My 500 Words

Sabtu, 23 Oktober 2010

Menangisi Sepakbola Kita Renungan 70 Tahun Pele

Oleh : Jannerson Girsang

Pele, pemain sepakbola internasional legendaris. Sukses menjadi pemain dan pelatih sepakbola, kariernya tidak berhenti. Brazil menghargai profesionalismenya sebagai tokoh olah raga. Di negerinya sendiri Pele menjadi pejabat olah raga yang disegani. Namanya tidak pernah lenyap dari persepakbolaan dunia, karena kemudian dia menjadi duta olah raga dunia yang mampu menangkat nama negaranya. .


Sebuah karier sepakbola yang pantas dicontoh para pengelola sepakbola dan pemain sepakbola di tanah air. Sepakbola harus dibina dan dikelola oleh mereka yang mengerti dan memahami seluk beluk sepakbola. Mereka berasal dari bawah, dan kariernya bukan karbitan.

Mudah-mudahan artikel ini bisa menggugah para pengelola PSSI yang baru saja di ”bogem” Uruguay dengan kalah telak 7-1, hanya mampu menyajikan kualitas pertandingan Sriwijaya FC-Persipura yang memalukan, serta puluhan contoh yang tidak baik di dalam dunia persepakbolaan. .

***

Tokoh sepakbola tidak lahir dari dukungan politik, tapi lahir dari ”perjuangan” yang difasilitasi lingkungan sepak bola yang sehat. .

Hari ini, 23 Oktober 2010, Pele genap berusia 70 tahun. Lahir di Tres Coracoes, Brazil, dengan nama Edson Arantes do Nascimento, kehidupan miskin masa kecilnya tidak menjadi hambatan baginya tumbuh menjadi seorang superstar olahraga internasional. Semangat juangnya, itulah kunci keberhasilannya. Bermain sepakbola “kapanpun dan dimanapun dia bisa”, bahkan kadang-kadang menggunakan kaus kaki boneka untuk bola. Tidak terus mengeluh soal fasilitas.

Pele pertama kali bergabung dengan tim nasional sepak bola negaranya, Brazil pada usia 12. Penampilan pertamanya pada piala Dunia 1958, saat masih berusia 17 tahun. Penampilannya di final Piala Dunia, termasuk mencetak dua gol, membuatnya menjadi sensasi internasional.

Selama karirnya yang mengagumkan itu--mulai pada tahun 1956 dengan FC Santos dan berakhir pada tahun 1977 dengan New York Cosmos, ia mencetak gol yang luar biasa di 1281 pertandingan resmi 1363. Saat masih aktif sebagai pemain, Pelé menjadi legenda, mitos dan tugu hidup permainan sepak bola. Bersama dengan pemain-pemain senegaranya, Brazil memenangkan Piala Dunia FIFA tiga kali dengan Brasil: pada tahun 1958, 1962 dan 1970. Setelah sukses menjadi pemain, Pele menjadi pejabat olah raga di negaranya.

Ternyata, Pele tidak hanya terampil di lapangan, tetapi juga trampil dalam dunia diplomasi olah raga. Keterampilan diplomasinya sebagai duta besar olah raga dunia membantu Brasil memenangkan negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, dan Rio de Janeiro akan menjadi tuan rumah Olimpiade yang diselenggarakan 2016 mendatang.

Satu catatan bagi para pengelola sepakbola di tanah air, Pele tidak besar sendiri. Dia dikelilingi orang-orang yang memahami bola dan mampu memfasilitasi dirinya menjadi seorang superstar.


***

Melihat kondisi persepakbolaan tanah air sekarang ini, penting direnungkan kembali, apakah iklim persepakbolaan kita mampu menumbuhkan seorang Pele dari Indonesia. Perhatian masyarakat akan bola, tidak lepas dari pengelolaan bola itu sendiri, sehingga menciptakan idola.

Di era akhir enampuluhan-awal 1970-an, Sumut memiliki tokoh bola seperti TD Pardede, dengan Pardedetexnya, dan tokoh bola Kamaruddin Panggabean yang piawi mengelola persepakbolaan di daerah dan nasional. Gubernurnya Marah Halim Harahap mencetuskan Marah Halim Cup (Mahal Cup), sebuah pertandingan sepakbola yang bergengsi. Sumut memiliki pemain-pemain yang membanggakan seperti Nobon, Parlin Siagian, Ronny Pasla dan lain-lain. Permainan mereka mampu memukau dan menyedot minat penonton menyaksikan sepakbola.

Stadion Teladan Medan masa itu secara rutin menjadi arena pertandingan internasional. Peserta Mahal Cup berasal dari kesebelasan-kesebelasan dari luar negeri (kami akrab dengan pemain-pemain dari Burma, Thailand, Malaysia, Singapura dan lain-lain). Satu hal, penonton di daerah ini tidak pernah menyaksikan pertandingan yang rusuh.

Ketika itu pertandingan dikelola oleh orang-orang yang benar-benar tau bola. Gubernurnya, tokoh sepakbolanya, pemain-pemainnya, semua mengerti bola. Sayang, entah sejak kapan dan entah mengapa Marah Halim Cup sudah tidak ada lagi. Saya hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang. Mudah-mudahan para tokoh sepak bola mau bertanya kepada pak Marah Halim yang masih hidup dan mencari jawabnya.

***

Bagi para tokoh dan pemain sepakbola di Sumut dan Indonesia, Ulang Tahun Pele 70 ini kiranya bisa dijadikan momen evaluasi. Bagi pengelola sepakbola di Sumatera Utara kita setidaknya mampu mengulangi prestasi PSMS di era awal 80-an. Yang mampu menjadi Juara PSSI Perserikatan dua kali berturut-turut. Kita rindu menyaksikan PSMS memukul Persib Bandung, Persipura Jaya Pura, atau Sriwijaya FC. Bahkan kita rindu Mahal Cup yang berhasil megangkat nama daerah ini di wilayah Asia, rindu Stadion Teladan menyajikan pertandingan-pertandingan berkualitas internacional. Mengapa tidak?.
.
Masyarakat rindu pemain idola yang dihasilkan dari permainan fair, pengelolaan yang profesional. Kita malu menonton pertandingan seperti ”Sriwijaya-Persipura” di Palembang beberapa waktu lalu. Kita malu menyaksikan Presiden SBY menonton kesebelasan kebanggan tanah air yang dipukul telak 7-1 di kandang sendiri. Pertandingan yang bikin malu kita semua.

Kita merindukan persepakbolaan yang menghasilkan pemain sekualitas Pele, sekualitas orang-orang di sekitarnya yang mengelola Pele. Yah, paling tidak kita masih bisa meraih prestasi Runner Up Asia Cup di era 1950-an.

Sebuah tantangan untuk bung Andi Mallarangeng, Menpora RI yang baru, para pengelola PSSI, serta pengelola sepakbola Sumatera Utara.

”Jangan jawab dengan kata-kata, jawablah dengan tindakan nyata”, mengutip ucapan Presiden SBY pada pelantikan Menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, 22 Oktober 2009 lalu. Selamat Ulang Tahun ke-70 Pele!. Mari belajar kisah dan perjuangan hidup Pele.

Diterbitkan di Harian Analisa, 23 Oktober 2010 Halaman 25.  







Tidak ada komentar: