Oleh : Jannerson Girsang
Dulu, ungkapan pribadi di Kartu Natal begitu ditunggu-tunggu. Tulisan tangan yang indah begitu bermakna di malam Natal. Bahkan sampai bolak balik dibaca hingga kumal. Kini, perkembangan teknologi membuat kita makin melupakan makna pribadi dalam Ucapan Natal. Hanya mengirimkan teks melalui sms atau mengkopi sebuah template (contoh) teks dan gambar dari sebuah website atau kiriman teman. Kirim sebanyak mungkin ke alamat e-mail teman. Selesai!
Di era sebelum mengenal dunia maya, saat-saat menjelang Natal seperti ini saya selalu sibuk mencari beragam jenis kartu Natal di toko-toko di sekitar Pasar Bogor atau toko-toko buku di Bogor yang dikenal kota hujan itu. Saat kuliah dan jauh dari orang tua, pulang kampung hanya sekali: sesudah lulus kuliah!. Rasa rindu kampung halaman bisa terobati dengan menerima atau mengirim Kartu Natal. Begitu bermaknanya Kartu Natal saat itu.
Sebagai seorang mahasiswa Kristen ketika itu, Natal tidak cukup hanya mengikuti perayaan-perayaan yang wah, tetapi menunggu ucapan pribadi melalui Kartu Natal. Secara historis Natal yang hanya dirayakan sekali setahun memberi makna khusus dalam hubungan antar pribadi. Tak berlebihan kalau salah satu peristiwa Natal yang sangat saya tunggu-tunggu ketika itu adalah menerima ucapan Natal dari keluarga atau teman melalui kartu Natal.
Makin banyak kartu Natal yang saya terima membuat kebahagiaan dan kesempurnaan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus.
Rasa bahagia tak terlukiskan saat menerima kartu Natal di kamar kos yang sepi, ketika seseorang mencurahkan isi hatinya yang sangat pribadi. Bahkan seorang teman saya ketika itu sampai nerjingkrak-jingkrak saat menerima ucapan Natal dari seorang gadis di seberang pulau. Ucapan cinta seorang teman di Hari Natal!.
Tapi, setelah Tim Bernes-Lee yang menemukan www (internet) pada sekitar 1991, kebiasaan kami berubah. Rasa itu makin lama makin hilang. Bahkan tahun ini, Kartu Natal paling-paling terbungkus di dalam parcel.
Seingat saya, dulu pohon terang dihiasi dengan banyak kartu Natal. Lama kelamaan hilang, dan bahkan tahun lalu, kami sama sekali tidak lagi menerima kartu Natal untuk ditempel di Pohon Natal. Pohon Natal tanpa kartu Natal!
Sejak sms melalui handphone dan internet dikenal masyarakat luas, kartu Natal berubah menjadi teks atau gambar digital yang bisa dikirim melalui email. Sentuhan pribadi melalui seni menulis yang mencerminkan perasaan dan karakter sudah terlupakan. Menulis indah yang pernah kami pelajari sudah lama tidak bernilai lagi. Tulisan dalam ucapan Natal hampir seragam. Hanya dibedakan oleh jenis huruf: Times New Roman, Century Gothic, Aerial, Garamond atau nama-nama huruf yang terdapat di komputer.
Tak ada lagi kenikmatan bau perangko yang khas saat membasahinya dengan lidah. Tak ada lagi canda tawa dengan pegawai pos yang dengan setia membubuhkan stempel jadwal pengiriman pakai alat berbentuk palu.
Semuanya menjadi serba praktis. Menuliskannya di komputer, membubuhkan kartu Natal digital yang sudah tersedia secara gratis. Mencantumkan sebanyak mungkin teman ke kolom alamat email yang dituju. Klik tombol send (kirim), lalu pesan Natal—dalam hitungan detik, sudah sampai ke sebanyak teman yang punya alamat e-mail. Ucapan selamat Natal selesai!.
Di e-mail, saya pernah menerima ucapan Natal yang dikirim oleh seorang teman bersama lebih dari seratus orang penerima lainnya. Isinya: "Merry Christmas. Sukses selalu". Ungkapan hati pengirimnya kepada setiap penerima pesannya sama. Tidak ada teman dekat atau jauh. Tidak ada kesan dan pesan yang berbeda kepada yang usianya lebih tua atau lebih muda.
Mungkin pembaca sama dengan perasaan saya. Rasanya seperti sayur tanpa garam bukan?. Kita hanya menerima kata-kata normatif. Nilai pesannya sama seperti ucapan selamat pagi atau selamat malam. Bedanya: disampaikan pada Hari Natal.
Mungkin Anda merasakan hal yang sama dengan saya. Perkembangan teknologi memang cenderung menyederhanakan tidak hanya dalam cara, bahkan melupakan aspek emosi pribadi. Itulah teknologi.
Kita tentu tidak mempersalahkan teknologi. Malah sebaliknya, kitalah sebagai pengguna yang salah, tidak mau lebih kreatif menggunakannya untuk tetap memelihara dan bahkan meningkatkan nilai emosi pribadi ke dalamnya.
Teknologi memang tidak mengenal emosi. Kita, manusialah yang sesungguhnya dengan kreatif dan sedikit meluangkan waktu untuk membubuhkan emosi di dalamnya. Mengetik ungkapan asli yang kreatif dan gambar-gambar pribadi yang lebih menarik—tidak sekedar copy paste.
Artikel ini tidak menawarkan tip khusus. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita mengirim ucapan Selamat Natal dengan sedikit kreativitas yang mampu mempertahankan emosi pribadi seperti dulu.
Di era internet dan dukungan teknologi komputer kita bisa lebih mengungkapkan pesan-pesan Natal dengan tidak melupakan emosi pribadi. Perkembangan teknologi tidak harus membuat kita kehilangan emosi pribadi seperti ketika menggunakan kartu Natal konvensional seperti dulu. Using techmology, be creative!.
Selamat Hari Natal 25 Desember 2010. Mari mengungkapkan perasaan pribadi dengan mengirim ucapan Natal Digital secara kreatif dan memberi makna Natal yang lebih pribadi.
Penulis adalah penulis biografi tinggal di Medan
Artikel ini dimuat di Harian Analisa, 24 Desember 2010 Hal 25. Bisa juga diakses ke : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=80124:natal-tanpa-kartu-natal&catid=78:umum&Itemid=131
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Jumat, 24 Desember 2010
Jumat, 17 Desember 2010
Frederika Girsang: Mantan Pemegang Ranking 138 ITF
Oleh Jannerson Girsang
Nama Frederika Girsang tidak asing lagi di dunia tennis Indonesia. Mungkin anda bilang saya emosional. Itu benar. Bagi saya sendiri selama ini, Frederika Girsang mendapat tempat khusus karena dia boru Girsang--satu marga dengan saya.
Walau saya tidak pernah mengenalnya secara pribadi, tetapi dia adalah idola saya di olah raga tenis. Mantan pemegang ranking 138 International Tennis Federation (ITF) ini telah mengukir nama Indonesia di dunia internasional.
Setelah bertahun-tahun tidak melihatnya tampil, muncul kerinduan untuk sekedar mengetahui dimana dia sekarang. Mungkin saya bernasib baik hari ini, karena secara kebetulan menemukannya di situs http://www2.owlsports.com/coaches.aspx?rc=560&path=wten.
Ternyata, sekarang dia menjadi Assistant Head Coach Temple, Amerika Serikat. Kerinduan saya sedikit terobati membaca kisahnya dan melihat gambarnya. Frederika, perempuan Indonesia berprestasi dan memberikan inspirasi. Selain sukses di Tennis, dia juga sukses dalam perkuliahannya. Bahkan sudah memegang gelar Master dari Ball State, USA.
Inilah kutipan lengkap, tentang kisahnya. Saya tidak menerjemahkannya, karena takut salah. Entah
Women's Tennis Coaching StaffFrederika Girsang
Frederika Girsang
Assistant Head Coach
fgirsang@temple.edu
Frederika Girsang is in her second season as an assistant men's and women's tennis coach at Temple.
She arrived on North Broad Street after two seasons as an assistant women's tennis coach at Ball State. At Ball State University, she assisted the head coach with on and off court duties, as well as working with the team. She also guided individual players through one-on-one sessions.
A four-year letterwinner in tennis at Western Michigan, Girsang was tabbed the 2003 Mid-American Conference Player of the Year, which was the first time a WMU player had received the award since its inauguration in 1998. During her career she also was named the 2001 MAC Newcomer of the Year and helped the Broncos to win the MAC championship. Girsang was ranked nationally and regionally over her tenure with the Broncos with her highest ranking being 62nd.
Girsang was the 2003 singles champion at the ITA National Summer Championships and was runner-up in doubles play. She competed in the Riviera All-American Championship in Pacific Palisades, Calif., also in 2003.
Prior coming to the United States, Girsang was the top Indonesian junior player with International Tennis Federation (ITF) ranked 138, where she also competed at the Australian Open Junior. She then continued her success by achieving her highest national ranking (#4) in Indonesia, and competed internationally at the ITF Women's Circuits.
In December 2008, she competed at the USTA National Championships at Flushing, NY, and captured the USTA gold ball at the Women's Doubles event.
A native of Jakarta, Indonesia, Girsang earned a bachelor's degree in recreation from Western Michigan in 2005 and a master's degree in sports management from Ball State in 2008.
Source: http://www2.owlsports.com/coaches.aspx?rc=560&path=wten
Terima kasih Frederika karena telah membalas email saya 17 Desember 2010. Semoga sukses selalu. Kami bangga punya Frederika.
Email Frederika Girsang, 18 Desember 2010
"Hallo Jannerson!
Salam kenal juga.
Terima kasih atas blog-nya. Saya sangat terkesan sewaktu membacanya dan bangga bisa membawa nama Girsang sampai dimana saya berada saat ini.
Semoga sukses selalu dan marga Girsang bisa membawa inspirasi buat rekan-rekan yang lain.
Terima kasih,
Frederika Girsang
Kamis, 02 Desember 2010
“What Happen, Aya Naon”, Tinggal Kenangan
Oleh : Jannerson Girsang
Sumber foto: kuansing.com
Dunia peran Indonesia kembali kehilangan seorang tokoh legendarisnya. Sama seperti saya yang sejak remaja sudah sering menonton filmnya, dan belakangan sinetronnya, serta para pencinta sinetron Cinta Fitri di seluruh tanah air kehilangan tokoh Oma, Ida Kusuma. Tak ada lagi Ida dalam seri sinetron itu berikutnya.
Pasalnya, pemilik nama lengkap Siti Endeh Ida Hendarsih Atmadi Kusumah itu telah berpulang Kamis malam 25 Nopember 2010, saat shooting seri sinetron Cinta Fitri di Jakarta.
Aktris berdarah Sunda ini begitu mengesankan bagi para pencinta seni peran Indonesia. Seorang tokoh legendaris seni peran Indonesia yang mampu memberi semangat hidup melalui aktingnya yang khas. Perempuan yang sudah begelut di dunia peran selama 55 tahun itu pernah populer dengan ungkapannya : ”What Happen, Aya Naon”! (Ada apa?). Perempuan yang telah memintangi puluhan film dan sinetron itu lahir di Jakarta 71 tahun lalu, persisnya, 31 Agustus 1939.
Dari Putri Revolusi Hingga Sinetron Fitri
Ida menekuni dunia seni peran sejak usia 16 tahun dan memulai debutnya dalam film pertamanya "Puteri Revolusi" pada 1955, arahan sutradara Ali Yugo. Dalam film itu Ida bermain dengan aktor terkenal pada zaman itu, Sukarno M Noor (ayah aktor Rano Karno) dan Turino Djunaedy.
Suasana perekonomian dan perpolitikan yang belum mendukung dunia film, membuatnya belum bernasib mujur. Di Awal kariernya di dunia akting tak terlalu mulus dan pernah beralih ke bidang tarik suara dan peragawati. Dunia inipun memberinya tempat tersendiri hingga pada tahun 1960, ia di nobatkan sebagai Putri Peragawati I dan Ratu Jakarta III.
Pada tahun 1960-an, Ida Kusuma aktif sebagai penyanyi dan penari, yang bertugas untuk menghibur para prajurit dalam operasi Trikora, Dwikora maupun ketika penupasan G30S/PKI. Pada tahun 1961, ia kembali bermain film dan mendapat peran utama dalam film Malam Tak Berembun bersama aktor AN Alcaff dan disutradarai oleh A.W. Sardjono. Kemudian pada 1967, Ida bermain dalam film Menjusuri Djejak Berdarah.
Menurut catatan www.wikipedia.com, sejak 1970-an sampai akhir delapanpuluhan, hampir setiap tahun Ida Kusuma tidak absen membintangi film. Dia tampil sebagai idola dalam film-film remaja yang ngetop di dekade 70-an-80an. Diantaranya film Duo Kribo (1977), yakni film sang Raja Rock Ahmad Albar. Film ini mengisahkan persaingan dua rocker berambut kribo di blantika musik Indonesia sekitar tahun 1970-an dan Kabut Sutra Ungu (1979), sebuah film percintaan arahan sutradara Sjuman Djaya dengan bintang utama Roy Marten dan Yenny Rahman.
Pada dekade 80-an, Ida juga menjadi idola ketika tampil dalam film remaja Catatan Si Boy II (1988), Catatan Si Boy III (1989), Catatan Si Boy IV (1989), serta berbagai film komedà seperti Godain Kita Dong (1989), Si Kabayan dan Gadis Kota (1989).
Di era 1990-an Ida Kusuma banyak membintangi film layar lebar bertema komedi, seperti Boneka Dari Indiana (1990), Boss Carmad (1990), Cinta Anak Muda (1990),Curi-Curi Kesempatan (1990), Dorce Ketemu Jodoh (1990), Gonta Ganti (1990), Isabella (1990), Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990), Makelar Kodok Untung Besar (1990),
Oom Pasikom (1990), Si Kabayan Saba Metropolitan (1992).
Ida menyelesaikan film bioskop berjudul CintaPuccino tahun 2007, dan film Bebek Belur (2010) menjadi film layar lebar terakhir yang dibintanginya.
Ida Kusuma adalah sosok yang tidak menyerah dengan perubahan zaman. Memasuki zaman sinetron sejal 1994, perannya di sinetron tidak surut dengan usianya yang makin tua. Bahkan hingga akhir khayatnya Ida membintangi sedikitnya 5 sinetron, sebelum membintangi Cinta Fitri 2 sejak 2008.
Penampilannnya yang senantiasa bersemangat membuat penonton tidak pernah merasa jenuh menonon film atau sinetron yang dibintanginya. Sampai dengan tahun 2007, tercatat, ia telah bermain dalam 62 film. Mulai tahun 1994, ketika dunia sinetron tumbuh menjamur, ia pun ikut terjun didalamnya.
Meski Ida banyak membintangi film komedi, dalam akting dia sering mendapatkan peran antagonis, sebagai ibu yang judes dan bahkan jahat.
Penghargaan
Ida Kusuma adalah salah seorang diantara artis film Indonesia yang tetap setia dan konsisten terhadap dunia seni peran. Dia adalah sedikit diantara aktris senior yang terus bertahan di film selama 55 tahun saat generasi berganti dan regenerasi terus terjadi.
Atas kesetiaannya pada dunia perfilman, Ida menerima Penghargaan Kesetiaan Profesi dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), pada tahun 1996. Dua tahun berikutnya, pada 2008, SCTV memberikan penghargaan Life Time Achievement kepadanya, atas dedikasi tinggi di bidangnya.
Kesetiaannya pada dunia seni peran telah ia buktikan. Ida menghembuskan napas terakhirnya di tengah menjalankan proses shooting untuk sinetron Cinta Fitri. Penggemar Cinta Fitri kehilangan, dunia perfiliman Indonesia berkabung.
Akhirnya, kehidupan memang bukan milik Ida Kusuma. Dia telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Dia akan dikenang sebagai seorang aktris senior legendaris, mampu berjuang dan menempatkan peran dalam dunia peran di segala zaman, setia pada profesinya sampai akhir khayat. “Till The Day I Die”, seperti digambarkan desainer Iwet Ramadhan dalam twitternya. Selamat Jalan Ida Kusuma, We All Love You!
Kini Ida sudah beristirahat di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Semoga pengabdiannya di dunia peran selama ini bersemi di jiwa-jiwa para pencinta seni. Patah tumbuh hilang berganti, kiranya dari tunas-tunas muda tumbuh Ida Kusuma baru!.
(Dimuat di Harian Analisa, 4 Desember 2010)
Rabu, 01 Desember 2010
Mengenal Ponijan Liaw di Dunia Maya : Bermula dari Artikel di Analisa
Oleh: Jannerson Girsang*)
Peran media dan teknologi internet telah membuka mata saya untuk mengenal lebih banyak orang pintar dan memahami pikiran-pikiran dan ajaran mereka. Saya bisa kuliah dari beragam ahli, dari berbagai negara dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Tanpa bayar uang kuliah, hanya bermodalkan laptop dan modem!.
Ponijan Liaw adalah salah seorang diantaranya. Hari ini saya mengenal beliau dan pemikirannya melalui dunia maya.
Sebelumnya, saya telah membaca artikel-artikel Ponijan Liaw secara sepintas di Harian Analisa. Namanya juga sepintas, pasti tidak secara cermat mengamatinya. Maklum banyak ahli yang berbicara tentang hal yang sama.
Hari ini saya membaca dengan cermat sebuah artikelnya ”Mengubah Takdir” yang dimuat di harian Analisa, Medan (30 Nopember 2010). Artikel ini sungguh-sungguh menginspirasi dan mengundang saya mengenal penulisnya lebih dekat.
Di awal tulisannya Ponijan mengutip ucapan guru Zen Ryokan tentang pikiran, perkataan, tindakan, kebiasaan, karakter dan takdir. Dengan pembahasan sederhana dan bahasa yang mudah dimengerti, Ponijan mengungkap kenyataan yang terjadi sekarang ini:
”Sayangnya, banyak orang yang tidak melihat setiap elemen dalam spektrum kehidupannya secara holistik. Begitu muncul sebuah bencana dan ketidaknyamanan hidup, dengan mudah manusia tipe ini menuding dan mengarahkan telunjuknya pada sang pencipta dengan dakwaan sebagai tidak adil dan tidak sayang pada umatnya,”.
Keprihatianan saya, sama dengan Ponijan. Saya menyaksikan banyaknya orang yang hanya mampu bercerita soal ajaran dalam buku suci, tetapi tidak mampu mencerminkannya dalam pikiran dan tindakannya. Tidak sampai menjadikan ajaran tersebut menjadi karakter mereka. Akhirnya, pesan yang mereka komunikasikan atau sampaikan kepada rakyat atau umat yang dipimpinnya adalah pesan kering tanpa makna yang menginspirasi orang berbuat baik!. Ketika mereka merespons sebuah situasi, lebih cenderung saling menyalahkan.
Siapakah Ponijan Liaw?.
Dari namanya, saya pastikan dia seorang Tionghoa. Nama depannya nama yang diberikan karena terpengaruh kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru yang tidak membenarkan mereka menggunakan nama Tionghoa dalam nama resmi. Misalnya, nama Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim.
Hal pertama saya lakukan adalah mencarinya di Facebook. Dengan mengetik nama Ponijan Liaw, saya menemukan : http://www.facebook.com/ponijanliaw?ref=ts.
Kemudian, saya ketik Like. Lantas, mata saya terbuka melihat apa yang dipikirkannya dan dikerjakannya sehari-hari. Dia berbicara banyak tentang komunikasi, serta pernyataan-pernyataan yang memberi motivasi.
Di wallnya hari ini (1 Desember 2010) tertulis: ”Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang berhak menilai Anda gagal dan berhasil menurut standar Anda. Karenanya, jangan berkecil hati ketika orang lain menilai menurut kacamata mereka. Bukankah Anda mengukurnya dengan kacamata sendiri? Keep going....”.
Ketika saya menemukannya, lima orang sudah tertera merespons pernyataan yang sungguh-sungguh memotivasi itu.
Tertarik dengan kalimat indah di wallnya itu, saya nimbrung merespons, sekaligus memuji artikelnya yang dimuat di harian Analisa : ”Terima kasih Pak Ponijan. Terima kasih juga atas artikelnya di Harian Analisa Medan, kemaren 30 Nop 2010: Mengubah Takdir. Sungguh mencerahkan”, demikian saya tuliskan untuk memancing reaksi pemiliknya.
Menunggu jawabannya, saya masuk ke Google—sumber pengetahuan dunia. Dengan mengetik nama Ponijan Liaw, saya pertama-tama menemukan situs http://paknewulan.wordpress.com/2007/10/03/nasehat-nasehat-dalam-berkomunikasi/.
Ternyata nama Ponijan Liaw adalah nama besar. Seorang yang mampu memberi nasehat soal komunikasi dan motivasi. Nasehatnya mengingatkan saya artikel sejenis yang ditulis Prof Dr Laurence Manullang: "Yesus Adalah Komunikator yang Maha Sempurna”. (www.kadnet.info/rebuska/2008/Rebuska_Sep1208-a.doc). Artikel yang sebelumnya banyak menginspirasi saya soal berkomunikasi...
Dalam situs yang memuat pikiran Ponijan itu tercantum 15 nasehat soal berkomunikasi. Hari ini saya tertarik nasehatnya ke-14, Don’t Butt In !. ”Setiap orang memiliki dua telinga dan satu mulut. Artinya, lebih banyaklah mendengar daripada ngomong. Justru dari mendengar kita belajar bukan dari berbicara”.
Meski nasehatnya bukan hal baru dan saya sudah mendengar nasehat ini sejak lama. Bahkan saya terapkan dalam profesi sebagai wartawan, dan sampai kini saat melakukan wawancara dalam penulisan buku-buku biografi. Tetapi penyajiannya dengan kemasan baru menjadikannya menarik.
Luar biasa!. Meski hanya sebuah kutipan, ternyata dalam waktu singkat beberapa teman saya memberi tanggapan. Betapa kuatnya sebuah nasehat yang baik bagi setiap orang.
Lantas, keingintahuan saya lebih besar lagi. Menelusuri kembali namanya melalui Google, akhirnya saya menemukan website pribadinya. http://www.ponijanliaw.com/content/about-dr-ponijan-liaw.
Ponijan Liaw—kerap disapa “Mr. Po”— sekarang "Doktor (DR.) Po", adalah orang Sumatera Utara. Dia dilahirkan di Tebingtinggi, Sumatera Utara, 5 September 1968. Mampu berbahasa Inggris dan Jerman, jauh lebuh pintar dari para pejabat kami yang banyak bengongnya kalau menerima tamu asing. Pasti dia banyak menuai persahabatan positif dan variatif dengan berbagai kalangan dari berbagai negara. Memiliki pandangan yang luas tentang berbagai latar belakang bangsa..
Sekolahnya juga bervariasi. Ini yang menarik. Ponijan menjalani pendidikan SD Muhammadiyah sampai kelas III dilanjutkan ke SD Cinta Kasih Katolik di Medan sampai tamat, dan SMA Negeri di Sei Rampah. Dia bergaul dengan orang-orang dari berbagai ragam agama di Republik ini. Setidaknya merasakan pengalaman hidup bersama dengan sebuah komunitas yang berbeda agama dan suku di masa anak-anak hingga remajanya. .
Lulus SMA, Po memilih kuliah di IKIP Negeri Medan. Kampus yang jarang dimasuki warga Tionghoa di Medan. Dia kemudian ber-gabung dengan program S-2 Magister Pendidikan di Universitas Pelita Harapan, Jakarta, dan lulus dengan predikat sangat memuaskan (2004), lima tahun kemudian meraih gelar Doktor di Bidang Manajemen Pemerintahan dari Universitas Satyagama, Jakarta dengan predikat Cum Laude (September 2009).
Pergaulannya hebat!. Sidang Terbukanya sajapun disaksikan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI, Dr. H. Adhyaksa Dault, M.Si, Motivator No. 1 Indonesia, Andrie Wongso, dan tokoh masyarakat lainnya. Tidak hanya di luar sistem, dalam usia relatif muda, 37 tahun, Po menjadi Tenaga Ahli Menteri Negara Pemuda dan Olahraga sejak 2005 sampai akhir tahun 2009.
Kariernya hebat juga!. Selain menulis, Ponijan menekuni profesi hingga saat ini sebagai presenter radio, pembicara publik, trainer, dosen tamu di beberapa universitas di Jakarta. Menurut situsnya Ponijan telah menulis sekitar 100-an artikel artikel di beberapa koran dengan rentang topik beragam. Dia juga menulis buku-buku seperti Great Motivation, Smart Communication, Success & Joy Talks, Talk to Your Customer This Way, Stories of Zen in Comics, Unleash Your Inner Power with Zen, dan lain-lain.
Saya tertarik kritik Ponijan soal diskusi komunikasi di Indoensia yang terkesan kering dan tidak jelas dalam prakteknya di dunia nyata. ”Yang ada hanyalah kerangka teoretis yang sulit dicerna karena banyak menggunakan contoh-contoh dengan pendekatan budaya yang terjadi di belahan bumi lain (disebabkan banyak bahan yang diambli berasal dari buku-buku terjemahan). Ketika diterapkan di Indonesia, teori tersebut belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.”. Saya setuju pendapatnya!. Tidak banyak ahli komunikasi kita yang mau menggali konten lokal yang sesungguhnya sangat kaya.
Ketika saya hampir menyelesaikan artikel ini, dua jam kemudian Pak Po membalas respons saya di wallnya: ”Terima kasih Pak Jannerson, mudah2an kita selalu menjadi berkat buat sesama ya, Pak... salam untuk kawan2 di komunitas Bpk... terima kasih”..
Memang Po adalah komunikator yang baik. Dia melaksanakan salah satu nasehatnya : Your Speech is Your Ads, So, Be Creative.
“Banyak orang tidak menyadari bahwa setiap komunikasi dilakukan dengan siapa saja, dimana saja, kapan saja, mereka sesungguhnya sedang ‘menjual diri’ mereka kepada orang yang sedang berhadapan dengan mereka,” demikian nasihat komunikasinya ke-8.
Responsnya membuat saya simpatik dan akan menceritakan hal yang baik dan menginspirasi tentang Pak Po. Dia sedang menjual diri, atau saya yang menggunakan dirinya untuk "menjual diri" saya. Itulah komunikasi. Menyampaikan pesan yang saling memotivasi, menginspirasi, membuat nilai seseorang naik tanpa mengurangi nilai sang komunikatornya. Jauh dari saling melecehkan!.
Apa yang ingin saya sampaikan kepada pembaca adalah bahwa internet telah menolong saya mengenal dan belajar tentang orang-orang pintar dan pemikiran mereka. Melalui dunia maya, saya mengenal Ponijan Liaw. Saya akan belajar lebih banyak lagi dari beliau. Salam hormatku untuk seorang anak muda Indonesia yang luar biasa!.Beliau akan menjadi "Sumur yang Tak Pernah Kering". Terima kasih guru!.
*)Penulis Buku Biografi: ”Berkarya di Tengah Gelombang” dan beberapa buku biografi tokoh di Sumatera Utara.
Langganan:
Postingan (Atom)