Judul : Berjuang di Alam Otoriter
Editor : Idris Pasaribu
Co. Editor : M. Djadijono
Tebal : xxii + 263 hlm
Ukuran : 15 mm × 21 mm
Penerbit : KSI medan publishing
Designe Grafis : Heri Suherman
Cetakan : Pertama, Medan Juni 2011
Kategori Buku : Biografi
ISBN : 978-602-99375-0-3
KERJA KERAS, jujur dan tulus serta memiliki eksistensi yang kuat, rasanya sangat jarang ditemui bagi kebanyakan masyarakat Indoensia. Tidak demikian halnya dengan Dokter Panangian Siregar, yang sejak kecil mempunyai dua cita-cita sekaligus, yakni menjadi Perwira Angkatan Laut dan menjadi dokter, apakah itu dokter ahli kandungan (obesteri dan ginekologi) atau ahli bedah.
Banyak hal memnnarik yang dikemukakan dalam buku ini. Sejak kecil Panangian sudah dihadapkan pilihan yang sulit. Sebagai anak guru tamatan kolonial Belanda, berkeinginan keras untuk sekolah dan belajar. Ibunya selalu ketat dalam disiplin belajar, hingga Panangian selalu tampil sebagai anak pintar di kelasnya.
Ketika kelas empat SR, dia ikut jual asongan di Tarutung. Karena pakaiannya yang selalu bersih dan rapi, dagangannya selalu laris, sebab banyak yang simpati padanya. Dia dagang asongan untuk iseng saja, sementara teman-temannya untuk mendapatkan uang agar bisa sekolah. Jika temjannya tidak sekolah, maka dia kehilangan teman akrab. Akhirnya dia memilih berhenti asongan untuk dirinya, tapi secara bergiliran dioa asong jualan teman-temannya, agar mnereka bisa bayar uang sekolah dan mereka tetap akrab.
Pilihan kedua, ketika masih SMA di Balige, dia sejak SR, SMP dan SMA tetap anak termuda di sekolahnya. Kawan-kawannya ada bahkan empat tahu di atasnya. Saat dia mau ikut berkelahi membela teman-temannya, teman-temannya mengatakan, biar kami saja, sebab kau anak guru. Nanti apa kata orang, seorang anak guru berkelahi. Panangian pun diam, padahal dia ingin membantu teman-temannya.
Demikian halnya ketika dia masuk Fakultas Kedokteran USU dia juga termuda, hingga banyak yang menganggap dia masih SMA. Di saat ini dia dihadapkan lagi dengan pilihan berat. Dia mendapat bea siswa dari pemerintah. Di tingkat IV dia melamar Angkatan Laut dan dites, kemudian diterima. Dua cita-cita, jadi dokter dan Angkatan Laut, sudah di pelupuk mata. Karena jujurnya, dalam lamarannya Panangian menyatakan dia sedang ikatan Dinas di Fakultas Kedokteran USU, hingga pihak Angkatan Laut mengatakan, agar Panangian mencabut ikatan dinasnya dari Departemen Pendidikan Pengajaran & Kebudajaan (PP&K), sebab Angkatan Laut tidak mau merampas anak negara dari departemen lain. Ketkika itu, Ikatan dinas dianggap sebagai anak negara.
Panangian berpikir, dia harus mundur, agar ranking yang dibawahnya bisa naik ke atas, sebab Panangian melihat ranking yang dibawahnya, sangat membutuhkan ikatan dinas itu.
Begitu tamat menjadi dokter, Panangian langsung masuk ke organisasi Ikatan Sarjana Rakyatr (ISRI) di bawah onderbouw Partai Nasional Indonesia. Kemudian dia ditempatkan di Sidikalang sebagai dokter kabupaten (Dokabu) di kabupaten yang baru dimekarkan dari Tapanuli Utara. Sekaligus dia diangkat pula menjadi direktur RSU Sidikalang. Dia dokter tunggal di sana. Panangian harus meminjamkan uang hasil prakteknya kepada RSU, agar pasien yang dirawat bisa makan.
Huru-hara politik pun terjadi. G.30.s/PKI terjadi. Sebelumnya dia sudah menajdi anggota PNI yang juga menjadi Ketua Cabang Kesatuan BHuruh Kesehatan - Buruh Marhaenis (KB.Kes-BM) Cabang Dairi. Saat itu pemerintah Orde Baru berupaya keras menghabisi PNI yang nota bene membawa ajaran Marhaenisme sebagai ideologi politiknya.
Panangian pun diangkat menjadi Ketua Tjabang (DPTj) PNI Dairi. Tentu dengan pergulatan yang hebat. Semua keluarga besar Panangian menentangnya. Kenapa harus masuk PNI yang akan dimusnahkan oleh pemerintah Orde Baru. Kenapa tidak memilih SOKSI, Gosgoro atau MKGR kemudian berada dalam satu kekuatan Sekber Golkar. Hanya kepada ayahnya yang juga kader militan PNI Panangian memberikan penjelasan. Jikka dia tidak berada di PNI, maka Marhaenisme akan punah. Ayahnya pun memberikan kekuatan padanya.
Saat ASU dan Osa-Usep bertikai, lagi-lagi Panangian berada pada pilihan berat. Naluri politiknya mengatakan, dia harus berada pada barian Osa-Usep, kalau Marhaenisme mau dipertahankan. Bukankah Bung Karno mengatakan: Supel dalam taktis, teguh dalam prinsip?.
Dalam kepemimpinannya, Panangian tidak mau membedakan mana ASU mana Osa-Usep. Kembali dia berpegang kepada apa yang diucapkan oleh Bung Karno; siapa yang berprestasi berhak maju.
Dari sanalah Panangian menjadi anggota DPRD-GR Tingkat-I Sumatera Utara. Kemudian menjadi anggota DPRD Sumut setelah Pemilu 1971. Tahu 1973, dia kembali lagi dihadapkan pada pilihan. Harus,kah dia ikut dalam Fusi PDI atau tidak? Kembali naluri politiknya dan logikanya bermain. Akhirnya Panangian memutuskan untuk ikut berfusi. Lagi-lagi dengan alasan, jika semua orang PNI menentang fusi, maka unsur PNI dalam PDI tidak ada lagi. Hanya ada Parkindo, IKPI, Parttai Katolik dan Murba. Dengan demikian habislah sudah Marhaenisme di bumi Indonesia.
Panangian pun menjadi salah seorang tokoh fusi PDI di Sumatera Utara. Dia mengajak kawan-kawannya di PNI untuk ikut Fusi. Kalau sudah fusi tidak ada lagi perbedaan Asu dan Osa-Usep. PNI akan kokoh dalam PDI. Saat itu orang-orang PNI sendiri yang mengisyukan, kalau Panangian dan kawan-kawannya termasuk Abdullah Eteng, kaki tangan orde baru dan menerima banyak uang dari Orde Baru.
Tahun 1981, lagi-lagi Panangian dihadapkan pada dua pilihan berat. Ayah angkatnya Abdullah Eteng yang keras dalam berbagai statemen politiknya harus direcall. Tak ada orang Sumatera Utara yang berani menggantikan Abdullah Eteng, karena rakyat akan marah. DPP PDI sendiri tak mampu mengatasinya. Akhirnya Panangian dimintakan untuk menggantikan Abdullah Eteng. Banyak yang memberikan masukan kepada DPP, kalau Panangian yang menggantikan ayah angkat, maka Abdullah Eteng tidak akan marah.
Panangian datang ke rumah dinas DPR-RI menjenguk ayahandanya sembari ingin menyampaikan pesan DPP PDI. Begitu Panangian berada di ambang pintu, langsung Abdullah Eteng mengatakan: "Untung kau datang. Kau harus menggantikan aku di DPR-RI. Lusa aku mau berangkat pulang ke Medan, Panangian meneteskan airmata saat dilantik jadi anggota DPR-RI. Dalam benaknhya terbayang, bagaimana kejamnya penguassa menghancurkan karier ayah angkatnya itu. Ketika itu, Panangian terpikir, penguasa merasa menang atas PAW itu.
Apa yang terjadi? Empat hari Panangian dilantik menggantikan Abdullah Eteng, dengan diplomasi blak-blakan, Panangian empat kali lebih keras mengeluarkan statemen politiknya di DPR-RI. Panangian menyoroti tajam soal kesehatan di Indonesia. Soal obat-obatan dan soal honor dan kesejahteraan medis dan paramedis.
Pada saat orang sangat takut menyoroti pemerintahan orde baru, terlebih pada Pemilu 19 87, Panangian dimana-mana berbicara lantang, agar kekuasaan orde baru harus direbut. PDI harus berkuasa. Sayang tak ada media yangberani menuliskan pidato Panangian yang selalu blak-blakan itu.
Sejak tahun 1987, Panangian sjudah menyoroti PT. Inti Indorayon Utama, dikmana saat itu tak satu LSM pun berani menyorotinya. Saat Panangian dilantiok jadi Menteri Lingkungan hdiup seperti apa yang dikatakan oleh Drs. Soerjadi Ketua Umum DPP PDI, Habibir Presiden RI saat itu yang memberikan penguatan untuk PT IIU selaku Ketua BPPI, justru Panangian menentangnya. Banyak Departemen terkait meminta agar Meneg Lingkungan Hidup memberikan reklomendasi, agar PT IIU aktif kembali. Panangian bertahan tidak akan memberikan rekomendasi untuk PT IIU.
Demikian juga dalam peristiwa 27 Julki 1996 perebutan kantor DPP-PDI, Panangian menyatakan tidak ada seorang pun kader PDI hasil Kongres Medan yang terlibat dalam peristiwa itu. Untuk itu, Panangian menentang pemerintah, agar kasus itu harus sampai ke pengadilan, agar duduk persoalannya bisa jelas. Jangan maling teriak maling, kata Panangian.
Panangian terkenal sebagai seorang politisi yang blak-blakan, tidak mau tedeng aling-aling. Keras seperti guru tunggalnya Abdullah Eteng.
Kini Panangian sudah 75 tahun dan dia pensiun dari panggung politik, namun analisa politiknya masih tetap tajam. Panangian seorang yang rakus akan buku-buku. Perpustakaan pribadinya penuh dengan buku.
(Sumber:Harian Analisa, Cetak Edisi Minggu 3 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar