My 500 Words

Kamis, 01 Desember 2011

Menyambut Hari AIDS Sedunia: Menulis Suara ODHA

Oleh: Jannerson Girsang

 
Sumber foto: Tipsivan.blogspot.com
Salah satu upaya sosialisasi HIV AIDS adalah menulis dan mempublikasikan suara ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Dalam kenyataannya, kisah pengalaman mereka belum banyak ditulis dalam bentuk cerita-cerita yang menginspirasi.

Dalam menyambut Hari AIDS Sedunia,  sebuah acara peluncuran dan bedah buku: Kumpulan Cerpen dan Artikel Kisah AIDS, Karya dr Umar Zein dan Forwakes digelar di  Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Pemprovsu, Medan, 30 Nopember 2011 lalu. Acara ini diselenggarakan Perhimpunan Dokter Pedulia AIDS (PDPAI) Sumut, Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) dan Baperasda Pemprovsu.

Peluncuran buku bertajuk HIV AIDS ini memberi arti yang strategis dalam sosialisasi penyakit itu di daerah ini. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Kesehatan Pemprovsu dalam buku itu, baru sekitar 11,4% masyarakat daerah ini yang benar-benar paham mengenai infeksi HIV AIDS. Sehingga sosialisasi HIV AIDS masih sangat dibutuhkan.

Tak heran, kalau masih banyak perilaku masyarakat maupun pelayan kesehatan yang aneh kepada penderita HIV AIDS. Tidak mau duduk berdampingan, membakar rumah penderita, perlakuan diskriminatif dalam pelayanan kesehatan, serta berbagai sikap negatif  lainnya yang justru membuat mereka semakin menderita.

Meski kegiatan ini tampak kecil, tetapi merupakan langkah yang memberi sumbangan dalam mensosialisasikan pemahaman masyarakat tentang infeksi HIV AIDS.. Ada dua hal penting yang menjadi catatan saya dari acara tersebut, yakni mendengar kisah secara langsung serta menuliskannya dalam kisah yang menginspirasi, sehingga bisa dibaca masyarakat luas.

Kesaksian Ibu Muda Penderita HIV AIDS

Berbeda dengan acara peluncuran buku sudah berkali-kali saya ikuti dan merupakan salah satu acara rutin di Baperasda Pemprovsu, acara kali ini memang istimewa. Seorang penderita HIV AIDS, tampil sebelum peluncuran dan bedah buku.

Sebagai peserta dalam acara peluncuran itu, saya menyaksikan seorang ibu muda (saya tidak mencantumkan namanya) berparas manis duduk menghadap para peserta. Sebelumnya saya sama sekali tidak mengenalnya. Dia duduk disamping Chandra Silalahi, Sekretaris Baperasda Pemprovsu.

“Sebelum acara dimulai, marilah kita dengarkan terlebih dahulu kesaksian seorang rekan yang terinfeksi HIV AIDS,” demikian Chandra Silalahi mempersilakan ibu muda tadi memulai kesaksiannya.

Saya sedikit kaget. Ternyata ibu muda berwajah manis yang duduk memandang kami dengan senyuman adalah pengidap HIV AIDS. Dalam bayangan saya orang yang awam soal HIV AIDS, wajahnya kurus, seperti tengkorak, wajahnya lesu, tak bersemangat dan tertutup.

Bayangan itu makin pudar saat menyaksikannya dengan bersemangat dan terbuka menuturkan pengalamannya selama mengidap HIV AIDS sejak 2008. Didepannya, sekitar 50-an peserta mendengarkannya dengan serius dan rasa haru. Mereka diantaranya Parlindungan Purba, SH, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Utusan Sumatera Utara, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, mewakili Dinas kesehatan Provinsi, Kepolisian Daerah, perguruan tinggi, serta para pegiat AIDS seperti dr Lily Waas, MPH,  dan dari berbagai latar belakang.

 “Saya terinfeksi HIV AIDS melalui transfusi darah ketika saya menjalani operasi cesar saat kelahiran anak saya yang pertama”ujarnya tanpa menunjukkan wajah menyalahkan siapapun. Dia meyakinkan bahwa tidak semua orang yang terkena HV AIDS itu berhubungan dengan perilaku buruk. Dia adalah salah satu diantaranya.

Tak tampak sedikitpun kekhawatiran di wajahnya. “Saya sudah mengidap HIV AIDS selama 3 tahun, tetapi saya merasa segar bugar. Penderita HIV AIDS masih bisa bertahan dengan perawatan. Awalnya saya khawatir, tetapi setelah mendapat pengetahuan tentang AIDS dan perawatan, memakan obat secara teratur, saya tidak khawatir. Dulu memang badan saya sempat drop dari 40-an kilogram lebih lebih menjadi hanya 28 kilogram,”ujarnya.

Di dalam keluarganya sendiri, ibu muda ini, menurut pengakuannya dirinya mendapat perlakuan yang baik dari keluarga maupun suaminya sendiri. Bahkan selama menderita HIV AIDS, dirinya masih bisa melaksanakan hubungan suami isteri secara normal. “Kami masih melakukan hubungan suami isteri memakai kondom,” ujarnya dengan wajah sedikit tersipu, menjawab pertanyaan salah seorang peserta.

Ibu muda ini mengisahkan betapa mereka sebagai penderita HIV AIDS masih mendapat perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat dan pelayan kesehatan. “Saya pernah ingin mencabut gigi, tetapi tidak diizinkan oleh dokter,”ujarnya.

Usai menyampaikan kesaksiannya, sang ibu tadi kembali ke tempat duduknya dan disambut tepuk tangan yang meriah dari peserta. Beberapa wanita, termasuk dr Lily Waas memberinya ciuman diikuti beberapa wanita lainnya. Penderita HIV AIDS tidak tertular melalui kulit.

Bagi pembaca yang budiman, mendengar kesaksian ibu muda tadi merupakan peristiwa luar biasa dalam hidup saya, merubah pandangan saya terhadap seorang penderita HIV AIDS. Mendengar suara dan melihat penderita HIV AIDS memberi pemahaman baru tentang mereka.

Saya menuliskan apa yang saya dengar, saksikan dan maknai untuk anda. Meski anda tidak secara langsung melihatnya, membaca kisah di atas mudah-mudahan menggugah anda..

Menulis Kisah Penderita HIV AIDS

Dalam kaitan kisah ibu muda tadi, saya sangat mengapresiasi usaha teman-teman yang berhasil mengadakan acara Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Artikel yang ditulis Dr Umar Zein dan Forwakes. Menulis kisah seperti ini tidak mudah, tetapi di satu sisi menjadi penting dalam sosialisasi HIV AIDS. Justru, dalam kenyataannya belum banyak kisah penderita HIV AIDS yang ditulis dan dapat disebarkan dan dinikmati masyarakat luas.

Dengan segala kekurangannya, dr Umar Zein, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan itu, telah membuat langkah yang perlu diikuti para dokter, pegiat HIV AIDS, wartawan, penulis melakukan penulisan lebih banyak lagi kisah-kisah seperti ini.

Buku Rangkuman Cerpen dan Artikel Kisah AIDS adalah kumpulan cerpen dan artikel kisah-kisah penderita HIV AIDS.yang dirangkum dalam buku setebal 153 halaman. Selain tulisan dr Umar Zein, artikel-artikel di dalamnya merupakan sumbangan tulisan dari para wartawan yang tergabung dalam Forwakes, seperti Zulnaldi, Khairuddin Arafat, Mursal Alfa Iswara, Eko Agustyo Fitri, Novita Sari Simamora dan Kesuma Ramadhan.

Cerpen dan artikel yang ada di dalamnya merupakan kisah nyata penderita HIV AIDS yang dikumpulkan dari daerah Sumatera Utara, serta beberapa artikel yang membahas tinjauan AIDS, sosialisasi AIDS. 

”Buku ini merupakan sosialisasi HIV AIDS dalam bentuk penyampaian yang cukup informatif dan muda dicerna dan ditulis oleh pakarnya dan para wartawan yang selalu meliput bidang kesehatan. Sehingga layak untuk disebarluaskan di semua kalangan masyarakat dan merupakan bagian dari promosi kesehatan,”ujar Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, Dr Candra Safei, Sp.OG, dalam buku tersebut.

Dua orang pembahas masing-masing kritikus sastra sekaligus Dekan FKIP UISU, Drs Mihar Harahap MM dan dari akademisi USU, dan akademisi dari Universitas Sumatera Utara, dr Linda Maas MPHdr Lily Waas. Keduanya menyambut baik penulisan kisah penderita HIV AIDS sebagai sebuah usaha menyadarkan masyarakat memperlakukan dan mendukung mereka.

Hanya saja, buku itu masih menuai beberapa kritik terutama soal pemilihan genre penulisan. Dalam kritiknya, Mihar Harahap mengungkapkan bahwa penulisan cerpen dalam buku ini belumlah mencerminkan cara penulisan cerpen yang sesungguhnya. ”Perlu ada usaha untuk mengatur plot yang lebih baik, karakterisasi tokoh dan alur cerita yang mengalir sehinga sehingga lebih menggugah pembaca” ujar Drs Mihar Harahap.

Linda Maas mengaku, kandungan materi HIV dan AIDS, buku Kisah AIDS tersebut cukup bagus dan layak dibaca setiap orang karena mengandung pesan dan informasi yang kuat tentang HIV dan AIDS yang terjadi di Sumatera Utara.

Menulis kisah penderita HIV AIDS dalam bentuk cerita yang mudah dipahami dan menginspirasi pembaca adalah sosialisasi dalam bentuk praktis kepada masyarakat luas. ”Selama ini masyarakat kebanyakan membaca petunjuk-petunjuk dan kebijakan-kebijakan dengan bahasa yang kaku,”ujar seorang aktivis HIV AIDS dari Kabupaten Simalungun. Padahal, menurutnya kampanye HIV AIDS dengan kisah-kisah dalam bentuk cerita sangat kuat untuk menggugah sikap empati para pembaca kepada mereka yang menderita.

Tak ada gading yang tak retak. Meski belum sempurna betul, menulis kisah penderita HIV AIDS seperti langkah yang ditempuh dr Umar Zein dan Forwakes adalah langkah yang pantas mendapat apresiasi dan perlu diikuti para penulis lainnya. Pihak pemerintah mungkin bisa mengadopsi cara sosialisasi ini: Mendengar Kesaksian Penderita dan Menulisnya untuk Masyarakat Luas.

 [1]Penulis Biografi, Tinggal di Medan

1 komentar:

timbangan mengatakan...

jauh virusnya bukan orangnya . .Hari AIDS Sedunia