Oleh : Jannerson Girsang
Saya bersyukur, orang tuaku memberi nama Jannerson Girsang. Jannerson adalah anak laki-laki yang lahir pada bulan Januari, tidak lebih dari itu. Tak lebih dari sekedar menunjukkan tanggal lahir dan jenis kelamin.
Saya sering merasa risih kalau ditanya nama tengah "middle name", karena saya tidak punya. Padahal, orang tua saya memberi nama tengah kepada kelima saudara saya.
Nama itu begitu mengesankan bagiku. Beberapa teman dari Eropa yang saya temui semasa Tsunami (2005-2006), nama itu katanya seperti nama orang Skandinavia. Demikian juga orang-orang asing yang pernah bekerja sekantor dengan saya.
Saya bangga dengan nama Jannerson Girsang. Ketika kucari di Google dan Yahoo, hanya ada dua atau tiga orang di dunia ini bernama Jannerson. Mereka berasal dari Swedia atau ada juga dari Amerika Latin.
Salah seorang adalah pria warga Brazil. Kami pernah berkomunikasi di Facebook dan sama-sama heran mengapa kami punya nama yang sama. Satu dari desa Nagasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, Indonensia, sedang satu di salah satu kota di Brazil sana. Usianya jauh lebuh muda, masih dibawah 30 tahun.
Tokh nama saya masih punya, nama keluarga yang unik, Girsang, sehingga namaku masih unik. Sesuatu yang menjadi nilai tambah dalam dunia maya, tidak ada nama yang sama dengan namaku. Namaku, identitasku di dunia maya spesifik.
Dikira Bukan Orang Indonesia
Saya pernah punya kenangan lucu soal namaku. Saat saya bekerja di TELKOM Divre I (pertengah 1990-an sampai akhir 2001). Saat itu saya menyusun jadwal dan nama rombongan untuk sebuah kunjungan ke Kandatel Banda Aceh. Namaku disandingkan dengan nama rombongan lain, semuanya dari Perancis. Saat itu saya mendampingi mereka. Ada Claude Laurent, dan lain-lain.
Ternyata nama itu asing bagi orang-orang Telkom di Banda Aceh. Sebelum berangkat, saya lebih dahulu melakukan hubungan telepon dengan staf TELKOM di Banda Aceh.
Pembicaraan berlangsung beberapa menit. Di akhir pembicaraan rekan saya bicara di Banda Aceh memuji karena bahasa Indonesia saya begitu lancar. Dalam hati, saya senyum-senyum saja. Saya katakan, saya sudah lama tinggal di Indonesia. ”Oh ya, sampai ketemu ya Pak Jannerson,”katanya.
Sampai saya tiba dengan rombongan di Banda Aceh, saya tidak pernah mengungkapkan kebangsaan saya. Tapi, saat tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, saya merada geli, ketika melihat teman saya mencantumkan nama saya di sebuah kertas karton berwarna putih dan tulisan hitam, sambil mengacung-acungkannya.
Dia kaget, ketika saya menyapanya. ”Saya Jannerson pak,apa kabar”. Dia kaget. Dia percaya saja sebelumnya, bahwa saya orang asing yang sudah lama tinggal di Indonesia. Akhirnya ”Wah pak Jannerson rupanya orang Indonesia,” katanya.
Susah Menyebutnya dan Sering Salah Tulis
Nama itu sebenarnya sangat simple tapi bagi teman-teman di sekolahku, nama itu susah di eja. Saat saya duduk di Sekolah Dasar di Nagasaribu, teman-temanku memanggilku Janner saja.
Ketika saya duduk di SMP, nama itu selalu dikurangi satu ”n”nya. Teman-teman baruku memanggilku Janerson. Di SMA di Pematangsiantar juga dipanggil Janerson. Entah mengapa orang susah sekali mengeja nama saya dengan benar : J-a-n-n-e-r-s-o-n.
Bahkan ketika saya pindah sekolah ke SMA Negeri 22 Jakarta saya malah dipanggil ”Jhon”. Saya ingat, teman sebangku saya Anna Margaretha suatu ketika memanggil saya John. Padahal, saya selalu menulis nama saya ”Jannerson”. Akhirnya semua teman sekelas, guru-guru memanggil saya Jhon.
Di setiap sekolah, guru-guru atau petugas administrasi sekolah yang kurang mengenalku sering menuliskan namaku ”Janerson”, ”Jarnelson” atau ”Janelson”.
Itu sebabnya, setiap kali menuliskan nama saya dalam dokumen resmi, saya selalu ingat untuk melakukan klarifikasi. Menghindari jangan sampai ditulis berbeda dengan nama babtis saya di gereja maupun di ijazah SD. Semua dokumen selalu mencantumkan nama depan saya sebagai Jannerson dan ditambah nama keluarga saya Girsang.
Bahkan sampai 26 Oktober 2010, dalam Pertemuan Penulis dan Pembaca di Hotel Antares Medan, nama saya masih salah, ditulis : Jamerson Girsang.
Di kalangan orang Batak, memanggil nama adalah sesuatu yang tabu. Jadi mereka memanggil saya Pak Girsang atau Pak Clara, nama anak tertua saya bernama Clara Mariana. Di luar orang Batak, umumnya orang memanggil saya dengan Pak Jannerson (kadang satu ”n”, kadang dua ”n”), Pak Girsang. Teman akrab memanggil saya ”Son”, atau ”Ner”, atau ”Janner”.
Nama tidak sembarangan karena merupakan identitas. Shakespeare berkata: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar