My 500 Words

Kamis, 10 November 2011

Mengenal Lucya Chriz, Penulis Novel Amang Parsinuan. “Tinggalkan Pekerjaan Mapan, Fokus Menulis!”

Oleh: Jannerson Girsang

Membaca novel Amang Parsinuan, perasaan saya seperti membaca novel Raumanen, karya Marianne Katoppo.Kisah percintaan Raumanen si gadis Manado berusia 18 tahun dengan Monang, laki-laki (Batak) seorang insinyur muda yang begitu memukau. Ingin membacanya sampai buku tamat, tanpa henti. Demikianlah novel ini saya baca hanya dalam beberapa jam, karena tidak begitu tebal, hanya 125 halaman.

Novel Amang Parsinuan ditulis apik dan bahasa yang renyah, sarat dengan muatan lokal Batak, dengan gaya Medan yang kental.

Kisahnya secara ringkas saya tuturkan berikut ini.

Sebagai seorang kepala keluarga dari Suku Batak Toba, hampir setiap hari Lomo berdoa agar memiliki anak laki-laki  yang kelak menjadi penerus marganya. Namun, istri pertamanya, Uli hanya mampu memberikannya 5 putri yang cantik. Lalu, desakan keluarga pihak keluarga Lomo yang menganjurkan dirinya menikah, sampai ke telinga istrinya. Istrinya frustrasi dan nekad bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya dengan pisau tajam, tanpa seorangpun mengetahuinya.

Lomo menikah lagi dengan istrinya yang kedua, Roma, walau hanya mangalua, karena keluarga perempuan tidak menyetujui perkawinan anak gadisnya dengan duda beranak lima. Seiring waktu, segala impian Lomo terwujud. Dari istri keduanya—wanita muda dan cantik serta berasal dari keluarga kaya di Medan, Lomo memperoleh tiga anak laki-laki dan juga memberinya keberhasilan dari segi materi—percetakannya membuka cabang dimana-mana.

Kebaikan dan kesetiaan isteri keduanya merawat anak-anaknya,  baik dari istri Lomo pertama dan keduanya  ternyata dimaknai berbeda oleh  Lomo. Kesibukan mengurus anak-anaknya, membuat Lomo merasa istrinya kurang memperhatikannya, kurang memberinya kepuasan pelayanan kebutuhannya.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan istrinya, Lomo  menikah lagi dengan wanita lain, Pinta, bekas karyawan perusahaan percetakan miliknya, dan menelantarkan ke delapan anak-anak dari istri pertama dan keduanya.

Waktu berjalan, meski tidak diberi nafkah, Roma istri keduanya--dengan modal cincin kawin dan kalung yang nilainya tak seberapa, dia membuka usaha kecil-kecilan dan mampu menghantar ke delapan anak, dari istri pertama Lomo dan tiga laki-laki yang dilahirkan dari rahimnya,  ke jenjang keberhasilan. Semua anaknya sarjana dan mendapat pekerjaan yang baik.

Puluhan tahun tak memperdulikan anak-anak dan istrinya,tiba-tiba  di usianya melewati 70 tahun, Lomo muncul di hadapan istrinya Roma. Selama ini status perkawinannya dengan istri ketiganya Pinta tidak jelas secara adat. Dia datang menggugat cerai isteri keduanya, supaya ketika dia meninggal, mayatnya diberangkatkan secara adat Batak yang semarak. Malum, dia orang kaya, memiliki percetakan di berbagai tempat.

Keterlaluan memang. Mau matipun pengen "sangap" (terhormat), meski kelakuannya bejat. Kisah ini mampu mengundang rasa geram, marah, sedih dan sangat menginspirasi. Silakan baca sendiri bukunya deh!

Itulah imaginasi luar biasa seorang Lucya Chriz. Perempuan  kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 itu adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area, dan bergabung dengan Komunitas Sastra Medan Indonesia (KSI) Medan, sejak Maret 2011.

Di sampul belakang buku itu kami kutip beberapa komentar pembaca buku itu. ”Cerita Amang Parsinuan, menarik dan indah sekali. Seindah Danau Toba dan Tanah Batak, dengan tradisinya yang sangat hebat,” ujar Kirana Kejora, seorang novelis yang tinggak di Surabaya. ”Etnisitas yang sangat tinggi dan bagus. Lucya Chriz, mampu memperkenalkan budaya Batak, walau secara halus dia mengkritiknya,”ujar Nestor Rico Tambunan, novelis yang tinggal di Jakarta.

Sambutan mediapun cukup lumanyan. Hal ini tampak dari berita Peluncuran novel yang diselenggarakan di Galeri Seni Medan Payung Teduh di Jalan Sei Bingei, 14 Oktober lalu. Harian Medan Bisnis memuat peluncuran itu dengan judul Lucia Luncurkan Novel Amang Parsinuan, Harian terbesar di Sumatera, Analisa melansir sebuah ulasan panjang dengan judul Novel "Amang Parsinuan", Muatan Lokal Pertentangan Adat dan Gereja), serta berita dan ulasan di media cetak dan online lainnya.

Sebagai penulis pemula, Lucya telah berhasil memikat perhatian para novelis, media serta para pembacanya dan menempatkannya sebagai seorang penulis berbakat dan memiliki potensi sebagai penulis handal ke depan.

Jadi Penulis?. Orang Tua Awalnya Tidak Setuju

Tidak hanya novelnya yang menarik, ternyata kehidupan wanita kelahiran Sidikalang 2 Maret 1986 ini juga tak kalah unik. Keyakinannya akan dunia tulis menulis ke depan adalah sebuah inspirasi bagi penulis-penulis muda daerah ini ang cenderung memandang dunia satu ini sebelah mata.

Menjadi penulis adalah pilihannya dan bahkan meninggalkan pekerjaan yang sudah sempat digelutinya di sebuah perusahaan beberapa lama. ”Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis,”ujar lulusan Sarjana Psikologi Universitas Medan Area ini.

Sebuah pilihan yang langka di kalangan anak muda masa kini yang cenderung mengejar materi dan kemewahan. Baginya pilihan ini tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukungnya. ”Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda,”ujarnya mengenang!.  .

Keberuntungan memihak pada Chriz. Belum setahun sesudah berikrar di depan orang tuanya, Lucya Criz berhasil menerbitkan novel Amang Parsinuan, yang menempatkan dirinya sebagai penulis muda yang berbakat dan memenangkan beberapa penghargaan.

Dalam waktu singkat, Lucya berhasil memperoleh beberapa penghargaan dari berbagai pihak, dan menjadi penulis cerpen yang produktif di harian Analisa. .

Lucya merasakan betapa pentingnya seseorang mendapat pembinaan. Sejak bergabung dengan KSI Medan dirinya mendapat bimbingan menulis. "Merekalah yang membina saya sehingga bisa menulis lebih produktif,:"katanya.

 Orang tuanya kini sudah menyadari bakat anaknya yang membanggakan sebagai penulis. Beberapa hari setelah peluncuran novel pertamanya, Lucya Chriz berkunjung ke rumah orang tuanya di Jalan Sisingamangaraja, Sidikalang. ”Orang tua saya bangga saya berhasil menulis. Mereka tidak malu lagi  menceritakan pekerjaan saya sebagai penulis,”ujar Chriz terharu.

Wawancara Tertulis dengan Lucya Chriz.

Untuk mengenal pikiran-pikiran dan keresahan hati salah satu penulis dalam buku antologi ”Kerukunan Umat Beragama” yang diselenggarakan Badan Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Maret 2011 ini, kami melakukan wawancara tertulis. Silakan ikuti kisahnya.

Kapan muncul niat untuk menulis cerpen dan novel?

Sejak dulu saya suka menulis, tapi hanya menjadikannya sebagai hoby. Pelajaran Bahasa menjadi pelajaran favorit saya dan sangat senang ketika diberikan tugas mengarang, membuat laporan, dsb yang berhubungan dengan menuliskan sesuatu. Setiap hari saya menyalurkan hobby tersebut di atas lembaran-lembaran buku harian, hal yang dilakukan banyak anak seusia saya.

Ketika duduk di bangku SMA, saya mencoba membuat beberapa cerpen, yang saya tulis dengan tangan di atas kertas folio dan saya jilid dengan rapi. Di akhir setiap naskah selalu saya tuliskan tanggal penulisan dan tidak pernah lupa membubuhkan nama dan tandatangan, merasa saya adalah seorang penulis professional.

Setelah saya kuliah dan berhadapan dengan banyak tugas dan aktif di berbagai kegiatan, hoby itu pun lama-kelamaan terlupakan. Saya tak pernah lagi menulis.

Setelah lulus dan mulai bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota Medan, tiba-tiba kerinduan itu muncul kembali. Saya bisa duduk berjam-jam di depan komputer untuk menuliskan berbagai hal yang saya rasakan dan saya pikirkan. Tapi lagi-lagi, tulisan itu hanya saya jadikan sebagai arsip pribadi.

Semakin lama kerinduan itu semakin besar dan rasanya tidak bisa saya bending lagi. Sampai kemudian pada Agustus 2010, saya menuliskan sebuah novelette rohani dan memberanikan diri untuk mengirimkannya kepada panitia sebuah lomba yang tengah mengadakan festival kepenulisan. Desember 2010, diumumkan bahwa saya berhasil meraih posisi sebagai juara harapan. (Catatan: Lucya Chriz berhasil meraih Peringkat Harapan II dalam Lomba Menulis Novelet FPPK, Festival Pembaca dan Penulis Kristiani, yang diselenggarakan oleh Saat Teduh dan BPK Gunung Mulia, Desember 2010)

Itu adalah kemenangan pertama saya dalam kepenulisan dan benar-benar berhasil mendongkrak semangat dan rasa percaya diri saya. Setelah itu, saya mulai mengikuti beberapa lomba menulis cerpen dan puji Tuhan, hampir semua lomba yang saya ikuti, saya termasuk salah satu pemenang di dalamnya.

Saya lalu bertekad untuk menjadi seorang penulis yang konsisten dan professional.

Mengapa Anda melakukannya?

Awalnya saya menulis hanya untuk menyalurkan hobby saja. Tapi lama-kelamaan, mindset saya mulai bergeser. Saya menulis dengan sebuah harapan penuh. Saya ingin menjadi berkat bagi orang lain melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga ingin bisa memuliakan nama Tuhan melalui karya saya.

Saya sangat sadar bahwa saya bukanlah siapa-siapa di dunia ini. Tapi saya merasa, bahwa saya bisa berpendapat dan mengeluarkan aspirasi saya. Caranya adalah, melalui tulisan.

Keresahan apa yang ada di hati Anda, sehingga melakukannya?

Saya membaca banyak buku dari luar maupun dalam negeri, tapi saya selalu merasa bahwa seperti ada yang berbeda antara penulis Indonesia dengan penulis luar. Ketika penulis luar dengan bangganya menuliskan tentang kondisi budaya, sosial dan ekonomi negerinya sendiri, penulis Indonesia justru bangga jika bisa menuliskan tentang luar negeri.

Banyak penulis yang mengambil setting di luar negeri demi prestise. Dan ironisnya, hal tersebut sepertinya disambut gembira oleh para pembaca.

Hal itulah yang membuat saya terbebani untuk bisa menuliskan tentang negeri sendiri, karena sesungguhnya di negeri ini terdapat banyak sekali keindahan yang bahakn tidak dimiliki oleh Negara lain. Setelah Negara, saya mulai menyempitkan pikiran. Saya, selaku suku Batak, mencoba untuk mengangkat cerita tentang lokalitas. Tentang kota Medan dan suku serta kebudayaan yang ada di dalamnya.

Semakin saya pelajari, semakin saya bersemangat. Seolah mendapatkan harta karun, saya mengetahui jika Medan dan segala kebudayaannya ternyata memiliki banyak sekali aspek yang menarik. Dan semuanya itu menunggu untuk diangkat ke dalam tulisan.

Saya mencoba menuliskan tentang lokalitas, karena hanya melalui tulisanlah saya bisa menggaungkan kepada seluruh negeri atau bahkan seluruh dunia, tentang keadaan ini. Selain puja-puji, melalui tulisan saya juga bisa mengkritik dan melemparkan pendapat saya dan juga orang lain mengenai kondisi yang sebenarnya.

Kebanyakan anak muda sekarang mencari pekerjaan mapan. Bagaimana dengan saya?
Semuanya tergantung prinsip seseorang. Selepas kuliah, saya mengikuti prosedur yang diyakini semua orang. Bekerja. Saya mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang mapan di kota Medan. Saya bekerja selama setahun. Secara financial saya tercukupi, tapi tidak dengan bathin. Saya sangat tidak nyaman dan merasa bahwa hidup saya tidak berada di sana.

Saya merasa kosong dengan segala hasil kerja saya, tapi sebaliknya akan merasa sangat bersemangat ketika membiacarakan dunia kepenulisan. Sehingga pada akhir 2010, saya membuat sebuah keputusan ekstrim. Saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja dan memutuskan untuk konsen sebagai seorang penulis.

Tidak gampang, karena seluruh keluarga tidak mendukung saya. Mungkin mereka akan menganggap otak saya sudah tidak beres. Nilai saya semasa kuliah memuaskan, ditambah sudah bekerja di tempat yang baik, tapi saya justru memilih hidup yang berbeda.

Saya lalu bernegosiasi dengan keluarga. Saya meminta mereka memberikan saya waktu selama satu tahun.

Jika dalam waktu setahun saya tidak bisa menghasilkan karya apa-apa, saya akan mundur dan akan mengikuti ke mana pun mereka perintahkan. Tapi jika dalam setahun saya bisa menghasilkan suatu karya, mereka harus merestui saya dengan profesi ini.

Saya berjuang sekuat tenaga. Saya ingin mewujudkan mimpi saya sebagai seorang penulis. Saya tidak bisa mundur begitu saja, karena sudah terlalu banyak yang saya korbankan.

Puji Tuhan, belum setahun, Tuhan menyatakan kuasa-NYA. Lima buku antologi, cerpen yang dimuat di media, serta novel “Amang Parsinuan” telah saya kantongi.

Bagaimana pandanganmu tentang minat baca dan tulis generasi muda yang sekarang?

Kalau melihat anak dan remaja generasi yang sekarang, terus terang saya merasa miris. Pergaulan yang terlalu bebas yang tak jarang membuat saya terkaget-kaget. Anak yang masih saya anggap ingusan, ternyata sudah lebih banyak tahu dari saya tentang berbagai hal. Ironisnya, hal itu adalah yang berkonotasi negative.

Satu hal yang sangat penting yang harus diperhatikan, anak-anak sekarang memiliki minat baca tulis yang sangat sedikit. Dengan bersemangat saya sering menghadiahi teman-teman buku-buku inspiratif, berharap mereka bisa menuai nilai positif di dalamnya. Sayangnya, harapan saya takkan pernah terkabul, karena hadiah saya hanya akan dijadikan penghuni rak paling bawah.

Dua sisi mata uang, syukurlah kalau ternyata masih banyak juga pemuda yang memiliki semangat besar untuk berkarya. Memiliki daya juang tinggi agar bisa menyuarakan hati dan pikirannya melalui tulisan. Hal itu membuat saya sangat bahagia dan ingin mengajak mereka bergandengan tangan, agar kami bisa bersama-sama membuat perubahan besar melalui tulisan.

Artikel ini bisa diakses di : http://www.harangan-sitora.blogspot.com. Anda dibenarkan memperbanyak artikel ini dengan menyebut sumber dan nama penulis. Tulisan ini belum pernah dimuat di media manapun.

Untuk mengenal karya-karya Lucya Chriz, anda bisa mengunjungi websitenya: http://termanis.com, http://lucya-chriz.blogspot.com.

Tidak ada komentar: