelajaran positif dari sebuah masalah perkawinan, khususnya kalau itu menimpa para artis atau publik figure. Tidak hanya dari sudut sensasi belaka, yang justru tidak menyelamatkan perkawinan. Bahkan dalam banyak kasus justru berakibat fatal!.

Para pasangan yang sedang bermasalah, pertimbangkanlah untuk tidak mengumbar ke media. Pertimbangkan juga tidak sampai bercerai. Bermimpilah mencapai Golden Marriage, bahkan perkawinan yang diakhiri dengan kematian. Simaklah secara mendalam makna ”Separuh Jiwaku Pergi”. Istri atau suami adalah separuh jiwa kita.Saya sendiri sedang berjuang menuju Golden Marriage, baru melewati 25 tahun atau tahun perak September 2009 lalu. Mari sama-sama belajar mencapai Golden Marriage, Sehidup Semati, Sepiring Berdua, mengapa tidak!.

Artikel di atas hanyalah pemaknaan pribadi, dengan maksud menginspirasi pembaca, khususnya para pasangan-pasangan muda. Ini bukan sebuah model.

Tidak ada komentar: