My 500 Words

Rabu, 19 Januari 2011

In Memoriam Setahun Meninggalnya Penabur Kebaikan

Oleh : Jannerson Girsang

Pagi ini kami teringat seorang wanita yang begitu mengesankan. Johanna br Marbun Banjarnahor (Ompu Ginagan Nainggolan). Penabur kasih dan kebaikan kepada anak-anaknya.

Cuplikan-cuplikan kebaikan dan perjuangannya, kami dokumentasikan atas dukungan keluarga dalam buku biografinya, Haholongon (2008), dua tahun sebelum dia pergi untuk selama-lamanya.


Kepergian pemilik lagu kesayangan "Ida Hina Denggan Ni Angka na Saroha, Lihatlah Indahnya Orang yang Sehati Sepikir" ini sama menurut yang tertulis dalam kitab suci, datangnya seperti Pencuri Malam.

Beliau pergi saat anak-anaknya mempersiapkan perayaan ulang tahunnya ke 89, sebuah peristiwa penting bagi keluarga itu. Hari yang istimewa sekaligus penghormatan bagi seorang yang baik hati. Anak-anaknya setiap tahun berkumpul merayakan Hari Ulang Tahunnya.

Antara rasa percaya dan tidak, Selasa malam, 19 Januari 2010, kami menerima berita dari sms seorang cucunya: ”Ompung sudah pergi (meninggal) bang,” katanya. Ada rasa menyesal, karena sejak beberapa bulan sebelum meninggal, kami tidak mengunjungi wanita kelahiran Onan Ganjang, 21 April 1921 itu.

Menjelang tengah malam, saya bersama istri memasuki ruangan VIP RS Herna Medan. Kami menyaksikan wanita berusia memasuki 89 terbujur kaku di atas tempat tidur. Membuka penutup wajahnya, saya lalu menyaksikan wanita yang suka ”memberi ongkos” itu untuk terakhir kalinya. Lulusan Meisjes School Butar, 1935 ini menghadap Sang Pencipta.

Seraya memanjatkan doa, kami diam sejenak. Lantas, menyalami anak-anak, menantunya yang duduk menyaksikan orang tua kesayangan mereka di sisi tempat tidurnya. Mata mereka memerah, tak kuasa menahan rasa sedih, tak sadar air mata keluar.“Kami merasa ibunda terlalu cepat pergi meski Tuhan telah memberi bonus umur, karena keperkasaan bunda menghadapi getirnya hidup demi anak-anaknya membuat kami merasakan duka yang mendalam,” ucap RE Nainggolan.

Dimata anak-anaknya Jurangga Nainggolan, Jhon Piter Nainggolan, Rustam Effendy (RE) Nainggolan, Yanmar Nainggolan, Marlan Nainggolan, Haratua Nainggolan, H Agus Salim Nainggolan (anak angkat), Rensi br Nainggolan, Rumianna br Nainggolan, S br Nainggolan, Netty br Nainggolan dan Rida br Nainggolan, Johanna adalah seorang ”pahlawan”.

Ayahanda mereka St Gerhard Nainggolan adalah seorang Pegawai Negeri rendahan yang tugasnya berpindah-pindah dari Sibolga ke Barus, Tarutung sampai akhirnya di Siborongborong. Beliau meninggal pada 1984. 26 tahun sepeninggalnya, Johanna “single fighter” memperjuangkan anak-anaknya hingga mencapai sukses!.

Wanita yang pernah mengalami kecelakaan bus di Parmonangan puluhan tahun lalu itu, istimewa di mana saja berada. Termasuk di mata salah seorang anak Dr TD Pardede yang menjadi anggota DPD sekarang. Tak seperti biasanya, seorang yang meninggal diformalin di ruang VIP, Johanna justri mendapat keistimewaan, diformalin di ruang VIP. Itu adalah saran Rudolf Pardede salah seorang keluarga pemilik rumah sakit Herna yang hadir pada kesempatan itu. Dia tidak rela wanita itu diformalin di ruang mayat. Salah satu bentuk kekaguman seseorang!. Johanna memang istimewa,dia menabur kebaikan, menuai penghormatan dari siapa saja.

Di dalam dan di luar ruangan VIP Melati Rumah Sakit Herna Medan, tempatnya dirawat beberapa jam sebelum meninggal, penuh sesak para pelayat.

Ratusan orang, mulai dari tokoh dan pejabat penting di Sumatera Utara, silih berganti melayatnya.Mereka tidak beranjak dari tempat hingga tengah malam. Ada kebaikan yang menarik diperbincangkan dari putri Raja Herman Marbun itu. Sambil berbincang, mereka memancarkan rasa kagum. Johanna memang sumber inspirasi, tidak hanya bagi keluarga, tetapi termasuk para tokoh dan pejabat tinggi daerah ini.

Pertemuan-pertemuan, perbincangan selama beberapa bulan dalam penulisan buku biografinya, memberikan kenangan dan inspirasi hidup yang tak begitu saja dapat kami lupakan. Kepergian wanita berwajah lembut, ramah dan penuh kasih itu meningalkan kesan yang mendalam.

Teringat saat napak tilas menelusuri perjalanannya saat Johanna berjuang untuk anak-anaknya dengan marrengge-rengge. Bangun dini hari, di saat anak-anak belum bangun, berangkat menuju pekan-pekan di Sipahutar, Pangaribuan, Dolok Sanggul, Parmonangan. Melewati jalan yang bak kubangan kerbau, berjalan kaki sejauh 12 kilometer, adalah hal biasa baginya. Pulang ke rumah di saat semua anak-anaknya sudah tertidur.

Terkenang saat beliau bercerita menjalani kehidupan yang sulit. Johanna, di dalam bus yang membawanya senantiasa merenungkan ayat maluanya (sidi): Mazmur 50:15: ”Jala jou ma Ahu jumpang di ari hagogotan, asa hupalua ho, asa dipuji ho Ahu. Berserulah kepadaKu pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau dan engkau akan memuliakan Aku”. (Haholongon, 2008).

Kebaikan dan ketulusan hati memang menghasilkan kebahagiaan dan keagungan. Anak-anaknya meraih sukses, tetapi mereka merasakan surga di telapak kaki Johanna. Dimana dia ada, anak-anak, menantu, cucu-cucunya bekumpul. Johanna ibarat gula yang menjadi daya tarik bagi semut. Di dalam dirinya tersimpan kebaikan yang tulus dan diberikan kepada siapa saja, dimana saja dia berada.

Keagungan wanita parrengger-rengge ini tidak hanya di lingkungan keluarganya, tetapi mengundang simpati masyakat luas. Ribuan orang menghantarnya ke pemakaman keluarga di Hutajulu Termasuk beberapa pejabat tinggi dari Jakarta dan Medan, para pejabat Kabupaten di berbagai daerah Sumatera Utara.

Wanita parrengge-rengge itu mendapat kehormatan yang tidak biasa. Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin berkenan memimpin upacara pemakamannya di Siborong-borong, 23 Januari 2010. ”Ibu saya lebih agung dari kami anak-anaknya. Mungkin kami tidak akan mengalami seperti agungnya beliau pergi,” ujar RE Nainggolan suatu ketika.

Setahun sudah peristiwa itu berlangsung, setahun sudah Johanna beristirahat di pekuburan keluarga disamping makam suami tercintanya St Gerhard Nainggolan, di Huta Julu, Humbang Hasundutan, 10.kilometer dari Onan Ganjang. Onan Ganjang adalah desa Johanna dilahirkan, Huta Julu adalah desa dimana dia pernah tinggal untuk beberapa tahun di awal perkwinannya, sekaligus tempat mertuanya Julius Nainggolan (Ompu Jurangga Nainggolan), yang terkenal sebagai pengusaha kemenyan di era 30an sampai akhir 50-an.

Semoga kebaikan yang ditaburnya selama ini berakar dan tumbuh pada anak-anak, cucu-cucunya (Ginagan Nainggolan cs), cicitnya serta orang yang pernah menerima kebaikannya. Ingatlah kata-kata indahnya. "Molo sada hamu sude do boi ulaonmu. Kalau kalian bersatu maka semua bisa dikerjakan"

Tidak ada komentar: